Showing posts with label Menjalankan Visi dan Misi Kristen di Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Menjalankan Visi dan Misi Kristen di Indonesia. Show all posts

Sunday, May 27, 2012

Menjalankan Visi dan Misi Kristen di Indonesia

Elia Tambunan, S.Th., M.Pd
Khotbah Kapel STT ”Nazarene Indonesia,” Kamis, 10 Mei 2012         

A.           Pendahuluan: Sesuatu untuk Dimaknai
Berbicara soal visi dan Misi dalam dimensi kehidupan Kristen, baik itu dalam sistem pendidikan dari dasar hingga sekolah tinggi, gereja, masyarakat, bisnis dan seluruh tipe dan seri ministri lainnya, pastilah selalu dilihat atau dipengaruhi ajaran, pemaknaan dari sisi teologis, yakni Matius 28 ayat 18-20,  dan ayat-ayat Alkitab lain yang “segudang” yang serupa dengan itu. Artinya, saya ingin menegaskan, bahwa topik ini adalah memang topik Alkitabiah atau teologis Kristen.

Namun, ketika ini sudah diposisikan atau diletakkan dalam dimensi akademis, maka ketika berbicara visi dan misi Kristen nama George Barna menjadi rujukan nomor satu, khusunya di Indonesia. Apa yang terjadi dibelakang pemikiran Barna, bagaimana itu berproses, gerakan intelektual seperti apa yang ia kampanyekan, dan apa ujun yang ingin dibongkar-bangkir di Amerika sejak kemunculannya di tahun 1990-an. Perlu diberitahukan disini, orang Indonesia hingga hari ini hanya lebih tahu soal “The Power of Vision[1]nya Barna, ataupun mungkin orang lain yang sudah sering terdengar soal ini.

Sehubungan dengan istilah dan pemahaman itu sudah biasa, saya tidak lagi akan menjelaskan itu disini. Artinya, saya tidak sedang menjadi pengikut Barna dan yang hanya bisa membaca materi tulisan dan pemikirannya. Saya menjelaskan visi disini dengan cara saya sendiri, dan yang dipengaruhi oleh latar belakang akademik dan keilmuan yang saya miliki. Saya menjelaskan ini demi kepentingan Kristen secara nasional. Kali ini saya lakukan untuk mengobati sejumlah penyakit pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Dengan terobatinya penyakit tersebut, maka akan terjadi “Gerakan Intelektual Kristen”[2] yang sedang saya kampanyekan terus-menerus. Apa alasan dari gerakan ini adalah karena kita sedang membutuhkan, mengharapkan dan menciptakan kegerakan dan kebangunan intelektual Kristen di Indonesia, bukan lagi hanya (sekali lagi bukan lagi hanya) KKR-kegerakan dan kebangunan rohani melulu, sehingga tercipta mahasiswa, dosen, dan masyarakat Kristen yang betul-betul intelektual dan intelektual yang betul-betul masyarakat Kristen.[3]

Dengan demikian, kali ini, saya juga tidak lagi mau menghabiskan energi untuk mengeksegesis Matius 28 ayat 18 sampi 20 itu, bukan karena saya tidak bisa biblical studies dengan ilmu hermeneutikanya, tetapi alasannya karena  itu sudah biasa saya dengar, meskipun karena biasa seringkali dilupakan bagian-bagian lain dari pemahaman visi teologi didalamnya, yang ternyata sering menjadi diterlantarkan.  Saya memilih apa sebenarnya yang tejadi dibalik pengajaran visi dan misi itu, sehingga pemahaman saya menjadi komprehensif terhadapnya.

B.         Bagaimana Menjalankan Visi?
Issu soal bagaimana menjalankan visi ini sendiri, minimbulkan sejumlah tanya, karena topik ini tidak jelas. Saya katakan tidak jelas karena alasan visinya siapa dan lembaga yang mana? Oleh karena kekurangjelasan itulah sebabnya saya terpaksa kembali ke Matius 28 ayat 18-20 tadi dengan “membanya dari pemikirannya Geroge Barna. Artinya yang saya lakukan disini adalah “kritik pemikiran tokoh Kristen”, yaitu Geroge Barna yang sering menjadi referensi utama, ketika berdiskusi soal visi dalam dimensi akademik Kristen. Saya melihatnya dengan metode ilmu kritik pemikiran dari dokumen atau literatur karyanya sendiri, Artinya ini adalah kritikterhadap sumber pertama dan orang pertama. Artinya bukan sumber kedua, apalagi terjemahan tidak ada disini. Ini saya lakukan untuk mengahsilkan makna yang baru bagaimana menjalankan visi, sehingga terjadi “Revolution,[4]atau revolusi intelektual dalam dimensi kehidupan Kristen, seperti yang diinginkan Barna, ketika ia berbiaca soal visi di tahun 2012.

Revolusi yang dimaksudkan disini bukanlah upaya-upaya sistematis untuk melakukan pembrontakan atau perlawanan berdarah-darah terhadap pemimpin atau otoritas dan wewenang, denominasi atau seseorang pemimpin saat ini yang menjabat. Saya ingin menempatkan kata revolusi itu diposisi yang seharusnya, sesuai dengan tujuan visi yang saya bicarakan disini. Saya ingin menempatkan sebagaimana seharusnya, atau  yang saya jelaskan dengan menciptakan kegerakan dan kebangunan intelektual Kristen di Indonesia, bukan lagi hanya (sekali lagi bukan lagi hanya) KKR-kegerakan dan kebangunan rohani melulu, sehingga tercipta mahasiswa, dosen, dan masyarakat Kristen yang betul-betul intelektual dan intelektual yang betul-betul masyarakat Kristen.

Menurut Goerge Barna, soal-soal pengajaran, pembicaraan, diskusi, ungkapan, angan-angan ataupun mimpi-mimpi yang berbicara tentang visi dan misi adalah materi penjelasan yang sangat biasa dan nyatanya hanya muluk-muluk dalam kehidupan Kristen, khususnya di Amerika di kala itu. Ia melihat realitas dan pencapaian Kristen di sana sama seperti “The Frog in the Kettle”,[5] artinya seperti Katak di dalam ketel, maksudnya tempurung. Di Amerika tidak tumbuh pohon kelapa, sehingga ilustrasi atau personifikasinya diumpakan di dalam ketel atau mangkok yang biasanya dari aluminium atau keramik, atau juga dari kaca.

Tampaknya apa yang dikatakan Barna itu, memang benar demikian, hanya dengan mengingat lagu rohani Kristen yang pernah tenar tahun 1990, yakni “Kupunya Visi tuk Bangsa ini” dan seterusnya itu. Tetapi apa yang terjadi dengan diri saya, dan dunia Kristen saya, yang ironisnya, saya adalah orang dan pelaku didalamnya, sebagai mahasiswa, dosen, pemimpin atau pelaku di dalamnya, jika melihat situasi dan nasib Kristen Indonesia kini. Itulah alasannya saya mengatakan ada yang “salah” dan ada “penyakit akademik yang akut,” dalam proses edukasi dalam pendidikan tinggi keagamaan Kristen di Indonesia sejak tahun 1960-an hingga kini. Ditengah-tengah munculnya Islam yang saya katakan sebagai “Superpower Baru di Dunia dan di Indonesia. Alasan saya adalah jika ditilik dari penjelasan dari Akbar Akhmed secara statistik bahwa, 1 diantara  4 manusia yang hidup diplanet bumi ini adalah muslim, padahal awalnya itu milik Kristen, lebih dari 6-7 juta Muslim hidup di Amerika Serikat, padahal nota benenya Amerika yang katanya adalah negara Kristen[6]. Hal ini sudah saya jelaskan dalam paper “Diskusi Akademik” beberapa waktu lalu di Kapel STT Nazarene.

Fenomena dan kenyataan di dunia Kristen Amerika itu, sangat memuakkan bagi Barna, lalu ia terilhami dengan realitas itu untuk membuat perubahan dalam dunia dan kehidupan Kristen, lewat pelayanan berbasis riset atau penelitian masyarakat, gereja, dan bisnis. Ia membuat satu rumusan pertanyaan utama dalam penelitian dan pelayanannya, “Generation Next: What you Need to Know About Today's Youth.[7] Artinya, jika sudah berbicara soal visa dan missi Kristen untuk generasi masa depan, perlulah untuk melibatan dan menggerakkan anak-anak muda yang penuh aksi. Barna memberdayakan atau mengedukasi anak-anak muda Amerika untuk mengetahui dengan sesunguh-sungguhnya apa yang perlu ia tahu soal masa mudanya hari ini dan apa yang bisa dilakukan mereka untuk Kristen di masa mendatang.

Melihat realitas hidup saat itu, Barna kemudian melanjutkan dengan proyek, Turning Vision Into Action[8] mengubah visi menjadi aksi. Artinya, ia ingin membuat perubahan pemikiran, teori menjadi tindakan. Ia ingin mengubah yang tertulis indah dalam Alkitab orang Kristen itu menjadi tindakan, aksi atau gerakan nyata.  Hal inilah yang sering kali saya sebut dengan “pendidikan Kristen dari edukasi menjadi eduaksi,  atau rekonstruksi teori ke sosio-praksis”.[9]  Dengan kata lain, yang saya butuhkan hari ini adalah bagaimana cara untuk mudah mengikuti rencana untuk menemukan visi yang Tuhan inginkan untuk pelayanan kita, dan bagaimana dapat membawanya atau mempraktekkan sesungguhnya ke dalam kehidupan, baik di gereja, rumah, masyarakat, bisnis, seluruh jenis dan dimensi ministri, dan dalam kehidupan spiritual dan sosial lainnya, khususnya dalam bidang intelektual.

Itulah fenomena yang ia amati, sehingga ia berkata demikian, sehingga ia berketetapan “Keep on Building,”[10] Artinya, saya harus terus mendesain, membangun dan membuat perubahan. Saya melihat, solusi yang ia kerjakan adalah membuat “Leaders on Leadership.”[11]Artinya, Barna menciptakan pemimpin dalam kepemimpinan yang memiliki hati dan jiwa hamba, yang berhikmat, punya semangat dan tindakan keberanian dengan cara, jalan, pertauran, prosedur dan hukum yang benar untuk memimipin umat Allah.

Saya melihat, yang dilakukannya adalah ia sedang mendesai cara dan metode untuk melahirkan kelompok atau institusi pemikir inovatif untuk mendapatkan perspektif baru pada definisi kepemimpinan, ide-ide baru untuk mengatasi tantangan yang menghadang perubahan dan menghadapi pemimpin, otoritas, wewewang yang hanya bisanya berkata-kata mendukung perubahan. Ia menumbuhkan semangat baru untuk menjawab panggilan Tuhan taruh dalam hati setiap orang. Bahkan ternyata, dilihat dari perspektif akademiknya barna, yang menghalangi perubahan itu adalah pemimpin dan kepemimpinan itu sendiri, sehingga alih-alih untuk mengkritisi dan menjatuhkan pemimpin (dalam dunia Krosten denagn semua sistem istitusi dan sisitem sosialnya)di Amerika, maka ia mendesain “Building Effective Lay Leadership Teams.[12] Artinya, Barna lebih memilih untuk melatih dan memberdayakan kaum awam yang menjadi tim pemimpin dalam ministri Kristen. Hal inilah yang sering saya dengan dengan istilah teologi kaum awam.

Apa yang bisa saya amati dan pahami dari gerakan intelektual Kristen Amerika sejak tahun 1990an hingga kini tersebut? Ini penting menjadi poin yang bisa diapplikasikan di Indonesia sesuai dengan setting sosial dan keadaan disini, tanpa menghancurkan leburkan nilai-nilai inti dari denominasi, institusi, atau keyakinan orang atau lembaga ministri tertentu di semua sistem pelayanan dan sekolah tingggi teologi di Indoesia dan juga secara lokal.

Sangat sederhana yang telah dan sedang gencar-gencarnya yang dilakukan oleh George Barna itu, yitu ia ingin menumbuhkan kegerakan itu dari luar untuk mempengaruhi ke dalam. Hal itu ia istilahkan dengan “Grow Your Church from the Outside In.” [13] Artinya, Barna sedang baru hanya sebatas berupaya dan bertindak sungguh-sungguh untuk menyediakan cara pandang yang tidak biasa atau tidak normal karena tidak biasa dipakai oleh orang lain atau pemimpin lain sezamannya di dunia. Ia mengatakan, bahwa dalam menumbuhkan pelayanan ditumbuhkembangkan dari luar ke dalam. Artinya, dunia nyata atau nilai, sikap, perilaku, keyakinan, praktik keagamaan, demografi, tujuan hidup dan harapan rohani dari luar itulah yang bisa membuktikan apakah visi dan misi pelayana itu memang benar dari Tuhan dan untuk Tuhan, atau hanya untuk kemuliaan, kebesaran, kesuksesan, dan keterkenalan dari pemimpinnya atau orang dalam itu sendiri. Meskipun, saya dengan sadar akan bangga dan memberikan dukungan dengan kekuatan penuh dan kesadaran penuh, jika ada orang, denominasi, lembaga atau institusi Kristen yang terkenal karena mutu dan layanannya memang bermutu baik.

Barna tidak menyerah meski hujat dan hinaan yang tentu tidak bisa dielakkan. Terbukti ia mengulangi lagi tulisannya dan gerakannya dengan sebutan “The Frog in the Kettle and Boiling Point,” [14] artinya, Si Katak di dalam tempurung  dan titik didihnya. Ia sedang mengajar semua orang di Amerika, termasuk para kolega, dan para penikmat buku dan ajarannya, bahwa perubahan tidak bisa dihindari (Change is inevitable), perubahan akan terjadi apakah saya siap atau tidak, apakah saya berkawan atau malah melawannya, apakah menentangnya bahkan menenteng untuk membawanya bersama saya. Perubahan akan terjadi apakah saya suka atau tidak, apakah saya dukung atau saya bendung. Tidak ada perubahan? Tidak ada kesempatan sama sekali (No change? No chance!).

Apa memang benar yang dikatakannya itu? ini merupakan kritik saya terhadap pemikirannya Barna. Tetapi tampaknya hal itu bisa diaminkan hanya dengan melihat ilmu biologi atau segala hal yang tekait dengan botanologis. Dari para ahli biologi memberikan saya pemahaman yang baik untuk ini. Misalnya bibit tanaman atau biji-bijian dari tumbuh-tumbuhan. Ketidakadaan perubahan dalam diri bibit tanaman atau biji-bijian dari tumbuh-tumbuhan maka itulah tanda kematian mereka. Dengan kata lain, kehadiran atau keadaan perubahan adalah satu tanda kehidupan. Perubahan adalah komponen penting untuk layak atau pantas disebut ada kehidupan. Demikianlah pula dalam kehidupan atau dalam keadaan sebagai manusia. secara intelektual, emosiona, sosial, dan spiritual, kita harus berubah atau mati, tidak ada ruang, masa atau tempat diantaranya atau ditenngah-tengah keduanya.

Tampaknya memang perubahan selalu tidak menyenangkan, tidak masalah seberapa besar untungya bagi saya atau seberapa ruginya untuk saya karena pengaruhnya. Akibatnya sering kali hanya dua. Saya hanya akan lebih sering fokus pada permasahannya, yang sebenarnya telah saya ketahui, ketimbang saya akan berupaya terus-menerus untuk memperbaiki diri da lingkungan sekitar untuk menemukan dan mencari solusinya yang ternyata belum saya ketahui sama sekali. Jadi, saya bisa memprediksi satu hal soal masa depan, yakni saya tidak selalu menyukai proses menuju masa depan, tetapi mulut saya akan selalu senang mengatakan, saya suka dan mendukung perubahan, meskipun ternyata, saya anti proses kesana, yaitu proses perubahan tadi.  Ini memalukan dan memilukan saya, bahkan hina dan malangnya mulut dan hidup ini karena saya hanya bisa berucap dan menginginkannya semata.

                [1]Silahkan baca George Barna, The Power of Vision (Ventura, CA: Regal Books, 2001). George Barna adalah pendiri, dan direktur The Barna Group, sebuah layanan lengkap pemasaran perusahaan riset di Ventura, California, USA yang mengkhususkan diri dalam riset untuk pelayanan Kristen. Sebagai penulis dan periset Kristen, buku-buku dan hasil riset yang ditulis dan dilakukan oleh George Barna dipublikasikan secara online di www.barna.org.
            [2]Untuk lebih jelas dan komprehensif, silahkan baca Elia Tambunan, “Gerakan Intelektual: Post-Modernisasi Ilmu Pengetahuan Mengobati Penyakit Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen,” Salatiga: Sekolah Tinggi Theologi Salatiga, Jurnal Gema FIRMAN, vol.1, No.1/Jan-Jul 2012, h. 96-138. Ataupun lebih baik kita mendiskusikan hal itu lebih lanjut secara tatap muka dalam nuasa akademik yang formal atau informal.
                [3]Untuk lebih jelas dan komprehensif, silahkan baca Elia Tambunan, “Proposal dan Penelitian Keagamaan Kristen: Dari Kritik Metodologi Riset Sampai ke Horison Baru Keilmuan,”Yogyakarta: Sekolah Tinggi Theologia Nazarene Indonesia, SANCTUM DOMINE, Jurnal Teologi, vol. 1, No. 1 Maret 2011, h. 77-130. Ataupun lebih baik kita mendiskusikan hal itu lebih lanjut secara tatap muka dalam nuasa akademik yang formal atau informal.
                [4]George Barna, Revolution (Carol Stream, IL: Tyndale House Publishers, Inc., 2012).
                [5]George Barna, The Frog in the Kettle (Ventura, CA: Gospel Light Publishings, 1990), h. 1-21.
                [6]Akbar Akhmed, Journey into America: The Challenge of Islam (Washington DC: Brookings Institution Press, 2010), h. 7.
                [7]George Barna, Generation Next: What You Need to Know About Today's Youth (Ventura, CA: Regal Books, 1996), h. 1-49.
               [8]George Barna, Turning Vision Into Action (Ventura, CA: Regal Books, 1996), h. 1.
             [9]Elia Tambunan, Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Teori ke Sosio-Praksis (Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011), h. 2-12.
                [10]Ibid., George Barna, Generation Next, h. 49.
                [11]George Barna, Leaders on Leadership: Wisdom, Advice and Encouragement on the Art of Leading God's People (Ventura, CA: Regal Books, 1996), h. 1.
                [12]George Barna, Building Effective Lay Leadership Teams (Ventura, CA: Gospel Light Publishings, 2001), h. 1.
                [13]George Barna, Grow Your Church from the Outside In:Understanding the Unchurched and How to Reach Them (Ventura, CA: Gospel Light Publishings, 2002), h. 1.
                [14]George Barna Mark Hatch, The Frog in the Kettle and Boiling Point (Ventura, CA: Regal Books,2001), h. 17-20. Supaya lebih jelas, silahkan baca selanjutnya pada bab I,  Change is Our Middle Name: Count on It Being Diffrent,” h. 17-26.