Wednesday, January 26, 2011

Sosiologi Pelayanan Gereja

Sikap Teologis & Aksi Sosiologis Pelayanan &  Hamba Tuhan
Elia Tambunan, MP.d
Essay ini pernah dimuat di www.pantekostapos.com, Sabtu, 27 November  2010.

Era post-modernitas kini, masyarakat adalah subjek dari tindakannya sendiri. Struktur masyarakat bukan lagi hanya kaum terdidik, melainkan rakyat biasa telah masu hitungan. Hasilnya, masyarakat merdeka, bebas dari tekanan dan dominasi siapapun dalam melakukan tindakan praxis bersama-sama. Ruang sosial kehilangan dominasi dan otoritarianisme absolutis dan keharusan ikatan dan keterikatan keyakinan-keyakinan agama. Masyarakat semakin tidak mengalami religionphobia, ketakutan yang menimbulkan kebencian terhadap agama lain. Meski demikian, masyarakat tetap berazaskan kode etik organisasi, ad/art, ikatan, komunitas, asosiasi dsb yang biasanya berdasarkan norma-norma agama para anggotanya. Meski ada konsekuansi dekadensi moral. Jika demikian kondisi sosialnya, pertanyaan yang bisa dialamatkan adalah bagaimana sikap teologis dan tindakan sosiologi pelayanan dan gereja yang mesti ditampilkan? Apa yang harus dilakukan? Dalam essay ini, saya akan mendekatinya dengan pendekatan sosiologis. Pelayanan dan hamba Tuhan GPdI dalam hal ini saya posisikan sebagai contoh kasus dalam setting sosial seperti ini? Ini perlu dipertimbangka bersama secara seksama, meski tanpa melupakan artikulasi dari nilai-nilai teologisnya kita.

Saya merumuskan persoalannya secara akademik agar kita lebih berpikir kembali soal fenomena dan realitas sosial serta implikasinya di masyarakat:1) bagaimana sikap teologis dan aksi sosiologis kita dalam proses menjadi (on being) pelayan atau jemaat GPdI di dalam masyarakat, 2) bagaimana sikap teologis dan aksi sosiologis kita dalam keterlibatan sosial (on involving) di dalam perubahan sosial masyarakat Indonesia yang semakin terdidik, 3) bagaimana sikap teologis dan aksi sosiologis kita dalam membawa keluar (on sharing) pelayanan kita ke masyarakat Indonesia yang semakin sadar dan menuntut pluralitas dan multikultural. Untuk itu, kita perlu memikirkan ulang pendekatan teks keagamaan kita secara teologis dan reorintasi pelayanan kita secara sosiologis

Permasalahan akademik disini perlu kita pahami dalam dua pendekatan yakni pendekatan normatif teologis dan pendekatan sosiologisnya secara lebih cermat. Pendekatan ini konsentrasi pada praxis kolektivitas religius sebagai mikrokosmos masyarakat dimana proses dan pola sosial dapat diamati, (M.S. Northcott, 2005: 271) Pendekatan sosiologi menyelidiki perilaku keagamaan untuk mempertanyakan dan memaknai keyakinan dan ritual keagamaan apa yang terus bertahan  dalam lingkungan kehidupan tertentu dan mengapa? Ini ingin melihat secara langsung kaitan antara  lingkungan personal atau konteks sosial tertentu dengan keyakinan mengenai Tuhan. Ini juga ingin mengetahui pengaruh penjelasan keagamaan mengenai penyimpangan dan kekacauan sosial ataupun penyakit sosial dan upaya-upaya sosial untuk mengatasinya. Disinilah pendekatan sosiologis sangat diperlukan.

“Merombaknya”, bukan jadi tujuan tetapi, untuk memikirkan ulang sikap teologis dan aksi sosiologis pelayanan dan pendeta GPdI yang didasari oleh Corps de Spiritnya yang bersumber darinya dan tanggung jawab moral dan teologis kita sebagai hamba Allah di tengah mayoritas, pluralitas dan multikulturalitas agama di seluruh Indonesia. Dengan pemahaman seperti itu, artian sebenarnya peran sentral gereja dan agama tetap menguat hanya saluran atau cara kerjanya lebih umum dan tetap memperhatikan kebutuhan individu dan kelompok agama tertentu. Kini, kita (saya akan tetap mempertahankan kata “kita” yang artinya pendeta, pelayan, aktivist gereja, dan jemaat Kristen yang ikut terlibat aktif dan aktor di dalammnya, termasuk saya), sedang memasuki era “masyarakat post-sekular” yang di dalamnya sekularisasi harus diinterpretasikan secara baru sebagai proses tindakan komunikatif (Habermas, 2009: 4), dan saling belajar berkomunikasi antara pemikiran sekular dan pemikiran religius, antara agama yang satu dengan yang lain .

Dalam setting sosial masyarakat rasionalist dan multikulturalist, saya melihat sebenarnya masih ada celah kemerdekaan kebebasan hak individunya dalam menentukan pilihan berTuhan, berAgama atau tidak. Rasionalitas dan multikulturalitas berdampak pada masyarakat bebas menggunakan rasionya di dalam ruang public.” (Habermas 2007: xv).  Masyarakat rasionalitas (Habermas, 2002: 148) maksudnya: 1) Masyarakat percaya dengan bebas terhadap kekuatan akal budi manusianya. 2) Masyarakat menolak klaim kebenaran tradisi, dogma dan otoritas di luar pemikiran rasionalnya yang tidak dapat begitu saja ditetapkan oleh otoritas religius. 3) Masyarakat mengembangkan metode baru bagi ilmu, pengetahuan dan teknologi. 4) Masyarakat mengarahkannya kepada ha-hal yang sekularis. Sekularisasi ialah suatu pandangan dasar dan sikap hidup yang dengan tajam membedakan antara Tuhan dan dunia sebagai sesuatu yang duniawi saja. Sekularisme menghilangkan unsur-unsur gaib dan keramat (Mendieta, 2002: 15).  Lalu, masyarakat multikulturalitas saya maknai dengan mayoritas, pluralitas dan multikulturalitas. Pertama, mayoritas disini dimaksudkan  adalah nominal anggota pemeluk kelompok non Kristen, dukungan politik dan regulasi hukum di daerah-daerah mendominasi bahkan menindas yang lain. Setidaknya ini terlihat dari konflik politik sebenarnya jika cermat diurai detail-demi detail, itu manifestasi politisasi keagaaman dalam kasus pembakaran gereja. Dan, diberlakukannya otonomi daerah dan sekaligus otonomi regulasi hukum Syariah Agama, di daerah-daerah Mayoritas Islam.

Kedua, pluralitas maksudnya disini dimaknai sebagai masyarakat bahkan “dunia yang terdiri atas berbagai agama” (W.C. Smith, 2000: 46). Ketiga, multikulturalitas maksudnya disini adalah partisipasi publik dengan saling memahami ada perbedaan dan telah saling berintegrasi dengan hidup dan bekerja bersama dalam konteks egaliterianisme demokrasi dan bebas berkewarganegaraan yang termanisfestasi dan terakomodasi dalam perbedaan serta  kesamaan dalam institusi masyarakat dan institusi politik. Masyarakat yang bebas dalam sharing something in common, artinya membagikan suatu nilai-nilai keyakinan yang umum tanpa tendensi apapun sebagai warganegara (Modood, 2007: 6). Keanekaragaman keagaman ini menimbulkan persoalan manusia secara umum, karena ia mengacaukan masyarakat. Ini karena tradisi-tradisi yang berbeda, yang berkembang secara terpisah dan menyendiri. Ia berbuat demikian, karena agama dalam pengertian militansi dari aksi fanatisme atau fundamentalismen sikap pemeluknya menjadi kekuatan yang mengerikan karena saling mendominasi dan berebut pemeluk, bukan hanya secar eksternal agama, juga secara internal organisasi, jika internal mikro sesama anggota jemaat gereja tertentu.

Bagaimana dengan GPdI  hari ini? Saya menganalisisnya sebagai sebuah contoh kasus dilihat dari beberapa butir pasal di AD/ARTnya yang tampak jelas. (karena lebih banyak saya ketahui dibanding yang lain). Beberapa butir pasal saya gunakan sehingga menunjukkan sifat analisis partikularis dari tulisan ini. Jika diamati dengan pendekatan interkoneksi dan intergatif antara normatif teologis dan sosiologis, maka perlu direaktualisasi. Artinya dipikirkan ulang agar lebih aktual, efektif sesuai dengan konteks lokal, stereotype daerah dan OTDAnya. Perlu revitalisasi, artinya penguatan ulang dengan mendesain ulang (bukan meragukan iman dan meragukan pendeta, organisasi dan pelayanannya) pendekatan pelayanannya dan cara mengekspersikan nilai-nilai doktrin dan institusi keorganisasian dan keagamaan, di tengah Mayoritas, Pluralitas dan Multikulturalitas Agama seperti penjelasan di atas.

Di dalam Bab Mukadimah AD&ART setidaknya, para pionir yang sangat berjasa dan harus dihormati serta diteladani, oleh dorongan dari Roh Kudus-ini kita terima dengan iman saja-, telah merumuskan saat itu, bahwa: “GPdI terpanggil mengamalkan Amanat Tuhan  Yesus Kristus untuk memberitakan Injil sepenuhnya yang termaktub dalam Alkitab yaitu: “Pergilah ke seluruh dunia (baca: masyarakat yang tinggal di dalam dunia), beritakanlah Injil kepada (baca: injililah) segala mahluk, siapa yang..., (Mrk 16:15-18), dan Karena itu pergilah (baca: tindakan aktif berbuat sesuatu), jadikanlah semua bangsa muridKu (baca: “menerima Yesus” yang umumnya masih kita fahami menjadi Kristen dari pendekatan teologis), dan baptislah...” (Mat 28:19-20)”. Lalu, dalam Bab II Asas, Pasal 5 dirumuskan: “GPdI berasaskan pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Tidak ada yang salah dengan ini sebagai AD&ART sebuah organisasi keagamaan dari pendekatan normatif teologis dan memenuhi perintah berbuat sesuatu yang riil dari amanat agung kedalam pelaksanaannya dari pendekatan sosiologis. Pendeta, pelayanan GPdI sedang melaksanakannya.

Kemudian, dalam ART Bab I, Penginjilan, Pasal 1: GPdI dalam mencapai tujuannya (di AD, Bab IV, Tujuan, Pasal 8: GPdI bertujuan mengamalkan amanat Tuhan Yesus Kristus yang termaktub dalam Alkitab PL&PB demi keselamatan - dalam pendekatan normatif teologis- umat Manusia- dalam pendekatan sosiologis-, melaksanakan kebaktian-kebaktian penginjilan di gedung-gedung gereja, di kota-kota, di desa-desa, di kampung kampung, di dusun-dusun, di rumah-rumah sakit, di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di asrama-asrama, di kompleks perumahan (real estate, ruko, perkantoran), di lembaga-lembaga pemasyarakatan, di daerah pemukiman, di daerah transmigrasi, diperkebunan, di panti-panti asuhan dan rumah-rumah jompo, di daerah-daerah suku terasing, di perusahaan-perusahaan, ditempat lain dimana Injil dapat diberitakan, dan mengadakan Kebaktian Kebangunan/Penyegaran Rohani  dalam gedung-gedung umum, di lapangan terbuka atau dalam kemah penginjilan, serta menyiarkan berita Injil, memalui media massa, dan mengutus penginjilan-penginjil baik ke seluruh pelosok Indonesia maupun ke luar negeri”.

Melihat kondisi masyarakat dalam era post-modernitas maka saya melihat pentingnya dilakukan pendekatan interkoneksitas dan integratif antara Normatif Teologis dan Sosiologisnya dalam hal revitalisasi dan reaktualisi pelayanan GPdI. Pertama, perlu kita pahami dengan benar bahwa hanya dengan pendekatan normatif teologis seperti yang dirumuskan founding fathers kita bahwa: “GPdI terpanggil mengamalkan Amanat Tuhan Yesus Kristus untuk memberitakan Injil sepenuhnya yang termaktub dalam Alkitab yaitu: “Pergilah ke seluruh dunia sasarannya tentulah masyarakat yang tinggal di dalamnya yang telah pasti kita hidup bersama masyarakat yang mayoritas, bermasyarakat yang pulralistas dan multikultural. Kemudian, beritakanlah Injil kepada yang dimaksudkan adalah injililah segala mahluk artinya siapa saja masyarakat yang mayor, plural, dan multi ttersebut. Selanjutnya, jadikanlah semua bangsa muridKu dalam hal ini cita-cita kita adalah  semua masyarakat mayor, plural dan multi akan “menerima Yesus” yang umumnya masih kita fahami menjadi Kristen dari pendekatan normatif teologis.

Ini perlu dipikirkan ulang untuk menuntun kita dalam melayani, Jika ini diterapkan secara mekanis, skripturalis akan menimbulkan konflik keagamaan yang mengarah kepada politisasi keagamaan. Pendekatan normatif teologis terhadap teks Alkitab yang menuntun bagaimana kita bersikap terhadap masyarakat. “Pendekatan Ini tanpa memperhatikan bentuk-bentuk atau makna atau muatan kultural dari institusi sosial masyarakat dan agama lainnnya. Makna dan muatan budaya dari institusi sosial dianggap tidak bermakna dan tidak diperhatikan” (Baidhawy, 2001: xv), karena dengan sikap skrituralis yang demikian, masyarakat  Kristenlah yang benar karena ini hasil pemahaman dari Kitab Suci.

Pendekatan seperti itu luput mengamati keunikan masyarakat lokalnya. Masyarakat Indonesia dengan pluralitas dan multikulturalitasnya memiliki sistem makna sehingga mereka saling berinteraksi  dan memiliki basis sosial dan lokasi sosial dengan cirinya partikularnya yang tentu tidak sama lagi dalam anggapan zaman kolonialisasi. Masyarakat pluralitas dan multikulturalitas dimana kita melayani, mereka hidup dalam dunia maknanya sendiri dan dalam stigma dan dan perjuangan kelasnya sendiri, dimana mereka berproduksi  dan juga berjuang dalam proses perubahan sosial dan semakin menggunakan rasionalitasnya dan semakin memperlihatkan betapa masyarakat memiliki kekuatan sosial kini, semakin dibuktikan dalam kasus Pritasari dan kekuatan Social Networking Facebook dalam kasus Bibit-Chandra. Jika kita terpaku dalam pendekatan pelayanan seperti ini, akan menimbulkan masalah.

Disisi lain, GPdI berasaskan pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Apakah tampak masalah disini, jelas tidak. Ini menunjukkan tingginya pengetahuan mereka saat itu dan betapa mereka memiliki social sense, social sensitivity yang sangat peka. Ini membuktikan betapa mereka benar dilhami oleh Roh Kudus. Saya akan membuatnya lebih jelas dalam pendekatan ini. Terpanggil mengamalkan Amanat Agung (soal ini seluruh denominasi gereja menyadarinya dan untuk tujuan itulah gereja eksist) untuk membawa jiwa-jiwa bagi Kristus seperti bahasa yang biasa kita ucapkan, itulah tujuannya, kepada siapa? Kepada Kristus dan menjadi murid Akristus dan menjadi Kristen.

Jika mukadimah ini dilaksanakan dengan pendekatan normatif teologis, tindakan kita memperjelas kita tidak menyadari posisi kita dibandingkan mayoritas, tindakan kita melawan pengakuan kita terhadap pluralitas dan multikulturalitas. Dapat dikatakan bahwa pelayanan kita menunjukkan identitas kita yang monolitas, bukan yang lainnya. Disisi lain, dengan sensitifnya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, seharusnya kita dengan melakukannya kita telah mengubah identitas kita yang monolitas menjadi pluralitas dan multikultural. Apa tantangannya dari luar.

Jika kita menyadari posisi kita di bawah mayoritas, ini yang terjadi. Disisi lain, pemerintah mayoritas seperti yang dijelaskan terus mempropagandakan “perlakuan adil dan sama di mata hukum dan kebebasan beragama.” Apakah ini seindah kalimatnya, bukankah ada ideologi dibaliknya? Mari kita berpikir ulang disini bahwa prinsip perlakuan mayoritas disini adalah bermotif politik bertopeng sosiologis. Ini adalah gerakan penindasan dan pengabaian secara sistematis, jika kata genocide (pembunuhan massal suatu suku, etnis dan agama tertentu) terlalu seram. Perhatikan dengan seksama, prinsip kesamaan dihadapan hukum terkait dengan ide keadilan, karena semua warga negara diperlakukan sama tanpa diskriminasi.

Tetapi, prinsip kesamaan ini sampai pada taraf tertentu bisa berbalik menjadi ketidak adilan, jika kekhususan, kekhasan, keberlainan dari individu-individu, dan keminoritasan atau sebut saja “diferensiasi” kelompok keagamaan  akan diabaikan. Dengan diperlakukan sama, kelompok minoritas justru tertindas dan terdiskriminasi karean kesamaan itu menguntungkan mayoritas. Keadilan diartikan kesamaan oleh semua orang yang tidak senang memikirkan ulang, bahkan kita suka dengannya. Tetapi kesamaan yang bermotif politik bertopeng sosiologis menjadi memuncak pada penyamaan, mengeneralisasikan tanpa batas sebenarnya jika kita suka memikirkan ulang sangat bertentangan dengan keadilan yang kita sukai bersama.

Seharusnya kita juga memikirkan keadilan dengan motif yang lain dan tidak bertopeng sosiologis palsu yakni keadilan dalam sikap menghargai dan memperlakukannya sesuai dengan eksistensinya. Kita sebaiknya pikir ulang, “Differensisasi tidak harus berakhir diskriminasi karena mempersepsi perbedaan bisa juga membangun sikap adil, (F.B. Hardiman, 2003: ix),” meskipun ditengah tekanan sosial, politik mayoritas. Dengan demikian yang terjadi adalah bukan kebebasan beragama secara institusional tetapi lebih diarahkan kepada kebebasan berkeyakinan di dalam hati dan diri sendiri, jika dilihat realitasnya  dari perlaukan regulasi hukum syariah dan biroktarisasi agama.

Kedua, saya memilih kasus yang lebih luas. Sadar atau tidak kita dan saya menganggap bahwa seluruhnya Kristen, sedang melakukan hal yang sama. Saya sebut sama karena untuk mengemban amanat agung yang menjadi missi utama kita. Contoh kasus yang lebih luas,  bangganya kita dengan “International Prayer Confrence”, “Indonesia Prayer Cofference” dengan bulat tujuan meminta Tuhan untuk menobatkan, (dalam asumsi kita selalu menjadi Kristen, setidaknya ini umum) nonKristen lewat doa-doa syafaat kita untuk keselamatan jiwa-jiwa.  Saya beri contoh yang lebih kongkrit. Hanya, itu bisa dipahami secara analogi berpikir dan paradigma sosiologis bukan iman semata. Papua pun kini sedang berusaha menunjukkan dominasi dan regulasi hukum berdasarkan normatif teologis agama, karena terus berjuang menetapkan menjadi KOTA INJIL. Itu bagus dalam pendekatan normatif Teologis. Tetapi dari kacamata pendekatan sosiologis, tindakan sosial masyarakat ini tidak memahami secara multikulturalis sisi esensi teologisnya secara komprehensif. Itu dinobatkan menjadi KOTA INJIL secara spritual, gaya di dalam hidup (esensi dan substansi) boleh saja, dan harus kita dukung. Namun, ini perlu dikritisi lewat interdialog teologis, interdialog akademis, dan interdialog sosiologi-praxis.

Jika itu menjadi regulasi, legislasi dan diundang-undangkan dengan teks-teksnya agama atau Injil-Alkitab karena dijadikan sebagai fondasi kota Injilnya- inipun upaya sengaja mencar-cari. Setidaknya tidak ada dan belum ada materi dalam Alkitab yang telah diundangkan. Jika ada itu hanya Hukum Taurat Yahudi, Yesuspun sudah menggenapkan itu. Pointnya, jika itu yang diupayakan, berarti ada sisi lain, yang luput dipertimbangkan karena melihat pertimbangan kepentingan masyarakat lokal. Itu akan meniadakan apa yang digenapkan Yesus, dan MenJahudikan Undang-undang Otda Papua. Betul atau tidak ini yang perlu dilihat dari sisi terbalik, bukan hanya sisi linear demi motiv tertentu. (soal Hukum Syariah Islam akan sangat menarik di analisis dilain waktu).

Kita sudah puas sampai disini dan senang terlibat disini sebagi tuan rumah dan panitia disini. Diperparah dengan kalimat yang lumrah kita dengar doa diskriminasi: “Tuhan buat perbedaan antara umatMu dengan yang lain”, dan, semakin dimeriahkan dengan kampanye massal dengan jargon-jargon Indonesia bagi Tuhan, Indonesia berdoa. Bahkan, ada yang lebih bersifat arogansi dan fanatisme teologis normatif bersifat sukuisme misalnya: “Medan untuk Tuhan”, “Manado Bagi Kemuliaan Tuhan”, “Kota Injil”, “Tanah Injil” dan masih banyak lagi yang tidak tertulis disini. Secara pendekatan normatif teologis ini benar, hanya jika kita berpikir ulang dalam pendekatan sosiologis, seharusnya kita malu kepada dan mulai mencari bentuk pendekatan dan reorientasi serta reformulasi pelayanan kita.

Dari hal ini tampak jelas kompleksnya masalah mayoritas, pluralitas dan multikulturalitasnya masyarakat agama di Indonesia. Dan kita menjadi bagian dari masalah ini. Bagaimana menjelaskan dan menguraikan ini. Apa yang bisa kita analisis disini. Dengan pendekatannya sebatas itu, artinya kita sedang tidak menghargai pluralitas dan multikultural. Mengapa? Dengan melakukannya hasil dari kegiatan seperti ini adalah semua orang; di Indonesia, Medan, Manado dll diharapkan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, intinya menjadi Kristen.

Jika ini terjadi yang riil adalah monolisme atau monokulturalisme. Dengan demikan apakan AD/ART salah? Kitab Suci salah, tergantung dari persfektif pendekatan mana melihatnya, saya tidak menyatakan itu. Dengan mengikuti dari awal maksudnya jelas. Memang tidak salah juga melayani masyarakat berdasarkan mengemban amanat agung dan untuk membawa jiwa bagi Kristus dengan dasar kajian teks dan didorong olehnya, tetapi ini tidak atas dasar penyamaan teks dan masyarakat sebagai aplikasi dari pemahaman terhadap teks keagamaan. Itu tidak cukup dan tidak mendalam.  Antara kehidupan sosial yang digambarkan teks di satu sisi, dan lingkungan sosial darimana teks itu muncul adalah sisi yang tidak sama.

Inilah yang menyebabkan kecenderungan-kecenderungan orientalist dan filolog bahkan sarjana awal Islam sendiri, yang memiliki banyak kelemahan. Mereka banyak memberikan hanya seputar pendekatan grammatikal dan epistimologi yang sempit dalam mengkaji masyarakat dan pengutamaan pada pendekatan grammatika dan etimologi dalam mengkaji bahasa teks sebagai dokumen kunci dari masyarakat aslinya. Dan dalam pendekatan normatif teologis, politis dan tertutup dalam kerangka pemahaman dan penafsirannya, (A. Abdullah, 2000: 59) sepertinya ini didorong oleh pemahaman linear Kitab Suci dengan metode pendekatan kolonialisasi dan data-data keagamaan yang memang dituntut dan dibutuhkan zaman itu, tetapi seharusnya itu berhenti dan tidak lagi digunakan zaman ini.

Ketiga, perlunya pemahaman pendekatan sosiologis yang menuntun kita untuk melakukan praxis (tindakan nyata, bekerja bersama, hidup bersama  mewujudkan sesuatu tanpa dominasi) Dalam pendekatan sosiologis melihat bahwa agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hirarki keyakinan-keyakinan, dan perilaku religius adalah untuk memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebih hebat dalam dunia sosial. Praktik-praktik keagamaan berkaitan dengan institusi, struktur, ideologi, kelas dan perbedaan kelompok yang membentuk masyarakat.


Apa yang kita lakukan dan apa yang sedikit telah saya lakukan? Dalam uraian berikut, saya share apa yang sedikit telah dilakukan yang saya sebut dengan “insider movements”.  Aplikasi kongkritnya pada Natal tanggal 25 Desember 2009 lalu, di gereja perintisan GPdI Jemaat Tamansari-Yogyakarta. Saya melayani di tengah "Masyarakat Pinggiran Kali-GIRLI" Winongo (Sungai di sisi Barat Malioboro), Yogyakarta. Saat itu, saya mengundang Uztad-MY tokoh NU (Nahdatul Ulama) dan juga anak menantu dari seorang tokoh NU dari Kabupaten Klaten-Ceper  untuk khotbah Natal di gereja. Dan saya juga mengajak  tokoh  Muhammadiyah Kota Yogyakarta-Hj. HT, dan sorang tokoh Wanita Islam seorang  dosen di Universitas Islam Negeri Riau-RH untuk menghadiri Natal bersama jemaat. Ustadz MY saya minta untuk menjelaskan “Bagaimana Yesus di dalam Alquran”.

Dia menjelaskan selama 35 menit, lengkap dengan bahasa Arab kentalnya. Meskipun sebelumnya saya telah jelaskan ke jemaat persoalan Tokoh Islam yang akan khotbah Natal di gereja, agar mereka memahami. Sebelumnya saya juga sudah membagikan undangan Natal kepada anak sekolah Minggu yang hingga kini tetap tetap beragama Islam, agar mengajak orang tua mereka, yang menjelaskan bahwa yang khotbah adalah ustadz dan tim Mahasiswa dan tokoh-tokoh Islam dari program S3 doktor dari Universitas “Sunan Kalijaga” Yogyakarta, Jurusan: Islamic Studies dimana kami kuliah bersama. Terbukti benar bahwa ada beberapa Muslim tetangga gereja ditambah orang tua sekolah minggu yang juga Muslim ikut hadir malam itu, mendengarkan Ustadznya sendiri menjelaskan ke telinganya: “Bahwa saya berdasarkan Alquran secara akademik, mengakui Isa-Yesus itu Juruselamat”. Dan pendekatan interkoneksi ini semakin diteguhkan dengan ibu RH yang tetap mengenakan Jilbab malam. Simbol itu semakin menarik dan menguatkan tetangga yang Islam itu untuk menghadiri natal. Kisah ini berlanjut, setelah selesai Natal ketiga sahabat saya itu melakukan shalat Magrib diantar oleh salah satu orang tua sekolah minggu yang beragama Katolik yang juga hadir malam itu di masjid yang tidak jauh dari gereja. Sekembalinya dari Shalat Jemaat sedang makan bersama yang makanannya dimasak sendiri-sendiri di rumah jemaat karena itu kebiasaaan kami karena lebih irit.

Dari kasus ini terlihat, bahwa untuk mengemban amanat agung, masih bisa dilakukan dengan menggerakkan “orang dalam atau insiders untuk menggerakkan orang-orangnya sendiri” mendengar, memahami dan mengakui Injil dan berita keselamatan. Tentu, itu mungkin akan jauh lebih efektif lewat pendekatan sosiologis ditambah pendekatan struktural, seperti terjadinya uztadz Islam khotbah Natal di gereja itu. Tentu lewat pendekatan seperti ini akan mempu menganktualkan dan memvitalkan kembali pelayanan kita orang-orang GPdi. Yang lebih membuktikan pendekatan ini, bahwa dalam khotbahnya ia mengakui sendiri di hadapan sidang jemaat yang hadir waktu itu.

Pendekatan seperti itu, saya ulangi ketika Ibadah Paskah Jemaat pada saat Hari Paskah di tahun 2009 yang lalu. Saya mengundang teman kuliah satu kelas saya, Ustadzt MS dari Cirebon. Ia juga Dosen ilmu Tafsir di Fakultas Syariah di Universitas Islam Negeri “ Sunan Kalijaga” Yogyakarta. Saya minta, ia menjelaskan ke jemaat dan kemasyarakat yang juga hadir dalam ibadah perayaan paskah kali itu Makna dan Nilai Domba dan Darah Paskah untuk pengampunan dosa Umat Manusia. Ia menjelaskan dengan detail, lewat darah domba-korban paskan, itulah yang mampu menghapuskan segala jenis dosa. Itu secara simbolik. Namun, secara esensi dalam tugas itulah Nabi Isa-Yesus menggenapkannya.

Inilah panggilan kita dengan menginterkoneksikan dan mengintegrasikan pendekatan normatif teologis dan sosiologis dalam pelayanan di tengah masyarakat mayoritas, pluralitas dan multikultural dengan dinamika di dalamnya. Bagimana sejatinya masyarakat itu sendiri memaknai keberagamaannya Realitasnya kini, “Menggalang sikap saling pengertian, (atau yang dikenal dengan toleransi tetapi saya maknai yang interkoneksi dan integasi antara sikap teologis dan aksi sosiologis), antar suku, dan agama tertentu merupakan masalah rumit, karena menyangkut prasangka stigmatisasi, streotifikasi, deformasi tata nilai kultural dan masih banyak lagi. Tetapi, langkah politis kongkrit termasuk politik praktis tertentu, merupakan langkah yang penting untuk mulai mengatasi masalah itu (Ibid., F.B. Hardiman, 2003: xx). Masalahnya, saya hanya ingin bertanya dan saya sedan terus bertanya-tanya saja: "darimanakah datangnya pertolongan atau langkah politis yang dimaksud yang akan dilakukan GPdI, karena pendetanya dilarang berpolitik praktis?" Bahkan, proses edukasi pengetahuan politik lewat khutbah, ceramah, seminar, komsel, mata kuliah di Sekolah Tinggi Theologia dari S1 hingga ke S yang lebih tinggi dan ibadah-ibadah lainnya, itu sepi-sepi saja, jika menolak kata "tidak pernah" terdengar. Ironis memang, meskipun tentulah “telah banyak pertimbangan” yang telah dilakukan terkait itu. (siemboen).

No comments: