Sunday, March 20, 2011

Teologi : Disiplin Akademik vs Pandangan Hidup

  • Pertimbangan
                Selalu ada perdebatan akademik, atau bahkan secara teologik soal teologi sebagai ilmu, atau disiplin akademik atau sebagai nilai-nilai kehidupan Kristen. Keduanya sama esensialnya, dan keduanya memiliki core values yang diinginkan, tergantung dari memposisikan teologi itu bertempat tinggal diranah yang mana, keilmuan akademik dalam habitat sekolah dasar hingga sekolah tinggi dengan sistem persekolahannya, atau di realitas hidup setiap hari dalam kehidupan keseharian manusianya.
                Meski demikian, bagi orang tertentu perdebatan itu hanya sering didorong oleh pemahaman secara teologis semata di dalam perdebatan tersebut meskipun seseorang tersebut sedang dalam proses edukasi sistem persekolahan. Dengan demikian, ternyata sesungguhnya bukan sebagai creative tension secara akademik melihat dari sisi keilmuan atau pemikiran keahliannya, tetapi kecintaan dan keyakinan berlebihan atas faktor nilai yang dianut dari dalamnya.
                Terlepas dari segala macam konflik akademik atau teologik itu, saya lebih suka menempatkan ini dalam posisi disiplin akademik sebagai core values, tanpa melupakan begitu saja dan dengan seenaknya melupakan kaitan dari hasil kajian akademiknya di dalam realitas. Dengan pikiran seperti itu, pada bagian awal ini secara sadar, saya menjelaskan soal teologi dalam posisi realitas sesungguhnya bagaimana hal itu dimengerti orang banyak (sehari-hari). Saya sengaja lebih detail, bukan untuk menanggulangi, tetapi untuk memposisikan dengan tepat pada tempatnya, dan merapikan pemahaman yang selama ini kita koleksi dan akumulasi.
                Namun melihat realitasnya, terpaksa saya harus menggunakan pemahaman atau makna sejati dari terminologi kata teologi itu dalam bingkai sebagai ilmu atau disiplin akademik bukan dalam artian pemahaman sederhananya karena hal ini sudah enteng dan sepele di otak kita karena sudah biasa dibincangkan orang. Tapi dalam kebiasaan inilah poin pentingnya untuk mendudukkan hal yang biasa itu sesuai dengan latar keilmuan dalam urusan akademik untuk bisa mengembangkan sendiri dengan cara saya atau kamu sendiri apa maknanya sebenarnya.
                Apalah gunanya dianggap seorang teolog yang smart, terakreditasi secara akademik karena ada 2 atau 4 lebih titel berderet dari depan hingga belakang kart namanya, meski ini penting untuk meyakinkan orang lain dan diri sendiri), tetapi tidak berkontribusi mengkonstruksi teologi sebagai disiplin akademik baik bermanfaat bagi realitas atau social life atau lingkup akademik sendiri. Atau, sebaliknya apalah kelebihannnya kita, jika hanya terlalu teologis dalam hidup seharian tanpa memiliki kecerdasan teologi secara akademis untuk memahami dengan komprehensif tentang teologi yang kita yakini dan praktekkan.
  • Teologi hanya Pengetahuan atau hanya Pandangan Hidup?
                Kali ini saya sengaja mengikuti cara membuat defenisi dari Kamus Bahasa Indonesia, (meski saya bukan kamus sentris), tetapi sebagai upaya ternyata ada cara yang baru untuk melakukannya meski dengan hal yang biasa. Di point ini saya mengutip penjelasannya dari pusat bahasa departemen pendidikan nasional, (te·o·lo·gi dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id,) te·o·lo·gi /téologi/ n pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kpd Allah dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci).
               Kamus Bahasa Indonesia Online (Teologi dalam http://kamusbahasaindonesia.org), teologi te.o.lo.gi [n] pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci). Penggunaan lain kata teologis, yakni te.o.lo.gis [a] berhubungan dengan teologi; berdasar pada teologi:
                Masalahnya, setiap belajar teologi di sekolah dan kampus teologia Kristen (STT: Sekolah Tinggi Theologia) entah dengan alasan masuk akal atau tidak selalu harus belajar mazhab, tokoh dan penggagas teologinya, plus dogma denominasi lembaga, dosen pengampunya. Ada baiknya juga, mengapa harus demikian, tentulah ada ratusan alasan teologis pula yang  bisa dibuat untuk mendukung argumentasinya agar tampak teologis atau injli, atau Alkitabiah.
                Disisi lain, seperti ungkapan Eta Linnemann (Osnabruck, Jerman Dosen III Batu Malang bidang Teologi Kontemporer dan PB, 1991, h. 7) untuk menyampaikan ajaran-ajaran para teolog injili, tidak perlu menciptakan teologi sendiri yang harus dikait-kaitkan atau disebut-sebutkan dengan nama sendiri, karena kalau seorang teolog injili sungguh-sungguh injili, maka tentu tidak ada perbedaan ajarannya dengan Alkitab dan teologi di dan dari dalamnya. 
                Keduanya bisa saja benar, tetapi, tidak sedikit juga dengan kecemerlangan kompetensi akademiknya, sebahagian kita mulai menjadi murid Socrates, Aristoteles, Plato, Gamaliel, Paulus, Yosefus, St. Thomas Aquinas, Bultmann, Luther, Calvin, Wesley, Armenius, Barth, Nomensen, dll, atau menjadi muris dari dosen pengampu di kelasnya karena terhinotis dengan keakademisan si dosen, tanpa menjadi murid Tuhan Yesus.                
                Dalam studi teologi di STT, secara jelas makin tampak, dan karena kita makin meningkat karena sudah menjadi Sarjana Theologi, Master Theologia, Doktor Theologia, Proffessor Theologia keren tampak terpelajar dengan titel akademik kesarjanaan di papan nama dan dikartu nama atau dalam setiap perkenalan, atau makin merendah dengan S5(SD, SMP, SMA Selesai Sudah), tampaknya tidak terpelajar, Namun, jika tidak memberikan kontribusi kongkrit dalam sikap akademik teologis dan tindakan sosiologis dalam area studi yang kita geluti sesuai dengan pilihan, kesenangan dan kepentingan masing-masing wajar kita tahu diri dan mengakreditasi diri sendiri.
  • Teologi sebagai Disiplin Akademik
                Problem akademik dalam STT dan lembaga non STT teologi dalam proses pendidikan atau layanan edukasi Kristen, sebahagian masih lebih fokus pada penekanan pengalaman ekstatik dan relasi intimasi personal dengan Allah atau ecstatic experience and personal intimacy wih God istilah Gabriel S. Reynolds (Mahasiswa doktoral Islamic Studies, Yale University, 2002, h. 215), atau juga mengikuti pada “perjalanan spritual orang-orang khusus” istilahnya Parker J. Palmer (San Francisco, 1993), artinya pemikiran tokoh, tologi dan dogma yang dihasilkannya menjadi isi akademiknya. Area studi seperti ini lebih berlatar abstrak bukan tindakan atau aksi masyarakat Kristen itu sendiri. Meskipun itu menarik banyak orang iri dan ingin mengecapnya sehingga “ingin” pula menjadi Kristen.
                Problem di atas mengindikasikan arah pemahaman teologi yang selama ini dilakukanu. Meski tidak seluruhnya demikian, tetapi perlu memperluas makna teologi. Tentu pula juga penting mengurusi soal-soal realitas sosial di sekitarnya, agar mahasiswa Kristen tidak menjadi manusia ekstasist, lupa atau gagap realitas karena terlalu “ngeroh” semata, lewat sosial riset berlatar empiris. Teologi sebagai disiplin akdemik penting diseret dari pemikiran bersetting abstrak ke tindakan atau aksi berlatar manusianya memasuki realitas.
                Teologi sebagai disiplin akademik dibangun karena kegelisahan, ketidakpuasan akademik dan menyatakan penolakan terhadap realitas yang menyimpang dari keseharusan berdasarkan makna yang dikonstruksi berdasarkan Alkitab-Firman Allah. Dan sebagai keahlian akademik para pelakunya untuk memahami persoalan kehidupan Kristen. Namun, memang ada persoalan lain yang perlu diperhatikan secara ketat untuk sampai pada pemaknaan itu harus diupayakan secara akademik (academic enterpraises) untuk menjelaskan. Dan mono-pendekatan sering menghasilkan cara dan hasil pemahaman yang sangat sempit.
                Untuk itu, penting juga dengan cara lain yang berbeda multi-disciplinary dengan tetap dan tepat mempertimbangkan ukuran akademis yang kongkrit, dan dengan kaidah-kaidah keilmuannya. Bahkan perlu juga untuk hasil yang berbeda, penting dilihat dengan multi-cara yang berbeda meski ada tantangan dari pelaku dan pengguna hasil teologi tersebut. Oleh karena itu, paradigmanya bukan soal salah benar, tetapi berfokus pada apa data dan bagaimana metodologinya menyatakan salah atau benar dengan disiplin akademik yang mana.
                Pembidangan teologi sebagai ilmu atau sebagai subject matter atau sebagai course, atau sebagai mata kuliah, umumnya masih dibidangkan ke dalam 5 bidang, teologi historika, teologi biblika, teologi sistematika, teologi praktika (umum juga ini disejajarkan dengan pastoral atau kependetaan dilihat dari sisi applikasi keilmuan dalam bidang dan pelaksanaannya), dan teologi bidang umum (course yang mengkaji dan mempelajari soal sosial life di dalam Kristen, gereja Kristen, masyarakat Kristen dan di luar Kristen serta ilmu lain di luar teologi Kristen itu sendiri).
                Hampir seluruh denominasi protestan (payung “Persetia” secara organisasi naungan), kepantekostaan plus sebahagian injili atau evangelical (payung “Pasti” secara organisasi naungan) masih mengikuti ini. Mata kuliah yang diajarkan dalam kelima bidang itu sendiri memiliki penjabaran dan kompetensi akademik lewat kurikulum nasional yang dirancang oleh Ditjen PAK Depag RI, dan kurikulum institusional lokal. Namun untuk S1 setidaknya 160 sks dan S2 sampai S4 lebih banyak dari 160 dan lebih dalam, plus lebih spesifik dengan ekspertasi mahasiswa dan lembaganya.
                Saya melihat selama ini apa yang dipelajari di STT, belum sampai menyentuh core values tadi, secara umum. Artinya belajar teologi masih merupakan konsumsi untuk emperolah pandangan hidup dari dalamnya. Satu sisi ini baik, tetapi, ketika itu dalam lingkup akademik dan digelari dengan titel akademik kesarjanann, mestinya tidak melulu berkutat soal nilai dan pandangan keyakinan itu.
                Tesis statement saya “kebanyakan dari pelaku pendidikan di wilayah STT  tidak memahami dengan benar bahwa teologi dalam lingkup STT lebih luas dari pencarian atau kajian untuk memperolah pandangan hidup dari dalam konstruksi teologi yang dipelajari, dan tidaklah perlu dipahami hanya sebagai ilmu dalam disiplin akademik saja”. Ia adalah ilmu, upaya-upaya akademik dalam isi dan metodologis serta cara menyampaikan ke dalam realitas masyarakat. Ia tidaklah hanya teologi sebagai pemahaman hidup, dan ia tidaklah hanya ilmu semata pula. Ia juga konstruksi kelimuan secara terus menerus dari hasil penyampaian ke dalam realitas tadi. Oleh karenanya, pola geraknya sustainable dan circular yang tidak terputs dan terpisah. Kedanya saling mengkostruksi.
                Core values yang ingin kita konstruksi bersama dan “secepatnya lebih baik” dari sekedar pembagian kurikulum atau mata kuliah atau pembidangan teologi secara akademik; juga lebih luas dan bermakna menjadi studi, ilmu, disiplin akademik keberagamaan. Jika tidak maka yang ada adalah kuliah teologi tetapi keahlian hanya membaca teologi, atau bisanya studi banding-membandingkan salah-menyalahkan meski dengan cara yang dibuat agar tampak seolah-olah lebih akademik, kooperatif pluralis, inklusif terhadap teologi dari studi keberagamaan dikaji.
                Atu mugkinsaja metodologi atau paedagogik pelaksanaan pengajarannya tampaknya seolah-olah akademik Padahal, ujung-ujungnya missi antropho-messianik, dogmatisai, indoktrinisasi, organisasi, mazhabisasi, Alkitabisasi dan berujung dakwah kristenisasi (meski semua agama begitu karena selalu soal selamat atau tidak, jalan dan cara keselamatan. Padahal masih sama-sama pembaca, penafsir, pengira-ira berdasarkan perbedaan ukuran, dan pengkurnya dan justifikasi Teks Suci masing-masing); lebih bermakna juga dari sekedar perumpunan ilmu teologi; lebih substantif dari pelatihan  dan akumulasi kompetensi-kecakapan teologis sebagai dasar atau bekal untuk mengembangkan diri lebih lanjut dalam panggilan pelayanannya.
                Core valuesnya kita dan yang lain harusnya lebih serius dari itu semua dalam bingkai proses edukasi keberagamaaan (religiousity), menginternalisasi individuasi dan sosialisasi nilai-nilai, makna, gaya hidup (tanpa menolak-nolak “orang & yang lain”) dengan ragam pendekatan dan saling memaknai apa yang sesuai dengan kebutuhannya (tanpa menyalah-nyalahkan “orang & yang lain”) untuk membenarkan diri dan lembaga sendiri. Seharusnya membenarkan esensi dalam diri dan lembaga orang lain untuk mempertegas diri lembaga sendiri dan membenarkannya. Jika tidak, maka kita hanya terpola, paradigmatist dalam perangkap pembagian keilmuan tanpa proses edukasi keberagamaan dalam isi dan metode yang sering dinamakan “ilmu Teologi” tadi.
  • Memperluas Kajian Pembidangan Teologi              
                Secara umum titik penekanannya pada objek materil atau ontologi-pembidangan keilmuan  Historika, biblika, sistematika, praktika, dan bidang umum. Hal kelima bidang objek materi kajian itu hanya sampai pada benar dan salah; baik dan buruk; sopan dan tidak beradab; pantas dan kurang ajar; relevan dan bertolak belakang, meskipun proses edukasinya sering tampak seolah-olah akademik. Seharusnya 5 pembidangan atau perumpunan tidaklah lagi melulu hanya menekankan kajian soal teologis, tetapi relasi teologi atau peran kunci, atau nilai-nilai dasar teologi untuk mengkaji bidang lainnya.
                Saya mengamati secara mendalam lewat standar proses pembelajaran metodologi kajian dan proses paedagogis, rasanya sangat beralasan jika hal-hal itu hanya fokus pada kajian teologi dengan fokus pada rumusan-rumusan yang diambil dari Kitab Suci dan teks-teksnya keagamaan lain, doktrin dan pengajaran gereja. Padahal jika diamati secara mendalam ke 5 pembidangan itu, hanya salah satu saja dari objek materi kajian dari 7 dimensi keberagamaan.
                Ketujuh dimensi hendaknya akan memperluas paradigma kewilayah kajian teologi yang diakui dunia (the world religion’s). Saya mengikuti hasil penelitian Ninian Smart (Baltimore, 1960), setidaknya ada 7 dimensi agama yang bisa kita kajian sisi-sisi teologinya:
  • The Practical and Ritual Dimension
  • The Experiential and Emotional Dimension
  • The Narrative or Mythic Dimension
  • The Doctrinal and Philosophical Dimension
  • The Ethical and Legal Dimension
  • The Social and Institutional Dimension
  • The Material Dimension
                Dimensi Praktis & Ritual: Ini mencakup ibadah, baik personal maupun komunal, doa, khotbah, pengorbanan dan meditasi. Ini juga mencakup praktek-praktek dalam agama tertentu seperti yoga. Contohnya termasuk perayaan Ekaristi dalam agama Kristen, berpartisipasi dalam Haji, atau ziarah ke Mekkah dalam Islam, atau menawarkan puja dalam agama Hindu.
                Dimensi Pengalaman dan Emosional: Membawa berbagai fenomena religius kedalam hati atau perasaan, sehingga jadi pengalaman bahkan sering di dogmakan. Ini juga mencakup perasaan kurang dramatis, meriah, haru biru, hanyut dalam suasana-“ngeroh”, seperti rasa kesatuan dan keheningan, yang sering dilaporkan oleh orang percaya sebagai yang terjadi pada saat-saat refleksi yang tenang. Hal-hal ini sering dijadikan pengalaman personal bahkan kelompok yang dianggap sebagai penegasan iman pribadi individu dan kelompoknya.
                Dimensi Narasi atau Mistis: Ini menggabungkan cerita-cerita yang membentuk titik awal untuk banyak ajaran agama. Penciptaan mitos dibawa bersama-sama dengan bahan kesalehan dan dari kehidupan individu tokoh yang sangat kharismatis, bahkan bisa saja dikultuskan. Hal ini termasuk juga Kitab Suci agama-agama, beragam teks-teks agama lainnya, doktrin, pengakuan Mengacu pada ajaran resmi agama di dunia. Sebagai agama mengembangkan, narasi mereka dan mitos tertentu, menginformasikan dan dijelaskan oleh doktrin-doktrin yang lebih kompleks dan intelektual yang ketat atau ajaran resmi, tradisi oral yang disertakan. Alkitab Kristen, Guru, Sikh Guru Sahib dsb adalah contoh teks yang berasal dari dimensi naratif dan mistis.
                Dimensi Doktrinal & Filosofis: Mengacu pada ajaran resmi agama di dunia. Sebagai agama mengembangkan, narasi mereka dan mitos tertentu, menginformasikan dan dijelaskan oleh doktrin-doktrin yang lebih kompleks dan intelektual yang ketat atau ajaran resmi; dalam Kekristenan orang bisa menunjuk ke doktrin Trinitas, dalam Islam tawhid (keesaan Tuhan) dsb, dalam Kekristenan orang bisa menunjuk ke doktrin Trinitas, dalam Islam tawhid (keesaan Tuhan) dsb, pengakuan iman, atau aturan AD?ART dan aturan lain yang dicetak, dsb.
                Dimensi Etika & Hukum: ini mencakup aturan agama dan hukum yang berasal dari cerita dan aspek doktrinal tradisi masing-masing. Dengan mengikuti berbagai hukum atau perintah, orang percaya berusaha untuk menjalani hidup yang berbudi luhur. Dalam Taurat Yahudi ada 613 mitzvah atau perintah dan dalam Islam ada hukum syariah. Dalam tradisi Polinesia ada konsep taboo (tabu) yang membatasi atau melarang berbagai kegiatan, misalnya membatasi yang mungkin, atau tidak mungkin, dan ragam kebiasaan lain yang dijadikan etika hidup dan hukum yang sebenarnya untuk menjaga keteraturan dan keseimbangan. Dalam suku-suku, atau daerah belum modern, bahkan di kota hal-hal seperti ini sering lestari.
                Dimensi Sosial & Kelembagaan: Ini mencakup perwujudan hidup setiap agama; dan tindakan sosial pengikutnya. Aspek kelembagaan mengacu pada struktur terorganisir dan hierarki sering ditemukan dalam tradisi-tradisi keagamaan. Dalam Buddhisme, Sangha adalah nama yang diberikan kepada kedua komunitas tertentu biarawan atau biarawati dan kepada masyarakat luas umat Buddha. Dalam Katolik Roma kepausan misalnya tergolong dalam dimensi sosial dan kelembagaan.
                Dimensi Materil: Hal ini dari segala macam agama menciptakan ekspresi fisik dari iman mereka, baik itu bangunan, karya pertunjukan seni atau dramatis. Buddhisme telah menimbulkan patung besar, Kristen Ortodoks telah menghasilkan ikon atau karya seni rupa, seni pahat yang indah dan Hindu menawarkan mandirs kagum atau kuil, dan segala sesuatu yangberbentuk fisik yang bernuansa agama yang dianggap berkaitandengan keagamaan.
                Saya mengamati disinilah letak posisi teologi sebagai ilmu dalam disiplin akademik untuk mengkaji keberagamaan di dalam STT dan masyarakat diluarnya, dan itulah core valuesnya seluruh isi, metodologi kajian dan proses paedagogisnya. Ringkasnya, hal-hal mengenai keberagamaan yang harus disingkapkan dalam ke 7 dimensinya adalah sistem koheren dari kepercayaan dan praktek-praktek yang timbul dari pandangan dunia tertentu, seperti cara pandang dunia sehingga kita tidak menggabungkan perbedaan antara apa yang normal dan biasa dan apa yang spiritual atau transenden.
  • Kongkrititasnya               
                Dengan berpikir seperti ini, maka objek kajiannya bukan lagi hanya terbatasi sempit pada mono-pendekatan teologis dengan kelima pembidangan  apalagi jika hanya sekedar pencarian makna dan pandangan hidup semata. Untuk mengakhiri, jika STT sebagai Sekolah Tinggi Theologia dalam bingkai keilmuan dan disiplin akademik sewajibnya mengkaji secara khusus ke 7 dimensi agama itu secara mendalam dan secara komprehensif dengan multi-pendekatan secara keilmuan dalam disiplin akademik lengkap dengan takaran, ukuran, dan kaidah-kaidah keilmiahan baik secara empiris dan non-empiris yang ketat. Hasilnya akan memberikan kontribusi kongkrit dalam cara menjadikan teologi sebagai pandangan hidup dalam realitas masyarakat. (el-Tambunan’11).

Quotasi Literatur:
Te·o·lo·gi dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id, diakses 11 Maret 2011.
Teologi dalam http://kamusbahasaindonesia.org/, diakses 11 Maret 2011.
Eta Linnemann, Teologi Kontemporer: Ilmu atau Praduga?, Malang: Penerbit Institut Injili      Indonesia, 1991.
Gabriel Said Reynolds, The Other Islam, hlm. 194-215 dalam John Wilson (ed.), The Best            Christian Writing 2002, San Francisco: HarperCollins Publishers, Inc., 2002.
Parker J. Palmer, To Know As We Are Known: Education as A Spiritual Journey, San Francisco:                HarperSan Francisco, 1993.
Ninian Smart, World Religions: A Dialogue, Baltimore: Penguin, 1960.

Thursday, February 3, 2011

Pendidikan Siswa Berkebutuhan Khusus

Epiclog Personal: 
Secercah Harapan bagi “Orang yang Terlarang Sekolah disini” 
dan Perjuangan Hebat untuk Menemukan Makna Hidup
Epic-login Pembuka
Persoalan belajar mengajar di kampus, yang saya kelompokkan saja dalam microteaching, biasanya hanya berkutat soal teori. Hasilnya semua pelaku di dalamnya sangat teorist. Sedangkan, realteaching di lapangan diluar sistem persekolahan bertujuan untuk agar mahasiswa mendapatkan pengalaman faktual (acting in reality) tentang proses pelaksanaan pembelajaran dan kegiatan kependidikan lainnya berdasarkan pengalaman empirik. 

Faktanya, ada kesenjangan diantara keduanya. Ini penting ditangani secara cepat. Saya mengamati salah satu bahaya yang sedang dihadapi oleh lembaga dengan sistem pendidikannya saat ini adalah kedinginan perasaan terhubung dengan komunitas (loss of a feeling of community) di luarnya dan kehilangan kedekatan (loss of a feeling of connection and closeness with the world beyond the academy) dengan masyarakat, karena hanya fokus pada urusan akademik (Bell Hooks, 2003: xv). Oleh karena itu, microteaching dan real teaching harusnya sebagai forum akademik harusnya dikonstruksi melakukan sharing atau meeting. Maksudnya pembagian teori ke lapangan dan sebaliknya, singkatnya pertemuan teori dengan realitas. Lembaga dan seluruh pelakunya diharapkan menjembatani gaps (kesenjangan-kesenjangan)  pendidikan dengan kebutuhan mendsak diantara masyarakat.

Problem akademiknya dalam konteks Indonesia, ternyata tidak ada mata kuliah tersendiri baik institusional dan nasional yang dirancang secara partikular untuk Lembaga Pendidikan Agama Kristen (PAK) atau di Sekolah Tinggi Theologia (STT) di level D1-S4 (atau S- selanjutnya jika ada), yang memahami soal Siswa Berkebutuhan Khusus-Special Need Students atau Individuals with Disabilities Education. Ini indikasi kongkrit pendidikan PAK & STT tidak memiliki social sensitivity. Ironis bukan? memang, namun demikianlah adanya, mauapa lagi. Bagaimanakah alkisah di baliknya? Kurikulum yang dirancang tahun 2006 dan sebelumnya belum memikirkan soal itu. Apa maknanya? Artinya para Ahli Designer Kurukulum Hanya Fokus pada orang yang normal. 

Data akademiknya apa? Sederhana mencarinya. Bukankah umumnya syarat masuk kuliah dan menjadi mahasiswa PAK dan  STT selalu “katut” Selain adanya tulisan Kristen yang percaya Yesus dan Lahir baru (meski tidak semuanya sudah lahir baru) pasti tercantum: “Sehat Jasmani dan Rohani.” Saya pertegas artinya: Orang Cacat Dilarang Sekolah” di Lembaga STT dan PAK. Alasan sesunguhhnya dan yang lainnya, mereka yang lebih tahu. Namun, hipotesis saya adalah alasan klasik Finansial untuk memperlengkapi perangkat keras untuk sarana dan prasarana serta media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan unik tipa-tiap “mereka ini” sesuai dengan tingkat kekhususannya mahal. Siapakah mereka? 

Essay ini merupakan epiclog atau cerita-epic yang mengekspos kedalam, tentang  ketidak sensitifan lembaga yang visi dan missi utamanya adalah fokus soal humanitari, berbasis Mandat atau amanat Agung Messianik. Saya hanya ingin membuka cerita sedih ini dan membawa masuk (login) pembaca ke dalam persoalan humanitari disekitar kita-mereka di luar tembok dan pagar lembaga pendidikan PAK dan STT. Saya tidak tinggal pada keasikan cerita-epic semata, tetapi memberikan kontribusi akademik kongkrit bagaimana merancang pembelajaran dan assesment yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Essay ini dibangun berdasarkan persfektif manajemen pendidikan sebagai area studi. Ini merupakan essay self-reflexive dalam metodologi riset berdasarkan pengalaman “pengabdian” dalam mengampu mata kuliah Metode Mengajar PAK di Sekolah Tinggi Theologia. 
Mengapa berkebutuhan khusus?
Mereka adalah Individu yang membutuhkan persyaratan khusus dalam dunianya seperti untuk pendidikan dengan latar belakang yang kurang beruntung atau cacat mental, emosional, atau fisik atau risiko yang tinggi mengembangkannya (http://www.merriam-webster.com/dictionary). Individu yang memiliki Kebutuhan khusus umumnya telah diidentifikasi melalui dengan Undang-Undang Pendidikan tentang Penyandang Cacat (Individuals with Disabilities Education Act-IDEA).  Anak-anak yang telah didiagnosis memiliki keterlambatan perkembangan, atau anak yang telah dievaluasi sebagai salah satu dari daftar terbatas cacat dianggap sebagai memiliki kebutuhan khusus ketika mereka membutuhkan pendidikan khusus dan layanan terkait soal itu. 

Hampir 7 juta anak-anak cacat mendapatkan pelayanan pendidikan khusus di bawah IDEA, termasuk 270.000 bayi dan balita, 715.000 anak-anak usia prasekolah, dan 6 juta siswa dari usia 6 sampai 21  data lewat Departemen Pendidikan, Amerika tahun 2000 (E.M. Brennan & J. M. Rosenzweig, 2008: 2). Membaca data Kompas, Jumat 3 Desember 2010, hlm. 12, bahwa di Indonesia, anak penyandang disabilitas atau difabel masih mengalami kesenjangan kesempatan pendidikan. Dari sekitar 700.000 anak penyandang disabilitas, hanya 19.315 anak yang berada di sekolah negeri dan 53.037 anak di sekolah swasta. Sementara pendidikan inklusi yang diharapkan menjadi altenatifpun belum bisa dinikmati semua anak penyandang disabilitas. Pendidikan inklusi tingkat sekolah dasar hanya diikuti 13.590 anak dan menurun di jenjang pendidikan  sekolah menengah pertama menjadi  hanya 1.308 anak. Investasi pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi pun bagi anak penyandang disabilitas masih rendah. 

Sejumlah orang ini hanya sampel yang saya gunakan. Mereka terlahir tidaklah sesuai dengan harapan dan perencanaan seperti itu. Mereka ini saya definisikan sebagai “individu yang tersandung cacat”. Bagi mereka mereka adalah normal, itu sebabnya mereka asik dengan dunianya. Dugaan saya, mungkin saja mereka sering tertawa untuk mentertawakan “kita” yang bukan seperti mereka, Itu hanya anggapan kita saja. Bagi mereka kitalah yang abnormal. 

Mereka adalah normal dan jenius karena memiliki kelebihan dan kekhususan yang tidak ada pada “kita.” Bahkan untuk mengerti mereka “kita wajib berguru kepada mereka. Kita terpaksa menjadi seperti mereka, jika kita tetap mempertahankan kitalah yang normal dan mereka lah yang abnormal. Saya mengatakan “normal is over” maksudnya norma atau tidak sudah selesai. “Kita” perlu belajar bersama dengan mereka dan mereka perlu belajar bersama dengan “kita”. Jika sudah demikian data dan faktanya, bagaimana “kita” mengurai persoalan ini dan bagaimana solusi dalam proses edukasinya.
Proses Pembelajaran dan Pengajaran secara Spesial
Proses pembelajaran dan pengajaran dan strategi yang digunakan untuk merencanakan, melakukan, mengimplementasikan, mereflesikan berdasarkan penilaian-penilaian, seharusnya dirancang dan diciptakan dan disediakan untuk mendorong siswa dengan ketidakmampuannya belajar untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang konsep-konsep sains dan ilmu pengetahuan dan kehidupan yang lebih berarti, bermanfaat dan bermartabat. Semua itu bukan untuk menutupi kekurangannya atau menujukkan bahwa ia sama bahkan lebih unggul dari siswa normal, tetapi karena itulah makna sejatinya, kearah itulah route perjalanan proses edukasinya.

Proses pembelajaran dan pengajaran untuk “siswa inklusif” (karena tidak seperti itu penampakan yang mereka harapkan terjadi dalam hidupnya) seperti mereka merupakan tantangan. Ini membutuhkan skill dan “hasrat-compassion” yang murni untuk menemani dan memomongnya. Ini dibutuhkan ketrampilan adaptasi karena terlalu banyak gaya belajar yang berbeda yang harus didemostrasikan. Mereka termasuk siswa yang memiliki kesulitan khusus namun spesial untuk belajar. Belajar bagi siswa tersandung cacat memiliki masalah yang variatif, termasuk fisik, emosional, dan kognitif. Sandangan cacat ini menyebabkan perlu mengajarkan konsep-konsep yang berbeda terutama melalui penggunaan langsung, instruksi yang eksplisit dan evaluasi disesuaikan.

Belajar adalah menuntut ilmu bagi sebagian besar siswa karena kebutuhan untuk belajar mereka melalui pengamalan teknik dan kompleksitas konsep karena mereka tidak memiliki ketidakmampuan belajar normal untuk meningkatkan kemampuannya, layaknya orang-orang normal lainnya. Ini yang disebut dengan “teaching strategies: accommodations and learning styles” (David R. Wetzel, 2000: 1) maksudnya adalah strategi pembelajaran dan pengajaran lewat akomodasi dan gaya belajar siswa yang memiliki keinginan spesial. Tingkat kesulitannya sangat tinggi untuk orang normal di sekitarnya. 

Bagi mereka itulah cara yang paling normal. Bagi mereka, hidupnya  normal-normal saja. Itu yang ada di dalam memori dan ingatan mereka. Gurunyalah yang tidak normal yang menyandang cacat dan berpenyakit psikologis karena tidak memahami mereka secara personal dan secara holistik. Belajar dan mengajar ilmu dan pengetahuan bersama dengan siswa yang berkebutuhan khusus harus disesuaikan dengan tingkat kekhususan mereka, dan  melibatkan faktor-faktor lain secara bersamaan, misalnya pengetahuan psikologis dan humanisme. Ini akan sangat menentukan dan mungkin mempengaruhi hasil pembelajaran siswa  dan pengajaran guru.

Strategi Model Sentuhan-Penanganan
Strategi mengajar dan belajar yang diterapkan mahasiswa dan guru ketika mengakomodasi dan mempertemukan kebutuhan berbagai gaya belajar siswanya. Teknik dan metodik pengajaran teknik termasuk dengan penggunaan penyelenggaran grafis, perancah, praktek dengan ekstra hati-hati nan waspada, waktu ekstra nan tidak tertentukan kapan berakhir, bahan-bahan pembelajaran biasanya dicetak dalam ukuran besar dan penuh warna-warni, dan berbahan elektronik. Semuanya menerapkan konsep learning by feeling, by touching, by doing, maksudnya segalanya harus tersentuh, terrasakan dan terlakukan secara langsung dan eksplisit. Instruksinyapun dipastikan dibangun seperti itu dan pastikan bahwa siswa menyentuh secara langsung apa yang sedang dijelaskan dan ditunjukkan.  Lakukan secara jelas, tugas-tugas dilakukan bersama dengan penjelasan yang jelas tentang apa yang mereka diharapkan untuk belajar dari kegiatan ilmu dan pengetahuan.

Salah satu contoh adalah membaca langkah-langkah prosedural dari penyelidikan ilmu pengetahuan, dilakukan bersama, hasil pengamatan didiskusikan. Data yang dikumpulkan harus dicatat pada laporan sehingga dapat terus dibahas. Salah satu contoh, ketika siswa tersandung cacat mengikuti petunjuk guru untuk melakukan penyelidikan tentang negara-negara. Materi digunakan dari berbagai bahan yang bisa dipegang-pegang dan dimain-mainkan. Siswa bersama guru dengan segala sumber daya yang ada menyentuh bahan-bahan tersebut agar dikenali sifat materi dan pengetahuian yang berkaitan dengan keadaan dan materi-materi lainnya yang terdapat dalam negara-negara tersebut. 

Untuk mempelajari sains dan kosakata dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai strategi dan teknik menyelidikina dan sekaligus untuk memahami makna dari kosa kata yang digunakan dalam sain tersebut. Lainnya, bisa menggunakan flash card. Ini hanya sebahagian dari sekian banyak yang masih bisa dikembangkan. Intinya adalah membelajarkan dan mengajar siswa cara membuat atau mengembangkan peta konsep untuk mempelajari definisi kosakata ilmu pengetahuan.
Penilaian untuk Menghargai
Penilaian atau self-academic assesmentnya difokuskan pada Tingkatan yang telah dicapai. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan penilaian belajar, baik formatif maupun informal, untuk mengukur pemahaman siswa tersandung cacat. Konsepnya untuk memberikan informasi yang berguna untuk memberikan arahan untuk membantu mereka dalam proses belajarnya. Sediakanlah siswa dengan kriteria penilaian yang menggambarkan tingkat kualitas untuk setiap kriteria penilaiannya. Dengan demikian, itu tidak bergantung pada unit test atau ujian sebagai satu-satunya cara dan sarana penilaian.

Ragam penilaian secara variatif dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai penilaian seperti kuis, pekerjaan mandiri di rumah, nilai notebook-catatan pekerjaan guru, keikutsertaannya dalam partisipasi kelas, proyek-proyek pembelajaran, penyelenggara belajar berdasarkan grafis, gambar, dan yang secara kasar dapat dilihat mata, kerja kelompok, tugas tertulis, dan presentasi. Beberapa varietas ini dipakai untuk tujuan “student access to grades.” (Ibid., David R. Wetzel, 2000: 121). Maksudnya penilaian untuk dan merekapitulasi kekuatan belajar siswa tersandung cacat dan sebagai preferensi guru pendampingnya untuk membawa siswa memiliki akses kepada level kelas dan pengetahuan tingkat selanjutnya.

Mahasiswa sebagai guru atau sahabat pendamping memberikan komentar yang disebut sebagai “provide personalized feedback” (Ibid., David R. Wetzel, 2000: 211). Ini sebagai penghargaan dan penerimaan tehadap personalisasi siswa secara utuh. Setiap pertemuan harus dimulai diakhiri dengan atau memberikan umpan balik pribadi atas pada pekerjaan kelas Itu sebagai umpan balik yang berfokus pada kemajuan mereka dalam mempelajari konsep-konsep substansi kajian dan pencapaian tujuan program pembelajaran atau tugas-tugas mandiri lainnya. Salah satu contohnya adalah menulis komentar khusus pada hasil-hasil pekerjaannya unuk memberikan umpan balik tambahan tentang keberhasilan atau bagaimana mereka mencapai dan menunjukkan harapan. Ini penting karena mereka adalah kategori orang yang sedang melakukan “struggling for hope means and uncertainly” (Ibid, Bell Hooks, 2003: xiv) Ini akan membuat koneksi antara pengajaran dan pembelajaran untuk cara belajar siswa yang tersandung cacat. 
Manajemen Pelaksanaan Proses Penilaian Edukasi Khusus
Saya menjelaskan detail hal-hal yang dilakukan mahasiswa dengan dosen pembimbing dan guru pembimbing untuk penanganan terhadap siswa tersandung cacat. Ini yang disebut saya sebut sebagai “coducting planning and feedback confferences as a teachers” (Sylvia M. Roberts and Eunice Z. Pruitt, 2003: 12). Maksudnya pertemuan akademik agar dapat merencanakan dan bertindak bersama untuk memberikan penilaian penghargaan kepada siswa tersandung cacat  berdasarkan hasil-hasil penyelidikan secara cermat yang telah dilakukan. Hal itu saya jelaskan seperti dalam Tabel. 1. berikut. 
Tabel. 1. Penilaian Penghargaan Siswa Tersandung Cacat

Pendamping
Indikator Pembelajar dan Pengajaran
Indikator Hasil
Mahasiswa
  • Persiapan gaya pembelajaran dan pengajaran sesuai dengan tingkat kekhususan dankespesialan siswa
  • Ekspektasi pada proses dan pembimbingan siswa
  • Reflesipada pencapaian belajar siswa 
  • Hasil refleksi pembelajaran siswa terhadap dirinya sendiri
  • Hasil refleksi secara kepribadian tentang cara-cara mandiri dan indikasi sebagai upaya-upaya yang ditunjukkan oleh siswa
  • Hasil refleksi dari mahasiswa dan guru pembimbing di sekolah
Dosen Pembimbing
  • Rancangan model-model kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik kecacatan siswa, usia dan lamanya mengalami tersandung cacat
  • Perlebar model, konsep untuk meningkatkan pemahaman dan perdalam lewat penelitian soal proses pembelajaran dan pengajaran untuk orang-orang khusus
  • Analisis hasil dan dampak dari rancangan model-model kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik kecacatan siswa, usia dan lamanya mengalami tersandung cacat
  • Refleksikan hasil yang didapat dari aplikasi model, konsep yang direncanakan untuk meningkatkan pemahaman dan perdalam lewat penelitian soal proses pembelajaran dan pengajaran untuk orang-orang khusus

Guru Pembimbing
  • Review dan analisis data personal dan rekam medik serta terapi psikologis siswa di kelas
  • Review dan selidiki efektifitas dan dampak teknik dan metodik pembelajaran selama ini 
  • Kembangkan hasil review dan analisis data personal dan rekam medik serta terapi psikologis siswa di kelas untuk meperoleh teknik dan metodik yang paling tepat sesuai dengan karakteristik siswa
  • Analisis hasil review dan selidiki efektifitas dan dampak teknik dan metodik pembelajaran selam ini. Tingglakn yang tidak efektif, ciptakan yang baru dan demikian terus hingga menemukan formula yang ebih cocok 
Mahasiswa
Dosen Pembimbing
Guru Pembimbing

  • Diskusi bersama soal hasil review, analisis, praktikum untuk mengantar siswa tersandung cacat pada makna dan tahapan jenjang pendidikan selanjutnya
  • Observasi secara mendalam dan saling mempertimbangkan isi dan prosesnya
  • Perlebar dan perdalam topik kajian dan substansi kajian untuk menimbulkan ketertarikan secara tulus dan murni dan fokus pembelajaran dan pengajaran karena berdasarkan compassion bukan sekedar gaji dan pengabdian
  • Rancang dan hasilkan bersama metode pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kesulitan dan kekhususan penanganan siswa tersandung cacat.
  • Diskusi bersama soal hasil review selama satu semestar atau satu tahun akademik. 
  • Analisis cara pelaksanaan, praktikum mahasiswa dan guru apakah sudah mampu mengantar siswa tersandung cacat pada makna dan tahapan jenjang pendidikan selanjutnya
  • Kembali lakukan observasi secara mendalam dan saling mempertimbangkan isi dan prosesnya dengan pendekatan-pendekatan baru
  • Fokuskan topik kajian dan substansi kajian untuk hal-hal yang paling khusus 
  • Desain kembali metode pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kesulitan dan kekhususan untuk penanganan siswa tersandung cacat yang baru dan siswa yang lama.
  • Buat ekspektasi bersama untuk penanganan siswa tersandung cacat secara holistik dan lakukan penelitian tindakan kelas.
Dari tabel di atas tergambar, bahwa penanganan dan praktikum mengajar ilmu dan pengetahuan bagi siswa yang tersandung cacat yang keburu dianggap memiliki ketidakmampuan belajar, dapat dilakukan melalui kolaborasi kampus dengan sekolah, atau hasil kenerja para pekerja professional di bidang intelektual dan otak manusia. Ini dapat dilakukan dengan penggunaan beragam strategi yang variatif dan attraktif. Ini sangat baik karena siswa sendiri sebagai subjek yang sebenarnya memiliki multi-indrawi dan multi-kemampuan yang belum terekspos saja. 

Disinilah penyelidikan secara terus-menerus setiap semester dan setiap tahun akademik baru perlu dilakukan. Ini bisa dilakukan dengan penelitian tindakan kelas untuk menghasilkan teknik dan metodik proses pembelajaran dan pengajaran menekankan penggunaan penyelidikan dan keterampilan isi dan proses. Belajar bagi mereka harus dimaknai sebagai upaya-upaya academic-education enterprise untuk menyediakan siswa dengan berbagai macam metode untuk dapat dinilai secara formatif dan informal dan dihargai dan dimaknai apa adanya tingkat pemahaman konsepnya bukan melulu soal hasilnya.
Epic-logout Terakhir
Lembaga Pendidikan Agama Kristen (PAK) atau di Sekolah Tinggi Theologia (STT) di level D1-S4 (atau S- selanjutnya jika ada), yang belum memahami soal Siswa Berkebutuhan Khusus-Special Need Students atau Individuals with Disabilities Education di Universitas atau Sekolah Tinggi yang sesungguhnya bukan lagi hanya bertujuan untuk menyiapkan dan menghasilkan Guru atau Tenaga Kependidikan Keguruan. Tetapi, yang dituju adalah tentang “metode & teknik mengajarkan karena telah lebih dahulu dipelajari sendiri secara mandiri” sesuai dengan tiap karakteristik mereka yang berkebutuhan khusus. Artinya yang sedang dibicarakan adalah skill atau kemampuan teknis dan metodis untuk melakukan “sesuatu”. Hal sesuatu itu merupakan “as dynamic for collective enterprise“ (Edward C. Lindeman, 1961: 93) maksudnya sesuatu dinamika dengan upaya-upaya kolektif yang kongkrit. 

Sesuatu itu adalah soal “mengajar untuk membelajarkan diri sendiri dan orang lain” (meskipun bukan menggurui), atau belajar untuk mengajar (learning to teach), karena tidak mungkin mengajar tanpa belajar. Dalam pemahaman seperti ini maka mahasiswa akan sampai pada 4 hal penguasaan teknik, yaitu 1) pengetahuan tentang isi (content knowledge), 2) pengetahuan  tentang ilmu pedagogik (pedagogical knowledge), dan 3) ketrampilan teknis mengajar (teaching skill) (David A. Jacobsen, 2009: vi.), dan saya tambahkan keempat yaitu 4) budaya belajar mandiri (self-interdependent learning). 

Lebih luas dari itu agar mahasiswa memiliki nilai tambah dalam sikap kepribadian (performance), pengetahuan dan keterampilan sebagai tenaga profesional di bidang kependidikan yang memiliki “sense of social life”. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, bagi pembaca akan mulai tampak bersitan logika pemikiran dan kerangka kerja untuk terjun langsung dan berkontribusi kongkrit memberikan secercah harapan bagi “Orang yang Terlarang Sekolah disana” itu. Perjuangan kita adalah kisah sukses perjuangan hebat mereka yang disana untuk menemukan makna hidupnya. Semoga kita juga menemukan untuk kita dengan mencoba lebih banyak mempertemukanya untuk mereka. Semoga saja teman. (siemboen).
References:
Bell Hooks, Teaching Community: A Pedagogy of Hope, New York: Roudledge, 2003, h. xv. 
 “Special needs” dalam http://www.merriam-webster.com/dictionary diakses tanggal 24 September 2010.
E.M. Brennan & J. M. Rosenzweig, Parents of Children with Disabilities and Work-life Challenges: Presentation Summary, Massechusette: Alfred P. Sloan Work and Family Research Network, 2008, h. 2.
David R. Wetzel, Teaching Science to Special Needs Students: Learning Science by Interactive Instruction and Focused Assessment, Virginia: George Mason University, Press, 2000, h. 1.
Sylvia M. Roberts and Eunice Z. Pruitt, School as Professional Learning Communities: Collaborative Activities and Strategies for Frofessional Development, California: Corwin Press, Inc., 2003, h. 12. 
Edward C. Lindeman, The Meaning of Adult Education, Canada: Harvest House, Ltd., 1961, h. 93.
David A. Jacobsen, Methods for Teaching: Promoting Student Learning in K-12 Classrooms with My Education Lab, 8th ed., Boston: Allyn and Bacon, 2009. h. vi.