Showing posts with label Sosiologi Kekerasan. Show all posts
Showing posts with label Sosiologi Kekerasan. Show all posts

Wednesday, January 26, 2011

Geneologi Tindak Kekerasan di Masyarakat

Elia Tambunan, M.Pd
Essay ini pernah dimuat di www.pantekostapos.com, Senin, 18 Oktober 2010.
Fenomena tindak kekerasan masyarakat di negeri ini mudah terlihat karena tidak satu dua kali. Kecenderungannya juga mudah disimpulkan yakni berpola militerisasi atau militerisme karena telah diadopsi menjadi ideologi kelompok tertentu. Secara sederhana berwujud pada pengaruh organisasi, nilai, dan ide-ide militer kedalam struktur sosial, sebagai akibat militerisasi. Sisi lain, ini sebuah pengakuan atau penghargaan pola ini sangat tangguh. Implementasi pola militerisme-yang saya terjemahkan pola kekerasan dalam segala bentuk fisik, dan psikis- telah merasuki segala aspek kehidupan bangsa Indonesia, termasuk wilayah agama. Pola gerakan sosial ini mudah terbaca, namun sukar mengurainya. Misalnya main hakim sendiri, seperti menghukum pencuri dengan cara dibakar hidup-hidup, pengeroyokan massa secara spontan maupun secara terorganisir, perkelahian massal, pembakaran fasilitas privat dan publik oleh kelompok yang marah, dsb mewarnai kehidupan masyarakat kita saat ini. Meskipun, hampir kita semua berupaya membela sebagai tanda cinta terhadap esensi dan nilai agama itu dalam takaran tertentu. Dalam konteks seperti itu, kita hampir mengamini agama disini hanya alat yang dimainkan, agama hanya organisasi yang dieksploitasi. Itu ada benarnya. Tetapi, itu tetap terkait dan dikait-kaitkan dengan agama. 
Persoalan tindak kekerasan, yang dilakukan oleh sebagian warga masyarakat, baik secara individual maupun kelompok, sering terjadi dimana-mana. Ini menggelisahkan secara akademik. Konflik horizontal masih terus berkobar, dan tentu menimbulkan efek sosial dan psikologis. Ini saya prediksi akan terjadi lagi, namun entah dimana lagi, kita tinggal menunggu. Pola ini menjauhkan kita dari civiling process. Tampaknya penangannya sengaja diperlambat,. Tentu politicing process tidak alpa di dalamnya. Jika sudah begini, ada benarnya Heather Sutherland, (Belanda, 1994: 53) “untuk menghindari isu-isu politik sentive, kelompok-kelompok agama di Indonesia bersembunyi dengan berkonsentrasi pada sejarah lokal, dan dengan mengeksplorasi topik lainnya. Bidang ekonomi dan pertumbuhan dianggap jualan yang layak untuk mengcover segalanya dalam situasi kayak begini. Pertanyaan krusialnya, apakah akar-akar psiko-sosial tindakan kekerasan di masyarakat? Apa dan siapa kekuatan pendukungnya? Bagaimana geneologi atau kara-akar kekerasan dari persfektif area studi psiko-analisis sosiologi bisa dijelaskan? Ini menjadi arah pembicaraan disini. Bingkai analisis disini meminjam teori Erich Fromm (1973), tentang anatomi perusakan kemanusiaan (The Anatomy of Human Destructive, Fromm)”. 
Erich Pinchas Fromm (lahir di Kota Frankfurt,Jerman 23 Maret 1900-1980). Sang psikoanalist mengembangkan berbagai gagasan menarik tentang manusia dengan teori agresi kedestruktifan dan kekejaman bawaan dari dalam watak manusia. Ia dengan memadukan psikoanalisis dan tradisi humanistis dalam filsafat, ilmu sosial dan  agama meramu pemikirannya. Sesuai Fromm, manusia memiliki bawaan “natural mammal instinct” bersifat destruktif. Ini umum dikenal dengan watak agresi dan reaktif-defensif yang digolongkan sebagai tindakan destruktif. Ini yang menimbulkan manifestasi kekejaman dan sebagai kecenderungan khas manusia untuk merusak dan memperoleh kekuasaan. Kecenderungan destruktif menjadi khas dalam diri manusia. Perilaku ketika menjadi tindakan sosial, maka akan mencengkeram stabilitas negara dan sekuritas bangsa. Latar teoritik ini saya pekerjakan sebagai bingkai analisis untuk memahami geneologi atau akar-akar kekerasan di masyarakat.
Pola militerisasi dan kekerasan akan tampak jelas, jika menilik kembali realitas sejarah. Secara faktual, sejak awal negara ini didirikan dan hingga detik ini, entah siapapun pemimpin dan presidennya, simpulnya mudah ditarik. Kehidupan masyarakat kita adalah kehidupan model militeristik seperti: baris-berbaris, upacara bendera, parmuka, siskamling, Pamswakarsa, Hansip, Kamra, Menwa, Binkamtibmas, Satgas, Gerakan Disiplin Nasional, Polmas, Ospek, dan organisasi-organisasi korporatis keagamaan lainnya semacam, Banser NU, GP Ansor NU, gerakan kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah, Tapak Suci Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, FPI, JIl, JII, NII, Mujahidin, Laskar Jihad, dsbnya yang masih mungkin dipanjangkan. 
Jika mau jujur mengakui, itulah sesungguhnya watak natural orang Indonesia-tidak hanya mereka, bahkan pejuang Kristen atau dikelompok Kristen disebut Laskar Kristus dan  dengan sebutan lain dan dengan berbagai nama juga banyak bergentayangan dimana-mana. Meski tampaknya tidak seprovokatif di ormas keislaman lainnya. Soal ini siapa yang tahu, ini logis ketika Kristen hanya menjadi kelompok minoral kedua di negara ini. Hampir dapat dipastikan, mereka akan menjadi lain soal ketika Kristen menjadi kelompok nominal. Ada pecalang di bali yang tampaknya otoritasnya melebihi polisi dan militer di jajaran Pangdam Wirabuana dan Kapolda Bali. Mengapa bisa demikian? Itulah pesta kekuasaan dan pesta pengaruh militerisme sipil. Contoh yang disebutkan disini adalah organisasi yang memiliki kepemimpinan. Tetapi, sering berfungsi ganda-bertopeng dua. Mereka harusnya sebagai simbol moral dan simbol mobilisasi warga negara, memang tidak secara kasat mata, tetapi secara khusut mata tetap ada jaringan keterlibatan dalam kekerasan politik sivilisme. 
Ironis memang, harusnya dengan kesimbolan yang sangat penuh makna ini, itu bisa dimobilisasi secara sosial massiv untuk penegakan demokrasi dan untuk merumuskan Indonesia untuk menjadi lebih baik. Saya tetap meyakini, masih ada harapan dan ada titik-titik yang sedang diupayakan mereka. Realitasnya, oleh beragam kepentingan politik personal dan kelompok pula, ternyata itu tidak hanya ditafsirkan sebagai perubahan dari otoriter ke demokratis. Tapi, itu juga berarti pergeseran dari suatu negara yang kuat menuju masyarakat yang kuat dengan politisasi dan eksploitasi agama. Hal ini memperjelas bahwa otoritasi pemerintah pusat melemah secara normatif, dan dilain bidang secara otomatis memperkuat lokalitas. Inilah pola yang nampaknya menghasilkan otoritarianisme lokal, bahkan semakin dipertegas dengan hegemonik otda (baca: otoriterianisme kedaerahan).
Mengamati fenomena kekerasan di Indonesia ataupun  yang telah lalu dan pasti akan terus terjadi, maka tepat pernyataan Nortdholt (Belanda, 2002: 53), bahwa bangsa Indonesia memiliki tradisi dan melestarikan kultur kekerasan dalam mencapai keinginannya. Bukankah hal ini benar jika melihat tragedi yang menimpa Ahmadiyah yang dikejar-kejar layaknya “celeng hutan yang selalu dianggap haram dan najis,” sebagai "buruan" yang dianggap merusak aqidah, melakukan penodaan atau penistasan agama. Namun, dengan mengkriminalisasinya dianggap tindakan yang dibenarkan agama. Meski sesungguhnya tidaklah demikian. Bukankah semakin benar data ini, jika melihat fakta "penusukan" dan “pencincangan” warga gereja HKBP di Bekasi, layaknya sapi sembelihan? Dengan demikian, tindakan masyarakat berdasarkan agama dan kesadaran kolektif sebagai kelompok tertentu menyatu dengan nilai agama yang diyakininya. Ini bukti semakin sahih yang menunjukkan terlalu tampak diperjelas spektrum politik dalam agama dan sebaliknya (Arjoman, New York, 1993: 1).Oleh karena itu, hampir seluruhnya ormas dan okmas-yang pertama adalah organisasi masyarakat dan selanjutnya adalah oknum organisasi masyarakat dalam ormas, telah meneladi dengan tepat segala pola dan ideologi militerisme. 
Padahal, sipil menentang konsep dwifungsi Militer. Tetapi, realitasnya, civil melaksanakan pattron militerisme yang lazimnya tampak pada penggunaan media-media kekerasan secara brutal, serta praktek-praktek premanisme militer di dunia bisnis dan kejahatan, (Yogyakarta, Eko, 2000: xvii). Pola  itu tumbuh subur maupun dalam organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan semuanya berperilaku militeristik dan semakin tampak menyeramankan dengan seragam militer yang dikenakannya lengkap dengan attribut yang pasti memiliki makna untuk menakut-nakuti. Masalah militerisasi dan kekerasan dalam konteks Indonesia dan masyarakat sipil dapat tergambar dalam tiga hal, yakni pertama, kuatnya hegemoni dan praktik militeristik dalam masyarakat sipil melalui militerisme yang dicopi dari ideologi dwifugsi ABRI. Kedua, kuatnya perbanditan dalam masyarakat sipil ini dilihat secara struktur dan kultur premanisme, jagoannisasi dan jawaranisasi dan tribalisme yang sering tetap dibutuhkan oknum dan kelompok tertentu untuk motiv tertentu pula. Kedua hal ini akan menghasilkan fenomena ketiga lainnya. Terakhir, merebak dan  melembaganya budaya militeristik dalam masyarakat sipil (kekerasan, otoritarianisme, antipluralisme, hirarkhis sentralistik dsb. 
Dengan demikian, terkesan bahwa cara-cara resolusi konflik melalui pola militerisme sebagai tindak kekerasan menjadi mode of politic yang telah melembaga dalam masyarakat kita. Seakan tidak ada cara lain untuk menyelesaikan persengketaan sipil kecuali dengan melakukan tindak kekerasan. Idiologi militerisme tampaknya merupakan acuan kehidupan politik dan sosial di Indonesia, yang berupaya mengutamakan sistem komando, sentralistik, hirarkis, seragam dan disiplin. Birokrasi sipil mengalami militerisasi dan menjelma menjadi aparatus sentralistik, seragam dan dibawah komando tunggal pemimpin ormasnya, demikian penjelasan Nugroho (Yogyakarta, 2000: ix). 
Ini dilakukan atas anama “tugas suci” mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, meskipun tampaknya menggangu kenyamanan pihak lain. Berbagai macam indoktrinasi dengan menggunakan pelatihan militerisme dan beragam bentuk militerisme yang disusupkan dalam ideologi politik sipil agar terwujud unifikasi kesadaran. Kondisi semacam itu telah menahun, hasilnya perilaku sosial di segala aspek (termasuk organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan), juga terbawa kearah budaya militerisme. Aspek hidup sosial yang mewacanakan perbedaan tampaknya diselesaikan dengan aparatus birokrasi yang menunculkan kultur kekerasan. Aksi kekerasan merebak dan menjadi perilaku sosial-politik-agama sehari-hari masyarakat. Militerisme masyarakat sipil yang disertai dengan militerisasi birokrasi sipil telah melahirkan kultur politik militeristik yang permisif terhadap perilaku kekerasan. Analisis akar-akar konflik sosial di Indonesia dengan alur berpikir sosio-kekerasan dalam essay ini, semakin memperjelas konsep besar yang diadopsi dari pola militerisme di masyarakat.
Bagaimana mengurai persoalan ini secara skematis? Apabila dianalisis lagi dengan menggunakan psikoanalisisnya Erich Fromm berikut ini. Menurutnya bahwa akar kekerasan manusia dalam masyarakat dipengaruhi, oleh karena manusia memiliki enam (6) hal. 1. Watak otoriter sebagai sebuah mekanisme bela diri. Pola tindakannya akan memiliki dorongan naluriah untuk bertindak atau disebut dengan terminologi sadomasokitis atau neurosis, namun Fromm menyebutnya dengan watak otoriter. Sadomasokitis atau watak otoriter ini memainkan peran dominan dalam diri manusia. Orang seperti ini selalu dicirikan oleh sikapnya terhadap otoritas. Aksi yang dilakukan adalah pertama, seseorang akan berperan bergantung pada situasi sosialnya; bergantung pula pada pola perasaan dan tingkah laku apa yang terdapat dalam pola hubungan dalam situasi dan kebudayaannya saat itu.  Kedua, ia mengagumi dan cenderung tunduk pada otoritas, namun, pada saat yang sama ia ingin menjadikan dirinya sebagai otoritas dan mengharuskan orang lain untuk tunduk kepadanya.  Militerisme dan kekerasan yang dilakukan adalah Menerapkan nilai-nilai seperti disiplin dan kepatuhan, ideologi seperti patriotisme dan model organisasi yang menekankan hirarkis dalam metode, subtansi dan organisasi untuk menunjukkan dan menguatkan otoritasnya.  
2. Kesatuan simbiotis. Pola tindakannya akan memiliki kesatuan simbiotis hidup bersama yang saling membutuhkan antar individu dengan kelompok. Ia menjadi masokis dan sadistis. Tindakannya hanya dapat berhubungan dengan yang lain secara simbiotis, yaitu dengan menjadi bagian dari mereka atau membuat mereka menjadi bagian dari dirinya.  Dalam hubungan yang bersifat simbiotis ini ia berjuang, entah untuk mengontrol orang lain, (sadisme), atau untuk dikontrol orang lain (masokisme). Dalam bentuknya yang ekstrim ia mengarah kepada beberapa bentuk kegilaan. Satu bentuk terakhir dan berbahaya dalam menyelesaikan problem (biasanya bercampur dengan narsisme ekstrim) adalah hasrat untuk untuk menghancurkan semua orang lain. 
Aksi yang dilakukan akan tampak dalam tiga hal yakni, pertama kepatuhan dan menyerahkan dirinya menjadi bagian dari orang lain yang membimbingnya atau melindunginya. Seakan-akan orang lain itu menjadi syarat mutlak bagi seluruh hidupnya. Kekuatan pribadi orang lain itu dibesar-besarkan, di patuhi, dialah segalanya. Kedua, orang masokitis enggan mengambil keputusan apapun atau menanggung resiko apapun. Ia tidak pernah sendirian, namun ia tidak bebas dan mandiri. Ia tidak memiliki intergritas. Dalam segala hal orang masokis tersebut kehilangan integritasnya dan membuat dirinya manjadi alat dari seseorang atau sesuatu di luar dirinya sendiri. Ketiga, orang saditis menjadikan orang lain sebagai bagian dari dirinya.  Ia mengangkat dan membesarkan dirinya dengan mencaplok orang lain yang mengaguminya dan menjadikannya sebagai bagian dari dirinya.  Militerisme dan kekerasan yang dilakukan adalah dengan melakukan kekerasan dengan sikap memerintah, mengeksplotasi, menyakiti dan menghinakan, suka diperintah, dieksploitasi, disakiti dan dihina, demi kejayaan kelompoknya.
3. Narsisisme individual dan narsisisme sosial. Ini dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut dengan membangun hubungan semata-mata dengan dirinya sendiri (narsisme) dan dengan kelompoknya. Pelaku seperti ini menganggap bahwa kalau tidak ada satu orang lainpun di luar dirinya, ia tidak perlu takut terhadap orang lain, juga tidak perlu bergabung dengan mereka. Dengan menghancurkan dunia, maka ia luput dari bahaya penghancuran dirinya oleh dunia dan orang lain Pola tindakannya berorientasi tersembunyi dibalik sikap rendah hati. Objek narsisisme individual adalah kehormatan dan nama baik personal. Dengan demikian, disi lain, narsisisme ini diperlukan, disi sebaliknya ia akan merusak jika  ia begitu solipsistis dan sekaligus sangat xenofobis.  
Aksi yang dilakukan adalah dengan melakukan empat (4) hal yakni, pertama, menciptakan gambaran dirinya sebagai objek keterikatan dengan setiap hal yang menyangkut pribadinya. Kedua, bersifat narsisisme berbahaya bersifat  totalistis, dan akibatnya, ia begitu solipsistis (terpusat pada diri sendiri) dan sekaligus sangat xenofobis ( takut pada keunggulan orang lain). Ketiga, mengindoktrinasi  energi narsisismenya pada kelompoknya. Menganggap kelompok mereka benar, malah meyakini bahwa kelompok mereka lebih unggul jika dibandingkan dengan kelompok lain. Dan, keempat, berperasaan eforia dengan berada diatas segala-galanya dan berubah menjadi narsisisme sosial dengan menganggap bahwa kelompok, suku, bangsa, agama , ras dsbnya menjadi objek nafsu narsisisme. Militerisme dan kekerasan yang dilakukan adalah dengan mengindoktrinasi sumpah kelompok dan tata tertib serta menerapkan sangsi dan hukuman.  Ini digunakan untuk keunggulan dan kelanjutan hidup kelompok dari pada kerjasama sosial.
4. Sifat destruktif manusia. Pola tindakannya sebagai agresi tampak jelas sebagai sifat aktif sebagai perusak dan kekejaman dalam dirinya yang disebabkan oleh karena ia memiliki agresivitas di dalam dirinya dan ia juga memiliki sifat agresi reaktif. Aksi yang dilakukan adalah dengan melakukan dua (2) hal, yakni, pertama, ia tidak terprogram secara filogenetis, dan hanya dimiliki manusia. Secara biologis ia berbahaya karena mengancam hidup sosial.  Agresi ini berbahaya bukanlah suatu insting, tetapi merupakan suatu daya manusiawi yang justru berakar dalam kondisi-kondisi eksistensi manusia itu sendiri.  Kedua, agresi yang berbahaya ini merupakan suatu kemampuan manusia dan bukan hanya sebagai suatu pola tingkah laku yang dipelajari, yang gampang dihilangkan bila ada pola baru yang menggantikannya. Militerisme dan kekerasan yang dilakukan adalah dengan melakukan sugesti massal karena sugesti bertumpu pada ketidak berdayaan individu dan wibawa pemimpin sehingga menimbulkan pemikiran yang tidak kritis tetapi pikiran kepatuhan atau pikiran ketundukan, dan dengan melakukan indoktrinasi  sebagai landasan penanaman digunakannya jenis kekuatan psikis.
5. Agresi manusia bersifat aktif. Pola tindakannya bersifat agresivitas yang dilakukan aktif oleh manusia dan agresi reaktif karena membela diri yang juga dapat merusak. Aksi yang dilakukan adalah dengan tiga (3) hal. Pertama, agresi yang tidak berbahaya antara lain: 1) agresi semu (pseudo agression) yang berkarakter sebagai agresi kebetulan (accidental aggression, agresi mainan (playful aggression), agresi penegasan diri (self assertive aggression).  2) agresi bela diri (devensive aggression) yang pada hakikatnya agresi ini dirancang untuk sedapat mungkin menghilangkan bahaya. Kedua, agresi yang sangat berbahaya (malignant aggression). Dalam diri manusia ia dapat didorong oleh impuls untuk membunuh atau menganiaya, dan bahwa ada perasaan nikmat bila ia melakukannya. Ketiga, kekejaman dan perusakan  (cruelty and destructivness) ada dalam diri manusia. Ia membagi sikap destruktif itu dalam beberapa hal yakni;  1) sikap destruktif yang nyata (apparent destructiveness), 2) bentuk-bentuk sikap destruktif yang spontan (spontaneous forms). Ini yang terdiri dari sikap destruktif sebagai balas dendam (vengeful destructiveness), dan  sikap destruktif yang ekstatis (ecstatic destructivness), dan 3) sadisme sebagai watak destruktif (the destructive character: sadism) perilaku ini muncul akibat manusia menderita isolasi dan kehilangan yang hebat sekali. Dengan ini ia berjuang, entah untuk mengontrol orang lain. Dalam bentuknya yang ekstrim ia mengarah kepada beberapa bentuk kegilaan. Satu bentuk terakhir dan berbahaya dalam menyelesaikan problem  adalah hasrat untuk untuk menghancurkan semua orang lain.  Militerisme dan kekerasan yang dilakukan adalah dengan menyerang orang lain dan kelompok lain, karena menganggap mengganggu nilai kelompoknya.
6. Agresi manusia bersifat reaktif. Pola tindakannya  sebagai agresi manusia bersifat reaktif. Aksi yang dilakukan adalah dengan tiga (3) hal.  Pertama, manusia memiliki sifat agresi yang bersifat reaktif sebagai reaksi terhadap ancaman atas kepentingan vitalnya. Penjelasan ini dengan empat hal. 1. Dengan kemampuan otaknya manusia mampu melihat jauh kedepan sehingga ia mampu melihat segala bahaya yang belum tampak sekarang ini, namun yang mungkin dapat muncul di masa mendatang. Oleh karena itu, manusia mampu merasakan terancam bukan hanya pada bahaya yang nyata sekarang tetapi juga yang akan terjadi kemudian.  2. Manusia menciptakan simbol-simbol dan nilai-nilai yang menjadi identik dengan diri dan seluruh eksistensinya. Serangan-serangan pada simbol-simbol dan nilai-nilai itu  merupakan serangan pada kepentingan vital manusia. 3. Manusia menciptakan idola-idola pujaannya sendiri sehingga ia menjadi pemuja dan penjaga kesucian dan kemurniannya. Ada kesan bahwa manusia sukar lepas atau sukar hidup karena terikat nilai darinya. Ketergantungan pada idola dan pada tahap perkembangannya merupakan suatu syarat bagi keseimbangan psikisnya.  Setiap serangan pada  idola-idola itu dirasakan sebagai serangan terhadap kepentingan-kepentingan vitalnya.  4. Manusia memiliki kemampuan untuk diyakinkan karena sifat sugestibilitasnya. Seseorang mudah diyakinkan bahwa kepentingan-kepentingan vitalnya terancam bahkan pada saat mereka sebenarnya sama sekali tidak terancam. 
Kedua, sifat agresi manusia yang destruktif yang kejam dan sadistis. Sifat ini dimiliki manusia dengan tujuan untuk mengalami kekuasaan total atau kontrol mutlak atas orang-orang dan benda materi, bahkan sampai titik penghancuran dan penganiayaan. Pengalaman ini diakibatkan oleh perasaan ketidakberdayaan oleh seseorang. Ketiga, sifat agresi manusia yang destruktif yaitu nekrofil atau necrophiliac artinya rasa tertarik pada segala hal yang mati, yang hancur, yang sakit, yang tidak hidup dan tidak bertumbuh dan hanya bersifat mekanistis. Militerisme dan kekerasan yang dilakukan adalah mengindokrtinasikan atau melakukan cuci otak (brainwashed). Akar-akar persoalan psikoanalisis manusia tersebut dijabarkan dan dipakai untuk menganilisis fenomena yang tampak dari perilaku militeristis dan kekerasan serta kerusakan yang ditimbulkannya dalam masyarakat. 
Apakah tindakan sosial sebagai solusinya? Pertama, baik individu maupun kelompok lainnya tidak terancam oleh yang lain. Untuk mencapai kondisi ini, diperlukan basis materi yang mampu memberikan kehidupan sejahtera bagi manusia dan menjadikan penguasaan satu kelompok terhadap kelompok lain tidak memungkinkan sekaligus tidak menarik. Diperkirakan dengan menggunakan sistem produksi, kepemilikan, dan konsumsi yang berbeda dari sekarang. Namun, pernyataan bahwa kondisi ini dapat dicapai tentu saja bukan berarti bahwa ini sungguh akan dicapai atau mudah untuk diwujudkan. Kenyataannya, ini tugas yang sangat demikian sulit, sehingga saking sulitnya, memilih untuk tidak mengerjakannya. 
Kedua, membentuk sistem yang menjamin tersedianya semua kebutuhan pokok dan pengakuan perbedaan hak-hak agama, politik dan hak sosial lainnya bagi semua warga sama halnya dengan meniadakan kelas sosial yang dominan. Manusia harus keluar dari kondisi “keterkekangan,” yang dengan demikian kembali akan memperoleh kebebasan penuh, dan semua bentuk penguasaan eksploitatif akan hilang. Bahwa manusia tidak mampu melepaskan ketergantungan kepada penguasa adalah mitos yang terbantahkan oleh adanya sistem masyarakat yang bisa berjalan dengan baik tanpa hirarki kekuasaan. Untuk bisa seperti itu, tentu diperlukan perubahan politik dan sosial secara radikal yang akan mengubah semua bentuk pergaulan manusia, termasuk struktur keluarga, struktur pendidikan, struktur agama, dan hubungan antar individu, baik saat bekerja maupun lama waktu senggang, akhirnya pada perubahan pada sistem. 
Ketiga, melokalisasi batasan narsisisme kelompok untuk spirit de corps saja. Perlu adanya upaya penghapusan kesengsaraan, kehampaan suasana, kejenuhan dan ketidak berdayaan didapati dalam sebahagian besar masyarakat. Ini tidak dapat diwujudkan hanya dengan memperbaiki kondisi material. Diperlukan pula transformasi sosial secara radikal terhadap dukungan dari oknum dan jaringan tersembunyi dari kelompok tertentu atas kelebihan kekuasaan dalam organisasi-organisasi sosial masyaakat tertentu. Transformasi sosial untuk dapat merubah orientasi pengawasan-kekayaan-kekuasaan menjadi orientasi kehidupan; dari kaya raya dan penimbun menjadi berpunya dan berbagi. Bentuk-bentuk pelaksanaan sebenarnya dari desentralisasi. Tak satupun dari syarat-syarat itu yang dapat dipisahkan satu sama lain. Kesemuanya merupakan bagian dari satu sistem. Dengan demikan, agresi reaktif hanya dapat dikurangi hingga tingkat minimum jika seluruh sistem yang ada sejak zaman primitif hingga zaman kontemporer ini dapat diganti secara fundamental berbeda. Jika ini terjadi, maka nasihat dan tindakan normatif berdasarkan pandangan-pandangan utopis dari ajaran Budha, Hindu, Khatolik, Islam dan Muhammad SAW dan para nabiNya, Yesus Kristus, kaum humanis sejak zaman renaisance akan dianggap sebagai solusi realistis bagi pengagungan martabat manusia, entah siapapun dia.
Keempat, praktik politik multikulturalis. Ini dipahami sebagai praktek “politik diferensiasi, yakni sebagai tindakan sosial untuk adil, terhadap perbedaan. Praktek politik tipe ini hanya slogan indah belaka jika oknum, kelompok, masyarakat, negara memelihara heteropobhia, ketakutan akan yang lain dalam kelainannya, (Ibid, Budi Hardiman, 2003: xix-xx). Sebuah negara multikultural yang mengakui dan memenuhi dengan kepastian hak-hak minoritas dan hak-hak perbedaan dan dan hak-hak universal individu bagi seluruh warganya tanpa menilik orientasi pilihan nilai keberagamaannya. Politik multikulturalisme mendorong negara memperluas respek terhadap otonomi kultural dan otonomi orientasi dan pilihan nilai keberagamaan dan pengakuan terhadap seluruh eksistensi sosial dan atribut sosial lainnya. Artinya adalah meniadakan penyamarataan atau kesamaan dimata hukum yang sering dicirikan secara universalisme dengan pro sebelah. Kymlicka (2003: 22) menjelaskan “Penyamarataan dan penyamaan ini merupakan warisan sikap imperilis-kolonialis” dari kelompok yang nominal yang mengabaikan kelompok minoral dan melakukan gerakan sosial secara sistematis meskipun terlihat sporadis untuk menghapuskan hak hidup berbeda dan hak beragama berbeda. 
Prinsip pemerataan dan penyamaan ini terkait dengan ide keadilan dan kebebasan, karena semua warga negara, warga agama diperlakukan sama tanpa diskriminasi. Ini perlu dikritisi, karena sampai pada taraf tertentu mudah berbalik menjadi ketidakadilan dan keterikatan, jika kekhasan, keunikan, kelainan dari individu dan kelompok terabaikan karena diperlakukan sama bahkan dipukul rata. Dengan prinsip kedua hal itu, kelompok minoral justru terdiskriminasikan, karena kesamaan dan pemerataan itu sering lebih menggemukkan kelompok, melebihkan kekuasaaan dan wewenang  dan dukungan politik praktis bagi kelompok nominal.  Ini perlu dilaksanakan untuk pembentukan masyarakat beragama dan berdemokrasi dapat diupayakan dengan mengikis ideologi atau sistem nilai militeristik. Caranya dengan proses edukasi politik multikulturalisme, edukasi religiusitas (formal, nonformal dan informal), dialogis-praksis akademis dan dialogis-praksis sosial melebihi melewatu sekedar makna dialog teologis, revitalisasi institusi lokal, resolusi konflik melalui kekuatan sosial yang ada, peningkatan toleransi, institusionalisasi negosiasi dsb.
Ini akan membudayakan masyarakat yang civilized-beradab danbermartabat yaitu masyaraat sipil yang intoleransi terhadap berbagai bentuk kekerasan, namun melembagakan dialog teologis, dialog akademis, dan dialog sosiologi-praktis dalam berbagai konflik sosial sehingga dapat hidup bersama secara teologis dan sosiologis. Semua keimanan (Kristen, Islam, Yahudi, Budha, dan Hindu) memberi arti kepada dan mengubah hidup juataan orang sepanjang sejarah. Sayangnya, semua juga mempunyai sisi gelapnya; agama yang mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan perdamaian telah dipakai atau disalahgunakan oleh ekstrimist dan militant, Esposito (2005: ix). Semua tertantang dalam dunia modern dan post-modern untuk merengkuh suatu pluralisme dan multikulturalisme yang bisa menerima keberadaan (bukan mengakui) orang lain dan hidup bersama orang lain (bukan hidup berdampingan) apa adanya, dan siapapun dia. Ini tindakan sosial yang dibangun atas fondasi teologis yang diyakini, untuk menyeimbangkan pengesahan tentang kebenaran iman mereka dengan penghormatan pada kebenaran yang ditemukan pada orang lain, karena agama harus menjadi kebenaran, bukannya kebenaran itu sendiri. Ini yang kita tuju. Sebenarnya agama dalam hal ini seharusnya mampu meninggalkan pola militerisasi dalam kehidupan sosialnya. Agama harusnya harus lebih mengartikulasikan sisi sosiologisnya ketimbang ikatan dan ingin mengikat "yang lain" sehingga terjerat dalam missi messianik teologianya. Jika dibalik, itu keliru. Realitasnya, kehidupan manusia lebih banyak dihabiskan untuk urusan sosiologis ketimbang urusan methafisis berakar wahyuniah semata.  Militerisme sebaiknya dipakai untuk meningkatkan profesionalisme kemiliteran saja, bukan untuk diaplikasikan dan ditingkatkan intensitasnya dalam praktik dominasi sipilnya.
Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat terlihat apa sebenarnya geneologi atau akar-akar kekerasan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Setidaknya ini dapat terbingkai berdasarkan pendekatan psiko-analisis sosiologi dan penampak fenomena yang ditimbulkannya. Setidaknya berdasarkan enam (6) hal tersebut, mak tampak apa sesungguhnya akar persoalan dibaliknya. Inilah yang mengakibatkan kerusakan dan kegetiran sosial yang diimbulkannya. Jika dicari alasan dari oknum dan ormas yang bertindak secara militerisme sosial dengan tendensi kekerasan, alasan utamanya melulu soal moralitas agama dan dan moralitas masyarakat. Ada asumsi masyarakat di luar dirinya dianggap tidak mempunyai moralitas. Ini bisa saja dibenarkan jika ukurannya hanya asumsinya sendiri yang dibangun atas interpretasi teologis sepihak. 
Ini kesalahan historis dan kekeliruan interpretatis jika dilihat dari kontekstual masyarakatnya. Durkheim (Francis, 1961: 4-5) menetapkan, memang tidak ada masyarakat tanpa moralitas. Karakteristik moralitas mereka pada dasarnya bersifat religius. Akan tetapi moralitas seperti ini hanya berlaku pada masyarakat primitif dan terbelakang. Seperti ini bukan karakteristik peradaban agama dan masyarakat kontemporer. Karakteristik moralitas masyarakata dan religius seperti ini tegas terbesar dan terpenting dari manusia bukan terletak pada kewajiban menghargai dan menghormati orang lain di luar dirinya, melainkan rasa patuh dan taat dan rasa hormat terhadap Tuhannya. Kewajiban utama bukanlah rasa hormat terhadap tetangga, menolong dan membantunya, melainkan menjalankan ritus keagamaan secara cermat dan seksama, memberikan kepada Tuhan apa yang dianggap menjadi hak-Nya, bahkan bila perlu mengorbankan dirinya bagi kebesaran nama Tuhan. 
Moralitas kemanusiaan dalam lingkup seperti ini terbatas hanya pada secuil prinsip, hukuman terhadap pelanggaranpun lebih ringan, bahkan dengan kekuatan dan keinginan politik hal itu tidak ada. Pembunuhan dianggap kejahatan yang lebih ringan dan dimahfumkan lebih ringan ketimbang kejahatan karena dianggap tidak taat kepada Tuhan. Dosa moral hanya dianggap jika melawan perintah Tuhan lewat teks-teks kitab suci. Dosa moralitas dianggap lepas dari pelanggran hak-hidup dan hak beragama manusia. Pemberontakan, penolakan dan pelanggaran terhadap moralitas  hanya dianggap pemberontakan, penolakan dan pelanggaran terhadap Tuhan. 
Disinilah posisi penting dari peran pendidikan yang dimaknai sebagai proses edukasi religiusitas. Tujuan utamanya untuk mengedukasi manusia bagaimana ia harus bersikap terhadap mahluk sosial yang juga mahluk religius, meski berebeda cara mengkspresikannya. Harusnya jangan dilupakan, disiplin moral bukan diciptakan dan membela kepentingan Tuhan. Tuhan tidak perlu dibela. Tetapi,  untuk kepentingan umat manusia kontemporer di Indonesia yang ditemukan sejak awal telah multikultural, yakni sebuah masyarakat yang tersusun dari berbagai macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai, atau masyarakat multiagama, multiras yang kompleks di sebuah tempat, dimana aspek-aspek kehidupan yang berbeda bercampur dan hidup bersama dalam satu kesatuan budaya. 
Untuk mengakhiri, masyarakat Indonesia membutuhkan pattron politik praktis yang dapat mengatasi persfektif religionsentrisme dan etnosentrisme, menjadi dereligionsentrisme dan deetnosentrisme, tanpa melupakan hak kolektif, kebanggaan dan kebangsaan bersama yang ikut memformulasi identitas bersama. Pemerintah, dan tiap insan Indonesia sesuai dengan Kymlicka, (ibid., 2003: 24-24), perlu membuktikan konsep ethnic nation, civic nation, dan juga ditambahkan religion nation. Yang awal dipahami sebagai ras atau asal usul genetis atau geneologis. Kedua dipahami sebagai relasi politis yang tidak lagi membedakan agama, ras, etnik, golongan dan sekelas dengannya, karena hal itu dipahami sebagai multi bangsa dan polietnik dengan pluralisme kutural. Yang terakhir dipahami sebagai orientasi dan pilihan nilai-nilai religiusitas dan diakui hak hidup keberagamaan dan hak praktisnya. Semoga dengan memahami akar-akar persoalannya, bangsa kita dapat melakukan tindakan sosial sebagai solusinya, agar kita semua ikut berpesta kebebasan di negri ini. Semoga juga pesta itu, benar-benar pesta demokrasi yang memenuhi hak-hak minoral untuk semua elemen dan anak bangsa, entahlah. Apakah memang manusia Timur dengan adat Ketimurannya masih didominansi insting mammal-kebinatangannya? Lalu, dimanakah agama Timur yang  terkenal slogan haromonisasi manusia dengan alam dan sesamanya sebagai bukti cintanya kepada Tuhannya? Entahlah juga. (si-emboen). www.google.com