Sunday, November 20, 2011

Ada yang Salah dengan Pendidikan Kristen!

            Memang ada yang salah dengan Pendidikan Kristen. Telah terjadi malpraktek pendidikan dan mal-teori dan mal-sosio-prakssi pengelolaan pendidikan keagamaan Kristen, sejak tingkat dasar hingga pendidikan tingginya”. Untuk mendukung tesis diatas, saya memberikan argumentasinya lewat pendekatan realitas historisitasnya. Data dan realitas faktualnya berkata jujur soal ini. Kita baru bisa & terbiasa berkutat di engselnya. Sejumlah 223 pendidikan tinggi teologi atau agama Kristen yang telah lolos pun[1], baru hanya 8 yang diakreditasi BAN-Badan Akreditasi Nasional[2]. Sisanya baru hanya sekedar mendapatkan izin operasional. Belum sampai pada akreditasi dengan status A, B, C, atau kategori apalah namanya. Dari sebanyak 223 itupun tampaknya ada-ada saja “trik dan intrik” tertentu di dalamnya agar diloloskan.
            Dari jumlah itu kelihatannya banyak, tetapi sangat sedikit jika dilihat dari total seluruh di Indonesia. Memang, saya tidak memiliki data secara akurat berapa sebenarnya total sekolah tinggi teologi dan agama di Indonesia, mulai dari kelas kambing, hingga kelas super eksekutif. Tetapi pastilah lebih banyak dari situ. Di provinsi D.I. Yogyakarta, yang saya ketahui saja ada 14. Jika saja ditotal dari 33 provinsi di Indonesia dan di daerah kantong-kantong Kristen mungkin totalnya bisa 5-10 kali dari sejumlah 223 itu. Yang menyedihkan, dari total 223 itu, malahan program studi PAK-Pendidikan Agama Kristen sebagai wilayah keilmuan pendidikan, yang paling banyak belum layak beroperasi karena belum memilik izin operasional.
            Kontras dengan semakin melangitnya kemajuan dan semakin termodernisasikannnya PTAI-Pendidikan Tinggi Agama Islam di Indoneia. Setiap hari saya melihat makin menggoliatnya PTAI yang mereka miliki. Kini pendidikan keagamaan Islam di Indonesia, IAIN, STAIN, UIN Islam sedang menuju “World Class University". Jika ditilisik masuk ke kamar Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen, jangankan ke Kelas Universitas Dunia, soal izin operasional saja banyak yang tidak lulus, atau jikapun lulus “itu hanya karena diloloskan saja.” Akibatnya kita lebih banyak berorientasi kebijakan pendidikan, dan mengejar mimpi pencitraan dan status internasional, standarisasi dan akreditasi, rangking, peringkat dan urutan statistik. Kita lebih banyak memberikan atensi dengan segala cara yang sebenarnya, terkesan pada semangat “asal lolos akreditasi”. Kesan asal ini tentu tidak bisa dihindarkan, tetapi tentulah ada skala prioritas yang ingin digapai disana.          
            Terlepas dari sisi mana kita menelisiknya, saya masih sanggup memposisikannya secara realistis dan positif. Bukan berarti saya buta terhadap ketimpangan dan polemik, hegemonik dan efuforianiknya. Ada skala prioritas, dan mekanisme “survival insting” yang sedang kita mainkan disana, demi eksistensi Komunitas masyarakat beragam Kristen dan institusi pendidikannya. Semuanya itu baik asalkan dengan argumentasi dan pertanggungjawaban akademik obyektif agar tidak terjadi “skandal atau tragedi yang bisa saja dicatat miring oleh orang lain.”
            Kristen dan pendidikannya diduga telah hadir ribuan tahun lalu. Kristen telah lama mengalami “encounter atau perjumpaan” demikian istilah dari Jan S. Aritonang (2004),[3] Kristen Nestorian dari Khaldea-Syria dan Persia telah ada di pantai Barat Sumatera Utara, sejak abad ke-7 Masehi di Indonesia. Bahkan, abad ke 12 Masehi, bangsa Portugis, Spanyol, Zending German dan pemerintah Hindia Belanda kala itu malahan telah mendirikan dan mereka membantu pendidikan Kristen di Indonesia kala itu, bahkan hingga kini.
            Jika semakin disingkapkan dari paparan historis  Robert R. Boehlke (2009)[4] kita tidak boleh melupakan begitu saja peristiwa bersejarah di kala serdadu, pedagang dan imam Portugis tiba di pulau Ternate tahun 1538, mereka telah mendirikan sekolah di pantai Ternate. Pada bulan April 1868 di tanah Batak telah ada Sekolah Kateket Parausorat” oleh RMG lembaga Zending dari Bremen German dalam wadah “Batak Mission. Mereka telah mendirikan sekolah pendidikan tenaga edukasi khususnya sekolah guru dan pengerja gereja pribumi[5]. Tahun 1821 Joseph Kam dan kemudian Roskott pada tahun 1835-1864, telah menyelenggarakan pendidikan dan persekolahan guru Injil di Ambon[6].
            Data lain dari B. F. Drewes & Julianus Mojau[7], pada tahun 1885 di Ambon dan di Tomohon tahun 1886 telah didirikan wadah pendidikan teologi formal. Bahkan, Th. Van den End & J. Weitjens, S.J[8] berkata, pendidikan klasikal persekolahan juga telah diselenggarakan di Minahasa-Sonder tahun 1851 oleh N. Graaflaand Ibrahim Tunggal Wulung atau kyai Sadrackh khusunya di Jawa Tengah. Pong Lengko di Toraja, Filipus di Mansinam, Irian-Papua abad ke-19an. Artinya, Kristen dan pendidikannya telah ribuan tahun eksis di Indonesia, bahkan lebih uzur atau lebih tua dari Islam dan pendidikannya itu sendiri di Indonesia.
            Data ini menunjukkan Kristen terbilang lebih awal dibanding masuknya Islam ke Indonesia. Menurut Musyrifah Sunanto (Guru Besar Sejarah peradaban Islam Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007),[9] berdasarkan beberapa keterangan dari Snouck Hurgronje dikutip oleh Kusnanto, Islam tiba di Indonesia abad ke-13, oleh Buya Hamka yang dikutip oleh A. Hasymy (Bandung, 1981)[10] yakni abad-7M dan 8M. Menurut Taufik Abdullah (Jakarta, 1991)[11] mengakui memang abad ke-7M atau 8M,  tetapi baru dianut oleh saudagar Timur Tengah yang banyak di pelabuhan, namun secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan olitik pada abad ke-13M. Tetapi tampaknya yang lebih mendekati memang setelah abad ke7M yakni seputar pertengahan abad ke-8M. Dengan logika pertimbangan Islam pada abad ke-7 masih dalam tahap formulasi dan formalisasi di Madinah oleh Muhammad dan pengikutnya.
            Hal yang menguatkan misalnya Josef van Ess (New York, 1986)[12] menyatakan bukti pertama penyebaran Islam ke Indonesia dan China sekitar tahun 850M. Meskipun demikian, Kusnanto menyatakan penyebarannya pada abad ke-14 sampai ke-15, hal yang sama juga dikatakan Rafiq Zakaria (Maharashtra College, Bombay, 1989)[13], bahwa Islam datang ke Indonesia adab ke-14 yang dibawa oleh para sufi dan pedagang dari Arabia dan India. Namun, semakin mulai mapan, maksudnya mengalami formulasi kebangkitan Islam secara nasional, dan mulai kongkrit hingga abad ke-19, bersamaan dengan mapan dan makin hegemoniknya kekuasaan kolonialisasi Belanda di Indonesia. Kebangkitan tersebut sebenarnya, hampir bersamaan artinya satu semangat dan satu tujuan mesti terkadang tetap saja ada fiksi dan faksi yang berbeda, dengan Kristen untuk melawan kolonialisasi dan cita-cita membentuk nation state, negara-bangsa Indonesia untuk merdeka.   
            Data itu bisa menguatkan memang Kristen di Indonesia lebih awal dari Islam. Meskipun soal kehadiran Kristen di Indonesia seperti keterangan dari Aritonang di atas, memang oleh Th. van den End (Jakarta, 2009)[14] “seolah” membantah data tersebut dengan mengatakan, kedatangan orang-orang Kristen Nestorian ke Indonesia tidak ada kepastian, apalagi tentang jemaat-jemaat yang mungkin mereka dirikan. Ia memastikan bahwa hanya karena alasan tidak ada garis terus-menerus atau kontinuitas yang menurunkan atau mewariskan antara mereka dengan kekristean di Indonesia masa kini. Hal ini tetap masih bisa kita kritisi dengan argumentasi  dari Van den End sendiri.
            Saya memberikan argumentasi pertama. End mungkin kurang teliti dengan apa yang dinyatakan di halaman 9 sebelumnya. Malahan bisa dikatakan, tanpa disadari ia sedang menyatakan, bahwa Kekristenan bisa lebih awal dari abad ke 7 M, seperti yang dijelaskan Jan S. Aritonang sebelumnya. Mengapa demikian, Th. Van den End[15] sendiri menyatakan bahwa pada abad-abad pertama sesudah (berarti lebih awal dari abad ke 7 M pedagang-pedagang Kristen dari Mesir (yang dalam sejarah umum itu desebut Kristen Nestorian seperti penjelasan Jan S. Aritonang tersebut), dan Persia telah menetap di Arabia Tenggara, di India barat dan Selatan dan Srilangka. End sendiri menyatakan, “Bukan tidak mungkin bahwa dari sana pedagang-pedagang Kristen datang ke Indonesia juga.” Malahan ia semakin memfaktakan, bahwa dalam suatu buku yang ditulis di Mesir sekitar tahun 1050 M, ada penyebutan dan pengakuan data mengenai gereja-gereja serta biara-biara Kristen di Asia pada Zaman itu. Dijelaskan dalam buku yang End sebutkan itu, bahwa di “Fansur” ada beberapa gedung gereja, meskipun ia katakan “mungkin” Fansur itu adalah Barus di pantai Barat Sumetera Utara. Mungkin juga ada  orang-orang Kristen di Jawa.
            Lalu, yang relatif masih baru, kedatangan Elmer G. Homrighausen[16] dalam Konferensi Pendidikan Agama Kristen di 20 Mei-10 Juni 1955 pernah dicatat sebagai titik nol penanggalan pendidikan agama Kristen modern di Indonesia. Efek sosial konferensi nasional yang menomental itu, pernah dianggap telah mampu mengubah makna teori, yaitu pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen di Indonesia. Robert R. Boehlke[17] menjelaskan ada “new perspectives for Christian education” di Indonesia kala itu.  Kedatangan Elmer G. Homrighausen itu, mampu mengubah makna teori, yaitu pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen di Indonesia. Bahkan ia menjelaskan inilah titik nol sebagai awal pentanggalan pendidikan agama Kristen modern di Indonesia. Bahkan efek samping dari ramuan ilmu kependidikan agama Kristen Homrighausen menyanggupkan keterlibatan teologi dan telogi kaum awam di Indonesia yang seblumnya dianggap terpisah dan diposisikan sebatas pinggiran dan pekerjaan waktu luang saja.
            Itulah data dan fakta historis dan narasi kehebatan, kejayaan dan kedigdayaan ilmu teologi dan ilmu pendikan keagama Kristen. Intinya, dimana ada Kristen, disana ada Tuhan, disana ada teologi, disana ada agama, dan disana ada proses edukasi menjadi eduaksi. Artinya, memang benar telah ada ilmu teologi dan proses kependidikan Kristen. djuga tindakan dan upaya akademik koorporatisme oleh masyarakat yang sistematis untuk mendidik dan mengajar tenaga pendidik Kristen, tetapai sayangnya memang lebih didominasi dengan pendekatan teologis melulu.
            Terakhir, jika dihitung sejak tanggal 3 Januari 1946 pada saat didirikan Departemen Agama, termasuk Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen, maka jika dikalkulasikan sampai tahun 2011 ini, kita telah 65 tahun diakui dan ditetapkan telah memiliki institusi pendidikan keagamaan Kristen modern. Artinya, kita sudah sebanyak tahun itu telah dipamongi, diasah asih dan asuh dalam payung pendidikan kegamaan Kristen secara modern. Jika dilihat dari salah satu tupoksinya-tugas pokok dan fungsinya Direktorat Jendral PAK adalah mengotoritasi Pendidikan Keagamaan Kristen. Tetapi hingga hari ini, mengapa kita wajib atau harus melewati “Ujian Penjaminanan Mutu” (bukan sertifikasi guru dan dosen dan juga bukan akreditasi BAN-PT) bagi lulusan S1, S2, dan S3. Kelihatannya biar lebih keren namanya telah ditahbiskan demikian, ketimbang yang dahulunya disebut Ujian Negara itu yang seolah-olah kurang abdol karena harus diuji lagi oleh negara. Padahal muatan proses, isi dan mekanisme kerjanya sama.
            Padahal lulusan S1, S2, S3 IAIN, STAIN, UIN dari pendidikan tingga agama dan keagamaan Islam swasta yang dimiliki perorangan atau amal usaha perserikatan tidak lagi melakukan itu sudah sejak lama. Hal itu tersingkap menurut hasil wawancara yang saya lakukan dengan dosen-dosen Doktor dan Professor dan guru besar pendidikan Islam yang mengajar saya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya percaya dengan mereka karena sebahagian besar mereka Pejabat Struktural di DEPDIKNAS dan DEPAG Islam. Hal itu juga saya konfirmasikan kepada 34 orang teman lain yang satu angkatan kuliah bersama disana. Saya juga percaya dengan peryataan mereka karena umumnya adalah sebagai tenaga fungsional dan struktural sebagai dosen di PTAI-Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri dan Swasta di daerah di Indonesia.
            Apa alasan akademik lain yang bisa dibeberkan disini untuk menjawab keharusan ikut dalam regulasi ujian penjaminan mutu itu. Apa memang lulusannya tidak bermutu? Lalu, kalau dianggap tidak bermutu, mempa diberikan Izin Operasional kepada lembanganya. Kalaupun hanya ingin menjadi PNS-Pegawai Negeri Sipil, semakin idak masuk logika akademik. Mengapa karena yang mengajukan formasi pembukaan lowongan PNS dilingkungan DEPAG Kristen ke DEPDIKNAS dan Menteri Pemberdayaan Aparutur Negara adalah mereka juga. Artinya yang membuka, menyediakan formasi lowongan PNS adalah lingkungan DEPAG Kristen sendiri. Yang mengangkat dan menetapkan yang diterima PNS itu adalah mereka juga. Ada hal-hal yang masih perlu jelas disini dan mengapa lagi harus seperti itu?
            Tetapi, pertanyaan ini sekaligus sebagai tindakan persuasi kita semua untuk semakin sungguh-sungguh melakukan percepatan dan ekspansi besar-besaran untuk mempertemukan keinginan dari departemen agama itu agar kita benar-benar “accreditable.” Dan melakukan penguatan ikatan asosiatif dan koorporatisme politik pendidikan komunitas masyarakat Kristen. Mengapa harus mengikut-ikutkan politik? Terima atau tidak terima, sadar atau tidak sudah merupakan sesuatu hal yang “lumrah” atau hal yang terbiasa dan memang harus membiasakan diri dan mental karena sudah seharusnya demikian.
            Dalam sistem bernegara modern, pengelolaan pendidikan tetaplah terkoneksi dan terintegrasi dengan politik, tetapi bukan politisasi dan politikisasi. Terlepas dari kita masing-masing memandang dan memposisikannya, itu menjadi suatu pilihan keharusan dalam sistem pengelolaan dan sosio-praksis pendidikan di Indonesia. Kita melakukannya, tanpa lupa melakukan sesuatu yang bermakna untuk “menutupi-menutupi” celah-celah kekurangan ini, sembari terus mempertanyakan dan mengkritisinya. Tetapi secara bersamaan kita juga wajib ikut bertanggung jawab bersama-sama untuk mengatasi persoalan ini.
            Dengan mengekploitasi data dan fakta historis di atas, makanya tidak berlebih-lebihan atau tidaklah ahistoris jika saya nyatakan, “memang ada yang salah dengan proses edukasi keagamaan Kristen. Telah terjadi malpraktek pendidikan dan mal-teori dan mal-praktik pengelolaan pendidikan keagamaan Kristen”. Untuk membantu persoalan itu berarti tindakan dan tanggung jawab sosial Kristen bisa dimainkan sebagai kebijakan nasional dalam pendidikan keagamaannya untuk pengembangan pendidikan dan masyarakat di Indonesia. Untuk itu, memang peran para pembuat, pelaku kebijakan dalam pengembangan pendidikan Kristen, juga masih sangat penting meski bukan lagi berporos tunggal dan bukan lagi berpusat kepada mereka, karena porsi partisipasi tindakan dan tanggung jawabnya juga menjadi dilibatkan atau dilimpahkan ke masyaraka Kristen itu sendiri.


                [1]http://dbk.evaluasi.net/index.php?specProf=0&origin=main&printPage=1&sort=code., diakses tanggal 15 Juni 2011, pukul 10:57:29.
                [2]Johannis Siahaya Ketua STT Nazarene Indonesia, Yogyakarta, Hasil diskusi terbaru soal akreditasi sekolah tinggi teologi dan agama di Indonesia, ketika rapat konsolodasi dan penandatanganan kontrak kerja sebagai dosen Prodi PAK di STTNI itu, Yogyakarta, Kamis, 14 Juli 2011, pukul 10.45 wib.
                [3]Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, cet.ke-2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 6,13.
                [4]Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius hingga Perkembangan PAK di Indonesia, cet.ke-2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 767.
                [5]Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), h. 179-89.
                [6]Drewes, B.F. & Julianus Mojau, Apa itu Teologi?: Pengantar ke Dalam Ilmu Teologi, cet.ke-5 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h.74-75.
                [7]Ibid., Drewes, B.F. & Julianus Mojau, Apa, h. 74.
                [8]Th. Van den End & J. Weitjens, S.J, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an hingga Sekarang, cet.ke-8 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 367-80.
                [9]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 7-17.
                [10]A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al Maarif, 1981), h. 358.
                [11]Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991), h. 39.
                [12]Josef van Ess, Muhammad and the Qur’an: Prophecy and Relevation, Josef van ess: Islamic Perspectives, 3-18 dalam Hans Kung, Josef van Ess, Heinrich von Stietencron & HeinzBechert, Christianity and the World religions: Paths of Dialogue with Islam, Hinduism, and Buddhism (New York: Doubleday & Company, Inc., 1986), h. 3.
                [13]Rafiq Zakaria, The Struggeling within Islam: The Conflict Between Religion and Politics, Bombay. India: Penguin Books, 1989), h. 248.
                [14]Th. Van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, cet.ke-14 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 9.
                [15]Ibid., Th. Van den End, Ragi Carita 1, h. 20.
                [16]Elmer G. Homrighausen, & I.H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, cet. ke-18, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004).
                [17]Ibid., Robert R. Boehlke, Sejarah, 2009, h. 767-820.