Monday, July 15, 2013

Allah Hadir di Nasi Telor: Bagaimana Jadi Muslim Kota, Sebuah Kasus.


Meskipun aku pendeta, kepalaku penuh dengan kajian Islam garis keras. Sebetulnya, entah apanya yang keras, seperti stigma orang-orang, aku juga nggak pernah temui. Tidak heran, aku adalah mahasiswa S3 Universitas Islam Negeri di  Jogja. Sunan Kalijaga, itu nama kampusku. Seakan, aku tahu banyak tentang Islam.

Hari ini aku bisa didikte sendiri, bagaikan anak TK, “bagaimana menjadi Muslim di masyarakat kota”. Disini, Muslim itu rela berkorban untuk saudaranya yang bukan seiman. Hal itu, aku simpulkan dari sejumlah Muslim yang kuajak bicara hari ini, tepatnya 3 orang. Muslim disini amat sangat toleran, bahkan terbuka untuk siapa saja, Mereka rela mengorbankan nafsunya, dalam hal ini nafsu makan.

Bagaimana nggak. Mbak Mimin, itulah namanya. Ia muslimah tulen. Setidaknya, karena ia berpuasa. Bukankah, puasa adalah salah satu petanda kepatuhan menjalankan ritus agama? Ia dan dua orang karyawannya, bukan kebetulan, memang Muslimah. Warung makan seukuran dua setengah kali delapan meter itu, (2.5 X 8 ), itu sudah eksis di tengah Pasaraya I, Kota Salatiga, sejak 1976. Meski bulan berpuasa, ia tetap buka layaknya hari-hari pasar dari jam 6 pagi sampe 4 sore.

Lihat saja, bagaimana mereka hidup di tengah-tengah Nasrani yang banyak disitu, sejak 1960-an. Mereka rela mengorbankan nafsu makannya, bahkan untuk sekedar tidak mau mencicipi makanan yang dimasak, karena setia berpuasa.  Meski demikian, aku tetap saja nambah. Bukan karena aku Batak, tapi memang maknyusss menu hari itu.

Suer till death deh, nasi telor, pake es teh, sambalnya dengan mudah memaksaku memintah lebih banyak lagi. Apalagi, lengkap dengan sayur berkuahnya.  Aku seolah-olah tidak peduli dengan sejumlah minuman bermerek dijejerkan di depan mataku, yang biasa kudapat dihotel-hotel mewah yang pernah kuinapi. Tak salah, Allah hadir hari itu di nasi telor tempe pesananku. Keramahan Muslimah kurasakan disana, seakan ingin kembali.
Sengaja kuamat-amati warungnya dan suasana seputar, khas pasar rakyat yang bersehaja. Saat itu pukul 2.30 Wib siang, (Senin 15 Juli 2013) ketepatan terlihat dari jam dinding yang sengaja bergantung di warung bercat biru langit itu.

Memang, tempat itu memiliki nuansa romans di dalamnya. Sepasang suami istri tukang pikul
sayuran pasar pagi, asik dan dengan bebasnya bersendagurau, senyum-senyum simpul persis muda-mudi yang sedang kasmaran. Pertama kali kulihat si suami itu, otakku langsung mengingat si Kumis komedian Indonesia yang terkenal itu. Mirip sih, setidaknya kumisnya.

Awalnya,  seakan mereka pasangan selingkung, dari usianya yang bukan lagi muda. Itu dugaan awal di kepalaku, Oh.. ternyata aku salah, maaf.

Mereka adalah warga pasar yang rutin makan siang disana, yang akrab dengan para Muslimah tadi. Kehangatan sosial dan emosi itu diperkuat dengan Mbak Mimin terlihat awet dan bersih. Semakin kelihatan dari senyum dan cara melayani orang-orang di warung, yang katanya, itulah sumber kehidupan bagi 3 anak-anaknya. Ia ramah dan informatif, samahalnya  kayak kedua Muslimah lainnya.

Hmmm... nikmat makannya, berwarna dan beragam pilihan sajian, pas buat pencinta kuliner ala rakyat kecil. Nyaman suasananya, ramah lingkungannya, meskipun tidak sebersih dan semengkilat tegel rumah warga Tionghoa yang mendominasi “Pecinaan” Kota Salatiga. Kayaknya, nikmat hidangan hari itu, gambaran dari bersihnya hati Muslim si pemilik warung tersebut. Bisakah dibilang ini implikasi dari kebersihan itu sebahagian dari iman, yang diyakini para Muslim kebanyakan? Entahlah, tapi, yang kulihat hari itu, membantah keraguanku.

Semakin kuselidik makin kedalam. Ada kain penutup, bukan untuk membatasi atau sok-sok ekskusif, tetapi itu indikator jelas, bagaimana tingginya tingkat toleransi para Muslimah itu.

Ia berkata: “warung ini sengaja ditutupi kain seperti itu, supaya yang lain enak makan disini, tanpa mengganggu jalannya puasa bagi yang lain. Orang-orang yang makan disinipun, tidak merasa tidak enak terhadap Muslim lainnya,” demikianlah penjelasan padat dan tajam penuh makna bagi orang didalam agama yang mereka ikuti dan saudara tidak seimannya. Ini menyadarkanku, betapa bijaksananya mereka itu. Hal itu, ketika kulihat sendiri di banyak TV nasional.

Saat ramadhan begini, banyaknya sweeping dari kelompok “tertentu” yang memaksa dengan pedang dan lembing, plus batu disaku kiri kanan untuk menutup paksa tempat-tempat makan dan hiburan ditengah tingginya tingkat stress warga Jakarta dan kota-kota lain se-Indonesia. Biasanya, tindakan main atur sendiri itu demi alasan, yang katanya untuk menghargai umat yang berpuasa. Kamu bisa menilai sendiri, dimana letak kebenaran dari alasan toleransi yang ingin dibentuk oleh mereka. Bukannya, orang seperti mereka menjadi intoleransi. Malahan, mereka menimblkan terorisme sosial yakni karena orang merasa ketar-ketir dibuatnya, ditengah usaha yang telah berpajak tinggi itu.

Para Muslimah pasar tadi, membuktikan kecerdasan teologis berbarengan dengan kebijaksanaan sosial. Gimana nggak, disaat-saat mereka menahan lapar dan haus dihari panas kayak itu, mereka bersedia kerja keras untuk memenuhi kebutuhan perut sesama pengguna pasar rakyat di Kota yang terkenal dengan enting-entingnya itu? Beda bangat dengan kelompok “tertentu” yang menakutkan tadi.

Mereka ini, muslimah yang tidak pernah bisa jadi imam, karena mereka perempuan, bukan laki-laki yang harus jadi mama dalam ibdah dan amalah. Tetapi bagiku, tindakan yang berbarengan dengan cara keberagamaan mereka itu telah mampu mengimami, maksudnya mampu memimpin sesama pengguna pasar yang tidak sama agama dan ritusnya untuk melangsungkan kehidupan jasamani dan ekonomi di masyarakat sekitar.

Tindakan terpuji dari Muslimah, di tengah orang-orang nasrani yang mayoritas populasinya,
di kota kelahiran Rudi Salam dan Roy Martin, bapaknya Gading Martin, para selebriti papan atas itu mampu membukakan mataku. Banyak Orang Kristen makan bersama siang itu disana.

Alhamdulillah, setelah merasakan Allah hadir lewat pribadi Muslimah dan makanan sajiannya, aku makin kagum 7.000 perak saja kubayar hari itu.

Mungkin orang bisa saja berkata sejenak, “ah.. terlalu banyak
pujian disana-sini. Memang, melaknati orang baik karena didorong nilai agama dan keyakinannya, tanda kita bukan orang beragama yang terpuji.