Sunday, March 20, 2011

Teologi : Disiplin Akademik vs Pandangan Hidup

  • Pertimbangan
                Selalu ada perdebatan akademik, atau bahkan secara teologik soal teologi sebagai ilmu, atau disiplin akademik atau sebagai nilai-nilai kehidupan Kristen. Keduanya sama esensialnya, dan keduanya memiliki core values yang diinginkan, tergantung dari memposisikan teologi itu bertempat tinggal diranah yang mana, keilmuan akademik dalam habitat sekolah dasar hingga sekolah tinggi dengan sistem persekolahannya, atau di realitas hidup setiap hari dalam kehidupan keseharian manusianya.
                Meski demikian, bagi orang tertentu perdebatan itu hanya sering didorong oleh pemahaman secara teologis semata di dalam perdebatan tersebut meskipun seseorang tersebut sedang dalam proses edukasi sistem persekolahan. Dengan demikian, ternyata sesungguhnya bukan sebagai creative tension secara akademik melihat dari sisi keilmuan atau pemikiran keahliannya, tetapi kecintaan dan keyakinan berlebihan atas faktor nilai yang dianut dari dalamnya.
                Terlepas dari segala macam konflik akademik atau teologik itu, saya lebih suka menempatkan ini dalam posisi disiplin akademik sebagai core values, tanpa melupakan begitu saja dan dengan seenaknya melupakan kaitan dari hasil kajian akademiknya di dalam realitas. Dengan pikiran seperti itu, pada bagian awal ini secara sadar, saya menjelaskan soal teologi dalam posisi realitas sesungguhnya bagaimana hal itu dimengerti orang banyak (sehari-hari). Saya sengaja lebih detail, bukan untuk menanggulangi, tetapi untuk memposisikan dengan tepat pada tempatnya, dan merapikan pemahaman yang selama ini kita koleksi dan akumulasi.
                Namun melihat realitasnya, terpaksa saya harus menggunakan pemahaman atau makna sejati dari terminologi kata teologi itu dalam bingkai sebagai ilmu atau disiplin akademik bukan dalam artian pemahaman sederhananya karena hal ini sudah enteng dan sepele di otak kita karena sudah biasa dibincangkan orang. Tapi dalam kebiasaan inilah poin pentingnya untuk mendudukkan hal yang biasa itu sesuai dengan latar keilmuan dalam urusan akademik untuk bisa mengembangkan sendiri dengan cara saya atau kamu sendiri apa maknanya sebenarnya.
                Apalah gunanya dianggap seorang teolog yang smart, terakreditasi secara akademik karena ada 2 atau 4 lebih titel berderet dari depan hingga belakang kart namanya, meski ini penting untuk meyakinkan orang lain dan diri sendiri), tetapi tidak berkontribusi mengkonstruksi teologi sebagai disiplin akademik baik bermanfaat bagi realitas atau social life atau lingkup akademik sendiri. Atau, sebaliknya apalah kelebihannnya kita, jika hanya terlalu teologis dalam hidup seharian tanpa memiliki kecerdasan teologi secara akademis untuk memahami dengan komprehensif tentang teologi yang kita yakini dan praktekkan.
  • Teologi hanya Pengetahuan atau hanya Pandangan Hidup?
                Kali ini saya sengaja mengikuti cara membuat defenisi dari Kamus Bahasa Indonesia, (meski saya bukan kamus sentris), tetapi sebagai upaya ternyata ada cara yang baru untuk melakukannya meski dengan hal yang biasa. Di point ini saya mengutip penjelasannya dari pusat bahasa departemen pendidikan nasional, (te·o·lo·gi dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id,) te·o·lo·gi /téologi/ n pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kpd Allah dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci).
               Kamus Bahasa Indonesia Online (Teologi dalam http://kamusbahasaindonesia.org), teologi te.o.lo.gi [n] pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci). Penggunaan lain kata teologis, yakni te.o.lo.gis [a] berhubungan dengan teologi; berdasar pada teologi:
                Masalahnya, setiap belajar teologi di sekolah dan kampus teologia Kristen (STT: Sekolah Tinggi Theologia) entah dengan alasan masuk akal atau tidak selalu harus belajar mazhab, tokoh dan penggagas teologinya, plus dogma denominasi lembaga, dosen pengampunya. Ada baiknya juga, mengapa harus demikian, tentulah ada ratusan alasan teologis pula yang  bisa dibuat untuk mendukung argumentasinya agar tampak teologis atau injli, atau Alkitabiah.
                Disisi lain, seperti ungkapan Eta Linnemann (Osnabruck, Jerman Dosen III Batu Malang bidang Teologi Kontemporer dan PB, 1991, h. 7) untuk menyampaikan ajaran-ajaran para teolog injili, tidak perlu menciptakan teologi sendiri yang harus dikait-kaitkan atau disebut-sebutkan dengan nama sendiri, karena kalau seorang teolog injili sungguh-sungguh injili, maka tentu tidak ada perbedaan ajarannya dengan Alkitab dan teologi di dan dari dalamnya. 
                Keduanya bisa saja benar, tetapi, tidak sedikit juga dengan kecemerlangan kompetensi akademiknya, sebahagian kita mulai menjadi murid Socrates, Aristoteles, Plato, Gamaliel, Paulus, Yosefus, St. Thomas Aquinas, Bultmann, Luther, Calvin, Wesley, Armenius, Barth, Nomensen, dll, atau menjadi muris dari dosen pengampu di kelasnya karena terhinotis dengan keakademisan si dosen, tanpa menjadi murid Tuhan Yesus.                
                Dalam studi teologi di STT, secara jelas makin tampak, dan karena kita makin meningkat karena sudah menjadi Sarjana Theologi, Master Theologia, Doktor Theologia, Proffessor Theologia keren tampak terpelajar dengan titel akademik kesarjanaan di papan nama dan dikartu nama atau dalam setiap perkenalan, atau makin merendah dengan S5(SD, SMP, SMA Selesai Sudah), tampaknya tidak terpelajar, Namun, jika tidak memberikan kontribusi kongkrit dalam sikap akademik teologis dan tindakan sosiologis dalam area studi yang kita geluti sesuai dengan pilihan, kesenangan dan kepentingan masing-masing wajar kita tahu diri dan mengakreditasi diri sendiri.
  • Teologi sebagai Disiplin Akademik
                Problem akademik dalam STT dan lembaga non STT teologi dalam proses pendidikan atau layanan edukasi Kristen, sebahagian masih lebih fokus pada penekanan pengalaman ekstatik dan relasi intimasi personal dengan Allah atau ecstatic experience and personal intimacy wih God istilah Gabriel S. Reynolds (Mahasiswa doktoral Islamic Studies, Yale University, 2002, h. 215), atau juga mengikuti pada “perjalanan spritual orang-orang khusus” istilahnya Parker J. Palmer (San Francisco, 1993), artinya pemikiran tokoh, tologi dan dogma yang dihasilkannya menjadi isi akademiknya. Area studi seperti ini lebih berlatar abstrak bukan tindakan atau aksi masyarakat Kristen itu sendiri. Meskipun itu menarik banyak orang iri dan ingin mengecapnya sehingga “ingin” pula menjadi Kristen.
                Problem di atas mengindikasikan arah pemahaman teologi yang selama ini dilakukanu. Meski tidak seluruhnya demikian, tetapi perlu memperluas makna teologi. Tentu pula juga penting mengurusi soal-soal realitas sosial di sekitarnya, agar mahasiswa Kristen tidak menjadi manusia ekstasist, lupa atau gagap realitas karena terlalu “ngeroh” semata, lewat sosial riset berlatar empiris. Teologi sebagai disiplin akdemik penting diseret dari pemikiran bersetting abstrak ke tindakan atau aksi berlatar manusianya memasuki realitas.
                Teologi sebagai disiplin akademik dibangun karena kegelisahan, ketidakpuasan akademik dan menyatakan penolakan terhadap realitas yang menyimpang dari keseharusan berdasarkan makna yang dikonstruksi berdasarkan Alkitab-Firman Allah. Dan sebagai keahlian akademik para pelakunya untuk memahami persoalan kehidupan Kristen. Namun, memang ada persoalan lain yang perlu diperhatikan secara ketat untuk sampai pada pemaknaan itu harus diupayakan secara akademik (academic enterpraises) untuk menjelaskan. Dan mono-pendekatan sering menghasilkan cara dan hasil pemahaman yang sangat sempit.
                Untuk itu, penting juga dengan cara lain yang berbeda multi-disciplinary dengan tetap dan tepat mempertimbangkan ukuran akademis yang kongkrit, dan dengan kaidah-kaidah keilmuannya. Bahkan perlu juga untuk hasil yang berbeda, penting dilihat dengan multi-cara yang berbeda meski ada tantangan dari pelaku dan pengguna hasil teologi tersebut. Oleh karena itu, paradigmanya bukan soal salah benar, tetapi berfokus pada apa data dan bagaimana metodologinya menyatakan salah atau benar dengan disiplin akademik yang mana.
                Pembidangan teologi sebagai ilmu atau sebagai subject matter atau sebagai course, atau sebagai mata kuliah, umumnya masih dibidangkan ke dalam 5 bidang, teologi historika, teologi biblika, teologi sistematika, teologi praktika (umum juga ini disejajarkan dengan pastoral atau kependetaan dilihat dari sisi applikasi keilmuan dalam bidang dan pelaksanaannya), dan teologi bidang umum (course yang mengkaji dan mempelajari soal sosial life di dalam Kristen, gereja Kristen, masyarakat Kristen dan di luar Kristen serta ilmu lain di luar teologi Kristen itu sendiri).
                Hampir seluruh denominasi protestan (payung “Persetia” secara organisasi naungan), kepantekostaan plus sebahagian injili atau evangelical (payung “Pasti” secara organisasi naungan) masih mengikuti ini. Mata kuliah yang diajarkan dalam kelima bidang itu sendiri memiliki penjabaran dan kompetensi akademik lewat kurikulum nasional yang dirancang oleh Ditjen PAK Depag RI, dan kurikulum institusional lokal. Namun untuk S1 setidaknya 160 sks dan S2 sampai S4 lebih banyak dari 160 dan lebih dalam, plus lebih spesifik dengan ekspertasi mahasiswa dan lembaganya.
                Saya melihat selama ini apa yang dipelajari di STT, belum sampai menyentuh core values tadi, secara umum. Artinya belajar teologi masih merupakan konsumsi untuk emperolah pandangan hidup dari dalamnya. Satu sisi ini baik, tetapi, ketika itu dalam lingkup akademik dan digelari dengan titel akademik kesarjanann, mestinya tidak melulu berkutat soal nilai dan pandangan keyakinan itu.
                Tesis statement saya “kebanyakan dari pelaku pendidikan di wilayah STT  tidak memahami dengan benar bahwa teologi dalam lingkup STT lebih luas dari pencarian atau kajian untuk memperolah pandangan hidup dari dalam konstruksi teologi yang dipelajari, dan tidaklah perlu dipahami hanya sebagai ilmu dalam disiplin akademik saja”. Ia adalah ilmu, upaya-upaya akademik dalam isi dan metodologis serta cara menyampaikan ke dalam realitas masyarakat. Ia tidaklah hanya teologi sebagai pemahaman hidup, dan ia tidaklah hanya ilmu semata pula. Ia juga konstruksi kelimuan secara terus menerus dari hasil penyampaian ke dalam realitas tadi. Oleh karenanya, pola geraknya sustainable dan circular yang tidak terputs dan terpisah. Kedanya saling mengkostruksi.
                Core values yang ingin kita konstruksi bersama dan “secepatnya lebih baik” dari sekedar pembagian kurikulum atau mata kuliah atau pembidangan teologi secara akademik; juga lebih luas dan bermakna menjadi studi, ilmu, disiplin akademik keberagamaan. Jika tidak maka yang ada adalah kuliah teologi tetapi keahlian hanya membaca teologi, atau bisanya studi banding-membandingkan salah-menyalahkan meski dengan cara yang dibuat agar tampak seolah-olah lebih akademik, kooperatif pluralis, inklusif terhadap teologi dari studi keberagamaan dikaji.
                Atu mugkinsaja metodologi atau paedagogik pelaksanaan pengajarannya tampaknya seolah-olah akademik Padahal, ujung-ujungnya missi antropho-messianik, dogmatisai, indoktrinisasi, organisasi, mazhabisasi, Alkitabisasi dan berujung dakwah kristenisasi (meski semua agama begitu karena selalu soal selamat atau tidak, jalan dan cara keselamatan. Padahal masih sama-sama pembaca, penafsir, pengira-ira berdasarkan perbedaan ukuran, dan pengkurnya dan justifikasi Teks Suci masing-masing); lebih bermakna juga dari sekedar perumpunan ilmu teologi; lebih substantif dari pelatihan  dan akumulasi kompetensi-kecakapan teologis sebagai dasar atau bekal untuk mengembangkan diri lebih lanjut dalam panggilan pelayanannya.
                Core valuesnya kita dan yang lain harusnya lebih serius dari itu semua dalam bingkai proses edukasi keberagamaaan (religiousity), menginternalisasi individuasi dan sosialisasi nilai-nilai, makna, gaya hidup (tanpa menolak-nolak “orang & yang lain”) dengan ragam pendekatan dan saling memaknai apa yang sesuai dengan kebutuhannya (tanpa menyalah-nyalahkan “orang & yang lain”) untuk membenarkan diri dan lembaga sendiri. Seharusnya membenarkan esensi dalam diri dan lembaga orang lain untuk mempertegas diri lembaga sendiri dan membenarkannya. Jika tidak, maka kita hanya terpola, paradigmatist dalam perangkap pembagian keilmuan tanpa proses edukasi keberagamaan dalam isi dan metode yang sering dinamakan “ilmu Teologi” tadi.
  • Memperluas Kajian Pembidangan Teologi              
                Secara umum titik penekanannya pada objek materil atau ontologi-pembidangan keilmuan  Historika, biblika, sistematika, praktika, dan bidang umum. Hal kelima bidang objek materi kajian itu hanya sampai pada benar dan salah; baik dan buruk; sopan dan tidak beradab; pantas dan kurang ajar; relevan dan bertolak belakang, meskipun proses edukasinya sering tampak seolah-olah akademik. Seharusnya 5 pembidangan atau perumpunan tidaklah lagi melulu hanya menekankan kajian soal teologis, tetapi relasi teologi atau peran kunci, atau nilai-nilai dasar teologi untuk mengkaji bidang lainnya.
                Saya mengamati secara mendalam lewat standar proses pembelajaran metodologi kajian dan proses paedagogis, rasanya sangat beralasan jika hal-hal itu hanya fokus pada kajian teologi dengan fokus pada rumusan-rumusan yang diambil dari Kitab Suci dan teks-teksnya keagamaan lain, doktrin dan pengajaran gereja. Padahal jika diamati secara mendalam ke 5 pembidangan itu, hanya salah satu saja dari objek materi kajian dari 7 dimensi keberagamaan.
                Ketujuh dimensi hendaknya akan memperluas paradigma kewilayah kajian teologi yang diakui dunia (the world religion’s). Saya mengikuti hasil penelitian Ninian Smart (Baltimore, 1960), setidaknya ada 7 dimensi agama yang bisa kita kajian sisi-sisi teologinya:
  • The Practical and Ritual Dimension
  • The Experiential and Emotional Dimension
  • The Narrative or Mythic Dimension
  • The Doctrinal and Philosophical Dimension
  • The Ethical and Legal Dimension
  • The Social and Institutional Dimension
  • The Material Dimension
                Dimensi Praktis & Ritual: Ini mencakup ibadah, baik personal maupun komunal, doa, khotbah, pengorbanan dan meditasi. Ini juga mencakup praktek-praktek dalam agama tertentu seperti yoga. Contohnya termasuk perayaan Ekaristi dalam agama Kristen, berpartisipasi dalam Haji, atau ziarah ke Mekkah dalam Islam, atau menawarkan puja dalam agama Hindu.
                Dimensi Pengalaman dan Emosional: Membawa berbagai fenomena religius kedalam hati atau perasaan, sehingga jadi pengalaman bahkan sering di dogmakan. Ini juga mencakup perasaan kurang dramatis, meriah, haru biru, hanyut dalam suasana-“ngeroh”, seperti rasa kesatuan dan keheningan, yang sering dilaporkan oleh orang percaya sebagai yang terjadi pada saat-saat refleksi yang tenang. Hal-hal ini sering dijadikan pengalaman personal bahkan kelompok yang dianggap sebagai penegasan iman pribadi individu dan kelompoknya.
                Dimensi Narasi atau Mistis: Ini menggabungkan cerita-cerita yang membentuk titik awal untuk banyak ajaran agama. Penciptaan mitos dibawa bersama-sama dengan bahan kesalehan dan dari kehidupan individu tokoh yang sangat kharismatis, bahkan bisa saja dikultuskan. Hal ini termasuk juga Kitab Suci agama-agama, beragam teks-teks agama lainnya, doktrin, pengakuan Mengacu pada ajaran resmi agama di dunia. Sebagai agama mengembangkan, narasi mereka dan mitos tertentu, menginformasikan dan dijelaskan oleh doktrin-doktrin yang lebih kompleks dan intelektual yang ketat atau ajaran resmi, tradisi oral yang disertakan. Alkitab Kristen, Guru, Sikh Guru Sahib dsb adalah contoh teks yang berasal dari dimensi naratif dan mistis.
                Dimensi Doktrinal & Filosofis: Mengacu pada ajaran resmi agama di dunia. Sebagai agama mengembangkan, narasi mereka dan mitos tertentu, menginformasikan dan dijelaskan oleh doktrin-doktrin yang lebih kompleks dan intelektual yang ketat atau ajaran resmi; dalam Kekristenan orang bisa menunjuk ke doktrin Trinitas, dalam Islam tawhid (keesaan Tuhan) dsb, dalam Kekristenan orang bisa menunjuk ke doktrin Trinitas, dalam Islam tawhid (keesaan Tuhan) dsb, pengakuan iman, atau aturan AD?ART dan aturan lain yang dicetak, dsb.
                Dimensi Etika & Hukum: ini mencakup aturan agama dan hukum yang berasal dari cerita dan aspek doktrinal tradisi masing-masing. Dengan mengikuti berbagai hukum atau perintah, orang percaya berusaha untuk menjalani hidup yang berbudi luhur. Dalam Taurat Yahudi ada 613 mitzvah atau perintah dan dalam Islam ada hukum syariah. Dalam tradisi Polinesia ada konsep taboo (tabu) yang membatasi atau melarang berbagai kegiatan, misalnya membatasi yang mungkin, atau tidak mungkin, dan ragam kebiasaan lain yang dijadikan etika hidup dan hukum yang sebenarnya untuk menjaga keteraturan dan keseimbangan. Dalam suku-suku, atau daerah belum modern, bahkan di kota hal-hal seperti ini sering lestari.
                Dimensi Sosial & Kelembagaan: Ini mencakup perwujudan hidup setiap agama; dan tindakan sosial pengikutnya. Aspek kelembagaan mengacu pada struktur terorganisir dan hierarki sering ditemukan dalam tradisi-tradisi keagamaan. Dalam Buddhisme, Sangha adalah nama yang diberikan kepada kedua komunitas tertentu biarawan atau biarawati dan kepada masyarakat luas umat Buddha. Dalam Katolik Roma kepausan misalnya tergolong dalam dimensi sosial dan kelembagaan.
                Dimensi Materil: Hal ini dari segala macam agama menciptakan ekspresi fisik dari iman mereka, baik itu bangunan, karya pertunjukan seni atau dramatis. Buddhisme telah menimbulkan patung besar, Kristen Ortodoks telah menghasilkan ikon atau karya seni rupa, seni pahat yang indah dan Hindu menawarkan mandirs kagum atau kuil, dan segala sesuatu yangberbentuk fisik yang bernuansa agama yang dianggap berkaitandengan keagamaan.
                Saya mengamati disinilah letak posisi teologi sebagai ilmu dalam disiplin akademik untuk mengkaji keberagamaan di dalam STT dan masyarakat diluarnya, dan itulah core valuesnya seluruh isi, metodologi kajian dan proses paedagogisnya. Ringkasnya, hal-hal mengenai keberagamaan yang harus disingkapkan dalam ke 7 dimensinya adalah sistem koheren dari kepercayaan dan praktek-praktek yang timbul dari pandangan dunia tertentu, seperti cara pandang dunia sehingga kita tidak menggabungkan perbedaan antara apa yang normal dan biasa dan apa yang spiritual atau transenden.
  • Kongkrititasnya               
                Dengan berpikir seperti ini, maka objek kajiannya bukan lagi hanya terbatasi sempit pada mono-pendekatan teologis dengan kelima pembidangan  apalagi jika hanya sekedar pencarian makna dan pandangan hidup semata. Untuk mengakhiri, jika STT sebagai Sekolah Tinggi Theologia dalam bingkai keilmuan dan disiplin akademik sewajibnya mengkaji secara khusus ke 7 dimensi agama itu secara mendalam dan secara komprehensif dengan multi-pendekatan secara keilmuan dalam disiplin akademik lengkap dengan takaran, ukuran, dan kaidah-kaidah keilmiahan baik secara empiris dan non-empiris yang ketat. Hasilnya akan memberikan kontribusi kongkrit dalam cara menjadikan teologi sebagai pandangan hidup dalam realitas masyarakat. (el-Tambunan’11).

Quotasi Literatur:
Te·o·lo·gi dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id, diakses 11 Maret 2011.
Teologi dalam http://kamusbahasaindonesia.org/, diakses 11 Maret 2011.
Eta Linnemann, Teologi Kontemporer: Ilmu atau Praduga?, Malang: Penerbit Institut Injili      Indonesia, 1991.
Gabriel Said Reynolds, The Other Islam, hlm. 194-215 dalam John Wilson (ed.), The Best            Christian Writing 2002, San Francisco: HarperCollins Publishers, Inc., 2002.
Parker J. Palmer, To Know As We Are Known: Education as A Spiritual Journey, San Francisco:                HarperSan Francisco, 1993.
Ninian Smart, World Religions: A Dialogue, Baltimore: Penguin, 1960.

No comments: