Saturday, August 11, 2012

Drama Sosial: Analisis Sosio-Teologis Pendeta dan Anak Kandung Punk


Entah kamu bilang apa, “Aku shok ringan kemaren, bercampur salut.” HARUS BACA SAMPAI TUNTAS!

Duh, Dua hal yang bercampur baur, mana yang lebih dominan, aku tak tahu. Ini contoh kongkrit dari  Drama Sosial: Analisis Sosio-Teologis Pendeta dan Anak Kandung Punk. Inilah kisahnya.

Temanku seorang pendeta (sebut saja GPdI-Gereja Pantekosta di Indonesia) yang punya anak kandung "turun dan hidup di jalanan, meski tetap, dan mempertahanan sekolahnya. Kebetulan libur ramadhan, dia "pas" datang ke rumah papanya. Aku minta papanya carikan tukang batu untuk membantuku selesaikan pembangunan sekolah bermain yang sedang kudirikan sekarang di Salatiga.

Tukang yang ada sehari sebelumnya tdk bisa kerja, entah kenapa? Sang Bapa ini: Sedang mempertontonkan, KASIHNYA kepada anak Remaja Sulungnya itu, entaha apapun kelakuannya, yang pasti MENISTA MARTABAT PAPAnya yag PEMIMPIN SPIRITUAL di gerejanya, tetapi memiliki anak jalanan. Dia bilang denagan suara mengharap besar: “Elia, biar anakku ini aza yang bantu-bantu kau, entah ngecat, gali-gali tanah, maku-maku papan, sapu-sapu, potong-potong kawat, entah apa kek, yang penting dia kerja sama kau yah." Aku langsung paham dan nangkap dengan cepat, sekelebat kilat, apa maksud hati dan KASIH terdalam dalam diri pendeta temanku ini. Aku langsung bilang: “Kirim dia kemari, aku akan bayar dia 50.000 sehari, persis tukang professional di Salatiga ini.”

20 menit kemudian, meski sudah lewat Jam 8, saat Tukang mulai bekerja, normalnya, sang Bapa yang pendeta, necis, rapi, bersis, dan ganteng datang berdua. Semakin gagah karena motor Vario metiknya. Sayang dikit, warnanya pink. Aku cepat teringat Agnes Monica di iklannya). Persis di sadel belakang, si Anak bergaya “Punk,” muka bertindik disana-sisni, tato naga melilit di sekujur tubuhnya semburkan api, dengan tulisan “FREEDOM”. Aku terperangah, sianak punk gagah dan berani mempertunjukkan penampilannya, sementara sang Bapa aku tahu apa yg dipikirkannya, terlihat dari wajah murung tidak tersenyum.

Terlepas dari itu. Aku hormat padanya, bukan hanya karena dia Hamba Tuhan, tetapi, bagaimana Ia berupaya membuktikan kepada manusia sepanjang jalan yang ia lintasi (yang kemungkinan jemaat di gereja yang ia pimpin dan gembalakan juga krn ia harus melintasi rumah-rumah jemaat yg ia gembalakan). Aku lihat drama di arena sosial yang dramatis itu. Dua cocok gagah berani dgn dua narasi yang berbeda, tetapi satu ikatan keluarga, bapa dan anak kadung, pendeta dan punker.

Si anak dan Bapak kusambut dengan baik, kusiapkan dan kusuguhkan coffemix di dalam cangkir keramik putih bertuliskan: “KAPAL API, Secangkir SEMANGAT untuk Indonesia, (kalau kamu lelaki dan cewek pecinta kopi akan tahu itu), yang kudapat gratis hadiah sebungkus besar dar Superindo Supermarket di Jogjakarta dulu. Aku tahu, suguhan pagi itu ialah kesukaan papanya, plus nasi kuning 4 plastik untuk kami sarapan bersama. Aku sudah tahu, karena ia telah lama menjadi kawanku.

Kami sepakat untuk ini dan itu langsung, tancap gas, KERJA. Ia pamit pulang sambil menitipkan buah hatinya, 10 menit kemudian, Sang Pendeta itu datang di pagar, sambil memangil-mangil nama anak sulungnya, ...., ....., ....., ternyata, sang pendeta itu membelikan ROKOK DJARUM FILTER  dan membrikan kepada anak kesayangannya itu. aku tahu dia sayang, makanya dia lakukan itu.

Dia melirik aku, seakan minta persetujuan untuk tanda dan bukti kasihnya, bukan pada soal rokoknya. Aku tersenyum, mengiyakan tindakan itu. bukan pada RACUN yang dia bagikan langsung kepada anaknya.

Aku selalu berharap apapun kisahnya. Untuk kawan dan mereka-mereka yang memiliki drama kehidupan, atau kenyataan rumit seperti kisah sejati ini, tetaplah SEMANGAT untuk mempertontontan KASIHMU, meskipun gerejamu dibakar, istri atau suamimu selingkuh, anakmu turun dan hidup di jalanan, kamu ditipu oleh kawan dekatmu, organisasi gerejamu berbuat culas kepadamu, anakmu mencuri handphone satu-satunya milikmu demi membeli rokok dan ganja sekalipun. Ini bukan takdirmu, tetapi itulah kenyataan yang sedang dihadapi dan dialami.

Tetaplah semangat, bagai tulisan di cangkir kopi Kapal Api yang melekat abadi di sisi luar cangkir itu. ini bukan kisah, ini kenyataan hidup yang kukisahkan disini, sehingga kisah ini bukan tinggal cerita, tetapi cerita yang tinggal di hati pembacanya. Aku berharap banyak disini. Dengan membaca ini, kamu bukan mengolok-olok aku, si Pendeta, si anak Punk, atau anak jalanan dan korban budaya pop kota yang sedang berubah ke arah metropolish, tetapi, hasilnya bisa kamu buat meninggalkan masalahmu karena “diajari” oleh kisah ini.