Monday, April 22, 2013

Pengembangan Mentoring: Bagaimana Mendidik Anak dan Remaja di Pelayanan Kristen?


Posting ini membicarakan soal Pengembangan Mentoring untuk Anak dan Remaja di Pelayanan Kristen. Kali ini yang dijadikan sebagai fokus pembicaraan adalah pelayanan PPA-Pusat Pengembangan Anak di Daerah Bejalen Ambarawa-Bandungan. Artinya, teks ini diambil dari Retreat Staf, Komisi, Gr. Sek. Minggu dan  Mentor PPA Rahayu IO 973 Bejalen Ambarawa-Bandungan, Minggu, 28 Agust’2011. Tujuan pembicaraan disini, sehingga Mentor memahami peran mentor, tahu caranya, ngerti kebutuhan dan  karakteristik, temukan dan kembangkan potensi mentenee.



Aku seorang Mentor!


Hei Mentor! Apakah memang benar kamu tahu apa yang sedang “You” kerjain, SEKARANG??? Pertanyaan ini, untuk menggugat dan menggugah apa arti sejatinya bekerja (dalam arti bertanggung jawab, berkewajiban) dan yang “digaji atau diupah”menjadi mentor. Disini yang diinginkan keterbukaan dan kejujuran untuk “menghakimi” diri sendiri. Bukan orang lain, apa lagi 2 hal, yakni materi dan fasilitas yang ada. Mengapa? si Unyil juga sudah tahu, bahwa sejak dahulu kedua hal ini sudah jadi masalah besar dalam pelayanan Kristen di semua tempat.




Apa yang kita Urusi Disini?

Terlepas dari soal sebelumnya, fokus kita kali ini adalah soal pelayanan mentoring dalam semua level dan tipe pelayanan Kristen. Saya lebih suka mengartikan mentoring sebagai tanggung jawab spiritual, sosial dan intelektual untuk merawat dan memandirikan anak dan remaja sesuai dengan karateristik, pengalaman hidupnya, tanpa memperdebatkan status fisik, psikis, sosial, apalagi agama dan organisasi gerejanya.




Lewat pelayanan mentoring, saya berharap tinggi dilaksanakan dengan spirit edukasi ke edukasi yang nyata dengan spirit revivalis. Hasilnya bisa memunculkan pelayanan yang mengalami kelahiran baru atau “renaissance.” Saya mengartikan kata ini mengikuti Paul Enns. Renaissance atau “new birth”[i] maksud saya kelahiran baru, baik secara spiritual, sosial apalagi secara intelektual. Tetapi ini, saya terjemahkan lebih khusus sebagai “kebangkitan intelektual,” mengambil tempat di seluruh pelayanan dan pendidikan Kristen.




Kini waktu yang paling tepat, terjadi kebangkitan reivalisme intelektual lewat pelayanan di
gereja, dan yayasan atau semua yang di luar sistem persekolahan, sebagai metode dan media kerjanya. Kebangkitan ini khususnya terkait erat dengan pelayanan mentoring yang cocok dengan pesoalan, karakteristik dan keunikan atau kekhasan wilayah masing-masing. Alasan saya, sederhana sekali. Jika selama ini kita bisa dan biasa melakukan kebaktian kebangunan rohani, berarti bersama dengan TUHAN, kita juga mendoakan dan melakukan kebangkitan dan kebangunan sosial dan intelektual. Kedua hal ini harus bisa diposisikan bernilai atau bermakna dan bertujuan yang sama.

           


Disini, pelayanan mentoring menjadi instrumen untuk revivalis tadi. Mentoring dalam berbagai wujud dan manifetasinya dalam kegerejaan diharapkan menjadi spirit pembangkit komunitas pembelajaran untuk kemajuan Kristen[ii].  Jika kita tidak menyanggah itu, maka tidak salah jika Norma Cook Everist berkata” the church as learning community.”[iii] Artinya, gereja (lengkap dengan seluruh jenis pelayanannya)  sebagai komunitas belajar yang komprehensif untuk pendidikan keberagamaan Kristen.




Gereja dalam spirit ini penting mengetahuinya agar seluruh pelayanannya dan orang-orangnya melakukannya secara integratif (maksudnya: terpadu atau menyatu) antara cara-cara spiritual, sosial dan intelektual.  Jika kita sepakat dengan itu, maka pengajaran agama Kristen harus juga diposisikan sebagai ilmu[iv]. Gereja dalam seluruh dimensi pelayanannya, baik administrasi, penjangkauan, dan pendampingan pastoralnya, disini berfungsi sebagai komunitas belajar.




Mengapa Pelayanan Mentoring Kristen?


Mentoring, anggap saja itu hanyalah nama atau attribut dan identitas pembeda (bukan membeda-bedakan) yang kita berikan. Lalu disebut Kristen, hanya karena dimaksudkan untuk mengedukasi seluruh dimensi kekristenan, baik yang tertulis dalam Kitab Suci atau “in book” dan dalam kehidupan keseharian atau “daily life”. Inilah yang penting untuk dipahami gereja dalam melaksanakan tugas-tugas dan praktek Kristen.

           


Kalau begitu, sangat terlihat jelas, bahwa proses pelayanan mentoring hanya sebagai metode pengajaran Firman Tuhan saja, itu bukan tujuan akhir, dan bukan itu segala-galanya. Mentoring hampir sama nilainay sebagai guru atau pendidik Kristen dalam artian sebenarnya yang memiliki metode untuk dilakukan. Mentoring dipekerjakan untuk memimpin mentenee (baca: menteni, yakni orang yang dilayani mentor), sebagai orang atau manusia menjadi pelaku makna FirmanNya yang tertulis dalam Alkitab. Ia menjadi hidup dan memiliki hidup yang berarti atau berharga sesuai dengan nilai-nilai utama dari Firman Tuhan. Ia kemudian mengindividuasikannya ke dalam seluruh dimensi kehidupannya. Artinya fokus kita adalah mentenee agar ia dengan cara dan upayanya sendiri bisa mengejar pertumbuhan spititual, sosial dan intelektualnya sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya[v]




Jangan berhenti disitu saja, harus lebih maju setapak lagi. Setiap mentenee, orang dan jemaat atau apalah namanya mensosialisasikan pengetahuan, pengenalan, perasaan dan perbuatan tentang ada atau hadirnya Tuhan di dalam hidupnya, di dalam realitas komunitas masyarakat beragama Kristen dan komunitas sosial lain yang lebih luas. Itulah indikator positif, bahwa ia telah menginternalisasikan Firman Tuhan itu, dan memberikan komitmen setia terhadapnya.




Memang Untuk Apa Lagi?

Kita semua, penting merenungkan kembali, keterangan dari Norma Cook Everist, bahwa pelayanan mentoring Kristen hanya sebagai alat “penginjilan” bukan Kristenisasi. Tetapi Kristusisasi, terlepas dari oraganisasi dan nama gereja atau yayasan si Mentor. Mentoring hanya dipekerjakan sebagai instrument alat untuk penjangkauan dalam pemahaman soal kekristenan yang benar[vi]. Tetapi, jangan lupakan masih ada orang lain, dan agama lain yang hidup bersama dengan kita, bahkan mungkin saja satu rumah, satu piring atau satu tempat tinggal dengan kita. Mereka ini harus dihargai dan diterima apa adanya. Hebatnya sang mentor diwakilkan Tuhan untuk melakukannya karena ia dipercayaiNya.




Sekali lagi, saya memahami, bahwa tujuan akhir dari pelayanan mentoring itu, seperti kata Kenneth O. Gangel adalah menjadikan semua orang sebagai Kristen yang matang atau dewasa secara spiritual atau “Christian maturity”.[vii] Tetapi bukanlah selalu harus diterjemahkan sebagai upaya-upaya Kristenisasi. Tetapi, kita lebih fokus pada kematangan spiritual, sosiologis, dan intelektual, itulah yang bisa berdampak kongkrit di arena sosial yang lebih luas. Itulah nilai-nilai utama dari pelayanan mentoring terlepas dari dimana tempatnya dilakukan.

           


Jika demikian, maka setiap mentenee dalam pelayanan mentoring ini seharusnya dirawat dan dimandirikan untuk menjadi Orang Percaya dan Kristen yang dewasa, yang terikat atau termasuk dan memberikan komitmen kepada Kristus. Inilah yang membuat mentenee bisa hidup sesuai dengan nilai-nilai dalam komitmennya. Jika itu yang kita lakukan, maka saya tidak membantah keterangan dari Norma Cook Everist, bahwa inilah tanggung jawab sosial dan nilai-nilai inti yang diamanahkan Tuhan kepada mentor.[viii] Tetapi agar berhasil, mentor harus dipercayai dan diberikan kepercayaan dan kebebasan untuk mereka. Dengan kepercayaan dan dukungan penuh banyak orang yang sukses penuh dalam hidupnya. bahkan biasanya orang-orang seperti ini, malah yang diremehkan awalnya.




Dengan pengertian kayak begini, maka para peminat dan peniat di pelayanan mentoring perlu diposisikan menjadi orang Kristen yang proaktif untuk mendesain sendiri dan secara tim pelayanan mentoringnya. Semua orang adalah anggota tim dalam artian sebenarnya. Dengan itulah mentor bisa dan bebas berpikir dan berpandangan luas atau “world wide views”. Bukan untuk kemasyuran sendiri-sendiri, tetapi dengan tujuan perawatan dan pemandirian orang Kristen. Intinya, ternyata kita semua dipanggilNya (terlepas dari cara dan proses pemanggilannya) untuk merencanakan dan melakukan kebangkitan spiritualisme, sosialisme dan intelektualisme tersebut.




Apa yang Kamu Tahu dan Dengar Soal Mentoring Selama Ini?

Mungkin saja banyak orang, jika membaca pernyataan Kathleen Feeney Jonson mengaminkannya. Mentor yang baik harus memiliki pemahaman yang komplit terhadap bidang pekerjaannya. Maksudnya ilmu atau teori dan prakteknya dilihat dari pengalamannya. Selain itu, mentor harus peka terhadap “semua” kebutuhan diri mentenee, sehingga mentor dapat mentransformasikan strategi pengajaran yang efektif untuk membantu mentenee. Dan biasanya nasihat lainnya adalah jangan lupa menjadi pendengar yang baik[ix]. Mungkin saja lebih setuju lagi dengan kalimat indah dari Ronald J. Sider, Philip N. Olson, Heidi Rolland Unruh, mentor harus cerdas membangun hubungan emosional dengan mentenee[x].




Tampaknya memang begitu. Tetapi, mari kita rehat dan regangkan pikiran sejenak. Jika itu benar, mengapa masih banyak masalah di dunia permentoran? Artinya, Jika memang masih ada masalah, berarti hal itu hanya seindah bunyi dan tulisannya, faktanya hal itu tidaklah seluruhnya benar.




A. Leigh DeNeef, Craufurd D. W. Goodwin anggota Lembaga Ilmu Pengetahuan Amerika, memberikan sejumlah saran berguna jika ingin menjadi mentor yang baik. Pertama ada keinginan dari mentor untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman[xi]. Kedua, mentor harus melihat dan merasakan sendiri mentenee merasa nyaman mendekati mentor mereka, meskipun masih saja ada yang akan malu, terintimidasi, atau enggan untuk mencari bantuan.




Lain lagi, sering kali mentenee merasa tidak akan tahu apa pertanyaan yang tepat untuknya dan bertanya untuk apa. Lalu dengan secepat kilat, mentor ingin membantunya, karena merasa itulah tanggung jawab dan tindakan yang terbaik dari seorang mentor. Oleh karena itu, mentor sering langsung berpikir, seorang mentor yang baik adalah yang mudah didekati dan selalu tersedia untuk didekati, atau “saat aku butuh kau selalu ada”.




Jika seperti itulah yang dipikirkan mentor, maka tidak heran sang mentor bisanya akan bertindak cepat, dan selalu memberikan waktu, bahkan hidup dan uangnya untuk mentenee. Hal itu kelihatannya memang begitu, apalagi jika mengingat perkataannya Dona Rinaldi Carpenter dan Sharon Hudacek,  bahwa kualitas dari seorang mentor yang baik harus empatik pada kepentingan pribadi dalam diri mentenee, dan mampu berbagi dengannya[xii]. Tetapi, sekali lagi, saya mengajak berpikir lebih kritis lagi, apa memang hanya demikian?

           


Saya tidak setuju, karena hal itu membuat menteneenya terikat, terlibat secara emosional. Hasilnya mudah diprediksi, ia tergantung penuh pada mentornya. Ini bukanlah mentor yang tepat untuk orang seperti ini. Mengapa, jika dilihat dari sisi sebaliknya. Malahan si mentor menambah kerunyaman karena ia tidak berhasil memandirikan, mendewasakan si mentenee untuk menolong dirinya.




Terakhir, Edward C. Sellner adalah seorang professor teologi pastoral dan spiritualita theologi di  College of St. Catherine in St. Paul, Minnesota, dalam bukunya, masih fokus menjelaskan soal mentoring adalah pelayanan persahabatan spiritual[xiii]. Ia fokus menjelaskan bagaimana praktek mentoring yang cakap untuk hubungan mentoring, berakar dan berdasar dalam kasih Kristus. Hasilnya akan cakap juga menempa persahabatan cepat, menyembuhkan luka dari masa lalu, dan membawa tentang Kerajaan Allah. Intinya, praktek seperti ini, memang sangat baik untuk gerakan pemulihan, dan arah penaikan kualitas spiritual.




Tetapi, sayang jika hanya itu-itu saja, kita hanya gemuk dan tambun di sisi rohaninya saja, kurus kering dan kuarng vitamin di sisi lainnya. Saya tidak mau (tentu mentor juga), kita kelihatan gemuk secara rohani, tetapi penyakitan di sisi ilmu pengetahuan dan persoalan intelektualitas lainnya. Kita ingin lebih luas soal mentoring ini. Ini sudah kita regangkan menjadi kebangkitan pengetahuan langsung dan pengalaman praktek mentoring yang terarah pada pembentukan intelektualisme Kristen dan Kristen yang benar-benar intelektual. Yang seperti ini, terpadu dengan dimensi spitual tadi, maka kita akan menikmati kebangkitan besar dalam arena sosial yang lebih luas. Tetapi apa nilai-nilai inti dan dan bagaimana mengerjakannya?




Mentoring?: Apa Nilai-Nilai Inti Sejatinya, Bagaimana Melakukannya?


Jadi, bagaimana yah? Fokus kita adalah memberikan jalan, cara, bagi mentenee untuk menemukan sendiri nilai-nilai kekristenan setiap perkembangan dan penurunan atau kestatisan atau “keajekan” hidupnya. Jika demikian, saya lebih senang setuju dengan Howell S. Baum mentor disini adalah pembuka titik awal sebagai jalan selanjutnya bagi mentenee agar sensitif mengidentifikasi perkembangan kehidupan dan sadar diri soal realitas hidupnya yang sejati,[xiv] lengkap dengan setiap detail halangannya.




Dengan itulah ia akan lebih bisa dan lebih mandiri merwat dan membantu dirinya dalam semua tahapan perkembangannya. Itulah manfaat dari memiliki dan menjadi mentor yang baik. Pada gilirannya memang seseorang ingin mencoba memiliki mentor yang baik dalam artian sebenarnya, tetapi bukan lantas dengan berpikir kayak begini,  menetenee terjebak dalam hubungan pertemanan dan persahabatan emosional yang kurang sehat.

           


Lalu? Apa nilai-nilai sejatinya? Yang terpenting adalah “You can do i can help.” Artinya, si anak dan si remaja bisa melakukannya porsi terbesarnya secara mandiri. Bagian sang mentor, hanya merawat dan memandirikannya. Jika demikian, sasaran akhir adalah “sang mentor harus sampai bisa meyakinkan, bahwa sang mentenee, bisa menjadi apa saja yang ia mau, menjadi apa saja seperti mimpi-mimpinya”. Tentulah dalam arah yang positif.




Kalau begitu, memang kita sedang memerlukan program mentoring yakni dari diri sang mentorlah yang perlu diperbaiki dan dibetulkan. Dengan pembaikan dan  pembetulan inilah mentor bisa membantu mentenee bisa dan biasa dengan “tantangan” yang mereka alami. Meskipun sering kelihatan sepele. Hal itu mungkin bisa saja demikian, tetapi hanya karena mentornya yang melihat itu dan itupun hanya karena dilihat dari sebelah sisinya saja.




Jadi, bantulah diri sendiri, dengan melakukan itu, maka kita bisa membantu mentenee berdiri tegak secara mandiri dipusaran besar dan masalah terbesar dalam hidupnya saat itu. Jadi lakukanlah, rawatlah dan mandirikanlah mereka. Yakinkanlah mentenee bisa menjadi dirinya sendiri. Itu peran dan tanggung jawabmu. Hanya itu saja, dan biarkanlah sesederhana itu. Masalahnya adalah, apakah mentor mengenal dirinya sendiri dan mengenal meneteenya?


          

Siapa Meteneemu?

Apakah kamu tahu (benar-benar tahu, bukan asal tahu, apa lagi sok tahu, atau pura-pura tidak tahu), jika anak dan remaja siap menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya, ternyata anak dan remaja juga siap menerima setan, kejahatan, dan perangai buruk lain dalam hidupnya?




Pertanyaan ini untuk menyadarkan diri mentor kembali. Apa gaya hidup sosial dan spiritual orang tua menetenee dan yang mentor pertontonkan setiap saat? Itu perlu dicermati, karena perbuatan orang tua dan mentor cepat mereka imitasi. Disinilah saya membantu untuk memahamkan kembali siapa anak dan remaja. Dengan mengenal mentenee, maka kita bisa mengenal orang tuanya, dan mengenal mentornya pula. Jika kita suda saling kenal semua, maka secara bersama kita bisa mengatasi masalah satu persatu.




Saya menganjurkan, mari kita mencoba untuk lebih kritis lagi. Bagaimana pengajaran sosial dan spiritual yang dipertontonkan kepada mereka tiap hari. Mengapa ini perlu, karena ketika anak dan remaja bermasalah, saya bekata lebih banyak persoalan ini datang dari luar dirinya. Umumnya dari situasi dan orang terdekatnya. Ini saya katakan berdasarkan pengalaman dan pengamatan.

           


Disini, saya lebih tertarik menjelaskannya secara sosio-teologis, bukan biologis. Bukan pula secara perkembangan psikologis, apalagi emosional anak dan remaja. Pengenalan mentenee secara akurat memudahkan untuk merawatnya dan membantu memandirikannya. Dengan pengenalan itu, maka mentenee bisa belajar mendidik dirinya sendiri agar ia menjadi Kristen yang intelektual dan intelektual yang benar-benar Kristen? Dengan berkata ini, bukan seolah-olah menterlantarkan dimensi spiritualnya. Tentu tidak, tetapi hal itu sudah menjadi darah dan daging pelayanan kita.

           


Genetika Illahi dalam Diri Anak dan Remaja Kristen

Dalam diri orang percaya dan keturunannya ada “logos spermatikos”[xv] atau benih Kristus atau genetika illahi. Genetika Illahi hidup didalam genetika manusiawi orang Kristen karena darah dan kematian Kristus dan Firman Allah yang hidup datang menghidupkan “logos spermatikos” dalam diri setiap orang Kristen.

           



“Logos spermatikos” bisa hidup lewat iman di dalam hidup setiap orang Kristen yang percaya kepadaNya dan menaruh komitmen untuk hidup dengan iman. Disinilah terjadi konsepsi dan pembuahan, sehingga menghasilkan kesatuan genetika illahi dan insani karena proses revolusi genetis secara theistik atau keagungan Tuhan. Proses ini difirmankan-Nya dalam Kejadian 1:26-28; 2:7. TUHAN Allahlah yang menghidupkan anak dan remaja menjadi manusia Kristen menurut gambar dan rupaNya, supaya menuruti genetika, bibit, dan karakter Illahi-Nya.




IAlah yang “membuahi” anak dan remaja menjadi manusia, karena ia sendirilah yang menghembuskan nafas-Nya yang hidup ke hidupnya, sehingga mereka menjadi anak dan remaja Kristen yang hidup. Itulah revolusi genetika yang diartikan perubahan zat dan wujud yang hidup menjadi sesuatu yang bernyawa atau berjiwa karena ada bibit Kristus dan genetika Illahi di dalamnya. Ini hasil “rekayasa genetika super dan supranatural” yang dikerjakan-Nya dan Firman-Nya yang hidup.

           


Itulah revolusi genetis yang mensenyawakan darah dan daging, dan juga mensekutukan jiwa dan roh di dalam diri anak dan remaja Kristen. Genetika illahi itulah yang menghidupkan mereka. Setiap anak dan remaja Kristen memiliki genetika illahi dan bibit Kristus dalam hidupnya. Ketika ketik Anak dan remaja telah “lahir dan menjadi manusia” seperti yang kita kenal sekarang. Tetapi, bukan hanya berhenti situ saja. Sesuai dengan perkembangan usianya, mereka adalah  produk sosial, teologis, dan biologis dilengkapi dengan proses edukasi dari lingkungan di luar dirinya, termasuk mentornya.

           


Nah, kalau begitu, anak dan remaja, ternyata lebih banyak mengkonsumsi segala hal untuk perkembangan hidupnya dari hal-hal yang kongkrit. Dari hal-hal materi, fisik dari realitas atau kenyataan yang dirasakan atau dialaminya yang bersentuhan dengan hidupnya daripada secara ajaran lisan orang tua dan temannya, apalagi dari mentornya. Itulah alasannya, semua benda berwarna dan bergerak sangat mudah menarik atensinya. Inilah alasannya anak dan remaja lebih senang melihat televisi dari pada melihat alat peraga dan games dalam pelayanan sekolah minggu, dan kegitan lain yang bersifat pengajaran.




Ini pulalah alasannya gerak tubuh dan “warna” perilaku orang tua, cepat ditiru anak dan remaja. Mereka gemar mengcopypaste perilaku yang ditampilkan orang tua di rumahnya dan dilingkungan luarnya. Mengapa, karena anak dan remaja sangat percaya betul apa yang dilihatnya itu, itulah yang benar. Bahkan mereka semakin percaya karena orangtua, guru dan mentornya melakukan itu. Hal itulah mendorongnya melakukan apa saja yang dipertontonkan kepadanya karena mereka percaya dengan orang yang mempertontonkannya dan ingin seperti hasil tontonan mereka itu.

           


Bagi pemahaman diotak sebesar otak dikepala mereka itu, apa yang dipertontonkan kepada mereka itulah ukuran atau standart yang benar. Menurut penilaian sederhana di kepala mereka, orang dewasa itulah kriteria sebagai orang dewasa atau manusia Kristen. Tidak heran mereka lantas ikuti saja. Jika sudah begini masalahnya, maka terbuktilah bahwa, anak dan remaja sebetulnya cerdas untuk memilih dan melaksanakan apa yang dilihatnya daripada yang diperintahkan orang tua dan mentornya secara verbal.




Anak  dan remaja menyukai cerita Alkitab dan Firman Tuhan, merupakan hal biasa yang kita dengar. Tetapi, itu seperti itu, hanya karena tidak kasat mata, kita cenderung abaikan, mereka juga lebih banyak menyimpan apa yang dilihat dan dirasakannya dimemori dan sensori otaknya apa yang ditampilkan orang tua, teman, guru dan mentornya, apalagi pendetanya.




Ingatlah, proses mentoring Kristen bukan seperti sosio-drama atau permainan alih peran dalam stategi belajar di sekolah, yang bisa setiap saat dan dengan begitu mudahkan diperankan. Mentoring bukan sandiwara atau teater sosial atau teater teologis, meskipun acapkali inilah kenyataan yang terjadi, sayang memang.




Sialnya, seringkali pelayanan Kristen, bisa dan biasanya hanya sanggup seperti teater teologis dan sosiologis. Bukan hanya itu saja, bahkan sering pula lebih condong sebagai EO-Event Organizer, yang cekatan mengorganisir acara dan kehebohan hiburan dan entertainmentnya. Sayangnya perawatan untuk mencapai kemandirian yang sejatinya lengkap dengan kualitas dan nilai spiritual, sosial dan intelektualnya yang sejatinya tidak mampu ditampilkan oleh anak dan remaja, karena mereka ibarat hanya seperti dalam pertunjukan sirkus semata.




Pengajaran yang Menghidupkan Genetika Illahi Anak dan Remaja


Khotbah, pengajaran rohani, baik isi, materi, dan kurikulum Kristen bisanya selalu diikuti dengan tindakan dan ekspresi. Hasilnya pastilah tindakan dan ekspresi yang didemonstrasikan anak dan remaja dalam hidupnya, karena itulah yang mereka konsumsi. Sialnya, jika itu salah, maka salahlah ia seumur hidupnya. Jika mentor menyampaikan cerita Alkitab karena anak dan remaja menyukai cerita dan mereka bisa dengan mudah mengikuti tindakan atau perbuatan dalam cerita itu.




Tetapi, jika mentor ternyata juga lalai atau kecolongan untuk mempertontonkannya lewat hidup sosialnya tiap saat dalam kehidupannya, maka upaya dan kerja keras yang dibangun mentor selama ini, semuanya sirna dan punah tak berbekas. Anak dan remaja lebih terbuka mata dan hati nuraninya. Keterbukaannya itulah ia menanggapi dan memahami bagaimana orang tua, guru, mentornya mengekspresikan dan mempertontonkan narasi spiritual dalam cerita dan teks-teks Alkitab itu, yang tampak dalam praksis hidup sehari-hari.




Jika sudah begitu, kita semua sedang menunggu dan sedang membutuhkan mentor yang yang mampu melakukan “the genetic revolution.”[xvi] seperti istilah dari Patrick Dixon. Mentor diharapkan melakukan revolusi perawatan dan pemandiri lewat pengajaran dan tindak tanduknya yang revolusif untuk mensekutukan genetika Illahi dan dengan genetika insani mentneenya. Dengan kelahiran baru yang dialami mentornya, dan dengan persekutuannya dengan Tuhan dan RohNya yang intim, maka itulah yang menghidupkan “logos spermatikos dan  roh anak dan remaja yang ditangannya.




Pengajaran yang menghidupkan ini, hanya mungkin terjadi karena ada Roh Kudus yang ada di dalam diri mentor dan di dalam pelayanan itu, bukan lagi semata-mata karena mengandalkan kecanggihan ilmu, teori dan prakteknya. Juga bukan karena hebohnya hiburan dalam pelayannya. Hal-hal itu memang telah menjadi syarat wajib yang mestinya bisa dipenuhi sebagai mentor, tetapi orientasi akhir bukan hanya berhenti disitu. Mengapa karena mentor buka EO, dan bukan pula artis atau selebritis pelayanan, tetapi mentor karena sudah dimentoring oleh Sang Mentor yang Akbar.




Intinya, Tuhan mengamanatkan secara AKBAR Amanat Agung itu sebagai tanggung jawab edukasi yang menhidupkan kehidupan mentenee kepada mentor. Tetapi tidak bisa terpisahkan dari orang tua, sekolah, gereja. Semua pelayanan Kristen itu diciptakan dengan sengaja untuk menghidupkan “logos spermatikos” di dalam diri anak dan remajanya. Ini kita lakukan untuk melahirkan manusia baru didalam Tuhan.




Jadi bagaimana sekarang? Tanggung jawab seorang mentor adalah “mengedukasi anak dan remaja Kristen dan untuk menghidupkan genetika Illahi di dalam diri mereka agar melahirkan generasi Kristiani yang Illahi dan intelektual”. Tidak menjadi alasan lagi berapa “digaji atau diupah” menjadi mentor. “Menuduh” orang lain, apa lagi keterbatasan materi dan fasilitas yang ada, tidak boleh lagi menjadi alasan seseorang menjadi mentor.




Orang Tua Pencipta Kurikulum Kehidupan Kristen

Orang tua suka atau tidak, punya waktu atau tidak, ialah pencipta, peneliti, pelaksana, dan pengevaluasi kurukulum kehidupan Krisiani terakurat mengedukasi anak dan remajanya, bukan guru sekolah, guru agama, guru sekolah minggu, juga bukan “simbok” di rumah, yang seringkali memiliki “tuhan lain yang asing dan nilai spiritual yang kontras”.




Namun, seringkali hobbi, kesenangan, status sosial, uang dan insting survavilitas hidup setiap saat, perceraian orang tua, dan disharmonis keluarga telah lebih banyak merenggut perannya. Bahkan, tidak jarang baby sitter (maaf: “si mbok Jum” atau pembantu rumah tangga) menjadi andalan untuk ini.  Terbayanglah tipe Kristen dan kualitas anak-anak Kristen seperti apa yang akan tinggal setiap hari didalam rumah, gereja, sekolah dan pelayanan  kita, jika kenyataan sudah begini.



 
Sudahkah orang tua merencanakan kurikulum kehidupan yang terbaik untuk anaknya? Kurikulum kehidupan Kristen seperti apa yang sudah direncanakan untuk diekspresikan anak di hidupnya? Materi pengalaman Kristen seperti apa yang sesuai pengalaman anak? Orang tualah yang paling tahu siapa dan bagaimana anaknya.




Mengapa demikian, karena darahnya, genetikanya atau hereditas (sifat alamiah dari darah dan daging orang tuanya) diturunkan mereka kepadanya. sayangnya, orang tua lebih banyak menitipkan anak ke “PPA-Praktek Pembuangan Anak” atau “membuang” tanggung jawabnya dengan mengharapkan mentor, guru, termasuk pendetanya untuk mengasah, asih asuh anak kandungnya. Padahal itu darah dagingnya. Jika sudah runyam begini, Saya menyatakan mentor, tidak harus serta merta menuduh dirinya atau menuduh temannya. “YOU Gagal sebagai Mentor untuk si Joko, Ilmu Loe gak ampuh untuk mengajar si “Rini.” Kamu belum lahir baru sih, dan tuduhan tak beralasan lain sejenisnya.




Jadi bagaimana donk? Mendidik anak dan remaja sama nilainya dengan mendidik orang tua. Mendidik mentor sama harganya dengan mendidik anak dan remaja. Selintas, seakan telah cukup, namun, terlepas dari seabrek alasan membela posisinya, kepada orang tualah porsi terbesar yang ditugasi Tuhan disini. Tetapi, bagaimana jika orang tua, tidak punya kemampuan untuk itu?




Gunakanlah mentenee (si anak dan si remaja) itu untuk berkomunikasi dengan ortunya. Biarkan orang tuanya tahu akibat atau konsekuansi dari caranya mengedukasi anaknya, caranya mempertontonkan gaya hidup ber-Kristusnya. Biarkan orang tua sadar bahwa situasi keluarganya dan keadaanya sebagai orang dewasa berkonsekuensi buruk terhadap internalisasi hidup si anak dan si remaja.




Oleh karena itu, pelayanan mentoring tidak terpisah-pisah dengan pelayanan Kristen lainnya.
Proses mentor seharusnya konstruktif, spiritualitatif dan sosialitatif. Verbalisme memang cukup baik, tetapi itu bukan segalanya. Sering orang tua dan mentor sudah “canggih” dan mempekerjakan “fasilitas yang supercanggih berbasis teknologi tepat guna dan tepat harga” untuk  mengajarkan secara verbal apa yang diinginkannya. Sialnya, sering lalai dan kecolongan mempraktekkannya sendiri.




Kurikulum kehidupan lebih mudah diimitasi dan diekspresikan anak daripada diajarkan. Pemahaman anak dan remaja tentang kehidupan spiritual, sosial dan intelektual Kristen umumnya terkait erat dengan pengalaman mereka bersama orang dewasa lain dan orang tuanya. Anak dan remaja sudah bisa meresponi kehidupan, mereka juga gemar meresapi semua yang dipertontonkan dihadapannya. Aksessoris dan aksentuasi teologis dan sosiologis yang diteladankan akan memberikan pemahaman kehidupan Kristen yang benar seperti apa kepada anak dan remaja.




Mereka sangat mempercayai semua yang dilakukan orang tua dan mentornya itu benar. Orang tua dan mentor tidak boleh kecewa, jika anak dan remaja mempraktekkannya, padahal seringkali tidak semua yang ditampilkan itu baik. Artinya, sebaik dan sehebat apapun kualitas dan standar kurikulum atau pelajaran agama disekolah umum dan sekolah minggu, dan fasilitasnya, meskipun kurikulum itu telah bersertifikat internasional atau berdasarkan riset ilmiah, semuanya cepat “menguap” jika kurikulum hidup dari orang tua dan mentornya ternyata mati.




Hasilnya akan berkata lain di hadapan mata dan perasaan anak dan remaja. Jika demikian, proses eduaksi kristiani bersumber dari Firman Allah, seharusnya diberikan untuk menghidupkan genetika dalam diri anak dan remaja, sehingga menghasilkan anak dan generasi Kristen terdidik dan teredukasi.




Sebelum kau pulang dan berkomitmen lagi untuk memperbaii dan betulkan caramu menjadi mentor Kristen. Ingatlah ini. Jangan dilupakan perkataan dari Warren McWilliams[xvii] yang saya ringkas berikut ini. Yesus mati di salib bukan karena cintanya kepada teks-teks Kitab Suci, dan juga bukan karena menjaga kemurnian pengajaranNya dari dalamnya, termasuk karena IA Jaim-Jaga ImageNya. Tetapi IA mati karena mempertontonkan pengajaranNya kepada khalayak ramai, dan lewat tindakannya seperti apa yang tertulis dalam Kitab Suci itu. Oleh karena itu, masih kata McWilliams dan juga Jerry W. Lemon,[xviii] maka mentor  haruslah memberikan pengajaran untuk panduan bertindak dan memberikan tuntunan cara untuk hidup sesuai dengan Injil. Tetapi sesuai juga dengan realitas sosialnya untuk semua orang.




Finally, Hei Mentor! 
Apakah kamu sudah benar-benar tahu apa yang sedang “You” kerjain, SEKARANG? Pertanyaan ini, sudahkah ampuh untuk menggugat dan menggugah arti tanggung jawabmu dengan “gaji atau upah” sebesar itu? Sudahkah keterbukaan dan kejujuran untuk “menuduh” diri sendiri, materi dan fasilitas yang ada masih menjadi masalah besar dalam pelayananmu sekarang? Apa yang kini kamu tahu dan dengar soal mentoring sekarang?

Harapannya, dengan ini, berarti mentor mengenal betul peran mentoringnya, tahu secara teori, pemikiran dan praktek sosialnya dan mengambangkannya, mengerti kebutuhan dan karakteristik mentenee, berhasil merawat dan memandirikan anak dan remaja untuk menemukan dan kembangkan potensi mereka secara mandiri. Sampai ketemu dipuncak kejayaanmu kawan. Sampai ketemu di pembekalan dan pelatihan selanjutnya (mungkin tahun depan? [BETA’11]



End Notes:




[i]Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, revised and expanded (Chicago, IL: Moody Publishers, 2008), h. 581.


[ii]Elia Tambunan, Gereja sebagai Komunitas Edukasi: Bagaimana Melakukannya? (Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011), h. i.


[iii]Norma Cook Everist, The Church as Learning Community: A Comprehensive Guide to Christian Education (Nashville, TN: Abingdon Press, 2001), h. 1.


[iv]Elia Tambunan, Pendidikan Agama Kristen dalam Masyarakat Multikultural: Rekonstruksi Teori ke Sosio-Praksis (Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011), h. 5-14.


[v]Elia Tambunan, Sebagai Guru Kristen: Bagaimana Mengajarnya? (Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011), h. 15-31.


[vi]Norma Cook Everist, Christian Education as Evangelism (Minneapolis, MN: Augsburg Fortress Press, 2007), h. i.


[vii]Kenneth O. Gangel, Building leaders for Christian Education (Chicago, Moody Press, 1981), h. 33.


[viii]Norma Cook Everist, Craig L. Nessan, Transforming Leadership: New Vision for a Church in Mission (Minneapolis, MN: Augsburg Fortress Press, 2008), h. 3.


[ix]Kathleen Feeney Jonson, Being an Effective Mentor: How to Help Beginning Teachers Succeed (Thousansd Oaks, California: Corwin Press A SAGE Company, 2008), h. 21.


[x]Ronald J. Sider, Philip N. Olson, Heidi Rolland Unruh, Churches that Mmake a Difference: Reaching Your Community with Good News and Good Works (Grand Rapids, MI: Baker Academic Books, 2002), h. 82.


[xi]A. Leigh DeNeef, Craufurd D. W. Goodwin (eds.), The Academic's Handbook, 3th edition revised and  expanded (Durham, New York City: Duke University Press, 2007), h. 130.


[xii]Dona Rinaldi Carpenter, Sharon Hudacek, On Doctoral Education in Nursing: The Voice of the Student (New York: National for Nursing Press, 1996), h. 74.


[xiii]Edward C. Sellner, Mentoring: Ministry of Spiritual Kinship (Notre Dame, Indiana: Ave Maria Press, 1990), h. 1.


[xiv]Howell S. Baum, Organizational Membership: Personal Development in the Workplace (New York: Oxford University Press, 1987), h. 143.


[xv]Sebenarnya pengajaran teologi dari Gustav Warneck (1834-1910) seorang inspektur badang Zending Jerman RMG di Seminary Barmen-German. Ia salah satu pendidik tokoh-tokoh Zendling German yang diutus ke Indonesia. Itulah alasannya ia diangap salah satu tokoh “pendiri” gereja Batak lewat tulisan-tulisannya. Lihat Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), h. 111-123.


[xvi]Patrick Dixon, The Genetic Revolution, second edition (England: Eastbourne, E Sussex, 1995), h. 17, 19.


[xvii]Warren McWilliams, The Passion of God: Divine Suffering in Contemporary Protestant Theology (Macon, Georgia: Mercer University Press, 1985), h. 142.


[xviii]Warren McWilliams, Jerry W. Lemon, Teaching Guide for Acts: The Gospel for All People (Macon, Georgia: Mercer University Press, 1990), h. 1.

No comments: