Monday, July 30, 2012

TKI: Dari Pahlawan Devisa jadi Pahlawan KRISTUS


Artikel ini dimuat di Koran Fresh, Edisi Juni 2012/No. 3/Ragam/hlm.18. 
Kita lebih sering mendengar ekploitasi negatif TKI-Tenaga Kerja Indonesia oleh media. Itu memang fakta, tetapi sebagai orang Kristen saya melihat lebih realistis, dan memilih mengumpulkan serpihan-serpihan berita baik, yang berserakan seantero Jiran, berdasarkan penuturan mereka sendiri. Sayangnya berita kebaikan ini jarang dinarasikan orang. Ini bermula, ketika saya diundang menjadi pembicara seminar (Jumat-Minggu/28-31/10/2011) di “Gereja Grace” Shah Alam, Selangor-Malaysia. Peristiwa nyata ini saya pilih, bukan pura-pura lupa kepada kisah pilu lainnya. Kali ini sebagai orang Kristen, lebih baik bertutur yang baik-baik saja untuk membangun iman.

Intinya, kabar baik TKI di Malaysialah yang saya tuturkan disini. Bagaimana TKI menciptakan sendiri narasi hidupnya dari pahlawan devisa hingga menjadi Pahlawan Kristus. Bagaimana sulitnya pergulatan sosial dan mahalnya harga yang harus dilunasi secara teologi-ekonomis oleh “migrant worker” untuk menemukan Kristus, dan mengokohkan imannya di negeri orang, yang tak lupa menafkahi diri dan keluarganya di kampunghalaman.               
Para TKI Kristen
Jumlah TKI di Malaysia sekitar 2 juta. Tiap tahun meningkat, khususnya perempuan. Mengapa mereka terpaksa memilih jadi TKI? Ketika ditanyakan umumnya mengatakan karena alasan ekonomi dan langkanya pekerjaan di Indonesia. Artinya, memang sukar “menghasilkan uang” dengan cara benar-benar halal disini. Hasil survei dari BPS-Badan Pusat Statistik, Mei 2010, menunjukkan angka pengangguran di Indonesia mencapai 8,59 juta orang, yaitu 7,41% dari 116 juta total angkatan kerja. Dengan melihat itu, maka tidak heran, jika kualitas manusia Indonesia sangat rendah, seperti Laporan Badan Program Pembangunan PBB.

Buruknya mutu hidup kita, diukur lewat IPM-Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, dengan indikator kesehatan, pendidikan dan pendapatan. Kita di peringkat 124 dari 187 negara dunia, tahun 2011, turun 16 strip dari tahun lalu, (Koran Tempo/Jumat/4/11/2011/h.B2). Tidaklah mengherankan, demi mendapatkan “uang,” jutaan manusia Indonesia, terpaksa harus migrasi dan bekerja mati-matian disana. Apalagi memang nilai tukar MYR-Ringgit Malaysia lebih “prestise” ketimbang Rupiah. Perputaran uang pengurusan dokumen, pajak, visa, dll sebahagian besar masuk kas negara, itulah yang membuat TKI dianggap Pahlawan Devisa.

Banyak diantara TKI pemuda/i Kristen. Kiriman uang (remintansi) para TKI, sering bermuara di gereja. Sesekali mereka mengirim uang ke keluarga, biasanya orang tua akan memberikan persepuluhan atau sumbangan pada hari-hari besar Kristen. Diantara mereka, sesekali membantu pembangunan gereja di daerah asal, seperti diceritakan Ramos Petrus (Banjarmasin), yang dahulunya adalah Muslim, tetapi menemukan Kristus di Malaysia. Keterangannya, ingatkan saya kesaksian 2 pendeta Gereja Penyebaran Injil di salah satu daerah di Solo, dan Gereja Pantekosta di Indonesia daerah Cilacap, dana pembangunan gerejanya sebagian besar adalah kiriman TKI.

Sebaliknya, keluarga mereka bahkan tidak segan meminta untuk selalu ditransfer, karena anggapan kerja di Malaysia, Ringgitnya pasti banyak. Ini terjadi karena salah kapah diantara orang sedesanya. Belum lagi memang diantara mereka harus melunasi utang ke kerabat, tetangga atau rentenir sebagai pinjaman mengurus dokumen TKI, yang bisa dilunasi ketika sudah kerja. Ringkasnya, ternyata TKI juga pahlawan keluarga, gereja, pembangun desa.
           
TKI Pahlawan Kristus
Cipto, (Bojonegoro) sejak 3 bulan lalu kerja di Selangor di Pabrik pengolahan kayu. Selesai ibadah minggu, (14.30-16.00), masih harus dilajutkan dengan doa syafat aktivis gereja (hingga 17.30), setempat. Ia bertutur, 2 bulan pertama, ia naik taksi sebesar 75 Ringgit, setara Rp 182.000, (jika 1 Ringgit=Rp 2.600), untuk ongkos PP-pulang pergi gereja. “Tapi, Puji Tuhan bang, sekarang lebih enak, Pp-nya saya numpang “kereta” (maksudnya mobil di Indonesia), dengan Bu Deby (seorang aktivis gereja), yang sekompleks dengan saya. Cerita lain dari Domo Tambunan (Tanah Jawa-P.Siantar-Medan) sebagai manajer pabrik elektronik. Ia harus Naik Bus 6 jam pp (jika bus umum dan jalanan tidak macet) dengan biaya hampir sama dengan Cipto, karena jauhnya jarak asrama dengan gereja. Ini terjadi karena pemerintah Malaysia menyediakan tanah dan lokasi rumah ibadah semua agama hanya ditempat yang sudah ditentukan.

Cerita lain dari Dodi Tambunan. Ia sendiri Kristen-Indonesia, disamping TKI lain dari Filippina, Banglades, dan beberapa negara Asia Tenggara. Di asramanya lebih banyak Muslim-Indonesia. Di asramanya, “ada seorang “pendakwah” (Penginjil Muslim), yang sengaja bekerja disana. “Kayaknya dia itu utusan dari organisasi Muslim tertentu untuk dakwah ke TKI Muslim disini, bang,” seperti dikisahkannya berdialek Malaysia-Bataknya yang kental, sehingga terdengar lucu dan unik.

Ketika saya tanya lagi, di asramanya sering ada pengajian. Ia sering diajak teman Muslimnya. Hingga 3 tahun ia selalu menolak. Ia mengkisahkan dengan bahasa Batak Toba: “Boada bang molo diajak halak dongan i iba, lao mangaji? Memang hutolak dope torus, alai, molo leleng-leleng dang tabo parasaanku, bah!” (artinya: Bagaimana, kalau sering diajak ikut pengajian? Memang saya tolak terus, tapi semakin lama, segan rasanya). Ini indikasi ada metode tertentu dan orang tertentu untuk “mengajak” Kristen ikut agamanya. Fakta ini meski bersifat kasusistik, tetapi tidak bisa dipungkiri menjadi bukti pergumulan sosio-teologis mereka, yang mungkin juga dialami saudara seiman kita yang lain disana. Dodi mengakui, seandainya ia tidak terlibat aktif melayani di rumah missi, yang sengaja disediakan gereja untuk rumah kos-kosan mahasiswa Kristen dari sekitar Malaysia, dan sebagai tempat gabungan dengan pelayanan bagi TKI, maka imannya bisa goyah.

Kejadian lain, Kezia Manullang (Perbulan, Laubaleng-Karo), Mei Tampubolon (Kisaran-Medan), Citra Sinaga (Tebing Tinggi-P.Siantar) sebagai koordinator sekolah minggu dan Pemuda-Mahasiswa. Mereka tetap energetik melayani, meski selesai kerja langsung pelayanan pemuda setiap sabtu, dimulai jam 9 malam. Bahkan sering harus lembur malam karena melayani sekolah minggu sorenya. Perbuatan terpuji ini mengingatkan adik saya sendiri, Lulu Tambunan (kini kerja lagi di Batam), yang “bertobat beneran” selama kerja di Malaysia 4 tahun lamanya, padahal sewaktu di kampung “tidak peduli” kerohanian.
Kisah hidup migrant worker ini semoga jadi pemahaman positif kita yang memiliki keluarga, kerabat, dan jemaat disana agar mengerti dengan betul, bagian yang baik dari apa sesungguhnya terjadi, dan bagaimana “nasib dan pergulatan” mereka “menjadi Kristen” di negeri orang. Mereka ibarat oase spiritual Kristen ditengah keringnya hal yang baik terdengat dari TV. Reportase TKI ini, semoga “menggugah” gereja Indonesia, supaya tidak hanya terfokus “ngeRoh” saja. Melihat apa sedang terjadi, kita terpanggil bertindak menunaikan panggilan kita. Jika selama ini KKR-Kebaktian Kebangunan Rohani, maka oleh pertolongan Tuhan, kita harusnya bisa KKSI-Kebangkitan Kebangunan Sosial dan Intelektual untuk mengecilkan perkara besar nasional di hari penghujung ini. Mereka yang mencari dan layani Tuhan, pantas disebut Pahlawan Kristus. Semoga kita jadi pahlawan kicil bagi dunia luas. Siapa menyusul?

2 comments:

Regina Anastasia said...

Blog bagus. Banyak berkat. Ditunggu kunjungan balik ke blog aku. Klik namaku ya.
GBU ;-)

Bang Elia said...

..he..ada yg mau ngelink yah?