Tuesday, April 19, 2016

Ekonomi-Politik Plastik Berbayar

“Minimal harga satu kantong plastik adalah Rp200. Meskipun, ternyata dari informasi yang mudah didapatkan lewat netizen, ada sejumlah kota yang menerapkan harga di atas harga tersebut.”

Tulisanku ini pernah terbit – dipublikasikan di articles/opini waspadamedan.com (tentu setelah diedit oleh desknya, “Muhammad Faisal”), Rabu, 13 April 2016 06:29 wib.


http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=45855%3Aekonomi-politik-plastik-berbayar&catid=59%3Aopini&Itemid=215.

Sadar atau tidak, Surat Edaran Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No 60/PSLB3-PS/2015 populer dengan “SE 1230/2016” tentang plastik kresek berbayar ialah satu indikator masyarakat sedang tidak diedukasi pemerintahnya. 

Seolah menemukan momentum yang tepat ketika surat itu diuji coba secara serentak di Indonesia selama tiga bulan ke depan karena diluncurkan bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional 21 Februari 2016.

Direncanakan, kebijakan itu hendak diundangkan menjadi Peraturan Menteri,yang jangkauannya akan meluas hingga desa/kelurahan dan pasar tradisional. Bahkan,boleh dikata, masyarakat sedang dikapitalisasi oleh pemerintah dan kaum kapitalis. 

Karena dengan surat itu negara memaksa rakyat berkantong tipis untuk membeli tas kresek yang dijual oleh pengusaha berkantong tebal di warung-warung modern miliknya. Ada apa sebenarnya? Tulisan ini mau membongkar isi bungkusan ekonomi-politik dibalik SE 1230/2016 itu. 

Bungkus ekonomi-politiknya akan terbuka dengan sendirinya ketika melihat dari sisi, siapa sesunggguhnya yang lebih diuntungkan surat itu.Menarik untuk mencermati surat itu.Di sana tertulis, bahwa ketentuan itu menindaklanjuti hasil pertemuan KLHK dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Asosiasi Pengusaha Ritel Seluruh Indonesia (APRINDO). 

Ketentuan tersebut diantaranya. Pertama, pengusaha ritel tidak lagi menyediakan kantong plastik secara cuma-cuma kepada konsumen. Apabila konsumen masih membutuhkan kantong plastik maka konsumen diwajibkan membeli kantong plastik dari gerai ritel. 

Kedua, terkait harga kantong plastik, Pemerintah, BPKN,YLKI, dan APRINDO menyepakati harga jual kantong plastik selama uji coba penerapan kantong plastik berbayar sebesar minimal Rp 200,- per kantong sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

Ketiga, harga kantong plastik akan dievaluasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama APRINDO setelah uji coba berjalan sekurang-kurangnya tiga bulan.

Keempat, terkait jenis kantong plastik yang disediakan oleh pengusaha ritel, pemerintah,BPKN, YLKI, dan APRINDO menyepakati agar spesifikasi kantong plastik tersebut dipilih yang menimbulkan dampak lingkungan paling minimal dan harus memenuhi standar nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah atau lembaga independen yang ditugaskan untuk itu. 

Kelima, APRINDO menyepakati bahwa mereka berkomitmen mendukung kegiatan pemberian insentif kepada konsumen, pengelolaan sampah, dan pengelolaan lingkungan hidup melalui program tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Sosial Responsibility) dengan mekanisme yang akan diatur oleh masing-masing pengusaha ritel. 

Dan, Keenam, ketentuan ini juga berlaku untuk usaha ritel modern yang bukan anggota APRINDO.

Semakin menarik mencermatinya karena minimal harga satu kantong plastik adalah Rp200. Meskipun, ternyata dari informasi yang mudah didapatkan lewat netizen, ada sejumlah kota yang menerapkan harga diatas harga tersebut. Oleh Pemprov Jakarta memberlakukan Rp5000, di Balikpapan dihargai Rp1.500, sementara Makassar dipungut Rp4.500. 

Lebih menarik lagi ketika menyadari surat itu dikeluarkan oleh seorang menteri Siti Nurbaya Bakar, orang dan institusi yang ditugasi negara untuk memberdayakan masyarakat agar peduli lingkungan hidup dan menjaga agar hutan tetap hidup lestari serta terjamin kehijauannya. 

Artinya, ia dan kementrian serta departemen dibawahnya adalah pihak pertama yang harus mengedukasi dan memberdayakan masyarakat, khususnya yang termarjinalkan oleh modal ekonomi politik dan kekuasaan pihak tertentu. Lewat surat itu, seolah ia tidak lagi bersama rakyat yang harus dibelanya dimana seharusnya ia berada. 

Eksklusi Sosial Bagi Masyarakat Biasa Isi surat itu bisa dibongkar dengan membandingkan dengan hasil berbagai studi di negara-negara dunia ketiga. Asian Development Bank (ADB) menyadari perlunya membuat semacam penunjuk arah agar pembuat kebijakan dapat memahami masalah relitas ekonomi masyarakat,khususnya mereka yang mengalami dampak terburuk akibat dari kebijakan tersebut. 

Salah satunya adalah Active Exclusion (AE), yakni adanya berbagai regulasi yang tidak menguntungkan kaum miskin. AE mensinyalir,memang ada pemerintah tertentu sebagai anggota yang diawasi ADB tersebut menggulirkan kebijakan yang lebih menguntungkan pihak tertentu misalnya kapitalis yakni pemilik modal dan usaha, sebaliknya membuntungkan kaum miskin yang bergantung kepada produksi dan layanan jasa pemodal itu yang dijual di pasar.

Dilihat dari kacamata ADB itu, maka nampak terang-benderang bahwa isi surat itu lebih menguntungkan pegusaha dan membuntungkan masyarakat pembeli. Makin tercium aroma ekonomi-politik dibalik surat itu bila mengingat pernyataan Tuti Hendrawati Mintarsih, Dirjen Pengelolaan Sampah,Limbah, dan B3 Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menegaskan:“Kita kurangi penggunaan kantong plastik dengan memaksa mereka membayar,” Dengan mencermati isi surat dan pernyataan itu, jelaslah ada regulasi ekonomi-politik yang lebih menguntungkan kapitalis dibalik diedarkannya surat itu. 

Dan, mungkinkah ini salah satu jalan lain yang sengaja ditempuh pemerintah untuk memobilisasi sektor penerimaan uang masuk (income) lewat Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pemotongan Pajak Penghasilan (PPH) dari sektor ritel tertentu, yang harus diakui dalam sektor ini penerimaaanya selalu meleset dari target daerah dan nasional? Mestinya asumsi yang dibangun ketika akan meluncurkan surat kebijakan itu adalah“anjuran kemandirian masyarakat pembeli.”Yang diatur ialah agar masyarakat membawa tas belanja sendiri. 

Agar lebih menarik, bisa ditambahkan hadiah tertentu atau diskon barang tertentu, bila tas tersebut merupakan produk daur ulang sampah plastik bukan diharuskan membeli, mengingat Indonesia nangkring di peringkat dua dunia sebagai donator sampah plastik terbesar di lautan dunia setelah China seperti yang pernah ditulis oleh Jenna R. Jambeck, dkk (Science 13 Februari 2015, Vol. 347, hlm. 768-771) salah satu jurnal ilmu pengetahuan ternama di Amerika Serikat setelah pada tahun 2010 mereka menelitinya di dua puluh negara. 

Di samping, anjuran agar gerai-gerai pasar modern, yang kehadirannya mulai melewati batas-batas wilayah perkotaan mulai masuk hingga ke desa, tidak lagi menyediakan kantong plastik agar dengan sendirinya otomatis memaksa masyarakat untuk mengusahakan sendiri cara berbelanja sesuai dengan kebutuhan harian dan membawa barang belanjaannya. 

Bisa pula memperbanyak subsidi dan penghargaan bagi kelompok masyarakat yang sadar dan bekerja keras untuk menciptakan manajemen sampah secara kreatif di lokasi masing-masing. Ini sekaligus bukti kepedulian pemerintah khususnya KLHK terhadap kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Monday, April 4, 2016

Agama Islam: Perkembangan Modern-Pembaharuan Islam di Dunia Kontemporer

Tulisan ini ialah bagian dari silabus yang saya pakai mengajar di dua STT Kristen di Jawa Tengah. Isi pembahasan ini mengenai Agama Islam: Perkembangan Modern-Pembaharuan Islam di Dunia Kontemporer diajarkan pada semester genap/2 SKS/Februari-Mei 2016.


Tujuan:     
Akhirnya, mahasiswa memahami secara ilmiah substansi dari apa yang disebut dengan bidang-bidang keilmuan Perkembangan Moderen-Pembaharuan Islam di Dunia Kontemporer[1] (kelanjutan dan perubahan Islam dari masa klasik dan medieval) dalam bingkai kajian-kajian Islam (Islamic studies) baik secara teori maupun empiris sesuai dengan perspektif dari dalam Islam itu sendiri, tanpa melalaikan kajian terhadap teologi Islam.

Hendaknya, keilmuan itu bisa diterapkan dan digunakan sebagai seperangkat pendekatan (tanpa menyangkal dan menanggalkan iman Kristen berdasarkan Alkitab-bukan lagi karena didikte atas dasar doktrin atau pengakuan iman gereja masing-masing semata-mata) untuk mengkaji dan memaknai fenomena keilmuan itu di wilayah ‘tugas-panggilan pelayanan’ masing-masing secara empiris, sehingga mahasiswa memiliki kompetensi untuk melakukan sesuatu yang kongkrit dan berkontribusi nyata bagi kehidupan bersama (living together) diantara komunitas masyarakat beragama Kristen dan Islam di wilayah masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan ‘sikon’ lokal.

Pertimbangan Dasar Mata Kuliah:
Patut dicatat beberapa hal kritis. Pertama, mengingat jumlah SKS dalam kajian Islam yang diselenggarakan di PTAI-Pendidikan Tinggi Agama Islam, baik dalam lingkup UIN-Univesitas Islam Negeri; STAIN-Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri; IAIN-Institut Agama Islam Negeri di Indonesia, yang umumnya 140-160 SKS di program S1-Sarjana Stratum Satu (belum lagi S2, dan S3), maka tidak mungkin seluruh isi dari pengetahuan tentang Islam mampu dan tuntas dibahas di STT Kristen, memang tidak pernah demikian. Karena, pada umumnya Islamologi atau apalah namanya di STT Kristen hanya 2-4 sks.

Kedua, diantara sejumlah keterbatasan yang dimiliki civitas akademik di lingkup STT yakni hampir seluruhnya berlatar belakang ilmu dan lembaga pendidikan teologi murni sehingga tidak banyak diantara dosen yang betul-betul mahir berbahasa Arab aktif dan pasif; tidak banyak dosen yang sangat dekat dengan sumber-sumber primer keislaman, baik literatur maupun jejaring lintas akademik yang bisa dijangkau; tidak banyak dosen memiliki tingkat inteligensi yang bisa membaca dan memahami serta mengakses literatur Islam klasik dan medieval, maka perlu kiranya untuk lebih arif dan bijaksana melihat, mensikapi dan mengkaji fenomena keagamaan Islam di sekitar kita, yang terkait secara langsung dengan kehidupan kita, baik sebagai orang atau bangsa Indonesia maupun sebagai orang Kristen. Memang, harus diakui terkadang gejala-gejala yang nyata dari fenomena itu membawa impak yang memperkeruh suasana kebangsaan, dan bahkan merusak ataupun menghacurkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan kita sendiri sebagai akibat yang ditimbulkan oleh fenomena Islam maupun akibat dari keterbatasan civitas akademik di lingkup STT itu untuk memahami dan memberikan pendekatan keilmuan agar menemukan solusi apa yang bisa dikerjakan.

Ketiga, mempertimbangkan keterbatasan diatas, maka adalah lebih bijaksana dipilih mata kuliah dengan mengkontruski diskursus keislaman yang lebih genting dan kritis keadaannya untuk dikaji sebagai materi bahasan dalam kuliah ini. Isi itu penting dipilah-pilah yang memang dirasa sangat terkait langsung, atau lebih spesifik katakanlah hal-hal yang memang menghambat laju perkembangan Kristen dan mengusik rasa, martabat diri dan keutuhan Negara Kesatuan Republik (ke)Indonesia (an) dengan persoalan-persoalan agama, sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan berpendidikan, beragama dan berteologia yang rill hari ini. Pertimbangan seperti itu menjadi sangat penting tinimbang hanya membahas hal-hal yang terforsir ke dalam urusan-urusan teologis atau aqidah belaka. Disamping itu, Kajian Islamic studies, yang seringkali kita orang Kristen di STT ketahui cuman Islamologi saja, sedang mengalami pergeseran, lebih tepatnya perkembangan di Pendidikan Tinggi Agama Islam di Indonesia, yang dahulu pendekatannya datang dari ilmu tafsir teks-teks teologis atau ajaran-ajaran teologis Islam, pun hal-hal yang menyangkut ketuhanan mulai dipertipis kajiannya (untuk tidak menyebut ditinggalkan). 

Kini, kajiannya semakin dipertebal dengan pendekatan sosial sains yang saling bertalian atau terintegrasi dan terintekoneksi  dengan segala bidang keilmuan dan kehidupan.[2] Jadi, jika mereka (umat Islam) atau agama Islam yang kita jadikan sasaran pembahasan mata kuliah di kelas-kelas STT sudah berubah, mengapa pula kita tidak merubah cara pengkajian kita agar semakin memahami mereka? Hal-hal inilah alasannya, maka Perkembangan Moderen-Pembaharuan Islam di Dunia Kontemporer dianggap sebagai representasi keilmuan Islam yang cukup memadai untuk mengurai persoalan-persoalan keislaman yang terjadi akhir-akhir ini.

Keempat, masih sekaitan dengan keterbatasan itu, sejumlah literatur sebagai sumber rujukan kuliah sengaja dipilih yang sudah berbahasa Indonesia saja bukan karena pengampu tidak kompeten untuk mengakses dan membaca literatur berbahasa Inggris. Mengingat latar akademik dan universitas dimana ia kuliah, termasuk Istrinya dari Amerika-California maka ‘tuduhan’ itu tak beralasan. Lebih bijak untuk memihak kepada keadaan dan kebutuhan mahasiswa ketimbang memuaskan ego dan memelihara ‘kesombongan’ akademik dosen semata-mata, untuk itu, adalah lebih ‘simple’ bagi mahasiswa mencari sendiri ataupun membeli sesuai daya belinya membantu mereka agar merasa enteng ketika membaca bahasa yang familiar baginya. Yang diutamakan disini adalah kemudahan baca dan akses literatur tinimbang ajang pamer literatur berbahasa Inggris. Meskipun demikian, mata kuliah ini tidak ‘mengharamkan’ mahasiswa untuk berorientasi literatur asing, sebab saya sendiri sebagai dosen pengampu tentulah mempersiapkan bekal diri dan merujuk literatur berbahasa Inggris terkait dengan materi-materi keislaman yang disajikan disini.

Deskripsi Mata Kuliah:
Kuliah ini adalah bagian dari proses pembelajaran dari isi mata kuliah yang disajikan kepada mahasiswa di STT Kristen: agama Islam, ataupn ada yang menyebutnya Islamologi, yang meskipun mengikuti definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu ‘ilmu tentang agama Islam dengan seluk-beluknya.’ Namun sayang sekali, karena selama ini, para dosen pengampu di STT cuman berlatar belakang ilmu teologi murni dan sebagian besar lulusan dari STT, sehingga pada umumnya isi mata kuliah ini lebih banyak dijelaskan dari perspektif Kristen yakni dari teologi sebagai pendekatan tunggal. Akibatnya, selain mahasiswa hanya memandang teologi Islam yang muncul dari superioritas teologi Kristen. Hasilnya bisa terlihat dalam sikap akademik dan hidup saban hari, Islam menjadi ajaran teologi yang tidak dibenarkan, tidak diakui atau tidak diterima kebenaran sisi pandang Muslim terhadap ajaran dan praksis hidup agamanya karena hanya dinilai dari sisi pandang Iman Kristen. Cara pandang akademik yang narsis dan picik seperti itu, jika dilihat dari situasi dan kondisi atau ‘sikon’ keberagamaan orang Indonesia dan keindonesiaan hari ini yang sedang diupayakannya sikap mengahargai pluralitas dan multikulturalitas hari ini, menjadi tidak cocok lagi.

Kali ini, lewat mata kuliah ini, mahasiswa diajak bersama-sama untuk mengkritisi (dengan maksud untuk memahami lebih komprehensif bukan untuk menyangkal, apalagi menanggalkan iman Kristen) cara pandangnya sendiri terhadap Islam. Sekaligus, cara kritis secara akademik ini perlu diterapkan untuk mengkaji kembali (bukan membanding-bandingkan seperti yang lazim dalam tradisi ilmu perbandingan agama selama ini) cara pandang isi ajaran teologi Kristen terhadap Islam. Ini perlu dibiasakan dalam lingkup akademik agar mahasiswa STT Kristen akhirnya menjadi benar-benar memahami Islam secara ilmiah. Pemahaman ilmiah perlu dijadikan tradisi akademik agar substansi dari apa yang disebut dengan bidang-bidang keilmuan Perkembangan Moderen-Pembaharuan Islam di Dunia kontemporer (kelanjutan dan perubahan Islam dari masa klasik dan medieval) dalam bingkai kajian-kajian Islam (Islamic studies) bisa dipelajari, baik secara teori maupun empiris sesuai dengan perspektif dari dalam Islam itu sendiri.

Hendaknya, mahasiswa ikhlas untuk mengikuti proses perkuliahan secara tuntas dan mengajukan pemberitahuan, jika seandainya berhalangan hadir, dengan tetap berpegang teguh pada Iman Kristen, serta tetap menjaga kemurnian dasar doktrin atau pengakuan iman gereja masing-masing karena ia dibesarkan, di dukung oleh itu, lagipula ia berasal darisana, sehingga perlu tetap loyal pada integritas gereja lokal. Pun, betapa hidup dan dinamiknya atmosfir akademik selama proses perkuliahan, yang akan tetap menjunjung tinggi ‘mimbar kebebasan akademik’, namun, kita semua tidak boleh ‘pura-pura’ lupa terhadap adanya kode etik mahasiswa maupun tata tertib kampus di dalam dan di luar ruangan kelas yang telah dipahami dan disepakati bersama.   

Muaranya, biarlah keilmuan itu bisa diterapkan dan digunakan sebagai seperangkat pendekatan (tanpa menyangkal dan menanggalkan iman Kristen) untuk mengkaji dan memaknai fenomena keilmuan itu di wilayah ‘tugas-panggilan pelayanan’ masing-masing secara empiris, sehingga mahasiswa memiliki kompetensi untuk melakukan sesuatu yang kongkrit dan berkontribusi nyata bagi komunitas Kristen dan Muslim di wilayah masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan ‘sikon’ lokal.

Persyaratan Kuliah:
1.     Tugas harian setiap ada tatap muka di kelas yang akan diappresiasi 30%. Kewajiban akademik ini sebagai momentum bagi mahasiswa untuk mempersiapkan dirinya dengan infomasi dan pengetahuan tentang topik pembahasan setiap minggunya. Bisa dalam bentuk artikel yang diunduh dari perangkat elektronik online, catatan-catatan harian yang dibuat mahasiswa sendiri, baik yang dirangkum secara teoritik, maupun data dan fakta lapangan. Harap dipahami, yang ditekankan disini ialah belajar mandiri dan sikap proaktif terhadap diskursus mata kuliah. Memang, teologi dasar Islam sudah umum diketahui, namun tetap bisa didiskusikan dan dikaji silang (cross check) dengan sesama mahasiswa dan dosen. Meskipun harus disadari, dengan keterbatasan jam perkualiahan yang hanya satu semester dengan tatap muka ‘se-adanya’, maka jam tatap muka tidak boleh habis hanya untuk mendebat hal-hal yang terlalu biasa.
2.     Seminar presentasi yang ‘hidup’ dan menarik akan diappresiasi 50%. Kewajiban akademik ini akan mengintroduksi topik yang menggugah passion mahasiswa yang terbersit dan terakumulasi dalam dirinya selama proses kuliah sesuai dengan ‘diskursus’ mata kuliah yang ada, yang akan diseminarkan di dalam kelas dalam bentuk paper awal. Sebagai intoduksi, ini memuat atau menuliskan tesis utama dari topik yang dipilih dalam paper disertai argumentasi singkat dan tegas untuk mendukung tesis yang jelas dan kuat, yang hendaknya diimbuhkan dengan data teoritis dan empiris baik secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam hal ini, ‘dosa’ plagiarism merupakan tindakan bodoh akademik yang tidak akan terampuni disini. Untuk itu, mahasiswa dihargai nilai “F-fail. 
3.     Paper akhir akan diappresiasi 20%. Kewajiban akademik ini dilaksanakan diakhir proses perkuliahan, mahasiswa diwajibkan menyerahkan satu essay lengkap dari paper awal tidak lebih dari 3000-5000 kata atau 5-10 halaman kertas kuarto dengan 1,15 spasi, font ukuran 12 dan jenis yang mudah dibaca. Essay itu hendaklah ditulis dengan tesis yang clear, didukung lewat strong argument yang dibangun dengan logika yang runtut tidak complicated, serta menunjukkan kesadaran literatur dan kajian sebidang yang sudah ada dari para analis atau peneliti terdahulu, yang dianjurkan dengan tahun publikasi yang lebih baru, terkait topik. Mahasiswa diminta menyerahkan paper akhir lewat email, meski cara dicetak juga tetap diterima. Mahasiswa dianjurkan komunikatif dengan dosen dan sesama mahasiswa dalam motif dan maksud etik moral yang sopan, sepantasnya.

Diskursus Mata Kuliah
1. Kebangkitan Moderen Islam di Indonesia
a.         Pendahuluan, memetakan arah pemikiran dan orientasi gerakan Islam di Indonesia dari pendekatan Islamic studies di Perguruan Tinggi  
b.        Mengamati implikasi kebangkitan Islam di Indonesia: Bermula dari sisi pandang teologi Islam ke world view, darimana hendak diarahkan kemana sebenarnya?
c.         Membongkar dan merekonstruksi ulang substansi sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. ‘Merunut’ ke belakang kehadiran kedua agama ini di Indonesia agar bisa dikaji ulang fakta historisnya tentang memang ada perang teologis, perkelahian kehidupan politik dan kekuasaan yang harus diakui.  Meninggalkan kebiasaan pura-pura bisa berdialog dan rekayasa situasi agar bebas berdiskusi di mimbar-mimbar akademik, di ruang-ruang seminar dan perayaan ibadah seremonial dan formalitas secara kasat mata agar bisa memulai praksis hidup teologi ‘practical theology’ hingga hidup bersama-‘living together

Sumber rujukan:
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-   Interkonektif   (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
_______, Membangun Perguruan Tinggi Islam Unggul dan Terkemuka: Pengalaman UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: SUKA Press, 2010).
Akh Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: SUKA Press,     2013).
Saiful Muzani (ed.), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES Indonesia, 1993).
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, cet. ke-3         (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).

2. Islam dan Masyarakat
a.         Mengkaji fenomena Islam di masyarakat kota- urban dan desa-rural lengkap dengan gejala-gejalanya
b.        Membaca arah gelombang Islam transnasional
c.         Membongkar pertahanan gerakan dakwah yang sengaja diperlihatkan kasat mata dengan slogan dan tampilan inklusif ataupun terbuka di masyarakat, namun siapa sejatinya mereka dan apa tujuan akhirnya 

Sumber rujukan:
Anis Matta, Momentum Kebangkitan (Jakarta: YLIPP bekerjasama dengan             Bidang Arsip dan Sejarah Sekretariat Jendral DPP PK Sejahtera, 2013).
_______, Spiritualitas Kader (Jakarta: YLIPP bekerjasama dengan Bidang Arsip   dan Sejarah Sekretariat Jendral DPP PK Sejahtera, 2014).
Hilmi Aminuddin, Bekal untuk Kader Dakwah (Jakarta: Bidang Arsip dan   Sejarah Sekretariat Jendral DPP Partai Keadilan Sejahtera, 2012).
_______, Menegakkan Kepemimpinan Dakwah (Jakarta: Bidang Arsip dan   Sejarah Sekretariat Jendral DPP Partai Keadilan Sejahtera, 2013).
_______, Belajar dari Musim Semi Arab (Jakarta: Bidang Arsip dan Sejarah             Sekretariat Jendral DPP Partai Keadilan Sejahtera, 2013).
_______, Melindungi Dakwah dari Konspirasi (Jakarta: Bidang Arsip dan Sejarah   Sekretariat Jendral DPP Partai Keadilan Sejahtera, 2013).
_______, Ketahanan Gerakan Dakwah (Jakarta: Bidang Arsip dan Sejarah   Sekretariat Jendral DPP Partai Keadilan Sejahtera, 2014).

3. Islam dan Negara
a.         Mengenali fungsi dan peran-peran strategis Legislator, eksekutor Muslim dari Pusat, DPRD Provinsi, Kabupaten hingga Kota yang pro dan menguntungkan Muslim dan kelompok sektariannya. Mengkaji dan mengevaluasi isi peraturan daerah berbasis dan berorientasi syariah sebagai motif dan tujuannya yang menggangu mengusik kepentingan ke-Indonesia-an secara luas 
b.        Membongkar jejaring dan sumber daya serta dan peran-peran strategis Gubernur, Bupati, Walikota dan birokrat dan jajaran setingkat dan di bawahnya hingga kelengkapan administrator desa yang dimobilisasi dan dikontrol untuk kepentingan Islam dan sekaligus representasi dari Islam yang berasal dari kelompok sektarian dan ‘koalisi’ pendukungnya
c.         Membongkar ide kesatuan hubungan negara  dengan Islam yang tidak mungkin terpisahkan, mengapa dipertahankan, dan bagaimana permainan serta dampaknya

Sumber rujukan:
Hilmi Aminuddin, Ketahanan Gerakan Dakwah (Jakarta: Bidang Arsip dan            Sejarah Sekretariat Jendral DPP Partai Keadilan Sejahtera, 2014), khususnya bab: “Peran-Peran Strategis Kepala Daerah,” hlm. 63-108.
John L. Esposito, Islam dan Politik, terj. H.M. Joesoef Souy’b (Jakarta: Bulan       Bintang, 1990).
Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-partai ISLAM di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Pusat         Penelitian Politik-LIPI Jakarta, 2006).
Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Kanisius   bekerjasama dengan IMPULSE Yogyakarta, 2007).
Abdullahi Ahmed an- Na'im, Islam Dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa         Depan             Syariah, terj. Sri Murniati  (Bandung: Mizan, 2007).
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj.             Lesmana (Yogyakarta: LKiS, 1999).

Top of FormBottom of Form
4. Islam dan Politik
a.         Mengidentifikasi dan mengklasifikasi Partai politik Islam (nasionalis moderat, nasionalis-religius) yang berbasis dan berorientasi Islam dan Islam politik yang berideologi Islam
b.        Mempelajari organisasi masyarakat Islam (ormas), komunitas dan kelompok klik Muslim sebagai kekuatan dominan dan superioritas politik
c.         Menginterpretasi diri ormas dan orientasi ideologi serta mengikuti peta pergerakannya di negara dan masyarakat
d.        Menganalisis ‘manhaj’ dari kelompok paramiliter yang ‘berbaju’ ormas yang legal sebagai ekspresi budaya dan ekonomi-politik serta jejaring dan keterkaitannya dengan pihak keamanan

Sumber rujukan:
Dale F. Eickelman, James Piscatori, Politik Muslim: Wacana Kekuasaan dan hegemoni      dalam Masyarakat Muslim, terj. Endi Haryono, Rahmi Yunita (Yogyakarta:           Tiara Wacana, 1998).
Anthony Bubalo, Greg Fealy, Whit Mason, PKS & Kembarannya Bergiat jadi        Demokrat di Indonesia, Mesir dan Turki, terj. Syamsul Rijal (Jakarta:     Komunitas Bambu atas kerjasama dengan Lowy Institute for       International Policy, 2012).
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto (Jakarta: LP3ES Indonesia,             2003).
 Julie Chernov Hwang, Umat Bergerak: Mobilisasi Damai Kaum Islamis di     Indonesia,       Malaysia, dan Turki, terj. Samsudin Berlian (Jakarta:    Freedom Institute, 2011).
Ainur Rofiq al-Amin, Membongkar Proyek Khilafah ala Hizbut Tahrir di Indonesia   (Yogyakarta: LKiS, 2012).
K. Yudian Wahyudi (ed), Gerakan Wahabi di Indonesia (Yogyakarta: Nawasea     Press,             2009).
Al-Zastrouw Ng, Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI (Yogyakarta: LKiS,      2006).
Hairus Salim HS, Paramiliter NU (Yogyakarta: LKiS, 2005).
Veronika Shinta Saraswati, Imperium Perang Militer Swasta: Neoliberalisme dan       Korporasi Bisnis Keamanan Kontemporer (Yogyakarta: Resist Book, 2009).

5. Islam dan Pendidikan
a.         Menginventarisir lembaga pendidikan Islam negeri dibawah asuhan pemerintah-Kementrian Agama dan proses edukasinya seperti apa dan membaca hasil lulusan diarahkan ke bidang-bidang mana saja yang paling menonjol
b.        Menginventarisir lembaga pendidikan Islam berbasis amal usaha persyarikatan dan mengkaji hasil pemikiran dan pergerakannya dominan kearah mana saja
c.         Meneliti lembaga pendidikan Islam oleh perorangan dan organisasi transnasional dan jaringannya dimasudkan untuk tujuan apa saja

Sumber rujukan:
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun   Moderen, terj. Karel A. Steenbrink, Abdurrahman Wahid (Jakarta:        LP3ES Indonesia, 1986).
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, terj. Deliar Noer, cet. ke-7    (Jakarta: LP3ES Indonesia, 1994).
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta:             Paramadina, 1997).
Alwi Sihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap   Penetrasi         Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998).
Robert W. Hefner, ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995).
_______, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi            (Yogyakarta: LKiS, 2000).
Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam         Transnasional di Indonesia (Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The          Wahid Institute, dan Maarif Institute, 2009).

Noor Huda Ismail, Temanku, Teroris?: Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan      Berbeda (Jakarta: Hikmah, 2010).Top of FormBottom of Form


6. Islam dan Gerakan-gerakan Sosial Keagamaan dan Politik Baru
a.         Menjelajahi arus dan titik sambung antara Islam dari Timur Tengah, India, dan Cina ke Indonesia
b.        Menelusuri garis genealogi kelompok Islam dari fundamentalisme ke radikalisme
c.         Mengidentifikasi pergerakan kelompok Islam dari radikalisme ke terorisme

Sumber rujukan:
Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia        Baru, terj. Imron Rosyidi, Zainul Abas, Sinta Carolina (Yogyakarta: Tiara       Wacana, 2000). 
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan,    2002).
Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan   Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI          (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press bekerjasama dengan           Perhimpunan INTI Jakarta, 2003).
M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur            Tengah ke Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005).
Greg Fealy, Anthony Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah   di Indonesia, terj. Akh. Muzakki (Bandung: Mizan atas kerjasama         dengan           Lowy Institute for International Policy, 2007).
Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Bandung:            Mizan bekerjasama dengan Maarif Institute for Culture and Humanity, 2013).
Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad, Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di   Indonesia        Pasca-Orde Baru, terj. Hairus Salim, (Jakarta: LP3ES Indonesia & KITLV        Jakarta, 2008).
Abdul Munir Mulkan & Bilveer Singh, Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-    11:       Dilema Politik Islam dalam Peradaban Modern (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,       2011).
Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi (Jakarta: Pustaka Alvabet bekerjasama dengan Lembaga Kajian Islam       &         Perdamaian, 2012).
M. Bambang Pranowo, Orang Jawa Jadi Teroris (Jakarta: Pustaka Alvabet bekerjasama dengan Lembaga Kajian Islam & Perdamaian, 2011).
Ismail Hasani, Bonar Tigor Naipospos (eds.), Dari Radikalisme menuju Terorisme:            Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah dan D.I.            Yogyakarta (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2012).

7. Islam dan Sains, Media, dan Teknologi
a.         Mempelajari bagaimana modus operasi kapitalisme dan jejaring media Islam bersirkulasi dan berdistribusi
b.        Membongkar cara kerja ideologi, politik, setting acara dan peristiwa yang sengaja dibingkai oleh sejumlah media Islam dengan ragam jenis media, orientasi kepentingan ekonomi-politik dan boss atau raja yang mempuyai media tersebut lewat pendekatan analisis ‘framing
c.         Membaca arah ideologi dan maksud yang tersembunyi dibalik kehadiran media sosial sebagai pedang dakwah dan politik Islam

Sumber rujukan:

Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKiS,       2002).

Anis Matta, Momentum Kebangkitan (Jakarta: YLIPP bekerjasama dengan             Bidang Arsip dan Sejarah Sekretariat Jendral DPP PK Sejahtera, 2013),             khususnya Bab: “Media adalah Kunci Perubahan,” hlm. 55-70.

8. Islam dan Budaya Populer
a.         Menyelami aliran keagamaan tarekat, tasawuf, dan sufisme bernuansa kosmopolitan dalam Islam berorientasi sosial keagamaan, ekonomi-politik
b.        Menjajaki bagaimana Industri film, teater, televisi, radio, dan panggung hiburan ‘Islami’ bermunculan dan bergerak ke wilayah mana saja
c.         Mengkaji bidang industri fashion dan kosmetika ‘Islami’ serta kelengkapannya di ruang publik dikaitkan dengan bidang apa-apa saja

Sumber rujukan:
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebathinan, terj.           Hairus Salim HS (Yogyakarta: LKiS, 1999).
Martin van Bruinessen Julia Day Howell (eds.), Urban Sufism (Jakarta:     RajaGrafindo Persada kerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam dan   Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa (Malang: UIN-   Malang Press, 2008).
Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, terj. Eric           Sasono (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015).



                [1]Penyebutan ini diambil dari Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan Implementasi (Yogyakarta: SUKA Press, 2010), hlm. 130,132. Namun, untuk lebih mengerti konteks keseluruhan penyebutan itu hendaknya dibaca Bab VII: “Pendekatan dalam Pengkajian Islam di Indonesia,” hlm. 119-142.
                [2]Keterangan ini saya buat berdasarkan apa yang saya alami sendiri, juga berdasarkan diskusi-diskusi akademik selama proses perkuliahan baik di dalam kelas maupun di luarnya bersama dosen-dosen dan mahasiswa program Doktor, Jurusan Islamic Studies dimana saya adalah mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2009 silam. Agar semakin jelas, silahkan baca keseluruhan, Zainal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi, Afnan Anshori (eds.), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan Bekerjasama dengan  Masyarakat Yogyakarta utuk Ilmu dan Agama Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada dan SUKA Press Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005), khususnya Bab 12, Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif Interdisiplinary.”

Sunday, September 27, 2015

KONTRAK POLITIK KRISTEN DAN ISLAM: Oikumene dan Gerakan Sosial Politik

Makalah ini hanya sebagian kecil saja dari yang pernah saya sampaikan dalam Annual Meeting  2015, Simposium ATI- Asosiasi Teolog Indonesia, Selasa,  4 Agust 2015, di Wisma Samirono, Yogyakarta.


ABSTRAK
Bicara gerakan oikumene dalam diskursus organisasi keagamaan sejak tahun 1950-an argumen yang mendominasi masih tentang keesaan atau kesatuan gereja. Itu kerap diterjemahkan kerjasama antar gereja secara sempit. Lain halnya, tulisan ini berikhtiar membongkar kompleksitas oikumene dari sisi politik.  Pendeknya, oikumene juga dimobilisasi sebagai gerakan sosial dan politik saat musim dan kesempatan politik ada. 

Berlatar Kota Salatiga, tulisan ini membahas bagaimana cara pendeta menegosiasikan kepentingan politik Kristen diantara sesama komunitas Kristen dan kaum Islamis dalam momentum pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Salatiga periode 2011-(2016). Dengan paradigma kualitatif dibantu teori-teori sosiologi-politik agama sebagai acuan, memakai teori-teori gerakan sosial dan politik identitas sebagai pisau analisis, etnografi sebagai teknik riset, wawancara mengumpulkan data, tulisan ini mencari titik simpul bertemunya Kristen dengan Islam politik. Dari situ muncul tafsir gerakan oikumene dan percakapan antar iman yang tidak biasa.
Pendeta gereja adalah fokus kajian. Pertama, mereka yang tergabung dalam Badan Kerjasama Gereja-gereja Salatiga (BKGS) mendukung Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota nomor urut 2 Diah Sunarsasi-Tedy Sulistio (Dihati) diusung koalisi PDIP-PAN-Golkar-PDS dan PNI Marhaenisme. Teddy Ketua DPRD Salatiga, kader PDIP, seorang Kristen dan PDS dianggap representasi identitas dan kepentingan Kristen. Kedua, pendeta Persekutuhan dan Pelayanan Hamba Tuhan Garis Depan (PPHTGD) pendukung nomor 3 Yuliyanto-Muhammad Haris (Yaris) diusung koalisi PIS-PKS-PPP dan Demokrat.

Karena keterbatasan ruang, kajian ini hanya dikaitkan dengan identitas diri Haris sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kaitan gerakan oikumenis dengan PKS ini menarik karena sebagian sarjana dan peneliti Muslim menyatakan PKS “musuh dalam selimut.” PKS disebut-sebut beragenda Islamisasi negara dan masyarakat lewat formalisasi syariat Islam walau PKS menyebut partai terbuka dengan isu populis-humanis lewat komunikasi politik ketika tampil di publik.  

Data empiris menunjukkan, identitas sebagai Kristen menjadi konflik kepentingan tersendiri diantara sesama pendeta dan umat lain, itu masih harus ditegakkan lewat perjuangan yakni kontrak politik dengan calon secara resmi; kontrak politik adalah alat dan kepentingan politik sekaligus kesempatan meretas sistem pemerintahan yang immune terhadap Kristen selama ini dalam bingkai menegosiasikan kepentingan orang Kristen; kontrak politik sebagai alat peredam ekspansi Islam politik sekaligus memobilisasi isu, aksi kolektif, dan jejaring massa memprotes tirani mayoritas penindas Kristen di rumah besar NKRI.
 

PENDAHULUAN


Ada bukti empiris bahwa gerakan oikumene digunakan sebagai alat negosiasi kepentingan lewat kontrak politik antara kelompok kepentingan Kristen dengan Islam politik. Oikumene yang biasa dipahami sebagai gerakan saling membagi identitas masing-masing dalam gerakan fellowship gereja serta gerakan penyatuan dan kerjasama antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam kekristenan.[1] Namun, pada saat yang sama oikumene juga dipakai sebagai gerakan sosial politik diantara sesama anggota dari dua kelompok kepentingan, yakni BKGS dan PPHTGD untuk mendukung pilihan Cawawali dari masing-masing terkait Pilwalkot Salatiga 2011.

Dari sini terlihat kompleksitas oikumene yang penting untuk diurai. Rupanya pertemuan oikumenis yang sebelumnya simbolik dan formalistik kesannya ‘disulap’ menjadi gerakan sosial politik demi alasan menegosiasikan kepentingan diri dan kelompok. Tak lagi bisa disembunyi-sembunyikan; gerakan oikumene juga sebagai gerakan sosial politik ketika momentum dan musimnya datang.
Yang dimaksudkan gerakan sosial politik disini ialah dimana sekelompok individu berpikiran sama yang tergabung dalam sebentuk organisasi informal dalam upaya-upaya kolektif untuk menjalankan atau pun untuk mencegah perubahan sosial lewat kegiatan-kegiatan yang masih berkaitan dengan politik.[2]  Sedangkan, kelompok kepentingan disini sering juga dikenal dengan kelompok penekan ialah kelompok yang memperjuangkan suatu kepentingan dan mempengaruhi lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan, atau menghindarkan keputusan yang merugikan.[3]  

Sedangkan, maksud dari term politik disini seturut dengan perspektif Harold D. Lasswell (1936), yakni dari politik sebagai tujuan dan kekuasaan. Kedua hal itu dalam konteks politik diposisikan sebagai kemampuan untuk berpartisipasi dalam keputusan yang diinginkan. Baginya, kekuasaan politik sebagai kemampuan untuk menghasilkan efek yang dimaksudkan pada orang lain. Dalam politik selalu ada siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana mendapatnya.[4] Karena gerakan oikumene  dimobilisasi oleh pendeta-pendeta gereja, bukan oleh jemaat gereja, maka mereka menempatkan diri sebagai kaum elit Kristen lokal sebagai representasi jemaat dan umat Kristen Salatiga. Disini terlihat bahwa elit sebagai pemegang utama kekuasaan 

Menurut Rodney, Mary, dan Marcia, konsentrasi utama studi politik Lasswell terarah kepada basis politik elit masyarakat. Baginya, salah satu faktor dari basis keterlibatan elit berpolitik bukan hanya pada kepastian status atau materi (status qou, yang sering diartikan: mempertahankan kekuasaan bisa untuk kebaikan dan juga kejahatan), atau tidak untuk menetapkan posisi elitisnya agar eksis, tetapi juga sebagai orientasi atas ketidakamanan (insecurity) yang sedang terajadi.[5]  

Perlu diingat, masa transisi[6] Orde Baru ke Reformasi di Indonesia juga merembes ke gereja. Banyak terjadi kekerasan massal dan sistematis di level lokal menimpa Kristen, misalnya, Poso dan Maluku. Disamping itu masih banyak contoh terjadinya pembalakan gereja dan tindak kekerasan bahkan pembunuhan pendeta di masa itu.  Hampir tidak ada provinsi yang terbebas dari jenis kekerasan dan konflik agama. Pendek kata, konflik komunitas dan kekerasan antar agama menjadi fenomena yang umum terjadi.[7]   

Tulisan ini hendak menjawab kegelisahan akademik bagaimana cara pendeta menegosiasikan kepentingan politik Kristen diantara sesama komunitas Kristen dan kaum Islamis dalam momentum pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilwalkot) Salatiga periode 2011-(2016). Sesuai dengan pertanyaan itu diharapkan ada jawaban dari hasil riset lapangan, sehingga akan bisa menunjukkan dimana saja titik simpul bertemunya kepentingan Kristen dan Islam politik.  

Apa boleh dikata, realita ini seakan menampik argumen-argumen arus utama yang mendominasi ketika berbicara gerakan oikumene sejak tahun 1950-an hingga hari ini, biasanya terbingkai ke dalam keesaan atau kesatuan gereja, yang kerap diterjemahkan amat sempit, yaitu dalam rangka mengadakan hubungan dan kerjasama intim antar gereja se-Indonesia.  

Tidak mengada-ada jika setelah membahas fenomena ini akan muncul tafsir gerakan oikumene dan percakapan antar iman yang tidak biasa, setidaknya versi pemahaman subjek setelah ditanyai.  Disamping itu, ada niatan lain untuk melihat fenomena gerakan oikumene yang umum dalam kajian teologi dari pendekatan gerakan sosial politik dan politik identitas.

Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>> 

CATATAN METODOLOGIS

Bagaimana proses kerja lapangan untuk mendapatkan data dari sumber kunci primer diungkapkan disini untuk menghilangkan keraguan-keraguan orang terhadap data temuan. Meski berKTP Salatiga, sebagai pendeta dan dosen STT (bukan gembala sidang gereja) dan direktur Preschool (PAUD-TK), apalagi sebagai Kristen lokal, saya akan menempatkan kajian ini pada posisi peneliti sebagai orang luar (dalam artian bukan pelaku) yang terlibat mengamati fenomena adanya gejala-gejala agama dalam relitas politik. Kendati demikian, harus diakui ada saja sisi-sisi subjektif peneliti yang Kristen tak terhindarkan. Namun subjektif itu berbarengan dengan objektifitas yang tetap lebih tebal.[8]
Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>> 

POLITIK IDENTITAS MENJADI POLITIK
PERSELISIHAN

BKGS dan PPHTGD sebagai fokus kajian ditempatkan sebagai komunitas masyarakat beragama Kristen Salatiga akan dibahas terlebih dahulu. Selanjutnya ditampilkan pembahasan tentang PKS sebagai representasi Islam politik. Disini tidak akan dirinci sejarah berdirinya karena tulisan ini bukan historika, namun pada gerakan sosial politiknya dalam momentum Pilwalkot, meskipun sketsa historis dimasukkan juga. 


Politik perselisihan [9] ialah interaksi kolektif menegang yang terjadi di antara pembuat klaim berlangsung periodik dan makin menggelembung ke publik sering kali tak terbendung dan tak tertutupi. Sejumlah orang, oganisasi, kelompok, bahkan negara-pemerintah  terlibat sebagai subjek dan objek saling mengklaim kebenaran sendiri. Mereka saling dipengaruhi-mempengaruhi kepentingan. Dari situasi persitegangan inilah politik perselisihan terjadi yang mengacu pada perjuangan politik kolektif.


Sosiolog sejarah Charles Tilly mendefinisikan politik perselisihan sebagai interaksi dimana aktor membuat klaim dengan membawa kepentingan orang lain, dimana pemerintah muncul baik sebagai target, pemrakarsa klaim, ataupun pihak ketiga.[10] Definisi ini bisa dengan tepat menggambarkan apa yang terjadi didalam keterlibatan BKGS dan PPHTGD dalam momen Pilwalkot. 


Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>>

 

KONTRAK POLITIK
Saya akan jelaskan kontrak politik dari sisi sosiologi politik, bukan dari sisi hukum
formilnya. Kontrak politik ada yang menyebut perjanjian sosial atau kontrak sosial, ialah sebuah teori yang menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada seseorang atau lembaga yang disepakati, sehingga sumber kedaulatan negara berasal dari rakyat dan memperoleh legitimasi melalui kontrak sosial antara dua pihak. [11] Kontrak politik adalah salah cara yang biasa digunakan oleh gerakan politik untuk memuluskan langkahnya dalam mencapai tujuan politiknya. 

J. J. Rousseau sebagai penggagas ide-ide politik dibingkai oleh pertimbangan situasi politik itu. Ia menuliskan adanya realita ketidaknyamanan  dalam struktur pemerintahan kota dan keberlangsungan hidup warga, maka  dari kontrak politik sebagai usaha untuk menagih atau menebus janji dan untuk mengurangi ketidaknyamanan politik.[12] 

Saya akan menjelaskan ide dibalik dan proses lahirnya kontrak politik tersebut, dan pembuat draft kontrak politik tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan pelakunya sendiri. Hal ini akan dikisahkan seperti berikut.

 Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>>

KESIMPULAN
Momentum Pilwalkot sebagai even untuk renegosiasi diri kedalam kelompok dan keluar, bahwa adanya kesadaran kelompok lain. Ia juga sebagai bukti empiris bahwa gerakan oikumene digunakan sebagai alat negosiasi kepentingan lewat kontrak politik antara kelompok kepentingan Kristen, dan untuk membuka konstituen baru lewat jalan kerjasaa dengan pendeta bagi partai islamis. Artinya, dinamika politik lokal mampu menggoncang identitas diri sebagai Kristen atau Islam.
Titik simpul gerakan oikumene dan politik itu bukan pada kesamaan atau kebedaan organisasi agama, tetapi bertumpu pada tokoh agama dan ikon partai karena mereka sesungguhnya yang berkuasa, bukan selalu kekuatan dibelakangnya, meski terus diantisipasi. PPHTGD memilih menjadi kelompok penekan yang memiliki kepentingan sendiri. Ia menekan lawan dengan kertas, bukan kampanye politik semata. Sesama teman perlu digerakkan agar makin bertenaga.
Islam politik harus diikat agar bisa dtunggangi dari dekati, semakin di dekati semakin kuat ikatannya, sebaliknya semakin dijauhkan semakin liar tak terkendali. Akta perjanjianlah sesungguhnya tali pengikat, disanalah janji dan ikatan itu termuat. Meski hanya sebagai perjanjian publik, bukan hukum positif ia mampu menembus immunitas ketidak berpihakan negara kepada gereja, jika dilihat dari fakta rumitnya urusan menimbun batu bata menjadi rumah ibadah.  Jadi, dimanakah adanya titik simpul antara gereja dan Islam politik itu? Ia jelas di dalam diri ikon dan identitas wawali.
Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>>





                [1]Christian Smith, “Correcing a Curious Neglect, or Bringin Religion Banck in,” in Disruptive Religion: The Force of Faith in Social Movement Activism, ed. Christian Smith (New York: Routledge, 1996), 17.



                [2]Konsep gerakan sosial digunakan sebagai payung istilah untuk menyebut koalisi atau aliansi kelompok pada berbagai  tingkat institusionalisasi yang masing-masing bertujuan untuk mengatasi masalah bersama serta imbalan atau hasil yang didapatkan. Artinya, gerakan sosial dilihat lebih leluasa bisa meliputi partai-partai politik dan kelompok-kelompok yang bermain dibelakang sebagai penekan, penumpang bebas atau tidak terorganisis gerakan, dan juga kelompok-kelompok keagamaan yang lebih informal. Keith Faulks, Political Sociology: A Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1999), 87.


                [3]Miriam Budihardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1989), 162.


                [4]Harold D. Lasswell, Politics: Who Gets What, When, and How (New York: MacGraw-Hill, 1936), 264.



                [5]Rodney Muth, Mary M. Finley, Marcia F. Muth, Harold D. Lasswell: An Annotated Bibliography (Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers, 1990), 76.



                [6]Henk Schulte Nordholt, Ireen Hoogenboom, Indonesian Transitions (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 23.


                [7]Adriana Elisabeth, “The Indonesian Experience in Implementing Democracy” in Democracy in Muslim Societies: The Asian Experience, ed. Zoya Hasan (New Delhi: Sage Publications India Pvt Ltd, 2007), 88.


                [8]Tebal = a thick description, cara kerja etnografer untuk mencari makna dan menjelaskan secara dalam. Asumsinya, tindakan manusia selalu berdasar pada sejumlah jejaring makna. Etnografer dituntut terjun dalam jejaring makna untuk mengetahui dan menganalisis apa sesungguhnya yang terjadi. Etnografi bukan isi paparan realita lapangan yang ditemui tetapi dituntut menganalisis yang dihadapi dan menentukan arti dan landasan sosial peristiwa sarat makna. Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 5-6, 9-10.


                [9]Doug McAdam, Sidney Tarrow, and Charles Tilly, Dynamics of Contention (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 5; Politik perselisihan (Contentious politics) juga digunakan sebagai teknik mengganggu pembuat kebijakan politik, atau untuk mengubah kebijakan pemerintah, misalnya lewat demonstrasi, aksi pemogokan umum, huru-hara, terorisme, pembangkangan sipil, dan bahkan revolusi atau pemberontakan. Gerakan sosial sering terlibat dalam politik perselisihan.


                [10]Charles Tilly, Contentious Performances (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 5.


                [11]G.H. Sabine, A History of Political Thought (New York: Collier Books, 1959), 398.


                [12]Victor, Gourevitch (ed.), Rousseau: 'The Social Contract' and Other Later Political Writings (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1997), ix.