Tuesday, July 31, 2012

Nikah Dini: Pendidikan Diri Lebih Dini


Tulisan ini adalah “Kata Pengantar” yang saya tulis sendiri dalam Buku “Pernikahan Dini: Apakah itu Baik? Ditulis oleh Yowenus Wenda, Diterbitkan di Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012, hlm. 7-12.

Pendidikan menyiapkan diri secara lebih awal. Itulah substansi pemahaman yang sedang diwacanakan oleh Wenda disini. Entri pointnya adalah setiap orang sudah seharusnya telah memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dan pasangannya kelak kemudian commit terhadapnya. Ini tidak sesederhana diatas kertas dalam buku ini karena Wenda mengkaitkan dengan urusan psikologis dan eknomi, selain fisik tentunya. Melihat setting sosial dan kultural Indonesia yang dilekati custom-kebiasaan ketimurannya. Kondisi ini yang memaksa sipemilih pelaku nikah dini jauh-jauh hari menyiapkan lahir dan bathinnya.

Sehubungan dengan masyarakat disini bersifat kolegial dan kolektif, maka ini bertambah kompleks. Disini keluarga kedua pihak masih dianggap lumrah untuk harus dilibatkan menginput data dalam hal putusan kayak begini. Mengapa demikian, karena pernikahan disini adalah pernikahan setrah atau seluruh turunan kakek moyang, plus pembisik-sassus (siksus) yang sering berujung gossip atau desas-desus tetangga kiri kanan yang didepan belakang juga merasa bertanggung jawab untuk memberikan keputusan soal ini.

Dengan mengerti betul substansi ini dibenak kita pembaca, ternyata nampak jelas bahwa sipelaku pernikahan tidaklah benar-benar bebas untuk merengkuh kebebasannya terkait putusan untuk dirinya. Semakin terlihat gamblang bahwa ia tidaklah memutuskan untuknya. Hampir tidak keliru jika dikatakan orang diluar dirinyalah yang bebas untuk memutus “apa kategori”, siapa “target” yang paling tepat untuknya. Inikan tidak logis, tetapi ini yang terjadi disini.

Mendengar bibit, bobot, dan bebet kesannya itu klasik, seolah-olah itu sudah tergerus oleh online system atau digitalizing minded karena kita hidup zaman satelit kayak begini. Realitasnya, 3B itu eksis dan mentransformasikan dirinya dalam wujud yang nggak kelihatan-invisible. Faktanya ia tetap ada, bahkan sangat dominan dalam takaran tertentu jika dilihat dari input atau siksus dari luar si pelaku tadi.

Saya melihat sipelaku, sitarget, si keluarga dan sicalon pelaku, juga sitetangga pembisik, sangat perlu mendalami gagasan menikah dini dari Wenda ini. Bukan hanya itu akan mengguncangkan atau malah bisa saja menguatkan komitmen mereka pelakunya. Selain itu juga menggoda rasa tanggung jawab atau “sense of responsibility”  dari kebebasan dan keputusan mereka lambat atau segera.

Dengan begitu, diantara sekian buku tips pernikahan Kristen lain, gagasan Wenda masih memiliki ruang untuk ditempati yaitu ruang mind-pemikiran soal well prepared-menyiapkan sedari awal, bukan pada institusi atau lembaganya. Ini genting sifatnya karena kita-orang Timur tergolong pecinta “prokrastinasi,” sebuah istilah yang menunjukkan perilaku suka menunda-nunda (bukan menduda-duda) kita suka lelet-berlambat-lambat. Kita adalah prokrastinoator (pelaku prokrastinasi) dalam banyak kondisi. Ini kondisi psikologis berbungkus teologis karena biasa dengan motto “mengalir kayak air” “Tuhan tahu yang terbaik” “belajar sambil jalan”.

Dihubungkan dengan topik yang sedang dibicarakan, sifat ini bisa termasuk “nikah coba-coba atau coba-coba nikah”. Itu sama saja dengan “nikah-nikahan atau kawin-kawinan”. Asik-masyuk prakteknya, kalangkabut penanganannya. Ini upaya akademik yang tepat dari seorang Wenda menulis berdasarkan kegalauan-kesepian-kesendiriannya. Ini masuk akal, disamping dia sendiri seorang Sarjana Pendidikan Agama Kristen yang lagi kuliah S2 untuk mendidik dirinya di Magister Pendididikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Tidak heran “wacana” dalam buku ini banyak dilatari oleh intergrasi kedua disiplin ilmu pendidikan Kristen dan umum itu.

Yesus sendiri turut campur soal urusan biologis dan psikologis dizamannya. Artinya itu jadi petunjuk bagi kita kini. IA sangat peka soal pendidikan kawin-mawin ini. Ia sejak dini telah memberikan warning: "Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan (Lukas 20:34). Lebih maju, DIA telah mendahului mengingatkan kita ketika zaman ini akan diakhiri, IA bersabada: “pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga” (Matius 22:30). Ini karena rumitnya urusan biologis yang dihadapi orang Yahudi saat itu. Ini bisa berimpartasi pada kita jika diri tidak disiapkan.

Warning itu semakin perlu ditanggapi, jika tidak pernikahan yang tidak disiapkan dari awal menghasilkan makin membludaknya populasi manusia karena gonta-ganti. Anehnya di keyakinan dan kebiasaan agama dan suku tertentu itu secara teologis dan normatif bisa saja, meski tidak diharuskan. Meski syarat dan ketentuan tetap berlaku. Tentulah dalam perganti-gantian-kawin cerai itu sering menghasilkan anak dan keturunan. Salah satu persoalan mendasarnya adalah memang tidak siap secara dini. Sehingga terus “berimprovisasi” dan berganti-ganti pasangan, suami atau istri.

Akibatnya, jumlah manusia Indonesia sendiri umumnya dikenal nangkring di posisi 4 teratas seantero jagat. Artinya orang Indonesia terkenal si tukang kawin. Kita dikenal juara 4 soal urusan kawin se-dunia, hanya kalah setelah Amerika Serikat, India, China, Ini tentu hasil ketemuan benih dari kawin-mawin dua insan lewat penikahan syah atau tidak, resmi atau dibawah tangan, atau hanya dibawah pohon disaksikan mereka berdua tanpa kehadiran penghulu, petugas KUA atau Catatan Sipil.

Akibatnya terlalu ramai dan terlalu derasnya laju pertumbuhan manusia disini. Disamping ada bahagian faktor lain penyebabnya, khususnya soal kawin-mawin menyumbang andil disini. Itu akibat ketidaksiapan, dan inikan sangat mengkhawatirkan dan berimpartasi negatif pada seluruh dunia. Ketidaksiapan sedari awal menyumbang persoalan ledakan-overcrowed-kebanyakan penduduk di planet ini.       

Jumlah manusia yang hidup di bumi pertiwi ini beracu pada statistik PBB ditampilkan dalam The Website of the 2010 World Population and Housing Census Programme United Nation Population Division, dalam Indonesia 2010 Population and Housing Census diposting 20 January 2011. (http://www.un.org/esa/population) kuantitasnya 237.556.000 kepala. Perinciannya cowok 111.508.000 orang, cewek 118.048.000. Data ini diposting secara resmi Pemerintah RI ke Divisi Kependudukan PBB berdasarkan hasil sensus keenam kalinya di Indonesia Mei 2010 yang lalu.

Total populasi dunia pertengahan tahun 2010 diestimatesi 6.852.472.823. oleh Matt Rosenberg dalam Current World Population and World Population Growth Since the Year One dalam http://unstats.un.org. Ia lebih detail dalam Largest Countries: Countries with the Largest Population merangkingnya dengan berurutan: China 1.330.044.544; India 147.995.904; United States 303.824.640; Indonesia 237.512.352; Brazil 196.342.592. Meski ada sedikit selisih perbedaan angka Rosenberg dengan PBB, sesuatu hal yang  biasa dalam statistik karena intervalnya masih bisa diterima. Tetapi kisaran jumlahnya ada pada rank yang sama. Tidaklah keliru pula, jika Robert Kunzig menulis artikel: “Special Series: 7 Billion" dalam Majalah National Geographic, edisi January 2011(http://ngm.nationalgeographic.com).

Maksudnya akan ada segera tujuh milyar orang di planet ini. Di tahun 2045 penduduk dunia diproyeksikan mencapai sembilan milyar. Padahal 6 tahun sebelumnya, secara tidak asal-asalan Joel E. Cohen, (terbitan New York: W. W. Norton & Company, 1995) telah menanyakan dalam bukunya: How Many People Can the Earth Support?-berapa banyak orang yang bisa ditampung planet? Apa emang masih bisa planet menampungnya?.

Hal terbaik tentang buku ini adalah bahwa ia sendiri tidak menjawab pertanyaan yang ditanyakan dalam judulnya. Joel Cohen paham bahwa tak seorang pun benar-benar tahu berapa banyak orang yang bisa muat di planet kita. Tapi ia mengingatkan ada masanya pertumbuhan saat ini tidak dapat dilanjutkan selamanya karena jika tingkat pertumbuhan penduduk tidak akan berhenti, potensial banyak bencana.

Ketidakterjawaban ini rasanya tidak kebetulan. Ini merupakan peluang kita untuk berpartisipasi soal penanganannya lewat pendidikan dini. Oleh itulah, dengan mengikuti H. Norman Wright & Wes Roberts dalam buku manualnya “Before You Say: I Do, (terbitan Oregon: Harvest House Publishers, 1977), memang perlu melakukan preparing for marriage dengan God’s way: a step by step guide for marriage readiness and after the wedding conflicts, seperti kata Wayne A. Mack dalam bukunya itu (terbitan United Stated of America: Virgil Hensley Publishings, 1986).

Memang searah dengan itu, sebelum kamu katakan dalam ijob kobulmu: “Aku terima nikahnya Fatimah binti Fatah Fikiran bin Fatah Harapan dengan seperangkat alat-alat tulis dan kertas perceraian...,” dts. Atau sebelum kadung-terlanjur janji nikah suci (sering: hanya janjinya yang suci, bukan lembaga pernikahannya karena tidak ditepati, buktinya banyak yang bukan hanya pisah ranjang juga pisah hubungan, cerai maksudku), sebelum kamu bilang: “aku Harapan terima engkau Haryastuti dengan haraf-harap cemas, sebagai Istri yang sah (meski belum yakin betul) untuk sehidup semati, dalam keadaan sakit atau sehat dst.,” kamu perlu persiapan dini.

Wenda membantu kamu lewat idenya dalam bukunya ini. Meski nanti pemimpin rohanimu akan menuntunmu dalam bimbingan pastoral pra-pernikahan, Wenda menemanimu sebelum kamu bilang Yes, I Do. Selamat membaca!

Monday, July 30, 2012

TKI: Dari Pahlawan Devisa jadi Pahlawan KRISTUS


Artikel ini dimuat di Koran Fresh, Edisi Juni 2012/No. 3/Ragam/hlm.18. 
Kita lebih sering mendengar ekploitasi negatif TKI-Tenaga Kerja Indonesia oleh media. Itu memang fakta, tetapi sebagai orang Kristen saya melihat lebih realistis, dan memilih mengumpulkan serpihan-serpihan berita baik, yang berserakan seantero Jiran, berdasarkan penuturan mereka sendiri. Sayangnya berita kebaikan ini jarang dinarasikan orang. Ini bermula, ketika saya diundang menjadi pembicara seminar (Jumat-Minggu/28-31/10/2011) di “Gereja Grace” Shah Alam, Selangor-Malaysia. Peristiwa nyata ini saya pilih, bukan pura-pura lupa kepada kisah pilu lainnya. Kali ini sebagai orang Kristen, lebih baik bertutur yang baik-baik saja untuk membangun iman.

Intinya, kabar baik TKI di Malaysialah yang saya tuturkan disini. Bagaimana TKI menciptakan sendiri narasi hidupnya dari pahlawan devisa hingga menjadi Pahlawan Kristus. Bagaimana sulitnya pergulatan sosial dan mahalnya harga yang harus dilunasi secara teologi-ekonomis oleh “migrant worker” untuk menemukan Kristus, dan mengokohkan imannya di negeri orang, yang tak lupa menafkahi diri dan keluarganya di kampunghalaman.               
Para TKI Kristen
Jumlah TKI di Malaysia sekitar 2 juta. Tiap tahun meningkat, khususnya perempuan. Mengapa mereka terpaksa memilih jadi TKI? Ketika ditanyakan umumnya mengatakan karena alasan ekonomi dan langkanya pekerjaan di Indonesia. Artinya, memang sukar “menghasilkan uang” dengan cara benar-benar halal disini. Hasil survei dari BPS-Badan Pusat Statistik, Mei 2010, menunjukkan angka pengangguran di Indonesia mencapai 8,59 juta orang, yaitu 7,41% dari 116 juta total angkatan kerja. Dengan melihat itu, maka tidak heran, jika kualitas manusia Indonesia sangat rendah, seperti Laporan Badan Program Pembangunan PBB.

Buruknya mutu hidup kita, diukur lewat IPM-Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, dengan indikator kesehatan, pendidikan dan pendapatan. Kita di peringkat 124 dari 187 negara dunia, tahun 2011, turun 16 strip dari tahun lalu, (Koran Tempo/Jumat/4/11/2011/h.B2). Tidaklah mengherankan, demi mendapatkan “uang,” jutaan manusia Indonesia, terpaksa harus migrasi dan bekerja mati-matian disana. Apalagi memang nilai tukar MYR-Ringgit Malaysia lebih “prestise” ketimbang Rupiah. Perputaran uang pengurusan dokumen, pajak, visa, dll sebahagian besar masuk kas negara, itulah yang membuat TKI dianggap Pahlawan Devisa.

Banyak diantara TKI pemuda/i Kristen. Kiriman uang (remintansi) para TKI, sering bermuara di gereja. Sesekali mereka mengirim uang ke keluarga, biasanya orang tua akan memberikan persepuluhan atau sumbangan pada hari-hari besar Kristen. Diantara mereka, sesekali membantu pembangunan gereja di daerah asal, seperti diceritakan Ramos Petrus (Banjarmasin), yang dahulunya adalah Muslim, tetapi menemukan Kristus di Malaysia. Keterangannya, ingatkan saya kesaksian 2 pendeta Gereja Penyebaran Injil di salah satu daerah di Solo, dan Gereja Pantekosta di Indonesia daerah Cilacap, dana pembangunan gerejanya sebagian besar adalah kiriman TKI.

Sebaliknya, keluarga mereka bahkan tidak segan meminta untuk selalu ditransfer, karena anggapan kerja di Malaysia, Ringgitnya pasti banyak. Ini terjadi karena salah kapah diantara orang sedesanya. Belum lagi memang diantara mereka harus melunasi utang ke kerabat, tetangga atau rentenir sebagai pinjaman mengurus dokumen TKI, yang bisa dilunasi ketika sudah kerja. Ringkasnya, ternyata TKI juga pahlawan keluarga, gereja, pembangun desa.
           
TKI Pahlawan Kristus
Cipto, (Bojonegoro) sejak 3 bulan lalu kerja di Selangor di Pabrik pengolahan kayu. Selesai ibadah minggu, (14.30-16.00), masih harus dilajutkan dengan doa syafat aktivis gereja (hingga 17.30), setempat. Ia bertutur, 2 bulan pertama, ia naik taksi sebesar 75 Ringgit, setara Rp 182.000, (jika 1 Ringgit=Rp 2.600), untuk ongkos PP-pulang pergi gereja. “Tapi, Puji Tuhan bang, sekarang lebih enak, Pp-nya saya numpang “kereta” (maksudnya mobil di Indonesia), dengan Bu Deby (seorang aktivis gereja), yang sekompleks dengan saya. Cerita lain dari Domo Tambunan (Tanah Jawa-P.Siantar-Medan) sebagai manajer pabrik elektronik. Ia harus Naik Bus 6 jam pp (jika bus umum dan jalanan tidak macet) dengan biaya hampir sama dengan Cipto, karena jauhnya jarak asrama dengan gereja. Ini terjadi karena pemerintah Malaysia menyediakan tanah dan lokasi rumah ibadah semua agama hanya ditempat yang sudah ditentukan.

Cerita lain dari Dodi Tambunan. Ia sendiri Kristen-Indonesia, disamping TKI lain dari Filippina, Banglades, dan beberapa negara Asia Tenggara. Di asramanya lebih banyak Muslim-Indonesia. Di asramanya, “ada seorang “pendakwah” (Penginjil Muslim), yang sengaja bekerja disana. “Kayaknya dia itu utusan dari organisasi Muslim tertentu untuk dakwah ke TKI Muslim disini, bang,” seperti dikisahkannya berdialek Malaysia-Bataknya yang kental, sehingga terdengar lucu dan unik.

Ketika saya tanya lagi, di asramanya sering ada pengajian. Ia sering diajak teman Muslimnya. Hingga 3 tahun ia selalu menolak. Ia mengkisahkan dengan bahasa Batak Toba: “Boada bang molo diajak halak dongan i iba, lao mangaji? Memang hutolak dope torus, alai, molo leleng-leleng dang tabo parasaanku, bah!” (artinya: Bagaimana, kalau sering diajak ikut pengajian? Memang saya tolak terus, tapi semakin lama, segan rasanya). Ini indikasi ada metode tertentu dan orang tertentu untuk “mengajak” Kristen ikut agamanya. Fakta ini meski bersifat kasusistik, tetapi tidak bisa dipungkiri menjadi bukti pergumulan sosio-teologis mereka, yang mungkin juga dialami saudara seiman kita yang lain disana. Dodi mengakui, seandainya ia tidak terlibat aktif melayani di rumah missi, yang sengaja disediakan gereja untuk rumah kos-kosan mahasiswa Kristen dari sekitar Malaysia, dan sebagai tempat gabungan dengan pelayanan bagi TKI, maka imannya bisa goyah.

Kejadian lain, Kezia Manullang (Perbulan, Laubaleng-Karo), Mei Tampubolon (Kisaran-Medan), Citra Sinaga (Tebing Tinggi-P.Siantar) sebagai koordinator sekolah minggu dan Pemuda-Mahasiswa. Mereka tetap energetik melayani, meski selesai kerja langsung pelayanan pemuda setiap sabtu, dimulai jam 9 malam. Bahkan sering harus lembur malam karena melayani sekolah minggu sorenya. Perbuatan terpuji ini mengingatkan adik saya sendiri, Lulu Tambunan (kini kerja lagi di Batam), yang “bertobat beneran” selama kerja di Malaysia 4 tahun lamanya, padahal sewaktu di kampung “tidak peduli” kerohanian.
Kisah hidup migrant worker ini semoga jadi pemahaman positif kita yang memiliki keluarga, kerabat, dan jemaat disana agar mengerti dengan betul, bagian yang baik dari apa sesungguhnya terjadi, dan bagaimana “nasib dan pergulatan” mereka “menjadi Kristen” di negeri orang. Mereka ibarat oase spiritual Kristen ditengah keringnya hal yang baik terdengat dari TV. Reportase TKI ini, semoga “menggugah” gereja Indonesia, supaya tidak hanya terfokus “ngeRoh” saja. Melihat apa sedang terjadi, kita terpanggil bertindak menunaikan panggilan kita. Jika selama ini KKR-Kebaktian Kebangunan Rohani, maka oleh pertolongan Tuhan, kita harusnya bisa KKSI-Kebangkitan Kebangunan Sosial dan Intelektual untuk mengecilkan perkara besar nasional di hari penghujung ini. Mereka yang mencari dan layani Tuhan, pantas disebut Pahlawan Kristus. Semoga kita jadi pahlawan kicil bagi dunia luas. Siapa menyusul?