Saturday, January 29, 2011

Metodologi Riset Kristen



Metode Triangulasi:
Strategi multi-pendekatan dalam paper & riset theologia Kristen 
Elia Tambunan, M.Pd.
Pendahuluan
Secara tradisional, pegiat keilmuan Kristen masih memelihara jurang atau pemisahan (dalam filsafat ilmu lebih dikenal dengan istilah “gap”)  dalam paper & riset sosial sains (theologia yang kelompokkan di dalamnya) antara paradigma pendekatan riset kualitatif dan kuantitatif. Masing-masing mereka dalam perspektif kedua pendekatan itu, memiliki paradigma yang sedikit berbeda. Perbedaan antara kedua paradigma itu berkait dengan tingkat epistemologi yang cukup tipis, tingkat kerangka teoritis, serta tingkat metode dan teknik-teknik yang terlibat di dalmnya. Banyak penulis & periset yang tetap mempertahankan salah satu paradigma. Tetapi, saya sangat merekomendasikan untuk penggunaan penggabungan (artinya mengiinterrelasikan dalam batasan tertentu sesuai dengan problem akademik yang diselidiki) keduanya. Penggabungan dua metode yang berbeda dalam paper dan riset memunculkan persoalan gerak antara paradigma-paradigma pada tingkat epistemologi dan teori (Julia Brannen, 2005: 9)
. Ini bagus untuk pengembangan keilmuan theologia Kristen.  




Keberadaan dua paradigma yang berbeda, mengesankan adanya sesuatu yang menjadi pedoman para penulis & periset terutama bagi praktek-praktek lapangan yang mereka lakukan. Untuk itu, diperlukan multi-metode yang lebih tepat agar dapat mengungkap dan menjelaskan makna dari fenomena sosial yang diteliti. Dalam essay ini, saya telah menggeser paradigmanya dari analisis tekstual kitab suci menjadi analisis empiris terhadap masyarakat yang mempercayai kitab suci. Artinya pengetahuan tentang teks (textual science) sudah bukan lagi eranya sekarang, meski itu tetap dibutuhkan. Tetapi, pengetahuan tentang kehidupan alamiah manusianya (human nature and social action science) karena mempercayai dan menjadikannya sebagai norma dan etika kehidupan sosial masyarakat Kristen. Terhadap yang pertama bukan karena tidak percaya terhadap isi dan tulisannya, tetapi hal itu sudah  final. Terhadap yang kedua merupakan konsentrasi studi yang lebih penting. 
Essay ini bisa diposisikan sebagai kritik atau gugatan akademik terhadap orientasi keilmuan theologia Kristen berbasis kajian tulisan. Kajian model ini saya sebut sebagai "tipe keilmuan editor". Saya tipologikan sebagai editor karena hanya mengedit-edit ulang tulisan yang sudah ada. Penulis & periset Kristen, enggan (jika tidak terima disebut malas) melakukan anilisis dan melakukan kritik atau review literatur Kristen yang telah ada. Hasil tipologi keilmuan sepertti itu, saya anggap hanya repetisi-daur ulang pemikiran yang telah ada dari sejak zaman bapa-bapa tua gereja dan tokoh sesudahnya. Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, jika saja mau untuk melakukan riset singkat di rak-rak fakultas thelogia atau perpustakaan institusi pendidikan Kristen  lain, maka akan terlihat jelas tumpukan ilmu tipe editor ini dalam tulisan akademik. 
Tumpukan ilmu yang berdebu dan mati karena tidak terpublikasi keluar ke masyarakat Kristen, mulai paper dan sekelompok dengan itu hingga  riset yang seolah-olah akademik dari level D1-S3 atau S selanjutnya. Ini syndrom yang perlu dicarikan obatnya oleh para pegiat keilmuan Kristen tersebut. Inilah permasalah akademik yang ingin saya tangani sekalgus sebagai kontribusi akademik dari essay ini secara partikular dalam area studi metodologi riset. Kali ini, saya hanya ingin memberikan eksplanasi pentingnya mempekerjakan metode triangulasi sebagai sebuah strategi multi-pendekata dalam paper & riset keilmuan theologia Kristen untuk menyelidiki secara langsung perilaku atau tindakan sosial dalam kehidupan masyarakat Kristen dalam dunia yang kongkrit bukan lagi sebatas dunia abstraks. 
Triangulasi sebagai Sebuah Strategi Pengamatan
Terkait dengan triangulasi, R.G. Burgess (1982), menurut J. Brannen memilih mamakai istilah “strategi penelitian ganda” untuk menyebut penggunaan metode yang beragam dalam memecahkan suatu masalah paper& riset. Menurut pendapatnya, metode-metode lapangan yang tidak melibatkan observasi, wawancara dengan informan dan sampling dipandang sempit dan tidak memadai. Argumennya, para penulis & periset harus fleksibel dan karenanya harus memilih metode yang sesuai dengan masalah yang diteliti (Ibid, Julia Brannen, 2005: 20).  
Ini sebagai anjuran bagi theologia sebagai subject matter, bahwa eranya menurunkannya ke bumi ke area yang kongkrit dan realitas, bukan lagi abstrak dan melulu soal kata-kata dan kalimat-kalimat illahiyah yang pasti bersifat wahyu atau methafisis, sedikit berbau mistisis. Metode trianggulasi sebagai sebuah strategi pengamatan-inquiry sangat dipentingkan dalam paper & riset akademik theologia. 



Ini semakin logis karena tidak mungkin mengobservasi dan mewanwancarai Abraham, Musa, Daud, Salomo, Simson, Yesaya, Paulus, Lukas, Petrus atau Yohanes yang telah lama mati, meski hidup dalam abstraksi para teolog dan murid yang mengikutinya. Tetapi, sangat mungkin mengobservasi dan mewawancari Parjo, Sukinem, Hasudungan, dan Minar tentang kehidupan dan tindakannya dalam kesehariannya. 
Sesuai dengan strategi multi metode ini, Brannen berkata bahwa terminologi yang lebih tua usianya dan digunakan lebih luas dijumpai dalam literatur yang menyebut strategi ini sebagai “triangulasi,” sebuah istilah yang asalnya dipinjam dari laporan-laporan psikologis dan dikembangkan oleh Denzim (1970). Bagi Denzim, menurut J. Brannen triangulasi tidak hanya mencakup metode dan data tetapi juga para peneliti dan teori-teorinya juga (Ibid, Julia Brannen, 2005: 20).  
Pada umumnya peneliti menggunakan istilah triangulasi dalam arti lebih dari satu metode penelitian dan karenanya lebih dari satu jenis data. Untuk memahami soal triangulasi, dan mempekerjakannya dalam theologia, kita perlu memahami filosofisnya terlebih dahulu dalam paper & risetnya. Di dalam keduanya dituntut validitas dan reabilitas hasil pengamatannya. 



Hal itu yang lebih sering digunakan dalam riset kuantitatif. Dalam riset kualitatif dipakai istilah validasi atau reablitas. Validasi  adalah ketepatan antara data yang terjadi pada situasi sosial penelitian dengan data yang dilaporkan peneliti. Artinya tidak terjadi perbedaan realitas dengan laporan. Sedangkan reabilitas adalah ketetapan data (Sugiyono, 2006: 215). Salah satu tehnik pendekatan untuk memenuhi tuntutan validitas dan reabilitas ini adalah dengan metode dan pendakatan triangulasi. Oleh karena itu, tidak lagi cukup valid dan reabil jika dalam paper & riset theologia hanya pendekatan semiotika atau ilmu semantis belaka. Itu berat sebelah dan tergembok dalam pengertian teks, tidak sampai pada dampak sosial sebagai akibat dari orang Kristen yang meyakini teks-teks sucinya. 
Tipe-tipe Triangulasi dan Karakternya
Denzim (1970) dalam tipologi metodologinya memberikan beberapa metodologi triangulasi 
dengan beberapa tipe dan karaktenya yakni: 
Pertama, Triangulasi waktu yaitu tipe yang berusaha untuk mempertimbangkan factor-faktor penyebab dan proses kronologis yang menyatukan pendekatan-pendekatan dalam rancangan-rancangan. Lintas seksi dan longitudinal. Riset lintas waktu dan budaya masyarakatnya setiap zaman memakai verifikasi atau pengamatan “timing” dan kontemporaritasnya terhadap masyarakat Kristen sekarang. Ini juga testing teori diantara banyak orang-teolog-filsuf Kristen, dapat juga mengukur diantara populasi dengan menggunakan beberapa instrument pengkuran yang berbeda sesuai dengan waktu sekarang. Ini masuk akal, mereka hidup dalam zaman dan kondisi yang berbeda. Bukannya hasil pemikiran mereka tidak lagi implemented tetapi, situasi yang melatarinya yang mendominasi mereka pada waktu memproduksinysi. 




Kedua, Triangulasi ruang, yaitu tipe yang berusaha untuk mengatasi struktur pengamatan perilaku di dalam suatu wilayah, kondisi historis yang tedapat erat dalam realita sosiologisnya. Metode ini dipakai untuk mengatasi hambatan–hambatan dalam mempelajari perilaku atau tindakan dalam kondisi sosialnya. Tentulah zaman PL, PB, setelah ruang keduanya, masih ada ruang sosial lainnya sesuai dengan kultur dan subkultur manusianya.
Ketiga, Triangulasi level kombinasi, yaitu tipe yang menggunakan beberapa tingkat analisis dari tiga tingkatan prinsip-prisip sosial sains yang dinamakan tingkat individu, tingkat interaksi individu (kelompok) dan tingkat kolektif (organisasi, budaya dan masyarakat Kristen sesuai dengan masyarakatnya). 



Keempat, Triangulasi teoritis, yaitu tipe yang di buat sebagai alternatif  untuk membandingkan preferensi teori-teori yang telah ada sebelumnya. Namun, penulis & periset Kristen selanjutnya penting untuk memposisikan dirinya dalam teori yang telah ada. Ini hanya dapat dikerjakan jika ia melakukan kritik dan gugatan terhadap pendekatan dan metodologi yang dipakai sebelumnya.  Ini penting untuk mengutamakan komprehensifitas pemahaman saja, dan mengisi kekurangan-gap yang belum disentuh sebelumnya. 
Kelima, Triangulasi investigator, yaitu tipe yang berusaha untuk menggabungkan lebih dari beberapa penulis & periset. Ini lebih bermanfaat sebagai bertemunya beragam pandangan penulis & periset dalam satu dispilin akademik. 
Keenam, Metodologi triangulasi, yaitu tipe yang berusaha untuk menggunakan beberapa metodologi yang lain: (a) metode yang sama dengan peristiwa yang lain, atau (b) berbeda metode-metode tetapi sama objek dan penelitian. Ini untuk mengejar validitas dan reabilitas data dan hasil kajian. 
Sementara itu, sesuai dengan hal itu, menurut uraian Julia Brannen tentang Tipe-tipe Triangulasi bahwa ia menjelaskan ada 4 hal yakni: Kesatu, Metode-metode ganda yakni bahwa metode triangulasi bisa terjadi antar metode atau juga bisa didalam metode. Pendekatan dalam metode mencakup metode yang sama yang digunakan pada kesempatan-kesempatan yang berbeda, sementara antar metode berarti pemakaian metode yang berbeda dalam kaitan dengan objek studi  yang sama, masalah yang substantif dan lain-lain.
Kedua, Riset gabungan yakni tulisan & riset yang dilakukan oleh kemitraan atau kelompok, bukan oleh orang perorang. Pengorganisasian riset adalah bagian yang penting dari strategi riset. Individu yang berbeda dan gabungan penulis & periset pasti membawa persfektif-persfektif yang berbeda-beda ke dalam tulisan & riset, tergantung kepada disiplin, persuasi-persuasi teoritis dan politis, jenis kelamin serta usia dan latar belakang sosial mereka. Sekalipun masing-masing penulis & periset menggunakan metode riset yang sama, tetapi biasanya dia membawa sudut pandang lain ke dalam tulisan & riset yang bisa mempengaruhinya memandang data.
Ketiga, sekumpulan data gabungan, yakni kumpulan data yang berbeda disamping bisa diperoleh melalui penerapan metode-metode yang berbeda, juga melalui penggunaan metode yang sama pada waktu yang berbeda. Data bisa dikumpulkan pada waktu yang berbeda dan konteks situasi ataupun latar yang bervariasi. Disamping itu, data kadang-kadang terkait dengan tingkat-tingkat analisis sosial yang berbeda, tingkat individual, tingkat interaktif dan kolektif.
Keempat, Teori-teori gabungan, yakni disamping kumpulan data gabungan para penulis & periset juga bisa menggunakan teori-teori gabungan. Analisis data awal, bersama dengan wawasan-wawasan dari proses tulisan & riset itu sendiri, bisa menghasilkan sejumlah kemungkinan teori dan hipotesis tentang masalah yang diteliti. Ini pada gilirannya dapat diuji pada data. Jika tidak, pengujian penelitian sebelumnya dapat menuntun penulis & periset menguji sejumlah hipotesis yang logis dan mungkin kontras dengan temuan-temuannya (Ibid., Julia Brannen, 2005: 20-22).

Triangulasi dalam Paper & Riset Theologia Kristen
Triangulasi saya pahami sebagai metode atau strategi penyelidikan nilai-nilai teologis dalam realita sosial orang Kristen dengan menggunakan dua atau lebih metode untuk mengumpulkan data dalam riset perilaku atau tindakan manusia Kristen atau bidang riset sosial sains lainnya. Ini adalah sebuah teknik riset dengan beberapa prinsip penerapannya. Menggunakan multi metode atau multi pendekatan biasanya trianggulasi dikenal dalam sosial sains (Bahan Kuliah, 2009: 233)
. Teknik triangulasi dalam ilmu itu berupaya untuk memetakan, menjelaskan, mengeksplorasi secara lebih luas dan sangat mendalam sehingga terpahami makna dari yang dipertontontonkan oleh manusianya. Keluasan  dan kompleksitas riset perilaku atau tindakan manusia Kristen dapat diteliti dengan cara ini, dengan mempekerjakan lebih dari satu sudut pandang dan terus menerus, dapat dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Hal ini dipakai untuk mengatasi bias penulis & periset yang dilakukan jika hanya menggunakan satu metode  dan pendekatan saja. 

Dengan pendekatan triangulasi maka, hal ini dapat diteliti meskipun harus dengan norma-norma atau kaidah-kaidah riset yang benar dengan pendekatan beberapa metode mengumpulkan data yang secara substansial hasilnya akan sama (dimana triangulasi digunakan untuk pemaknaan penelitian untuk menginvestigasi perbedaaan sudut padang penulis & periset, namun dengan pendekaan dan metode yang sama (Bahan Kuliah, 2009: 233-234)
.  Dengan demikian, menggunakan metode pendekatan dan teknik riset dengan cara triangulasi akan mengatasi masalah “methode-boundedness” keterbatasan riset. Triangulasi sering digunakan untuk mengaitkan proses analisis dengan proses konfirmasi. Oleh karenanya, tirangulasi merupakan bentuk riset multi operasional. Ini bukanlah hanya sekedar taktik, cara atau strategi, riset dalam mengumpulkan data semata. 

Istilah triangulasi juga bisa berarti konvergensi antar riset (penyatuan catatan lapangan satu penulis & periset dengan hasil obsservasi dari yang lain), sekaligus konvergensi antara berbagai teori yang digunakan, preskripsi umum dipakai untuk mengadopsi sumber-sumber triangulasi yang memiliki bias dan kekuatan yang beragam. Sehingga masing-masingnya dapat saling melengkapi. Dalam riset empiris, berbagai tolok-ukur independent tidak sepenuhnya dapat disatukan. Data observasi tidak sepenuhnya bersesuaian dengan data wawancara, demikian data survey dengan salinan rekaman. Dengan kata lain, sumber-sumber data apapun bisa bersifat inkonsisten dan bahkan saling bertentangan, sehingga tidak mudah dipertemukan.  
Seorang penulis & periset yang mengumpulkan data teologis dlam kehidupan sosial masyarakat Kristen, berdasarkan penuh kesadaran harus sepenuhnya pula melakukan cek silang berdasarkan temuannya atas sumber-sumber yang lebih beragam dan jenis-jenis bukti akan mampu memasukkan taktik triangulasi kedalam proses pengumpulan data. Langkah ini akan menjadi cara menulis dan meriset untuk memperoleh temuan-temuan (findings) penting. Dengan melakukan triangulasi itu, maka peneliti telah mengamati dan menyimak berbagai kasus dari sumber yang beragam, dengan menggunakan beragam metode, dan dengan mendialogkan satu temuan dangan temuan lain secara bersamaan. Dengan logika pemahaman seperti ini, penulis dan periset berhasil membuat daftar taktik atau strategi yang dapat menjaganya dari bias-bias peneliti yang meliputi: a) untuk pengecekan tingkat representasi kebenaran data yang diamati, b) untuk pengecekan reaktifitas dan orang lain yang ternyata mengamai hal sama dengan hasil yang berbeda, c) untuk mentriangulasikan dan memfokuskan pada bukti berdasarkan tolok-ukur yang lebih tegas dan jelas (A. Michael Huberman dan Mattew B. Miles, 2009: 605)

. Inilah manfaat akademik yang bisa diperoleh dalam thoelogia sebagai subject matter. ika selama ini hanay ilmu editor yang menggabung-gabungkanm pendapat tokoh, dosen pengajarnya atau buku-buku teologi terkait, menjadi berbalik kritik dan gugatan terhadapnya berbasis findings dari lapangan.
Mempekerjakan Triangulasi dalam Area Studi Theologia Kristen
Kini waktu yang lebih tapat bagi penulis & periset Kristen lebih konsentrasi kepada riset empiris terkait soal manusia bukan lagi teks-teks, teks, suratan dan tulisan belaka. Fokus empirisitas keilmuan theologia Kristen untuk mengamati kehidupan dapat diarahkan secara partikular untuk mengamati kehidupan masyaraat Kristen terkait soal individu, kelompok dan masyarakat. Hal-hal itu bisa saja menyangkut; 1) analisis kelompok (meneliti pola interaksi individu dan kelompok-kelompok), 2) analisis unit organisasi (meneliti soal-soal unit yang memiliki keseimbangan bukan karena dipengaruhi oleh sesuatu yang dilakukan individu), 3) analisis institusional (meneliti soal-soal hubungan antar hukum, politik, ekonomi, dan institusi keluarga di masyarakat), 4) analisis ekologi (meneliti soal-soal penjelasan ruang), 5) analisis kultural (meneliti soal-soal norma-norma, nilai-nilai, praktek-praktek hidup, tradisi-tradisi,  budaya dari suatu ideology), 6) analisis sosial (meneliti soal-soal faktor-faktor besar seperti urbanisasi, industrialisasi, pendidikan, dan kesehatan dsb), dimana memungkinkan menggabungkan bebrapa kombinasi tingkat analisis yang dapat dipakai. 
Mengingat pentingnya metode trianggulasi sebagai strategi untuk mengkritik dan mengembangkan keilmuan theologia Kristen, maka secara lebih luas dapat dipekerjakan dalam area studi yang lebih bervariasi. 
Kesatu, Triangulasi secara tepat digunakan dalam Hasil Pendidikan. Triangulasi teknik yang cocok digunakan ketika mengamati hasil lulusan pendidikan Agama Kristen, secara holistik. Dalam hal ini dapat digunakan untuk meneliti mengukur dan menilai hubungan kompleks antara kelas dan variable sekolah, hasil cognitive dan dan nonkognitif siswa. Ini dapat dilakukan dengan studi kasus menilai strategi mengajar guru, sistematisasi dengan mengobservasi jadwal, yang digunakan.

Kedua, Triangulasi secara tepat digunakan dalam fenomena yang kompleks. Triangulasi teknik yang relevan digunakan ketika mengamati fenomena yang terjadi di masyarakat yang membutuhkan penjelasan. Dengan berbedanya filosofi tujuan dan prakteknya dalam dua kelas akan memberkan data yang sangat terbatas. Kombinasi kriteria factor-faktor akademik dan dan non akademik akan memberikan gambaran yang lebih nyata dan kedua peneliti  akan membandingkannya. 
Ketiga, Triangulasi secara tepat digunakan dalam evaluasi metode mengajar. Triangulasi secara tepat digunakan dalam mengevaluasi metode mengajar yang memungkinkan dapat dievaluasi. Penulis  & periset dapat melakukan penelitian menggabungkan dan memisahkan efek metode mengajar dengan komputer dan program video pada siswa terhadap prestasi belajar siswa dalam mempelajari geometry. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan gabungan program computer dengan video hamper sama rendah terhadap pencapaian prestasi belajar, dibanding tidak menggunakan media belajar.
Keempat, Triangulasi secara tepat digunakan dalam studi-studi kontroversial. Triangulasi secara tepat digunakan dalam studi-studi kontroversial dalam pendidikan perlu dievaluasi lebih lanjut.  Issunya adalah soal-soal komprehensif sekolah. Dalam hal ini diperlukan penelitian mendalam. Hal seperti ini dapat dilakukan dengan mengukur dan menginvestigasi banyak faktor seperti keberhasilan akademik, metode mengajar, praktek ketrampilan, ketertarikan soal-soal budaya, ketrampilan sosial, hubungan interpersonal, semangat komunitas dan sebagainya. Hal-hal in akan semakin baik jika menambah jumlah sekolah yang diteliti yang lebih luas. 
Kelima, Triangulasi secara tepat digunakan dalam persfektif yang lebih luas. Triangulasi secara membantu bila digunakan dalam persfektif yang lebih luas ketika akan menetapkan gambaran pendekatan yang sangat terbatas. Dalam hal ini kita diingatkan oleh dikotomi tradisional antara norma-norma kontra pemaknaan, nomothetic kontra idiografik, statistik kontra klinis. Hal pertama, hal-hal ini harus diasosiasikan dengan kelompok-kelompok agar lebih objektif dengan data saintifik. Kedua, dengan data individu dan subjektif. Lalu, membuat kategoris-kategoris dan pembanding. 
Keenam, Triangulasi secara tepat digunakan dalam studi Kasus. Triangulasi secara tepat digunakan jika penulis & periset diperhadapkan dengan studi kasus, khusunya dalam kasus yang fenomena yang kompleks. Metode yang tepat adalah dengan metode khusus dengan mengumpulkan saksi-saksi dan memperhitungkan kejadiannya, maka hasil temuannya akan lebih baik. Dalam hal inilah inti dari studi kasus untuk meneliti tentang sudut pandang yang banyak dalam situasi sosial. Studi kasus dibutuhkan untuk mewakili dan menghubungkannya, sehingga realitanya akan terpahami.
Pada bagian akhir, saya ingin menyatakan, bahwa penulis & periset Kristen dituntut untuk mengembangkan langkah-langkah kongkrit dan alasan akademiknya dalam penggunaan metode triangulasi sebagai metode atau strategi penyelidikan nilai-nilai teologis dalam realita sosial orang Kristen, sesuai dengan problem akademik dan area studinya. Ini yang dibutuhkan kini untuk mengungkap masalah-masalahnya. Tentulah, hal itu juga melibatkan berbagai pertimbangan pragmatis, menyangkut pembiayaan, keorganisasian dan hal-hal yang terkait dengan kemampuan akademik penulis & perisetnya. Namun demikian, demi percepatan pengembangan keilmuan Kristen khususnya di bidang metodologi riset, inilah yang menjadi permasalahan akademik terbaru. Metode ini penting dipekerjakan sebagai sebuah cara untuk memahami secara inquiris, bagaimana konteks sosial dan tindakan sosial manusia yang mempercayai tkes-teks sucinya. Teks yang mereka percayai tidak ada masalah bahkan tidak pernah salah (innerancy litteracynya). Oleh karena itu, tkesnya tidak lagi perlu dipersoalkan, hal itu malahan seolah-olah ada yang salah dengannya. Tetapi bagaimana hasil atau implementasi teks itu dalam kesehariannya. (Siemboen).
Refferensi:
Bahan kuliah topik tentang Triangulasi dari Metode Penelitian Sosial, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,  November 2009. Dosen   Pengampu: Prof. Dr. H. Nasruddin Harahap,

Brannen, Julia, Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif,  terj. H. Nuktah Arfawie Kurde, Imam Safe’i Noorhaidi A. H., Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda, 2005.

Huberman, A. Michael dan Mattew B. Miles, Manajemen Data dan Metode Analisis, dalam Hand Book of Qualitatif Reseacrh, Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln.  (Eds.), terj. Dariyatno, Badrianus Samsul Fata, Abi, Joh Rinaldi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2006.

Wednesday, January 26, 2011

Sosiologi Pelayanan Gereja

Sikap Teologis & Aksi Sosiologis Pelayanan &  Hamba Tuhan
Elia Tambunan, MP.d
Essay ini pernah dimuat di www.pantekostapos.com, Sabtu, 27 November  2010.

Era post-modernitas kini, masyarakat adalah subjek dari tindakannya sendiri. Struktur masyarakat bukan lagi hanya kaum terdidik, melainkan rakyat biasa telah masu hitungan. Hasilnya, masyarakat merdeka, bebas dari tekanan dan dominasi siapapun dalam melakukan tindakan praxis bersama-sama. Ruang sosial kehilangan dominasi dan otoritarianisme absolutis dan keharusan ikatan dan keterikatan keyakinan-keyakinan agama. Masyarakat semakin tidak mengalami religionphobia, ketakutan yang menimbulkan kebencian terhadap agama lain. Meski demikian, masyarakat tetap berazaskan kode etik organisasi, ad/art, ikatan, komunitas, asosiasi dsb yang biasanya berdasarkan norma-norma agama para anggotanya. Meski ada konsekuansi dekadensi moral. Jika demikian kondisi sosialnya, pertanyaan yang bisa dialamatkan adalah bagaimana sikap teologis dan tindakan sosiologi pelayanan dan gereja yang mesti ditampilkan? Apa yang harus dilakukan? Dalam essay ini, saya akan mendekatinya dengan pendekatan sosiologis. Pelayanan dan hamba Tuhan GPdI dalam hal ini saya posisikan sebagai contoh kasus dalam setting sosial seperti ini? Ini perlu dipertimbangka bersama secara seksama, meski tanpa melupakan artikulasi dari nilai-nilai teologisnya kita.

Saya merumuskan persoalannya secara akademik agar kita lebih berpikir kembali soal fenomena dan realitas sosial serta implikasinya di masyarakat:1) bagaimana sikap teologis dan aksi sosiologis kita dalam proses menjadi (on being) pelayan atau jemaat GPdI di dalam masyarakat, 2) bagaimana sikap teologis dan aksi sosiologis kita dalam keterlibatan sosial (on involving) di dalam perubahan sosial masyarakat Indonesia yang semakin terdidik, 3) bagaimana sikap teologis dan aksi sosiologis kita dalam membawa keluar (on sharing) pelayanan kita ke masyarakat Indonesia yang semakin sadar dan menuntut pluralitas dan multikultural. Untuk itu, kita perlu memikirkan ulang pendekatan teks keagamaan kita secara teologis dan reorintasi pelayanan kita secara sosiologis

Permasalahan akademik disini perlu kita pahami dalam dua pendekatan yakni pendekatan normatif teologis dan pendekatan sosiologisnya secara lebih cermat. Pendekatan ini konsentrasi pada praxis kolektivitas religius sebagai mikrokosmos masyarakat dimana proses dan pola sosial dapat diamati, (M.S. Northcott, 2005: 271) Pendekatan sosiologi menyelidiki perilaku keagamaan untuk mempertanyakan dan memaknai keyakinan dan ritual keagamaan apa yang terus bertahan  dalam lingkungan kehidupan tertentu dan mengapa? Ini ingin melihat secara langsung kaitan antara  lingkungan personal atau konteks sosial tertentu dengan keyakinan mengenai Tuhan. Ini juga ingin mengetahui pengaruh penjelasan keagamaan mengenai penyimpangan dan kekacauan sosial ataupun penyakit sosial dan upaya-upaya sosial untuk mengatasinya. Disinilah pendekatan sosiologis sangat diperlukan.

“Merombaknya”, bukan jadi tujuan tetapi, untuk memikirkan ulang sikap teologis dan aksi sosiologis pelayanan dan pendeta GPdI yang didasari oleh Corps de Spiritnya yang bersumber darinya dan tanggung jawab moral dan teologis kita sebagai hamba Allah di tengah mayoritas, pluralitas dan multikulturalitas agama di seluruh Indonesia. Dengan pemahaman seperti itu, artian sebenarnya peran sentral gereja dan agama tetap menguat hanya saluran atau cara kerjanya lebih umum dan tetap memperhatikan kebutuhan individu dan kelompok agama tertentu. Kini, kita (saya akan tetap mempertahankan kata “kita” yang artinya pendeta, pelayan, aktivist gereja, dan jemaat Kristen yang ikut terlibat aktif dan aktor di dalammnya, termasuk saya), sedang memasuki era “masyarakat post-sekular” yang di dalamnya sekularisasi harus diinterpretasikan secara baru sebagai proses tindakan komunikatif (Habermas, 2009: 4), dan saling belajar berkomunikasi antara pemikiran sekular dan pemikiran religius, antara agama yang satu dengan yang lain .

Dalam setting sosial masyarakat rasionalist dan multikulturalist, saya melihat sebenarnya masih ada celah kemerdekaan kebebasan hak individunya dalam menentukan pilihan berTuhan, berAgama atau tidak. Rasionalitas dan multikulturalitas berdampak pada masyarakat bebas menggunakan rasionya di dalam ruang public.” (Habermas 2007: xv).  Masyarakat rasionalitas (Habermas, 2002: 148) maksudnya: 1) Masyarakat percaya dengan bebas terhadap kekuatan akal budi manusianya. 2) Masyarakat menolak klaim kebenaran tradisi, dogma dan otoritas di luar pemikiran rasionalnya yang tidak dapat begitu saja ditetapkan oleh otoritas religius. 3) Masyarakat mengembangkan metode baru bagi ilmu, pengetahuan dan teknologi. 4) Masyarakat mengarahkannya kepada ha-hal yang sekularis. Sekularisasi ialah suatu pandangan dasar dan sikap hidup yang dengan tajam membedakan antara Tuhan dan dunia sebagai sesuatu yang duniawi saja. Sekularisme menghilangkan unsur-unsur gaib dan keramat (Mendieta, 2002: 15).  Lalu, masyarakat multikulturalitas saya maknai dengan mayoritas, pluralitas dan multikulturalitas. Pertama, mayoritas disini dimaksudkan  adalah nominal anggota pemeluk kelompok non Kristen, dukungan politik dan regulasi hukum di daerah-daerah mendominasi bahkan menindas yang lain. Setidaknya ini terlihat dari konflik politik sebenarnya jika cermat diurai detail-demi detail, itu manifestasi politisasi keagaaman dalam kasus pembakaran gereja. Dan, diberlakukannya otonomi daerah dan sekaligus otonomi regulasi hukum Syariah Agama, di daerah-daerah Mayoritas Islam.

Kedua, pluralitas maksudnya disini dimaknai sebagai masyarakat bahkan “dunia yang terdiri atas berbagai agama” (W.C. Smith, 2000: 46). Ketiga, multikulturalitas maksudnya disini adalah partisipasi publik dengan saling memahami ada perbedaan dan telah saling berintegrasi dengan hidup dan bekerja bersama dalam konteks egaliterianisme demokrasi dan bebas berkewarganegaraan yang termanisfestasi dan terakomodasi dalam perbedaan serta  kesamaan dalam institusi masyarakat dan institusi politik. Masyarakat yang bebas dalam sharing something in common, artinya membagikan suatu nilai-nilai keyakinan yang umum tanpa tendensi apapun sebagai warganegara (Modood, 2007: 6). Keanekaragaman keagaman ini menimbulkan persoalan manusia secara umum, karena ia mengacaukan masyarakat. Ini karena tradisi-tradisi yang berbeda, yang berkembang secara terpisah dan menyendiri. Ia berbuat demikian, karena agama dalam pengertian militansi dari aksi fanatisme atau fundamentalismen sikap pemeluknya menjadi kekuatan yang mengerikan karena saling mendominasi dan berebut pemeluk, bukan hanya secar eksternal agama, juga secara internal organisasi, jika internal mikro sesama anggota jemaat gereja tertentu.

Bagaimana dengan GPdI  hari ini? Saya menganalisisnya sebagai sebuah contoh kasus dilihat dari beberapa butir pasal di AD/ARTnya yang tampak jelas. (karena lebih banyak saya ketahui dibanding yang lain). Beberapa butir pasal saya gunakan sehingga menunjukkan sifat analisis partikularis dari tulisan ini. Jika diamati dengan pendekatan interkoneksi dan intergatif antara normatif teologis dan sosiologis, maka perlu direaktualisasi. Artinya dipikirkan ulang agar lebih aktual, efektif sesuai dengan konteks lokal, stereotype daerah dan OTDAnya. Perlu revitalisasi, artinya penguatan ulang dengan mendesain ulang (bukan meragukan iman dan meragukan pendeta, organisasi dan pelayanannya) pendekatan pelayanannya dan cara mengekspersikan nilai-nilai doktrin dan institusi keorganisasian dan keagamaan, di tengah Mayoritas, Pluralitas dan Multikulturalitas Agama seperti penjelasan di atas.

Di dalam Bab Mukadimah AD&ART setidaknya, para pionir yang sangat berjasa dan harus dihormati serta diteladani, oleh dorongan dari Roh Kudus-ini kita terima dengan iman saja-, telah merumuskan saat itu, bahwa: “GPdI terpanggil mengamalkan Amanat Tuhan  Yesus Kristus untuk memberitakan Injil sepenuhnya yang termaktub dalam Alkitab yaitu: “Pergilah ke seluruh dunia (baca: masyarakat yang tinggal di dalam dunia), beritakanlah Injil kepada (baca: injililah) segala mahluk, siapa yang..., (Mrk 16:15-18), dan Karena itu pergilah (baca: tindakan aktif berbuat sesuatu), jadikanlah semua bangsa muridKu (baca: “menerima Yesus” yang umumnya masih kita fahami menjadi Kristen dari pendekatan teologis), dan baptislah...” (Mat 28:19-20)”. Lalu, dalam Bab II Asas, Pasal 5 dirumuskan: “GPdI berasaskan pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Tidak ada yang salah dengan ini sebagai AD&ART sebuah organisasi keagamaan dari pendekatan normatif teologis dan memenuhi perintah berbuat sesuatu yang riil dari amanat agung kedalam pelaksanaannya dari pendekatan sosiologis. Pendeta, pelayanan GPdI sedang melaksanakannya.

Kemudian, dalam ART Bab I, Penginjilan, Pasal 1: GPdI dalam mencapai tujuannya (di AD, Bab IV, Tujuan, Pasal 8: GPdI bertujuan mengamalkan amanat Tuhan Yesus Kristus yang termaktub dalam Alkitab PL&PB demi keselamatan - dalam pendekatan normatif teologis- umat Manusia- dalam pendekatan sosiologis-, melaksanakan kebaktian-kebaktian penginjilan di gedung-gedung gereja, di kota-kota, di desa-desa, di kampung kampung, di dusun-dusun, di rumah-rumah sakit, di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di asrama-asrama, di kompleks perumahan (real estate, ruko, perkantoran), di lembaga-lembaga pemasyarakatan, di daerah pemukiman, di daerah transmigrasi, diperkebunan, di panti-panti asuhan dan rumah-rumah jompo, di daerah-daerah suku terasing, di perusahaan-perusahaan, ditempat lain dimana Injil dapat diberitakan, dan mengadakan Kebaktian Kebangunan/Penyegaran Rohani  dalam gedung-gedung umum, di lapangan terbuka atau dalam kemah penginjilan, serta menyiarkan berita Injil, memalui media massa, dan mengutus penginjilan-penginjil baik ke seluruh pelosok Indonesia maupun ke luar negeri”.

Melihat kondisi masyarakat dalam era post-modernitas maka saya melihat pentingnya dilakukan pendekatan interkoneksitas dan integratif antara Normatif Teologis dan Sosiologisnya dalam hal revitalisasi dan reaktualisi pelayanan GPdI. Pertama, perlu kita pahami dengan benar bahwa hanya dengan pendekatan normatif teologis seperti yang dirumuskan founding fathers kita bahwa: “GPdI terpanggil mengamalkan Amanat Tuhan Yesus Kristus untuk memberitakan Injil sepenuhnya yang termaktub dalam Alkitab yaitu: “Pergilah ke seluruh dunia sasarannya tentulah masyarakat yang tinggal di dalamnya yang telah pasti kita hidup bersama masyarakat yang mayoritas, bermasyarakat yang pulralistas dan multikultural. Kemudian, beritakanlah Injil kepada yang dimaksudkan adalah injililah segala mahluk artinya siapa saja masyarakat yang mayor, plural, dan multi ttersebut. Selanjutnya, jadikanlah semua bangsa muridKu dalam hal ini cita-cita kita adalah  semua masyarakat mayor, plural dan multi akan “menerima Yesus” yang umumnya masih kita fahami menjadi Kristen dari pendekatan normatif teologis.

Ini perlu dipikirkan ulang untuk menuntun kita dalam melayani, Jika ini diterapkan secara mekanis, skripturalis akan menimbulkan konflik keagamaan yang mengarah kepada politisasi keagamaan. Pendekatan normatif teologis terhadap teks Alkitab yang menuntun bagaimana kita bersikap terhadap masyarakat. “Pendekatan Ini tanpa memperhatikan bentuk-bentuk atau makna atau muatan kultural dari institusi sosial masyarakat dan agama lainnnya. Makna dan muatan budaya dari institusi sosial dianggap tidak bermakna dan tidak diperhatikan” (Baidhawy, 2001: xv), karena dengan sikap skrituralis yang demikian, masyarakat  Kristenlah yang benar karena ini hasil pemahaman dari Kitab Suci.

Pendekatan seperti itu luput mengamati keunikan masyarakat lokalnya. Masyarakat Indonesia dengan pluralitas dan multikulturalitasnya memiliki sistem makna sehingga mereka saling berinteraksi  dan memiliki basis sosial dan lokasi sosial dengan cirinya partikularnya yang tentu tidak sama lagi dalam anggapan zaman kolonialisasi. Masyarakat pluralitas dan multikulturalitas dimana kita melayani, mereka hidup dalam dunia maknanya sendiri dan dalam stigma dan dan perjuangan kelasnya sendiri, dimana mereka berproduksi  dan juga berjuang dalam proses perubahan sosial dan semakin menggunakan rasionalitasnya dan semakin memperlihatkan betapa masyarakat memiliki kekuatan sosial kini, semakin dibuktikan dalam kasus Pritasari dan kekuatan Social Networking Facebook dalam kasus Bibit-Chandra. Jika kita terpaku dalam pendekatan pelayanan seperti ini, akan menimbulkan masalah.

Disisi lain, GPdI berasaskan pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Apakah tampak masalah disini, jelas tidak. Ini menunjukkan tingginya pengetahuan mereka saat itu dan betapa mereka memiliki social sense, social sensitivity yang sangat peka. Ini membuktikan betapa mereka benar dilhami oleh Roh Kudus. Saya akan membuatnya lebih jelas dalam pendekatan ini. Terpanggil mengamalkan Amanat Agung (soal ini seluruh denominasi gereja menyadarinya dan untuk tujuan itulah gereja eksist) untuk membawa jiwa-jiwa bagi Kristus seperti bahasa yang biasa kita ucapkan, itulah tujuannya, kepada siapa? Kepada Kristus dan menjadi murid Akristus dan menjadi Kristen.

Jika mukadimah ini dilaksanakan dengan pendekatan normatif teologis, tindakan kita memperjelas kita tidak menyadari posisi kita dibandingkan mayoritas, tindakan kita melawan pengakuan kita terhadap pluralitas dan multikulturalitas. Dapat dikatakan bahwa pelayanan kita menunjukkan identitas kita yang monolitas, bukan yang lainnya. Disisi lain, dengan sensitifnya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, seharusnya kita dengan melakukannya kita telah mengubah identitas kita yang monolitas menjadi pluralitas dan multikultural. Apa tantangannya dari luar.

Jika kita menyadari posisi kita di bawah mayoritas, ini yang terjadi. Disisi lain, pemerintah mayoritas seperti yang dijelaskan terus mempropagandakan “perlakuan adil dan sama di mata hukum dan kebebasan beragama.” Apakah ini seindah kalimatnya, bukankah ada ideologi dibaliknya? Mari kita berpikir ulang disini bahwa prinsip perlakuan mayoritas disini adalah bermotif politik bertopeng sosiologis. Ini adalah gerakan penindasan dan pengabaian secara sistematis, jika kata genocide (pembunuhan massal suatu suku, etnis dan agama tertentu) terlalu seram. Perhatikan dengan seksama, prinsip kesamaan dihadapan hukum terkait dengan ide keadilan, karena semua warga negara diperlakukan sama tanpa diskriminasi.

Tetapi, prinsip kesamaan ini sampai pada taraf tertentu bisa berbalik menjadi ketidak adilan, jika kekhususan, kekhasan, keberlainan dari individu-individu, dan keminoritasan atau sebut saja “diferensiasi” kelompok keagamaan  akan diabaikan. Dengan diperlakukan sama, kelompok minoritas justru tertindas dan terdiskriminasi karean kesamaan itu menguntungkan mayoritas. Keadilan diartikan kesamaan oleh semua orang yang tidak senang memikirkan ulang, bahkan kita suka dengannya. Tetapi kesamaan yang bermotif politik bertopeng sosiologis menjadi memuncak pada penyamaan, mengeneralisasikan tanpa batas sebenarnya jika kita suka memikirkan ulang sangat bertentangan dengan keadilan yang kita sukai bersama.

Seharusnya kita juga memikirkan keadilan dengan motif yang lain dan tidak bertopeng sosiologis palsu yakni keadilan dalam sikap menghargai dan memperlakukannya sesuai dengan eksistensinya. Kita sebaiknya pikir ulang, “Differensisasi tidak harus berakhir diskriminasi karena mempersepsi perbedaan bisa juga membangun sikap adil, (F.B. Hardiman, 2003: ix),” meskipun ditengah tekanan sosial, politik mayoritas. Dengan demikian yang terjadi adalah bukan kebebasan beragama secara institusional tetapi lebih diarahkan kepada kebebasan berkeyakinan di dalam hati dan diri sendiri, jika dilihat realitasnya  dari perlaukan regulasi hukum syariah dan biroktarisasi agama.

Kedua, saya memilih kasus yang lebih luas. Sadar atau tidak kita dan saya menganggap bahwa seluruhnya Kristen, sedang melakukan hal yang sama. Saya sebut sama karena untuk mengemban amanat agung yang menjadi missi utama kita. Contoh kasus yang lebih luas,  bangganya kita dengan “International Prayer Confrence”, “Indonesia Prayer Cofference” dengan bulat tujuan meminta Tuhan untuk menobatkan, (dalam asumsi kita selalu menjadi Kristen, setidaknya ini umum) nonKristen lewat doa-doa syafaat kita untuk keselamatan jiwa-jiwa.  Saya beri contoh yang lebih kongkrit. Hanya, itu bisa dipahami secara analogi berpikir dan paradigma sosiologis bukan iman semata. Papua pun kini sedang berusaha menunjukkan dominasi dan regulasi hukum berdasarkan normatif teologis agama, karena terus berjuang menetapkan menjadi KOTA INJIL. Itu bagus dalam pendekatan normatif Teologis. Tetapi dari kacamata pendekatan sosiologis, tindakan sosial masyarakat ini tidak memahami secara multikulturalis sisi esensi teologisnya secara komprehensif. Itu dinobatkan menjadi KOTA INJIL secara spritual, gaya di dalam hidup (esensi dan substansi) boleh saja, dan harus kita dukung. Namun, ini perlu dikritisi lewat interdialog teologis, interdialog akademis, dan interdialog sosiologi-praxis.

Jika itu menjadi regulasi, legislasi dan diundang-undangkan dengan teks-teksnya agama atau Injil-Alkitab karena dijadikan sebagai fondasi kota Injilnya- inipun upaya sengaja mencar-cari. Setidaknya tidak ada dan belum ada materi dalam Alkitab yang telah diundangkan. Jika ada itu hanya Hukum Taurat Yahudi, Yesuspun sudah menggenapkan itu. Pointnya, jika itu yang diupayakan, berarti ada sisi lain, yang luput dipertimbangkan karena melihat pertimbangan kepentingan masyarakat lokal. Itu akan meniadakan apa yang digenapkan Yesus, dan MenJahudikan Undang-undang Otda Papua. Betul atau tidak ini yang perlu dilihat dari sisi terbalik, bukan hanya sisi linear demi motiv tertentu. (soal Hukum Syariah Islam akan sangat menarik di analisis dilain waktu).

Kita sudah puas sampai disini dan senang terlibat disini sebagi tuan rumah dan panitia disini. Diperparah dengan kalimat yang lumrah kita dengar doa diskriminasi: “Tuhan buat perbedaan antara umatMu dengan yang lain”, dan, semakin dimeriahkan dengan kampanye massal dengan jargon-jargon Indonesia bagi Tuhan, Indonesia berdoa. Bahkan, ada yang lebih bersifat arogansi dan fanatisme teologis normatif bersifat sukuisme misalnya: “Medan untuk Tuhan”, “Manado Bagi Kemuliaan Tuhan”, “Kota Injil”, “Tanah Injil” dan masih banyak lagi yang tidak tertulis disini. Secara pendekatan normatif teologis ini benar, hanya jika kita berpikir ulang dalam pendekatan sosiologis, seharusnya kita malu kepada dan mulai mencari bentuk pendekatan dan reorientasi serta reformulasi pelayanan kita.

Dari hal ini tampak jelas kompleksnya masalah mayoritas, pluralitas dan multikulturalitasnya masyarakat agama di Indonesia. Dan kita menjadi bagian dari masalah ini. Bagaimana menjelaskan dan menguraikan ini. Apa yang bisa kita analisis disini. Dengan pendekatannya sebatas itu, artinya kita sedang tidak menghargai pluralitas dan multikultural. Mengapa? Dengan melakukannya hasil dari kegiatan seperti ini adalah semua orang; di Indonesia, Medan, Manado dll diharapkan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, intinya menjadi Kristen.

Jika ini terjadi yang riil adalah monolisme atau monokulturalisme. Dengan demikan apakan AD/ART salah? Kitab Suci salah, tergantung dari persfektif pendekatan mana melihatnya, saya tidak menyatakan itu. Dengan mengikuti dari awal maksudnya jelas. Memang tidak salah juga melayani masyarakat berdasarkan mengemban amanat agung dan untuk membawa jiwa bagi Kristus dengan dasar kajian teks dan didorong olehnya, tetapi ini tidak atas dasar penyamaan teks dan masyarakat sebagai aplikasi dari pemahaman terhadap teks keagamaan. Itu tidak cukup dan tidak mendalam.  Antara kehidupan sosial yang digambarkan teks di satu sisi, dan lingkungan sosial darimana teks itu muncul adalah sisi yang tidak sama.

Inilah yang menyebabkan kecenderungan-kecenderungan orientalist dan filolog bahkan sarjana awal Islam sendiri, yang memiliki banyak kelemahan. Mereka banyak memberikan hanya seputar pendekatan grammatikal dan epistimologi yang sempit dalam mengkaji masyarakat dan pengutamaan pada pendekatan grammatika dan etimologi dalam mengkaji bahasa teks sebagai dokumen kunci dari masyarakat aslinya. Dan dalam pendekatan normatif teologis, politis dan tertutup dalam kerangka pemahaman dan penafsirannya, (A. Abdullah, 2000: 59) sepertinya ini didorong oleh pemahaman linear Kitab Suci dengan metode pendekatan kolonialisasi dan data-data keagamaan yang memang dituntut dan dibutuhkan zaman itu, tetapi seharusnya itu berhenti dan tidak lagi digunakan zaman ini.

Ketiga, perlunya pemahaman pendekatan sosiologis yang menuntun kita untuk melakukan praxis (tindakan nyata, bekerja bersama, hidup bersama  mewujudkan sesuatu tanpa dominasi) Dalam pendekatan sosiologis melihat bahwa agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hirarki keyakinan-keyakinan, dan perilaku religius adalah untuk memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebih hebat dalam dunia sosial. Praktik-praktik keagamaan berkaitan dengan institusi, struktur, ideologi, kelas dan perbedaan kelompok yang membentuk masyarakat.


Apa yang kita lakukan dan apa yang sedikit telah saya lakukan? Dalam uraian berikut, saya share apa yang sedikit telah dilakukan yang saya sebut dengan “insider movements”.  Aplikasi kongkritnya pada Natal tanggal 25 Desember 2009 lalu, di gereja perintisan GPdI Jemaat Tamansari-Yogyakarta. Saya melayani di tengah "Masyarakat Pinggiran Kali-GIRLI" Winongo (Sungai di sisi Barat Malioboro), Yogyakarta. Saat itu, saya mengundang Uztad-MY tokoh NU (Nahdatul Ulama) dan juga anak menantu dari seorang tokoh NU dari Kabupaten Klaten-Ceper  untuk khotbah Natal di gereja. Dan saya juga mengajak  tokoh  Muhammadiyah Kota Yogyakarta-Hj. HT, dan sorang tokoh Wanita Islam seorang  dosen di Universitas Islam Negeri Riau-RH untuk menghadiri Natal bersama jemaat. Ustadz MY saya minta untuk menjelaskan “Bagaimana Yesus di dalam Alquran”.

Dia menjelaskan selama 35 menit, lengkap dengan bahasa Arab kentalnya. Meskipun sebelumnya saya telah jelaskan ke jemaat persoalan Tokoh Islam yang akan khotbah Natal di gereja, agar mereka memahami. Sebelumnya saya juga sudah membagikan undangan Natal kepada anak sekolah Minggu yang hingga kini tetap tetap beragama Islam, agar mengajak orang tua mereka, yang menjelaskan bahwa yang khotbah adalah ustadz dan tim Mahasiswa dan tokoh-tokoh Islam dari program S3 doktor dari Universitas “Sunan Kalijaga” Yogyakarta, Jurusan: Islamic Studies dimana kami kuliah bersama. Terbukti benar bahwa ada beberapa Muslim tetangga gereja ditambah orang tua sekolah minggu yang juga Muslim ikut hadir malam itu, mendengarkan Ustadznya sendiri menjelaskan ke telinganya: “Bahwa saya berdasarkan Alquran secara akademik, mengakui Isa-Yesus itu Juruselamat”. Dan pendekatan interkoneksi ini semakin diteguhkan dengan ibu RH yang tetap mengenakan Jilbab malam. Simbol itu semakin menarik dan menguatkan tetangga yang Islam itu untuk menghadiri natal. Kisah ini berlanjut, setelah selesai Natal ketiga sahabat saya itu melakukan shalat Magrib diantar oleh salah satu orang tua sekolah minggu yang beragama Katolik yang juga hadir malam itu di masjid yang tidak jauh dari gereja. Sekembalinya dari Shalat Jemaat sedang makan bersama yang makanannya dimasak sendiri-sendiri di rumah jemaat karena itu kebiasaaan kami karena lebih irit.

Dari kasus ini terlihat, bahwa untuk mengemban amanat agung, masih bisa dilakukan dengan menggerakkan “orang dalam atau insiders untuk menggerakkan orang-orangnya sendiri” mendengar, memahami dan mengakui Injil dan berita keselamatan. Tentu, itu mungkin akan jauh lebih efektif lewat pendekatan sosiologis ditambah pendekatan struktural, seperti terjadinya uztadz Islam khotbah Natal di gereja itu. Tentu lewat pendekatan seperti ini akan mempu menganktualkan dan memvitalkan kembali pelayanan kita orang-orang GPdi. Yang lebih membuktikan pendekatan ini, bahwa dalam khotbahnya ia mengakui sendiri di hadapan sidang jemaat yang hadir waktu itu.

Pendekatan seperti itu, saya ulangi ketika Ibadah Paskah Jemaat pada saat Hari Paskah di tahun 2009 yang lalu. Saya mengundang teman kuliah satu kelas saya, Ustadzt MS dari Cirebon. Ia juga Dosen ilmu Tafsir di Fakultas Syariah di Universitas Islam Negeri “ Sunan Kalijaga” Yogyakarta. Saya minta, ia menjelaskan ke jemaat dan kemasyarakat yang juga hadir dalam ibadah perayaan paskah kali itu Makna dan Nilai Domba dan Darah Paskah untuk pengampunan dosa Umat Manusia. Ia menjelaskan dengan detail, lewat darah domba-korban paskan, itulah yang mampu menghapuskan segala jenis dosa. Itu secara simbolik. Namun, secara esensi dalam tugas itulah Nabi Isa-Yesus menggenapkannya.

Inilah panggilan kita dengan menginterkoneksikan dan mengintegrasikan pendekatan normatif teologis dan sosiologis dalam pelayanan di tengah masyarakat mayoritas, pluralitas dan multikultural dengan dinamika di dalamnya. Bagimana sejatinya masyarakat itu sendiri memaknai keberagamaannya Realitasnya kini, “Menggalang sikap saling pengertian, (atau yang dikenal dengan toleransi tetapi saya maknai yang interkoneksi dan integasi antara sikap teologis dan aksi sosiologis), antar suku, dan agama tertentu merupakan masalah rumit, karena menyangkut prasangka stigmatisasi, streotifikasi, deformasi tata nilai kultural dan masih banyak lagi. Tetapi, langkah politis kongkrit termasuk politik praktis tertentu, merupakan langkah yang penting untuk mulai mengatasi masalah itu (Ibid., F.B. Hardiman, 2003: xx). Masalahnya, saya hanya ingin bertanya dan saya sedan terus bertanya-tanya saja: "darimanakah datangnya pertolongan atau langkah politis yang dimaksud yang akan dilakukan GPdI, karena pendetanya dilarang berpolitik praktis?" Bahkan, proses edukasi pengetahuan politik lewat khutbah, ceramah, seminar, komsel, mata kuliah di Sekolah Tinggi Theologia dari S1 hingga ke S yang lebih tinggi dan ibadah-ibadah lainnya, itu sepi-sepi saja, jika menolak kata "tidak pernah" terdengar. Ironis memang, meskipun tentulah “telah banyak pertimbangan” yang telah dilakukan terkait itu. (siemboen).