Saturday, June 22, 2013

Kristologi: Mengapa Muslim Mengingkari Ketuhanan Yesus?


Pendahuluan
Tulisan ini sudah dimuat dalam Sanctum Domine, Jurnal Teologi dan Agama STTNI, Yogyakarta Vol. 1. No. 3, Edisi Februari-Agustus 2013.

Mengapa Muslim Mengingkari Ketuhanan Yesus? Disini saya hanya ingin berfokus pada Kristologi dari persepsi Muslim yang dibangun atas dasar pembacaan teks-teks Qur’an mengenai Yesus. Artinya, saya tidak mau menjadi seorang prejudis disini, tetapi bertujuan ingin lebih memahami topik ini dari kacamata mereka sendiri. Saya hanya seorang luar (outsider) yang memposisikan diri sebagai orang dalam (insider) dari sisi kajian agama.

Kaitannya dengan kajian keyakinan agama, saya suka mengingat apa yang dikatakan oleh Hans Kṻng, tidak akan ada damai diantara bangsa tanpa damai diantara agama. Tidak ada damai diantara agama tanpa dialog diantara agama. Tidak ada dialog diantara agama tanpa investigasi fondasi agama.[1] Masih sepamahaman dengan Kṻng, saya ingin menginvestigasi lebih detail, apa dasar sebahagian Muslim (karena tidak pantas bagi seorang alim ulama untuk mengeneralisasi komunitas masyarakat beragama Islam secara serampangan) untuk mengingkari dimensi ketuhanan Yesus? Apa dasar keyakinan mereka yang memberanikan mereka beriman Yesus itu bukan Anak Allah, Yesus tidak mati saat disalibkan, dan Yesus itu bukan Tuhan dan juruselamat?

Mengamati secara mendalam mengenai keyakinan suatu komunitas masyarakat beragama menurut kerangka berilmu, sesuai dengan keterangan Mircea Eliade dan Charles J. Adams[2] paling sedikit ada dua cara yang sangat standar dilakukan para pengkajinya. Pertama, hal itu dengan cara pendekatan assertif, yakni membenarkan atau menguatkan bahagian-bahagian yang memang layak diakui untuk tujuan tertentu. Artinya, ada bagian-bagian yang diakui oleh komunitas masyarakat beragama lain, yang tertulis di dalam kitab suci komunitas tertentu.  Hal itu secara lurus bisa dikaitkan dengan apa yang diakui oleh sebahagian Muslim mengenai hal-hal diluar dimensi ketuhanan Yesus, yang memang terpampang jelas tulisannya di dalam narasi Qur’an. Kedua, pendekatan polemik, yang teramat kuat didorong oleh tensi atau perang keyakinan teologis, yang juga ada tulisannya di dalam Kitab suci.

Tulisan ini akan lebih ditekankan soal polemik tersebut. Pisau analisis dari kajian ini
dipengaruhi bidang ilmu teologi sistematika yakni pada sub bagian mata kuliah Kristologi. Namun, saya hanya membidik ketuhanan Yesus yang tertulis diatas kertas kitab suci Qur’an (bukan dari isi Alkitab), yang diperjelas oleh sebahagian Muslim (karena tidak semua Muslim demikian) lewat data tertulis di buku-buku yang telah dipublikasikan.

Polemik Kristologi Muslim dan Kristen
Jika ditilik dari sisi historis hingga kini, dari sisi Muslim terkait dengan Kristologi, polemik ini
belum selesai. Artinya, mengenai dimensi keillahian Yesus lebih sering diingkari. Dari sisi Kristen, nyatanya tidaklah lebih baik. Kita belum tahu betul (rasanya tidak mungkin tahu, membaca teks asli Qur’an pun belum pernah, dan tentulah banyak diantara kita yang sebetulnya tidak sanggup), apa dan bagaimana isi Qur’an sudah merasa benar dan superior terlebih dahulu secara teologis. Kita dan mereka ternyata melakukan pendekatan yang sama, ketika itu terkait dengan keillahian Kristus. Hal itu juga terjadi berdasarkan pembacaan terhadap teks kitab suci masing-masing. Rupanya, kedua pendekatan hal ini belum berujung, entah hingga kapan.

Tulisan ini memasuki ranah yang tidak mengkaji soal keduanya. Saya lebih suka untuk membongkar apa sebetulnya pemahaman Muslim dibalik pendekatan polemik itu. Apa alasan logis dari sisi Qur’an yang diimani oleh sebahagian Muslim untuk mengingkari dimensi ketuhanan Yesus, yang juga dikonstruksi berdasarkan naskah Qur’an. 

Bagi saya, untuk bisa memahami ajaran Islam dan dasar keyakinan beriman Muslim, lebih berguna jika melihat keyakinan mereka berdasarkan kitab suci mereka. Seseorang tidak akan sesat hanya karena rela membaca kitab suci orang lain. Ia juga tidak akan murtad hanya karena kuliah di universitas yang bukan agamanya. Kamu juga tidak akan jauh lebih dekat dengan Tuhan hanya karena belajar memahami (bukan mengimani) Tuhan orang lain. Semua kita punya hak untuk mempelajari (bukan menjalankan) ajaran agama lain. Tetapi, tak seorangpun kita berhak untuk menyatakan apa dan siapa yang pantas untuk dibenarkan dan memiliki hak untuk benar sendirian.

Siapakah kita ini yang memiliki hak untuk menyatakan seseorang Muslim telah bersalah atau berdosa, ketika ia yakin berdasarkan Firman Allahnya yang tertulis. Apakah kita berhak untuk menjustifikasi teks tulisan Qur’an itu telah salah atau palsu, atau dikarang-karang manusia semata-mata? Bolehkan kita menghentikan seseorang untuk beriman kepada Allah yang ditulis di dalam Kitab Tuhannya? Apakah yang terjadi, jika hal itu dipaksakan kepada Kristen dan Firman Tuhannya?

Alangkah lebih baik untuk mengarahkan seseorang untuk mengerti isi dan makna kitab sucinya sendiri dan dengan isi tulisan kitabnya itu sendiri, yang ternyata ada bahagian penjelasan lain yang bisa membuatnya semakin yakin dan beriman kepada Yesus secara komprehensif lewat pembacaan Qur’an dengan cara pemahaman yang lebih benar, ketimbang  serta-merta menginjili dan memaksanya untuk langsung percaya pada Yesus karena tulisan Alkitab Kristen? Disinilah diperlukan pendekatan dari dalam pemahaman Muslim itu sendiri mengenai Yesus berdasarkan Qur’an, tanpa ingkar pada Alkitab.

Saya tidak lupa untuk menampilkan beberapa bagian yang umum diterima dan tidak pernah selesai disepakati oleh Muslim dan Kristen mengenai Kristologi seperti daftar selanjutnya. Item-item kesepakatan teologis ini bisa menjadi titik berangkat melakukan gerakan perdamaian dari dalam untuk saling mencerahkan dan mendamaikan “perang teologia” (theological war) akibat dari perbedaan pandang diantara Muslim dan Kristen, daripada ngotot pada wilayah yang berbeda. Berikut beberapa item perbedaan dan kesamaan padang tersebut.

Perbedaan Pandang Keyakinan Islam:
  1. Manusia jadi Nabi utusan Tuhan seperti Muhammad SAW dan nabi Islam lainnya
  2. Anak Manusia (Maria) bukan Anak Allah
  3. Tidak pernah  mati disalibkan, tetapi diraibkan ke sorga oleh intervensi Tuhan
  4. Mesias atau juruselamat hanya untuk komunitas Yahudi dan Kristen saja
  5. Tuhan itu Esa bukan  tiga

Perbedaan Pandang Iman Kristen:
  1. Anak Allah sendiri
  2. Tuhan yang berinkarnasi
  3. Juruselamat semua umat manusia siapa saja
  4. Telah mati disalibkan oleh intervensi Tuhan, meskipun bangkit lagi
  5. Satu bagian dari Trinitas

Kesepakatan Pandang Keyakinan Islam dengan Iman Kristen:
  1. Tidak berdosa
  2. Lahir dari gadis perawan
  3. Melakukan mujizat
  4. Firman Allah
  5. Akan datang kedua kali
  6. Mesias
Saya melihat pendekatan dari dalam atau yang saya sebut saja dengan “insider movement.” Ini sebuah kebutuhan akademis untuk membangun jembatan aksi akademis diantara alim ulama (ilmuwan) Kristen dan cendikiawan Muslim, yang sering dilupakan orang karena lebih asik terhadap tensi dan perang-perangan tadi, tanpa mencoba mencari, mengapa Muslim sampai bisa yakin tidak salah atau tidak berdosa untuk mengingkari ketuhanan Yesus.

Untuk menaruh respek diantara kedua komunitas masyarakat beragama terbesar di dunia ini, saya malahan menggugah rasa kita semua untuk salaing menaruh simpati mendalam. Kiranya kita, khususnya Kristen lebih baik semakin sering bertanya: mengapa ada 1.2 milliar lebih orang memeluk agama ini, dan setiap detik peningkatannnya semakin meninggi di tengah wilayah dunia ini, dari benua Atlantik ke Afrika ke kepulauan Indonesia, yang dulunya diinjak kaki-kaki misionaris Kristen, dari puncak pengunungan Asia Tengah hingga ke Mozambik?

Mengapa Islam menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen, dan sedang ada kecemasan,
akan ada masa tertentu nantinya akan menjadi yang agama terbesar dan menjadi superpower dunia karena jumlah penganutnya yang amat militan (taat) berTuhan? Mengapa agama ini menjadi sesuatu yang digandrungi oleh Eropa dan Barat (yang terkenal rasional) dengan semakin berjubelnya orang disana konversi ke Islam, dan bahkan dengan bangga mempertontonkan dirinya dan attributnya sebagai Islam kepada dunia?


Mengapa agama ini menjadi gerakan sosial terbaru dan yang paling lama ada dan yang paling universal? Mengapa bisa lebih dari alat internasional lainnya untuk menyatukan orang-orang nomaden Barbar, Nomaden Timur Tengah Arabia, Utara, Timur dan Barat Afrika? Mengapa
mampu menggerakkan ras Turki, Bosnia, Albania, Persia, Pakistan, Afganistan, India, China dan Melayu untuk bangkit di tengah ketertindasan dan kolonialisma Barat dan kapitalismenya, yang meskipun berbeda dalam peradaban bisa disekutukan oleh Islam? Dimana sebetulnya letak kekuatan Islam yang kuat dan mengagumkan bagi sebahagian orang itu bisa memilitansi orang untuk berjuang, berjihad, dan bahkan rela mati bunuh diri, menenteng AK 47 dan senapan mesin otomatis lainnya (layaknya Ramboo) disamping badannya tercabik-cabik bom bunuh diri hasil rakitan sendiri, hanya demi membela jalan lurus Allah?

Apa sumber daya dan bagaimana mereka mengelola dan mengoptimalkannya hingga sedang
ditakuti sebagai bangsa superpower baru di dunia? Apa nilai, simbol inti pesan dan hakikat kebenaran Islam yang menjadi elemen penguat dan pengikat secara dunia? Apa yang membentuk karakter hidup Muslim, partai politik, negara Islam bahkan hingga kampung Muslim, dari bank syari’ah Islam hingga handphone dan baju Islam? Apa kelamahan dan kejatuhan mereka? Apakah kritik terhadap diri mereka sendiri yang dibutuhkan sebagai pertanyaan untuk memperbaiki hidup umat manusia ini?

Harapannya, dengan semua itu dikaji secara mendalam dan akademik, bukan lagi hanya seputar bisa membuat jembatan dialog antar umat beragama yang sehat, menghubungkan tali rahim orang yang terputus karena beda Tuhan dan cara berTuhan? Tetapi, juga menyumbang peta perjalanan intelektual yang saling memberikan kontribusi kedamaian. Bukan lagi hanya pengingkaran dan saling perang teologis yang berujung pada perang senjata biologi massal? Paragraf terakhir ini menggiring saya untuk langsung menginvestigasi dasar-dasar pemahaman teologis yang mereka konstruksi sejak abad ke enam hingga detik ini mengenai pengingkaran tentang Kristologi seperti tertulis di dalam Qur’an.

Kristologi seperti Tertulis di Qur’an
Menurut pengamatan saya, seperti yang dikatakan oleh Ivor Mark Beaumont, bahwa kesulitan utama untuk membangun jembatan komunikasi teologis diantara Muslim dan Kristen karena adanya pengingkaran (the denial) terhadap banyak hal. [3] Dalam tulisan ini, saya akan menjelaskan tiga hal yang masih tertinggalkan sebagai hal-hal yang problematis dari horison teologis sebagai berikut.

Pertama, bagi Muslim rasanya tidak mungkin lagi untuk mengakui kebenaran iman Kristen dalam Kristus pada fakta biblikal bahwa Yesus adalah Anak Allah (the idea of Divine Sonship). Kedua, fakta historis dari Yesus mati disalibkan atau kematian Kristus lewat penyaliban (the death of Christ by crucifixion). Ketiga, fakta internasional mengenai pusat iman Kristen, bahwa Yesus adalah juruselamat (Jesus is the Lord and Savior) bagi siapa saja umat manusia yang mau atau bersedia dengan rela hati percaya atau beriman kepadanya sebagai Tuhan dan juruselamat, dengan cara mengaku dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hati, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati akan diselamatkan, lebih dari titel atau attribut keillahian dan kemanusiaan lainnya. Saya akan menjelaskan ketiga itu lebih detail disini.

Yesus adalah Anak Allah

Kebanyakan Muslim tidak menerima dengan iman atau mengingkari fakta kebenaran pengajaran Kristen tentang Yesus adalah Anak Allah (the Son of God). Hal ini didasarkan pada kemustahilan Tuhan di dalam tubuh manusia (God in human flesh). Mereka melihat konsep
Yesus Anak Allah ini dari sisi biologis, bukan dari dimensi supernaturalis. Cara pandang kongkrit mereka terhadap terminologi “anak” dikala itu ada dua hal. Pertama,  yakni “ibn” yang dikaitkan dengan kepemilikan Tuhan, diartikan bahwa Tuhan “menikah” secara biologis dan melahirkan anak. Kedua, cara pandang lain soal proses peranakan dalam terminologi Arabis adalah “walad,” yang artinya, seorang anak yang lahir melewati proses seksual. Artinya, semua manusia yang lahir secara “walad” harus lewat proses itu, layaknya orang kebanyakan.

Ide secara biologis yang melahirkan Yesus yang menyatukan atau mengawinkan Tuhan dengan seorang perempuan ting-ting, yakni si perawan Maria, dinilai tidak logis secara struktur dan hakikat perkawinan. Hal itu dengan bagunan logika berpikir, bahwa yang transenden atau yang kekal abadi tidak mungkin bisa lahir secara natural layaknya manusia kebanyakan. Jika hal itu diterima, maka hal itu menghujat Allah dan menodai lembaga perkawinan itu sendiri.  Bagi mereka, Tuhan itu lain dari manusia biasa, IA tidak beranak dan tidak juga diperanakkan. (Bacalah Surat Al-Ikhlash ayat 3). “Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Apa sebenarnya yang terjadi sebelumnya dalam setting sosial dan kultural ketika Firman Allah itu dinujulkan (diwahyukan Allah turun ke bumi secara inspirasional oleh Tuhan kepada nabi Muhammad SAW oleh malaikat Jibril) di masa itu? Latar belakang masalah ini perlu terlebih dahulu, sehingga kita mengerti betul, apa penyebabnya Muslim berkeyakinan yang tidak sama dengan Kristen soal diperanakkkan tersebut.

Seperti pengakuan dari mereka sendiri, misalnya Islam Kotob, Abdullah Yusuf Ali, Samina Yasmeen, Halim Rane, Muhammad Saed Abdul-Rahman  dikala Qur’an ditulis, setting sosial dan peradaban dunia Arabia memang dalam latar belakang komunitas masyarakat bergama yang amat polytheisme dan paganisme.[4]

Saya melihat, dengan latar sosial dan kultural itulah, makanya tidak heran keyakinan teologis Muslim yang masuk dari dalam teks dengan tegas menyatakan, Allah tiada beranak-pinak dan
tidak dianaki oleh apapun. Hal itu hanya bertujuan untuk menskralkan ketauhidan agama itu atau mengagungkan keesaan Tuhan semata. Disamping sebagai upaya doktrinal secara sistematis berfondasikan Qur’an, untuk menjaga Allah itu tidak boleh disatuin, dipartisi, diasosiasi (disekutukan), atau dicampu-campur dengan illah-illah buatan imajinasi manusia.

Kemudian, pada bagian lain, Yesus dilihat secara literal, yakni seperti tertulis sendiri di dalam Alkitab, yakni ucapan dari mulut Yesus sendiri. Ia seringkali berkata “Anak Manusia (Son of Man).” Misalnya di dalam Matius 8:20; 17:22; 19: 28; 26:64; Lukas 9:22; 9:58; 18:31; Yohanes 1:51; 6:53; 9:35; 13:31. Artinya, penjelasan soal Yesus memang sebatas anak manusia belaka karena hasil pembacaan teks kitab suci yang tersurat.

Di sisi lain, seperti penjelasan dari David Emmanuel Singh, bahwa Yesus sebagai nabi yang
sejatinya adalah manusia biasa, seperti kebanyakan manusia lainnya (seperti yang diakui oleh Alkitab itu sendiri), yang diakui Kristen sebagai Anak Allah membawa pemahaman, yakni seorang manusia nabi (a human prophet) yang memiliki bagian didalam dimensi (to share in the divinity of God) ketuhanan, merupakan upaya penghujatan kepada Allah.[5]

Di otak Muslim, bahwa Allah adalah oknum yang superior dan sempurna dalam keallahannya, tidak akan mau menghinakan dirinya menjadi manusia. Disini tergambar jelas, bagaimana mereka sangat mencintai dan menghormati Allah itu sendiri. Dengan demikian, mereka melihat Yesus itu hanya sebagai anak manusia biasa yang dilahirkan oleh perempuan khusus yang sejatinya juga adalah manusia biasa karena memang Qur’an menyatakan demikian adanya.

Memang, jika ditilik dari penjelasan dari Qur’an sendiri yang mengatakan Yesus adalah anak
kandung Maria. Hal itu disebutkan sebanyak 23  disebut-sebut disana. 16 kali diulang-ulangi Yesus (Isa) itu putera Maria (Maryam), dan 7 kali hanya disebut putera Maria Misalnya tertulis jelas di dalam Surat Ali Imran ayat 45: (Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih 'Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).”

Selanjutnya isi tulisan Qur’an sendiri sebagai fondasi argumen mereka bahwa Yesus itu anak Maria, yakni dari pemahaman terhadap Surat Ali Imran ayat 47: “Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.”

Jika dilihat dari dimensi Son of Man, hal itu tidak seluruhnya menyesatkan, karena kitab suci bersaksi demikian adanya. Hal itu ditambahkan dengan dasar argumen analogis secara biologi yang dibangun, bahwa Jesus tidak dapat dipanggil Anak Allah karena IA tidak memiliki bapak
biologis dari peristiwa konsepsi seperti bayi yang lahir pada umumnya. Artinya, bagi sebahagian mereka seperti Ulfat Aziz-Us Samad, istilah itu hanya berupa makna dan rasa metaforikal semata (only in a methaforical sense).[6] Dengan itulah mereka meyakini, jika Allah itu beranak dan dianakkan, maka dimata Islam, hal itu menciderai atau mencemari kesempurnaan dari Allah.

Apakah hanya sebahagian atau satu dimensi manusia belaka, demikian pemahamannya? Abdiyah Akbar Abdul-Haqq sendiri mengakui, bahwa alasan Yesus memilih mengatakan atau mengucapkan kata “Anak manusia” itu sebagai suatu penjelasan apokaliptis dan pemaparan secara komprehensif tentang representasi dirinya Yesus sebagai manusia biasa (pen. bukan wujud daging manusia belaka) dan missi atau panggilan messianisNya.[7]

Penggunaan kata itu oleh Yesus ketika Ia sedang mengklaim kuasa dan otoritasnya terhadap banyak hal. Misalnya, “Karena Anak Manusia  adalah Tuhan atas hari Sabat.” Dan, dalam Matius 12: 8 “Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa” dalam Markus 2:10, dan peristiwa-peristiwa yang mempertontonkan superioritas keillahian Yesus.

Pemahaman Muslim soal dimensi ke-anak Allah-an ini, menunjukkan adanya limitasi Allah dalam hal kemanusiaan. Yang menjadi pertimbangan tindak lanjut soal ini sesuai dengan Qur’an dan Alkitab Jesus memang tidak ada hubungannya dengan ayah manusia secara
konsepsi biologis. Artinya, rupanya memang, Yesus tidak bisa hanya dimaknai secara akaliyah dan konsep perkawinan manusia biasa dan gambaran umum otak manusia mengenai peranakan dan perbapaan secara seksualitas. Disini timbul pertanyaan lanjutan. Jika ada diantara kita yang mengingkari Yesus tidak pantas disebut Anak Allah, maka siapa yang bisa memberikan penjelasan siapa lagi yang bisa menjadi bapaNya?

Saya sepemahaman dengan Samy Tanagho, bahwa alasan logis manusia Tuhan tidak mungkin bisa punya anak tanpa seorang ayah, itu mengasumsikan Allah memiliki ketidakmampuan dalam urusan manusia. Hal itu sama saja dengan Allah tidak bisa hidup tanpa bernafas. Meskipun benar adanya, tidak ada sesuatu yang hidup tanpa bernafas. Allah tentunya tidak bergantung pada nafas untuk hidup, bukan? [8] Meskipun terminologi Arabis tentang “walad” dan “ibn” itu diartikan sesuai dengan kultur mereka, tetapi peranakan dan perbapaan Yesus bukan dalam rasa ini.

Bagaimanapun, terminologi ini, meskipun sangat kultural dan dibawa masuk ke dalam pentafsiran tulisan Kitab Suci, kata “walad” menunjukkan Yesus punya bapa secara naturalis,
bukan biologis. Lagipula, kata “ibn” bisa dipakai tanpa melulu dikaitkan secara lurus-lurus soal kesatuan seksual.  Misalnya, karena saya lahir di desa Habatu, Kec. Pematang Bandar, Kota, Siantar, dari Medan, Sumatera Utara sana, kami seringkali disebut-sebutkan sebagai “Anak Habatu,” “Siantar Man,” atau “Anak Medan,” bukan berarti, saya anaknya si Habatu, si Siantar, atau si Medan, bukan? 

Adakah diantara kita, yang memiliki izin khusus untuk melarang Allah untuk menyabut Yesus itu AnakNya, yang mana Ia tidak melarangnya disebut demikian? Allah itu Akbar, lebih akbar dari kekuasaan, otoritas, dan keterbatasan manusia. Tidak seorangpun manusia, yang bisa mengurungnya dalam perangkap keterbatasan akaliyahnya. Dan, tidak seorangpun memiliki kebebasan, yang mampu membatasi keakbarannya, bukan?

Yesus Mati Disalibkan
Penjelasan berikut ini mengenai proses dari kematian Yesus lewat fakta historis dan biblikal mengenai penyaliban Yesus. Memang, jika diamati secara detail dan mendalam tentang fakta mati disalibkan, merupakan sesuatu yang tidak mungkin dan merupakan pemahaman belum komprehensif bagi Muslim, meskipun itu dibangun atas dasar pembacaan terhadap teks Qur’an.

Oleh karena pemahaman soal Allah yang begitu amat menempatkanNya serba maha, maka,
sesuai dengan keyakinan kebanyakan Muslim, Yesus itu diraibkan (mutawaffi-ka) atau dibawa ke sorga tanpa melalui proses kematian seperti yang diimani kebanyakan orang Kristen. Bagi Muslim sesuai dengan ajaran Kitab Suci mereka yang tertulis secara literal, yakni dalam Surat An-Nisaa ayat 157 dituliskan: “dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, 'Isa putra Maryam, Rasul Allah padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yangg (pembunuhan) 'Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa”.

Intinya disana, bahwa mereka tidak membunuhnya, juga tidak menyalibkannya. Bagi mereka, Yesus diselamatkan (taken up to haven) oleh Allah ke sorga, sehingga Ia tidak pernah mati di salib. Itu sengaja dibuat demikian oleh intervensi Allah (Devine intervention) untuk menampilkan (wa lakkin shubbiha lahum) agar kelihatan demikian adanya tersalib kepada mereka, padahal, seseorang telah menggantikan tempatnya di salib tersebut.

Saya akan meneruskan penjelasan tentang kata shubbiha lahum itu. Bagi Muslim, seperti penjelasan dari Mahmoud Ayyoub[9], bahwa kata shubbiha lahum tersebut diyakini sebagai seseorang manusia dijadikan sendiri Allah oleh intervensi kedaulatan dengan peristiwa super cepat dariNya, sehingga orang tersebut terlihat jelas sama persis seperti (another was made
to bear his likeness) perawakan atau perwajahan (shabah) Yesus itu sendiri dengan maksud menggatikan posisi atau bertukar tempat untuk mati dan tergantung di kayu salib tersebut. Klaim dari beberapa bagian teolog Muslim, orang tersebut adalah Simon dari Kirene, ataupun Yudas, dimana mereka ini diyakini lahir sama persis seperti perawakan atau perwajahan Yesus.

Bagi Muslim, Allah yang maha kuasa akan selalu melindungi semua nabi-nabi utusannya dan tidak mengizinkannya untuk dibunuh atau terbunuh.[10] Pemahaman tekstual Qur’an ini menjelaskan banyak hal dan mendasar, mengapa mereka mengingkari Yesus mati disalibkan. Misalnya dalam Surah Al-Maidah ayat 110. Memang, ada dasar argumentasi untuk mengatakan ada sesuatu yang terbilang kontraproduktif disini. Jika kita juga mengikuti makna tekstual dari literasi Qur’an, yakni Surat Maryam ayat 33, yang mengaku secara jelas, bahwa Yesus memiliki hari kelahiran (meskipun, sayang sekali Ia tidak punya akta kelahiran kala itu), kematian, dan bangkit dan hidup kembali.

Kontras dengan fakta sejarah dan data tertulis Alkitab, secara apologis, mereka meyakini ayat itu tidak bisa dikaitkan secara lurus dengan peristiwa penyaliban dan kebangkitan Yesus seperti pada pengajaran iman Kristen. Tetapi, hal itu berhubungan langsung dengan kedatangan Yesus yang kedua kali nantinya. Ketika Ia akan mati, bangkit dan hidup kembali layaknya nabi-nabi utusan Allah lainnya pada hari penghakiman terakhir. Ini menandaskan bahwa pemahaman teologis kita soal eskatologi Yesus di dalam Qur’an dan Alkitab memliki logika bernalar yang berlainan alur.

Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat
11 kali dalam 97 kali Yesus (Isa, dalam terminologi Arabis) disebut dalam Qur’an, Ia dikaruniai nama, (title) “The Messiah, Jesus” atau “Al-Masihu, Isa” (Bacalah Surat An-Nisaa ayat 171; dan Surat Al-Maidah ayat 72). Dilihat dari dalam makna pengajaran Islam, Messias lebih tepat diartikan sebagai “Seorang yang diurapi (the anointed one)” laiknya seperti yang

diberlakukan kepada nabi Muhammad SAW. Intinya, seperti penjelasan dari Ruqaiyyah Waris Maqsood, Anne Geldart, B. Kataregga, D. Shenk, Ibn El-Neil, bahwa Yesus itu bukan Tuhan dan juruselamat. Ia hanya diposisikan nabi yang hebat, yang merupakan Nabi utusan Allah. Alasannya, nabi itu manusia tidak mungkin sebagai atau menjadi Tuhan[11].

Selanjutnya, seperti kata Barbara M. Cooper, ekspressi kata Messias dalam horison Yesus sebagai Tuhan dan juruselamat, yang mana itu merupakan penggabungan dimensi makna Isa sebagai manusia dan Tuhan sebagai Allah yang transenden. Hal itu merupakan usaha manusia bahwa mengikatkan (to bind) Allah kepada suatu jaringan atau hubungan manusia, dan mengukur kepantasan atau kepatutan Tuhan sebagai peristilahan dalam pemikiran akal manusia. Bagi Muslim, Allah itu tidaklah manusia dan sebaliknya. Allah itu Akbar, dan  salah satu attribut kemahabesaranNya itu tidak bisa direduksi atau disubordinasikan dalam hubungan sosial manusia.[12]

Bagaimana konsep manusia dan penebusan dibenak Muslim? Hava Lazarus-Yafeh berkata, dalam pemahaman teologi penebusan untuk keselamatan tidak ada konsep seperti itu di dalam Islam, dan itu bukanlah konsep yang sentral bagi mereka. Muslim tidak memerlukan penebusan untuk keselamatan. Hanya dengan menerima dan menjadi Islam atau berdoa
menghadap kiblat atau wajah Allah ke Mekkah (Ahl-al-Qibla), mereka telah menerima ketebusan dari hal-hal yang dilarang agama secara spiritual di dunia ini, dan juga secara fisikal di dunia yang akan tiba, termasuk akhirat.[13] Hal itu diperkuat dengan ajaran fitrah (manusia itu sejak lahirnya memang baik), yang diperlukan hanya menyembah Allah, mengikuti perintah dan menjauhkan larangannya, sehingga keadaan manusia yang fitrah itu, dan upaya manusia mengikuti hidayah atau petunjuk Allah lewat Firmannya mengakibatkan Muslim tidak mementingkan ide-ide penebusan, seperti yang diutamakan di dalam ajaran Kristen.

Mahmoud M. Ayoub sendiri memang mengakui, bahwa faktanya, penebusan salah satu tujuan
utama hidup yang akhir (the primary goal of the life) dari komunitas masyarakat beragama termasuk Islam menyangkut keselamatan diakhir hidup. Keselamatan lewat penebusan merupakan pemberian pemberian hidup yang kekal oleh Tuhan. Seringkali hal-hal itu dialami lewat atau ditandai dengan adanya suatu peristiwa kematian. Artinya, setiap orang yang beragama termasuk Muslim memiliki upaya-upaya doktrinal untuk pencarian keselamatan (the quest for salvation).[14] Dengan begitu, kemesiasan atau missi messianisnya Yesus dianggap missi keillahian terbatas, yakni untuk komunitas umat pilihanNya, yakni Yahudi semata, dengan pertimbangan Ia memang datang darisana.

Meskipun demikian terang-benderangnya secara literal secara tertulis maksud dari kemesiasan Yesus sebagai Anak Allah lewat proses berinkarnasi dengan cara dan pilihan sadar Tuhan sendiri; mati dengan cara dibunuh di atas tiang palang salibNya untuk memberikan jalan keselamatan; Yesus dengan setia bahkan taat sebagai bukti Ialah juruselamat atau penebus dosa manusia, bagi Muslim missi mesianis dalam rangka penebusan, memiliki arti yang tersendiri-sendiri.

Ziauddin Sardar menyatakan, konsep keselamatan dalam Muslim diartikan secara “falah,” yang artinya lebih ditarik kepada keselamatan mengenai hal-hal sosial saja, misalnya kemakmuran, kesejahteraan.[15] Keselamatan dalam batasan itu akan diterima Muslim ketika
ia masuk dan menjadi Islam dan taat menjalankan syariah agama selama hidupnya. Seorang Muslim tidak memerlukan keselamatan dalam proses pertobatan atau penebusan dan selanjutnya dalam rangka menerima keselamatan secara teologis (layaknya iman Kristen). Pertobatan lebih bersifat penyesalan dan tidak alpa melakukan amal jariah. Allah akan memberikan hidayah (tuntunan) kepada Muslim untuk menyanggupi mereka berbuat itu.

Kesimpulan
Jawaban pertanyaan judul tulisan ini muncullah dibagian akhir ini. Mengapa Muslim melakukan pengingkaran dimensi Ketuhanan di dalam diri Yesus? Saya melihat itu merupakan bagian tersulit yang ditemukan jawabannya. Namun demikian, saya bisa memaklumi pemikiran teologis dan dasar penolakannya. Hal itu terjadi karena memang Muslim membangun pengajaran tentang Yesus berdasarkan narasi yang tersurat jelas di dalam Kitab suci secara literal.

Bahkan, jika mengikuti pernyataan dari Maurice Borrmans, bahwa, Qur’an sendiri memang menyangkal Yesus dalam misteri keillahiannya dan semua pengetahuan tentang Yesus yang menyangkut hal-hal ketuhanannya,[16] bukan soal-soal nama-nama, perbuatan-perbuatannya yang hebat, kata-kata, anak manusia, salib, proses akhir cerita penyaliban. Dari sisi ini, tidak semua soal Kristologi disangkal atau diingkari oleh Muslim dan ajaran Islam.
Artinya juga, Kristologi ternyata Al-Qur’aniah dan Alkitabiah yang sangat kuat karena ada teks-teks yang bisa dipakai berulang-ulang untuk membangun dasar-dasar pengajaran ini, meskipun tetap harus diwaspadai kebenaran dan penyimpangannya.

Dari sisi Kristen, yang perlu diketahui kawan-kawan Muslim, bahwa penolakan ketiga pusat ajaran Kristen secara fundamental ini menciderai hati dan rasa teologis orang percaya pada Kristus dan mengganggu perkembangan iman Kristen, yang mana telah ada kesepakatan teologis diantara Kristen soal inkarnasi. Kristus adalah inkarnasi Anak Allah menjadi daging sama seperti manusia biasa lainnya, yang telah memberikan hidup atau nyawanya sendiri untuk menebus (to redeem) manusia dari dosa sebagai bukti historis dan biblis Yesus itu Tuhan dan juruselamat.

Pengingkaran Muslim ini menimbulkan reaksi yang beragam dari banyak orang Kristen. Pertama, hampir banyak orang Kristen yang menjustifikasi secara sepihak, bahwa Islam adalah pengajaran teologi yang sesat secara  keseluruhan. Oleh karena itu, orang-orang ini mengadopsi kebijakan teologis secara aggresif dengan mempropagandakan kebenaran ajaran Kristen tanpa melibatkan atau mengacuhkan persepsi Muslim soal pengajaran-pengajaran itu.

Kedua, mereka menjauhkan jarak dengan Muslim agar tidak
lagi bangkit komunikasi atau pertengkaran atau perang teologis yang berkepanjangan seputar doktrin itu.

Ketiga, sebahagian lain mereka, terus-menerus berupaya menempatkan persepsi bahwa Muslim adalah orang beriman yang baik, dan yang melihat Kristus supaya dimengerti dengan jelas dan lengkap sehingga iman Kristen ini perlu diterima oleh pemahaman Muslim. Ketiga reaksi ini sebetulnya merupakan tiga model tipologi persepsi atau cara berpikir orang Kristen terhadap saudara sepupunya di dalam Kristus mengenai Kristologi, yakni Muslim itu sendiri.




[1]Baca lebih mendalam Hans Kṻng, Islam: Past, Present and Future, translated by John Bowden from German “Der Islam: Geschichte, Gegenwart, Zukunft” (Oxford, UK: Oneworld Publications, 2007), di bagian D.IV “New Approaches to Theological Conversation” khususnya “Dialogue about Jesus,” h. 458-503.

[2]Baca lebih detail dalam Mircea Eliade, Charles J. Adams, The Encyclopedia of Religion, Volume 16 (New York: Macmillan, 1987). Eliade lahir di Bucharest, Rumania. Diantara segitu banyak spesifikasinya, ia lebih tenar sebagai professor sejarah agama (the history of religions) di University of Chicago. Charles Joseph Adams, lahir di Houston Texas 24 April 1942. Ia lebih sering diakui sebagai professor Kajian Islam (Islamic Studies) di McGill Institute of Islamic Studies di North America, Kanada. Konsentrasi keahaliannya di bidang keyakinan Muslim (beliefs of Muslims).

[3]Ivor Mark Beaumont, Christology in Dialogue with Muslims: A Critical Analysis of Christian Presentations of Christ for Muslims from the Ninth and Twentieth Centuries (Oxfoord, UK: Regnum Books International, 2005), h. xix.

[4]Islam Kotob, The Meaning of the Noble Qur’an (UK: Islamic Books Publishers, 2006), h. 455; Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Noble Qur’an (UK: Islamic Books Publishers, 2006), h. 454; Samina Yasmeen (ed.), Muslims In Australia: The Dynamics of Exclusion and Inclusion (Australia: Melbourne University Press, 2010), h. 14; Halim Rane, Islam and Contemporary Civilisation: Evolving Ideas, Transforming Relations (Australia: Melbourne University Press, 2010), h. 14; Muhammad Saed Abdul-Rahman, Islam: Questions And Answers: Polytheism Shirk And Its Different Forms (London: MSA Limited Publication, 2003), h. 1.

[5]David Emmanuel Singh,  “Christology in an Alternative Islamic Theological Structur,” dalam David Emmanuel Singh (ed.), Jesus and the Cross: Reflections of Christians from Islamic Contexts (Oxford, UK: Regnum Books International, 2008), h. 187-188.

[6]Ulfat Aziz-Us Samad, Islam and Christianity (Cairo, Egypt: Al-Falah Foundation for Translation, Publication & Distribution, 2003), h. 44-45.

[7]Baca lebih detail dalam Abdiyah Akbar Abdul-Haqq, Sharing Your Faith with A Muslim (Grand Rapids, MI: Baker Books, 2012), khususnya Chapter 8 “The Messiah and the Prophet”; Chapter 9 “The Messiah the Servant”.

[8]Samy Tanagho, Glad News!: God Loves You My Muslim Friend (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2012), h. 9.

[9]Irfan A. Omar (ed.), Muslim View Of Christianity: Essays on Dialogue by Mahmoud Ayoub (New Delhi: Logos Press, 2010), h. 159.

[10]Abraham Sarker, Understand My Muslim People (Oregon: Barclay Press, 2004), h. 129-130.

[11]Ruqaiyyah Waris Maqsood, Islam (Oxford, UK: Heinneman Educational, 1987), h. 27; Anne Geldart, Islam (Oxford, UK: Heinneman Educational, 1999), h. 27; Badru D. Kataregga, David W. Shenk, Islam and Christianity: A Muslim and a Christian in Dialogue (Nairobi: Uzima Press, 2004), h. 140; Ibn El-Neil, The Truth about Islam (New York: Eloquent Books, 2008), h. 36.

[12]Barbara M. Cooper, Evangelical Christians in the Muslim Sahel (Bloomington, IN: Indiana University Press, 2006), h. 78-79.

[13]Hava Lazarus-Yafeh, Some Religious Aspects of Islam: A Collection of Articles (Leiden, Netherlands: E. J. Brill, 1981), h. 48.

[14]Mahmoud M. Ayoub, Redemptive Suffering in Islam: A Study of the Devotional Aspects of Ashura (Netherlands: Mouton Publishers, 1978), h. 6.

[15]Ziauddin Sardar, What Do Muslims Believe?: The Roots and Realities of Modern Islam (New York: Walker Publishing Company, Inc, 2007), h. 96.

[16]Maurice Borrmans, “Who is Jesus for Muslims?” translated from French by Paul Hannon dalam Stuart G. Hall (ed.), Jesus Christ Today: Studies of Christology in Various Contexts (Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Ko. KG, 2009), h. 283-298.