Showing posts with label Surat Edaran. Show all posts
Showing posts with label Surat Edaran. Show all posts

Tuesday, April 19, 2016

Ekonomi-Politik Plastik Berbayar

“Minimal harga satu kantong plastik adalah Rp200. Meskipun, ternyata dari informasi yang mudah didapatkan lewat netizen, ada sejumlah kota yang menerapkan harga di atas harga tersebut.”

Tulisanku ini pernah terbit – dipublikasikan di articles/opini waspadamedan.com (tentu setelah diedit oleh desknya, “Muhammad Faisal”), Rabu, 13 April 2016 06:29 wib.


http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=45855%3Aekonomi-politik-plastik-berbayar&catid=59%3Aopini&Itemid=215.

Sadar atau tidak, Surat Edaran Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No 60/PSLB3-PS/2015 populer dengan “SE 1230/2016” tentang plastik kresek berbayar ialah satu indikator masyarakat sedang tidak diedukasi pemerintahnya. 

Seolah menemukan momentum yang tepat ketika surat itu diuji coba secara serentak di Indonesia selama tiga bulan ke depan karena diluncurkan bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional 21 Februari 2016.

Direncanakan, kebijakan itu hendak diundangkan menjadi Peraturan Menteri,yang jangkauannya akan meluas hingga desa/kelurahan dan pasar tradisional. Bahkan,boleh dikata, masyarakat sedang dikapitalisasi oleh pemerintah dan kaum kapitalis. 

Karena dengan surat itu negara memaksa rakyat berkantong tipis untuk membeli tas kresek yang dijual oleh pengusaha berkantong tebal di warung-warung modern miliknya. Ada apa sebenarnya? Tulisan ini mau membongkar isi bungkusan ekonomi-politik dibalik SE 1230/2016 itu. 

Bungkus ekonomi-politiknya akan terbuka dengan sendirinya ketika melihat dari sisi, siapa sesunggguhnya yang lebih diuntungkan surat itu.Menarik untuk mencermati surat itu.Di sana tertulis, bahwa ketentuan itu menindaklanjuti hasil pertemuan KLHK dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Asosiasi Pengusaha Ritel Seluruh Indonesia (APRINDO). 

Ketentuan tersebut diantaranya. Pertama, pengusaha ritel tidak lagi menyediakan kantong plastik secara cuma-cuma kepada konsumen. Apabila konsumen masih membutuhkan kantong plastik maka konsumen diwajibkan membeli kantong plastik dari gerai ritel. 

Kedua, terkait harga kantong plastik, Pemerintah, BPKN,YLKI, dan APRINDO menyepakati harga jual kantong plastik selama uji coba penerapan kantong plastik berbayar sebesar minimal Rp 200,- per kantong sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

Ketiga, harga kantong plastik akan dievaluasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama APRINDO setelah uji coba berjalan sekurang-kurangnya tiga bulan.

Keempat, terkait jenis kantong plastik yang disediakan oleh pengusaha ritel, pemerintah,BPKN, YLKI, dan APRINDO menyepakati agar spesifikasi kantong plastik tersebut dipilih yang menimbulkan dampak lingkungan paling minimal dan harus memenuhi standar nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah atau lembaga independen yang ditugaskan untuk itu. 

Kelima, APRINDO menyepakati bahwa mereka berkomitmen mendukung kegiatan pemberian insentif kepada konsumen, pengelolaan sampah, dan pengelolaan lingkungan hidup melalui program tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Sosial Responsibility) dengan mekanisme yang akan diatur oleh masing-masing pengusaha ritel. 

Dan, Keenam, ketentuan ini juga berlaku untuk usaha ritel modern yang bukan anggota APRINDO.

Semakin menarik mencermatinya karena minimal harga satu kantong plastik adalah Rp200. Meskipun, ternyata dari informasi yang mudah didapatkan lewat netizen, ada sejumlah kota yang menerapkan harga diatas harga tersebut. Oleh Pemprov Jakarta memberlakukan Rp5000, di Balikpapan dihargai Rp1.500, sementara Makassar dipungut Rp4.500. 

Lebih menarik lagi ketika menyadari surat itu dikeluarkan oleh seorang menteri Siti Nurbaya Bakar, orang dan institusi yang ditugasi negara untuk memberdayakan masyarakat agar peduli lingkungan hidup dan menjaga agar hutan tetap hidup lestari serta terjamin kehijauannya. 

Artinya, ia dan kementrian serta departemen dibawahnya adalah pihak pertama yang harus mengedukasi dan memberdayakan masyarakat, khususnya yang termarjinalkan oleh modal ekonomi politik dan kekuasaan pihak tertentu. Lewat surat itu, seolah ia tidak lagi bersama rakyat yang harus dibelanya dimana seharusnya ia berada. 

Eksklusi Sosial Bagi Masyarakat Biasa Isi surat itu bisa dibongkar dengan membandingkan dengan hasil berbagai studi di negara-negara dunia ketiga. Asian Development Bank (ADB) menyadari perlunya membuat semacam penunjuk arah agar pembuat kebijakan dapat memahami masalah relitas ekonomi masyarakat,khususnya mereka yang mengalami dampak terburuk akibat dari kebijakan tersebut. 

Salah satunya adalah Active Exclusion (AE), yakni adanya berbagai regulasi yang tidak menguntungkan kaum miskin. AE mensinyalir,memang ada pemerintah tertentu sebagai anggota yang diawasi ADB tersebut menggulirkan kebijakan yang lebih menguntungkan pihak tertentu misalnya kapitalis yakni pemilik modal dan usaha, sebaliknya membuntungkan kaum miskin yang bergantung kepada produksi dan layanan jasa pemodal itu yang dijual di pasar.

Dilihat dari kacamata ADB itu, maka nampak terang-benderang bahwa isi surat itu lebih menguntungkan pegusaha dan membuntungkan masyarakat pembeli. Makin tercium aroma ekonomi-politik dibalik surat itu bila mengingat pernyataan Tuti Hendrawati Mintarsih, Dirjen Pengelolaan Sampah,Limbah, dan B3 Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menegaskan:“Kita kurangi penggunaan kantong plastik dengan memaksa mereka membayar,” Dengan mencermati isi surat dan pernyataan itu, jelaslah ada regulasi ekonomi-politik yang lebih menguntungkan kapitalis dibalik diedarkannya surat itu. 

Dan, mungkinkah ini salah satu jalan lain yang sengaja ditempuh pemerintah untuk memobilisasi sektor penerimaan uang masuk (income) lewat Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pemotongan Pajak Penghasilan (PPH) dari sektor ritel tertentu, yang harus diakui dalam sektor ini penerimaaanya selalu meleset dari target daerah dan nasional? Mestinya asumsi yang dibangun ketika akan meluncurkan surat kebijakan itu adalah“anjuran kemandirian masyarakat pembeli.”Yang diatur ialah agar masyarakat membawa tas belanja sendiri. 

Agar lebih menarik, bisa ditambahkan hadiah tertentu atau diskon barang tertentu, bila tas tersebut merupakan produk daur ulang sampah plastik bukan diharuskan membeli, mengingat Indonesia nangkring di peringkat dua dunia sebagai donator sampah plastik terbesar di lautan dunia setelah China seperti yang pernah ditulis oleh Jenna R. Jambeck, dkk (Science 13 Februari 2015, Vol. 347, hlm. 768-771) salah satu jurnal ilmu pengetahuan ternama di Amerika Serikat setelah pada tahun 2010 mereka menelitinya di dua puluh negara. 

Di samping, anjuran agar gerai-gerai pasar modern, yang kehadirannya mulai melewati batas-batas wilayah perkotaan mulai masuk hingga ke desa, tidak lagi menyediakan kantong plastik agar dengan sendirinya otomatis memaksa masyarakat untuk mengusahakan sendiri cara berbelanja sesuai dengan kebutuhan harian dan membawa barang belanjaannya. 

Bisa pula memperbanyak subsidi dan penghargaan bagi kelompok masyarakat yang sadar dan bekerja keras untuk menciptakan manajemen sampah secara kreatif di lokasi masing-masing. Ini sekaligus bukti kepedulian pemerintah khususnya KLHK terhadap kesejahteraan ekonomi masyarakat.