Wednesday, January 4, 2012

Metodologi Riset: Dari Skill Mendesain Proposal Teologi & PAK hingga Mempublikasikan

         Selamat datang di dunia ‘riset’ pendidikan keagamaan Kristen, yakni program studi Theologia dan PAK-Pendidikan Agama Kristen. Di buku ini sebanyak 215 halaman ini, pembaca sedang diajak memasuki kawasan metodologis dengan multi-pendekatan dan multi-disciplinary, lengkap dengan segala kebebasan akademik untuk ‘menyuarakan’ hasil risetnya. Saya tidak terlalu mempersoalkan apakah riset dengan cara kuantitatif dan kualitatif, atau gabungannya. Bagi saya yang lebih penting adalah bagaimana memperoleh skill dari dalamnya, dan bagaimana menggunakan paket-paket pengetahuan dari riset ‘kuan-kual’ yang sudah ada itu, dan yang sering ‘dikonsumsi’ di kelas lewat mata kuliah metode penelitian bisa diintegrasikan dengan ‘multi-pendekatan’ keilmuan, sesuai dengan tujuan riset yang diinginkan pelakunya. Metode riset harus berdasarkan atau dituntun oleh fenomena keagamaan dan realitas lapangan sesungguhnya. Ia dirancang berdasarkan perspektif orang dalam (insider perspective) atau sumber data sebagai subjek bukan objek yang diteliti.
          Riset teologi dan PAK, seharusnya memang ‘fun’, atau menyenangkan. Riset adalah “petualangan-adventure” sebagai aktifitas bersenang-senang secara akademis, dan memberikan kebebasan akademik bagi periset untuk mengatakan “apa saja,” yang penting caranya benar secara keilmuan, dan ada data-evidence dan fakta-facts yang ditemukan dari lapangannya. Riset disini bukan tugas akhir yang lagi menakutkan, membuat stress, gagal, sehingga sering berakhir DO-drop out, maksudnya ‘gak jadi SaRJoNo. Riset juga bukan lagi hanya sebagai syarat mendapatkan gelar. Ia adalah tanggung jawab sosial akademik untuk pengembangan komunitas akademik dan masyarakat, seperti ‘ruh’ tridharma perguruan yang sangat tinggi itu.
          Saya mengajak mahasiswa S1-S3 ikut menikmati petualangan intelektual di dunia Kristen yang nyata, dan ‘dunia maya’, bukan lagi dunia ‘rohani’, metafisis, abstrak, yang dahulu, bahkan hingga kini masih saja menjadi andalan di wilayah kajian PAK apalagi Teologi. Saya tidak sedang ‘mendoseni’ pembaca sekedar bisa, biasa, dan tahu ‘meneliti,’ seperti yang diulang-ulangi dalam mata kuliah ‘metode penelitian’. Asal tahu saja, metode itu selama ini lebih terforsir pada riset deskriptif. Hasilnya seringkali baru sebatas laporan penelitian, atau sekedar bisa membuktikan, bahwa hipotesis A, B, Ho, H1 ditolak atau diterima, terbukti benar atau salah, yang dilengkapi dengan data mentah. Itu seringkali seolah-olah kelihatan sudah selesai karena telah ada angka-angka statistik ditambah persentase disana-sini. Saya tidak sedang memberikan itu disini, dan ini bukan buku mata kuliah yang deskriptif itu. Maksud saya, saya tidak sedang memperkenalan ilmu metodologi, yakni materi, isi, dan muatan atau kandungan pembahasannya dalam penelitian, seperti yang sudah ada mata kuliahnya tersendiri sesuai dengan level kesarjanaannya. Saya sedang menyediakan seperangkat instrumen riset, tetapi petualangan itu sendiri adalah pengalaman pribadi dari pembaca, sehingga ia bisa secara mandiri dan bebas mencipta risetnya sendiri, itulah fokusnya.
          Di bab 1, saya melengkapi peta perjalanan intelektual di buku ini. Jika tidak, maka pembaca akan menghadapi ‘turbulensi akademik’ atau goncangan adrenalin yang sangat hebat, ketika ‘memasuki’ rute yang bergelombang di dalam buku ini. Di bab 2 saya mengeksploitasi dengan narasi kritis sejumlah persoalan riset di lingkungan akademik STT dengan cara lain yang lebih kreatif-kritis. Selama ini mahasiswa STT Kristen bisa dan terbiasa dengan ilmu teks, kata-kata, ilmu omong-omong dan ilmu tafsir. Rasanya tidak lagi bisa diterima rasio akademik yang waras, dan oleh mahasiswa dan dosen yang waras, tujuannya untuk mengatasi persoalan kompleks yang sedang dihadapi oleh komunitas masyarakat beragama Kristen, tetapi para ilmuan, mahasiswa, teolog dan ahli agama, atau ahli masyarakatnya, duduk tenang, sibuk mondar-mandir, bahkan ‘asik’ atau keranjingan melahap ratusan literatur di perpustakaan. Bukankah lebih tepat untuk menolong masyarakat Kristen, dengan cara mendiagnosis dan menganalisis persoalannya dengan cara berada diantara mereka dan melihat dari sudut pandang mereka sendiri?
          Kualitas skill mahasiswa ‘representasi’ dari kualitas pribadi, dosen, dan iklim kebebasan akademik kampusnya. Jika ada yang salah dengan satu komunitas masyarakat beragama, maka mintalah pertanggungjawaban dari komunitas intelektual atau ilmuwan, dan rohaniawan atau agamawannya. Jika ada yang salah dengan mereka, cobalah ‘cek’ secara langsung, bagaimana mereka ‘dikuliahi’ di pendidikan tingginya, nilailah bagaimana kemampuan mereka cara meneliti, dan memahami masyarakatnya. Saya sengaja menulis buku ini untuk memperkarakan dan mempertanyakan ‘kebenaran’ dari tradisi keilmuan dalam metodologi penelitian yang selama ini dikonsumsi di level pendidikan para sarjana itu. Riset teologi dan PAK disini, saya lokalisasikan dari kacamata sains, sosial sains, dan sains humanities sebagai instrumen kerja akademik secara metodologis (metode, prosedur, proses, hasil), yang sistematik dan saintifik untuk menyelidiki fenomena atau realitas keagamaan Kristen yang terjadi sesungguhnya secara empiris. Riset dipekerjakan untuk penyelidikan dengan standar ilmiah secara investigasi akademik, sehingga menemukan “pengertian yang baru dan segar,” dibalik fenomena atau realitas yang tampak secara kasat mata. Hasilnya direkonstruksi menjadi ‘sesuatu yang bermakna dan berguna positif’ bagi komunitas akademik dan komunitas masyarakat beragama Kristen di Indonesia, seperti ditulis di bab 3.
          Disini, skill diartikan sebagai seperangkat ketrampilan kreatif riset yang lengkap, mulai dari bagaimana cara sistematis untuk mendesain dan  mengembangkan proposal, mengorganisasikannya dan membawanya pergi ke lapangan, melaporkan atau menuliskan hasil temuannya, menganalisis, menginterpretasikan, dan menteoritisasikannya kembali. Lalu, dipertahankan lewat ujian, direvisi kembali lewat bimbingan supervisior, dan dipublikasikan lewat jurnal atau buku oleh penerbit, seperti terpampang di bab 4 hingga 6. Skill riset seperti inilah yang sedang dinarasikan di buku ini, sehingga hasil penelitian di kampus-kampus, tidak ‘jamuran’ dirak-rak perpustakaan, tanpa diketahui publik apa hasilnya, dan tidak dipakai secara tepat untuk tujuan perkembangan komunitas akademik dan masyarakat beragama Kristen. Oleh karena itu, skill melakukan riset setara dengan skill kreatif menggunakan hasil akhir proyek riset dalam kemasan, bahasa, isi, dan narasi penyampaiannya, sehingga sehat untuk ‘dikonsumsi’ atau ‘dikunyah’ publik, sesuai dengan segmen pembaca dan pangsa pasar.

Wednesday, December 14, 2011

Mempekerjakan Logika: Merekonstruksi Pikiran Menuju Kebangkitan Intelektual Kristen

A. Apa yang Didiskusikan Disini, Mengapa?

Mempekerjakan Logika: Merekonstruksi Pikiran Menuju  Kebangkitan Intelektual Kristen, inilah fokus diskusi dalam buku ini. Secara detail, yang sedang kita bicarakan adalah terletak pada “bagaimana cara” berpikir, berilmu dan bertindak untuk mengkritisi secara konstruktif segala ilmu pengetahuan, sistem nilai dan cara pandang teologis, dan praktek hidup keseharian, yang berkaitan dengan dan dipergunakan dalam pendidikan keagamaan Kristen.



Saya tidak menyebutnya LOGIKA KRISTEN. Alasan saya tidak menyebutnya logika Kristen untuk menghindari perampokan secara akademik, yang mengkalim dengan semena-mena, seolah-olah ada logika milik Kristen, ada milik yang bukan Kristen. Jikapun ada orang lain yang menamai demikian, itu hanya sebagai upaya kristenisasi ilmu pengetahuan.

Upaya yang tidak terpuji ini, jika dilihat dari kejujuran atau prosedural epistemologis, metodologis, ontologis, dan aksiologi keilmuannya, maka orang seperti itu bisanya atau biasanya hanya menempelkan atau melabelkan kata Kristen dibelakangnya, sehingga langsung terlihat Kristennya. Artinya Kristen disini hanya stiker, cap, atau hologramnya saja.


Pertanyaannya bagi orang yang berilmu stempelan atau hologram, apakah logika itu murni datang dan dikonstruksi atau karena hasil riset dan pengembangan yang dilakukan oelh Kristen sendiri? Jika mau jujur mengakui dan terbuka melihatnya, sebenarnya ilmu, literaturnya yang dipakai untuk menulis buku Logika kristen tersebut sangat sedikit dari Kristen? Artinya, tetap saja diderivasi, “dicaplok atau dirampok” dari ilmu filsafat umum, yang bermula dari hikmat dan kebijaksanaan pemikiran Yunani yang bukan Kristen.


Saya hanya ingin menjadi orang yang tahu diri dan jujur dalam berilmu dan berKisten. Itulah alasannya saya lebih senang menyebutnya bagaimana cara mempekerjakan logika (ini pengakuan yang jujur dan penghormatan kepada ilmu logika yang sudah ada) untuk membantu pembangunan keilmuan Kristen, yang berujung pada kebangkitan intelektual Kristen. Dengan itu, akhirnya, kita tidak akan merasa malu nantinya menyebut dikemudian hari “logika Kristen” (dalam tanda kuotasi-petik).


Hal itu akan bisa dinamai demikian karena telah melewati proses teoritis dan empiris, atau berdasarkan penyelidikan atau riset pengembangan yang meneliti dengan benar secara empiris bagaimana orang Kristen itu berlogika atau berpikir dalam realitas keilmuan, secara akademik, dan dalam realitas kehidupan nyata. Tetapi ini memang membutuhkan proses empiris dengan seperangkat metodologi keilmuan, yang hingga saat ini, tampaknya teolog, Indonesia, belum sampai kearah ini. Sebenarnya, realitas inilah yang dikemudian hari penting untuk dirumusan atau direkonstruksi kembali oleh ilmuwan dan agamawan Kristen untuk keperluan Kristen.


Pokok pembicaraan yang dikedepankan dalam diskusi ini sebagai dasar-dasar saja dalam rangka persiapan pembangunan keilmuan Kristen. Kali ini, lewat buku ini, baru hanya sampai didasar dan mendasar itu saja, sesuai dengan tujuan dan kepentingan penulisan buku ini. Saya ingin memposisikan buku ini sebagai syarat atau kelengkapan lain untuk membentuk struktur berpikir untuk kebangkitan intelektual kristen. Pembangunan dan kebangkita itu bisa dilakukan dengan cara kerja yang ilmiah.


Disinilah kita mempraktekkan logika, nalar, rasio, akal sehat, pikiran, otak, dan ilmu pengetahuan Kristen, tanpa menanggalkan iman Kristen, apalagi menyangkali atau mengingkarinya, dengan cara-cara yang baru dan segar dalam kemasan yang attraktif karena bernilai tambah lebih baik atau nilai jual lebih kompetitif sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan di setiap setting sosialnya.


Kali ini, saya sedang melakukan penggabungan teori dengan praksis untuk membangun ulang kesadaran, kecerdasan, keberakalan, dan keberpikiran secara jernih, terukur, dan bisa dibuktikan yang sering disebut dengan kecendekiawanan yang tinggi berdasarkan ilmu pengetahuan, spiritual, dan sosial Kristen. Selama ini, kita hanya sering diajar-ajari atau diindoktrinasi hal-hal yang benar saja, (meskipun belum tentu benar). Bisa saja hal itu dianggap benar karena tidak ada yang mengatakan itu salah, atau kita belum pernah mengupayakan untuk membuktikan itu salah, atau benar. Pertanyaan filosofisnya adalah: “Bagaimana kita tahu, ini dan itulah benar, jika ternyata kita tidak pernah diajarkan dan mengajarkan (bukan melakukan) siapa, apa, mengapa, dan bagaimana yang salah? 
Pertanyaan ini, menggundang kita untuk menggunakan logika untuk menganalisisnya. Dan pernyataan atau pertanyaan seperti inilah yang mestinya kita “mainkan” dalam level pendidikan tinggi tehologi Kristen. Tujuannya untuk menghasilkan Kristen cendekiawan yang intelektual dan intelektual yang Kristen cendekiawan, agamawan yang ilmuwan, dan ilmuwan yang agamawan yang berpikir secara kreatif dan kritis atau kreatif secara kritis dalam makna positif dan kontributif bagi manusia entah siapa dia.

Buku ini merupakan salah satu bentuk kongkrit sebagai upaya akademik untuk melakukan “re-konstruksi” sejumlah instrumen dalam berbagai tingkat kesarjanaan pikiran Kristen untuk menghasilkan dan membangun “Gerakan Kebangkitan Intelektual Kristen di Indonesia”. Artinya, ini masih tetap dalam bingkai “revivalis dan pembaharuan nilai-nilai spiritual Kristen” yang masih ada dengungnya dan masih penting hingga detik ini, tetapi dalam wujud dan lewat jalan atau lembaga akademik yang lain. 


Hal yang tidak terpungkiri, segala bentuk dan manifestasi kebangkitan dan pembaharauan di dalam diri, sistem sosial dan institusi Kristen, selalu mensyaratkan rekonstruksi kesadaran menjadi Kristen, yang dibangun lewat Firman Tuhan yang ternarasikan di dalam Alkitab, dan seluruh ajaran Kristen. Jika kita setuju dengan hal itu, maka hal mendasar yang mestinya dilakukan adalah membongkar atau mendekonstruksi kembali, dalam artian kritisi positif, konstruktif dan kontributif, segala bentuk doktrin, tradisi dan warisan Kristen secara lisan atau tertulis itu sendiri terlebih dahulu agar diketahui secara pasti apa sesungguhnya yang telah, sedang, dan yang akan terjadi dari hal-hal yang sering sudah terlanjur dianggap “sakral atau keramat” itu.


Padahal, itu hanya kebiasaan yang sering karena penjagaan ortodoksi yang “dibikin-bikin” sendiri lewat cara indoktrinasi dan berujung pada indoktrinasi kembali pula. Hal seperti inilah yang sering pula tidak disadarai atau tidak tersengaja, atau mungkin saja disengaja secara sistematis. Setelah memahami dengan benar tentang segala sesuatu di dalamnya dan faktor situasi, sosial, politik dan kepentingan di dalamnya kala itu semua dibuat, maka penting dikaji dan dibentuk kembali dengan cara yang lebih segar dan baru.
            

Cara ini penting dimiliki untuk membangun kesadaran diri baru sebagai Kristen, dan menghidupkannya kembali sesuai dengan spirit zamannya disini ini dan sekarang ini, sesuai dengan kebutuhan dan setting sosial dan masalahnya. Hal yang tidak boleh dinegasikan terkait dengan keilmuan Kristen, ternyata masih pada taraf rekonstruksi ilmu-ilmu Kristen, sesuai dengan spirit zaman. Ini terjadi karena memang sesuai dengan tuntutan hari ini saja.
                 

Saya sebagai intelektual Kristen merasa bertanggung jawab secara sosial kepada Tuhan, komunitas masyarakat beragama dan komunitas intelektual Kristen, dan keilmuan Kristen itu sendiri untuk mengkonstruksi ilmu-ilmu kristen, setidaknya agar kita tidak lagi inferior ketika disandingkan dengan keilmuan lainnya dan komunitas masyarakat beragama dan berilmu lainnya. Bagi saya, kali ini hanya bersifat temporer, jika tidak malahan masih bersifat emergensi, yang kita inginkan sebenarnya belum tiba, yakni “Gerakan Intelektual Kristen di Indonesia” dalam berbagai dimensi yang massiv dan eksplosif. Kita para pekerja spiritual, intelektual, dan sosial sedang ditunggu untuk itu. Tentulah penciptaan literatur merupakan salah satu andil yang tidak lagi kecil nilainya untuk merenggut tujuan yang lebih besar itu.

                
Jika sudah demikian, maka  formasi logika atau struktur berpikirnya harus “dibetulkan ulang” terlebih dahulu. Inilah alasan akademiknya materi kajian yang termuat dalam buku ini penting diakumulasi dan dikuasai menjadi separangkat alat berpikir, berilmu, dan bertindak untuk terlibat proaktif dan partisiaktif dalam megaproyek “Gerakan Kebangkitan Intelektual Kristen di Indonesia”. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan langsung, saya melihat bahwa  sekolah tinggi teologi atau pendidikan tinggi keagamaan Kristen dalam ragam level kesarjanaannya akan sangat hakiki sifat dan posisinya untuk diposisikan dan difungsikan dalam proyek  spritual, intelektual dan sosial ini. 


B. Struktur Buku

Ada 7 bagian struktur berpikir yang saya buat sendiri ketika menulis buku ini. Bagian 1, yakni pendahuluan. Saya memposisikannya sebagai peta intelektual dari seluruh isi buku ini. Dengan memahami bagian ini, maka akan mudah tergambar jalan intelektual yang akan ditempuh, dan apa saja gambaran ringkas soal masalah yang terjadi dalam logika dan realitas keilmuan Kristen.


Bagian 2, yakni soal logika. Saya menjelaskan konstruksi logika sebagai alat atau cara berpikir dan bernalar, sekaligus saya menempatkannya sebagai ilmu pengetahuan yang dilihat dari ragam dimensinya. Dengan belajar bagian ini, maka kita akan memiliki struktur berpikir, berilmu dan beriman.


Di bagian 3 yakni bahasa dan kontribusinya. Saya menjelaskan bagaimana posisi sentral bahasa dalam memainkan argumen, baik secara verbal maupun secara tertulis. Lewat bahasalah  logika berpikir akan dapat diukur konsistensi, kontinuitas, kejelasan, kepadatan, memecahkan masalah, mengkonstruksi proposisi, argumen dan mengembangkannya.


Bagian 4, yakni proposisi. Disini saya sedang melakukan pembetulan proses pembentukan kata, term, kalimat, bahasa yang sangat vital dalam berlogika. Dengan mempelajari ini, maka akan  betul dan tepatlah cara kita mengekpresikan hasil proses penalaran kita didalam akal budi kita.
Di bagian 5, yakni keputusan, penalaran, dan penyimpulan. Disini saya sedang menjelaskan bagaimana sebenarnya proses keputusan, penalaran dan cara kita membuat kesimpulan dalam berlogik dan berargumentasi. Dengan mempelajari ini, maka kita akan sangat terbantu untuk membuat dan memilih kalimat-kalimat yang argumentatif dan empiris karena telah melewati proses penyimpulan yang benar.

Bagian 6, yakni salah atau sesat pikir. Di bagian ini saya lebih banyak menjelaskan apa itu salah dan sesat pikir, bagaimana itu terjadi dan klasifikasinya. Dengan mempelajari ini, akan sangat membantu kita untuk mengkritisi secara kreatif-kritis dan kritis kreatif terhadap semua praktek indoktrinasi yang sering kali tidak disadari itulah yang terjadi. Ini mendesak dipelajari untuk membantu kita tidak mudah begitu saja percaya dengan apa yang kita, lihat, terima, dan jumpai dalam kehidupan keilmuan dan keimanan.


Dibagian paling akhir dari buku ini, saya inventarisir sejumlah literatur berbahasa Inggris yang saya baca dan pekerjakan untuk  membantu saya merumuskan apa yang saya inginkan dalam hal cara berlogika yang sedang saya usung lewat buku ini. Sejumlah buku ini bisa dipakai oleh siapa saja untuk dipeiksa dan ditelusuri lebih lanjut untuk membantunya dalam rangka menuliskan atau meciptakan bukunya sendiri.


Itulah poin yang lebih penting dari sekedar diskusi berapi-api, bantah-membantah yang sengit, debat-mendebat yang membara. Meskipun itu semua ada gunanya, tetapi jika hanya puas dan berkeringat disitu saja karena dorongan emosional dan dengan terpacunya adrenalin, maka itu semua tidak akan bisa menghasilkan sesuatu yang kongkrit dalam bentuk karya ilmiah literatur sendiri.


Penting untuk diketahui, bahwa setiap sub-poin akhir dalam setiap bagian buku ini saya selalu membuat poin khusus hubungan antara materi yang dikaji dengan keilmuan Kristen. Ini hanya sebagai cara cerdas akademik dari saya saja untuk sanggup mengkorelasikan dan memposisikan logika ini sebagai kata kerja yang bisa bekerja secara kongkrit dan kontributif. Tujuan saya kait-mengkaitkannya hanya dalam rangka mengkampanyekan penggunaan cara berpikir untuk membantu gerakan kebangkitan intelektual Kristen di Indonesia.


Saya tidak lagi mau, jika logika itu hanya diposisikan dalam bentuk kata benda, yang hanya berupa penjelasan-penjelasan deskriptif atau ekspositoris saja. Jika hanya itu saja, kita hanya konsumer ilmu saja, yang tidak bisa dijadikan sebagai alat kerja intelektual yang operasional. Kini masanya Intelektual Kristen sebagai produser, selamat tinggal mentalitas konsumer, tukang stempel dan tukang stiker keilmuan.


C. Siapa Pembaca Buku Ini?           

Buku ini dikhususkan untuk mahasiswa sekolah tinggi teologi atau pendidikan keagamaan Kristen, khususnya program studi teologi atau PAK, yang ingin mengkonstruksi logika berilmunya di level sarjana S1-S3, tanpa menegasikan khalayak umum lainnya. Buku ini memang cocok bagi mereka yang sadar diri, sadar iman, dan sadar Tuhan itu ada dan penting bagi hidupnya dan orang lain disekitarnya, sehinga ingin mengkritisi dirinya sendiri sebagai Kristen. Kesadaran ini saya harapkan menghasilkan niat atau minat dan tindakan untuk menciptakan cara-cara dan model-model atau multi-pendekatan baru berpikir dan beriman, berilmu dan berteologi secara praksis dalam lingkup akademik dan kesehariannya.


Saya mengharapkan teori dan aksi nilai dan prakteknya menjadi setara. Keduanya haruslah dilakukan dengan cara yang berbeda dan kreatif-kritis atau kritis-kreatif yang belum pernah dirasakan dengan sensasi dan rasa sebelumnya. Dengan memahami hal-hal ini, maka pembaca akan tahu, bahwa memang buku ini ditulis untuk kebutuhan itu, dan bagi pembaca yang sedang mencari-cari buku teks teoritis dan sosio-praksis mata kuliah Logika, anda akan menjumpai disini.


D. Pengakuan        

Buku ini merupakan buku sumber belajar yang saya tulis sendiri menjadi referensi utama bagi mahasiswa di kelas mata kuliah “Logika” sekolah tinggi teologi atau agama Kristen, dimana saya sebagai dosen pengampunya.  Gaya menuturkan, pilihan cara mengekspresikan, pilihan kata-kata yang tidak biasa sengaja saya lakukan disini, sebagai cara “marketing diri dan ilmu” yang sengaja saya pilih untuk “menjebak” atau mengattraksi, sehingga menaikkan tensi kreatif pembacanya, dan mempersuasinya untuk memikirkannya dari sisi yang lain, sehingga pembacanya terlibat secara emosional dan intelektual, lalu ia menulis bukunya sendiri.


Saya mengakui, untuk menulis buku ini saya mengkonsumsi literatur yang terkait dengan filsafat umum dan ilmu logika umum dari bahasa Inggris. Sejumlah literatur tersebut saya kritisi dan rekonstruksi sendiri menjadi pemahaman untuk menciptakan buku logika Kristen, yang memang sedikit bilangannya, khususnya terkait dengan persoalan logika. Artinya referensinya, lebih banyak saya acu secara langsung dari sumber pertama, dan penulis orang pertama, demi mengejar kualitasnya.


Jika mau dirunut kebelakang, sejujur dan sebenarnya kaitannya dengan ide dibalik buku ini, saya sebenarnya hanya karena “tersetrum” sehingga terinduksi dan menjadi sadar diri oleh hasil dari cara berpikir dan pemikiran Intelektual Muslim, Muhammad Abed al-Jabiri. Ia menulis buku yang terkait langsung dengan formasi nalar Arab[1].


Ia yang karena kecintaaannya pada Tuhannya, perdaban dunia Arab dan bangsanya Maroko, dengan sudut pandang kritisnya terhadap segala bentuk tradisi Arab dan Islam menuju pembebasan yang sebelumnya terpenjara dengan ortodoksi, wewenang, otoritas, kekuasaan, politikisasi yang melingkari sejak  awal hingga kini. Disini, saya tidak sedang menjadi pengagum atau pengikut al-Jabiri, tetapi kelebihan orang lain, sangat bijak jika dipekerjakan untuk mengatasi kekurangan lain yang saya miliki.


Kali ini, bagi saya lebih fokus pada kreatifitas-kritis atau kritis-kreatifnya dalam cara berpikir dan berilmu itu sangat mulia, jika dilihat dari niat dan tujuannya. Itulah yang unik dan kontributif untuk bisa saya pekerjakan dalam buku ini, tanpa lagi sibuk memperkarakan “siapa Tuhannya atau Allahnya” atau kebenaranNya dan kesalahanNya. Soal itu, hanya IA yang bisa menjawabnya. Itupun mungkin terjadi ketika kita berjumpa denganNya, sayangnya itu hanya akan terjadi di masa nanti.


Al-Jabiri bertindak karena sadar panggilanNya, sesuai dengan “kapasitasnya.” Ia menggunakan “talentanya” untuk mengkritisi formasi nalar Arab yang ternyata sangat berdampak pada gaya hidup dan orientasi teologis, intelektulis, dan tindakan hidup keseharian bangsa dan dunia mereka, yang sudah terlanjur dianggap Islami.


Padahal, jika semakin dikritisi, ternyata lebih banyak hanya sebagai budaya, kebiasan, dan adat-istiadat lokal Arab dan suku yang mengitarinya saja, yang sering tidak ada sama sekalii hubungannya dengan agama. Parahnya, semua keterlanjuran itu menjadi cara pandang mereka terhadap diri sendiri dan “orang lian”. Kaitannya dengan Kristen, hanya berbeda lokasi, identitas teologis, dan ekspresi atau selebrasi keAgamaan atau keTuhanannya, tetapi komplikasi persoalan dan impaknya dalam segala bidangnya tidak ada bedanya. Yang berbeda cuman terminologi atau bahasa-bahasa dan para penggunanya saja.


Sejak periode awal sejarah Islam, pemikiran Arab telah didominasi oleh penghormatan atau penjagaan tradisi dan analisis tekstual. Dalam karya yang kreatif-kritsi-inovatif, filsuf dunia Arab kontemporer Mohammed Abed Al-Jabiri berusaha untuk memetakan rute menuju modernitas melalui proposisi bahwa menghormati textualism dan tradisi tidak bertentangan dengan logika atau rasionalisme. Baik sejarah dan filsafat adalah kunci untuk evolusi sistem pengetahuan dan cara penalaran dalam budaya Arab.



Terlepas dari apa yang ada dibalik pemikirannya, dan reaksi terhadapnya, pemikirannya telah menjadi pengaruh besar dalam dunia Arab pada Islam dan wacana modernitas. Semangat inilah yang ingin saya hidupkan disini dan bertujuan untuk memberikan wawasan yang menarik ke dalam arus pemikiran Kristen kontemporer. Tetapi saya tidak sedang mengatakan agama atau Tuhan bisa diterima ketika itu rasional. Tetapi sama dengan maksud dari Roger Trigg harus ada rasionalitas dalam agama[2]. Saya ingin menegaskannya, yang saya maksudkan adalah cara, ekspersi dan selebrasi kita beragama atau berTuhan dan berilmu harus dengan cara yang rasional, dalam arti bisa dijelaskan dan diterima akal sehat dan oleh orang yang sehat.


E. DAFTAR ISI

Bagian 1: PENDAHULUAN 
A.     Apa yang Didiskusikan Disini, Mengapa?
B.     Struktur Buku
C.     Siapa Pembaca Buku Ini?
D.     Pengakuan
E.     Ucapan Terima Kasih 

Bagian 2: LOGIKA 
           A.     Berikan Perhatianmu!
B.     Historisitas Logika
C.      Definisi Logika
D.     Cara Memposisikan Logika
E.      Pentingnya Belajar Logika
F.      Hubungan Logika dengan Keilmuan Kristen

Bagian 3: BAHASA DAN KONTRIBUSINYA 
           A.    Berikan Perhatianmu!
B.    Ciri Khas Bahasa secara Generik
C.     Hubungan Bahasa-Logika dengan Keilmuan Kristen

Bagian 4: PROPOSISI
A.    Berikan Perhatianmu!
B.    Definisi Proposisi
C.    Proposisi Kategoris
D.    Proposisi Hipotesis
E.     Hubungan Proposisi dengan Keilmuan Kristen   

Bagian 5: KEPUTUSAN, PENALARAN, DAN PENYIMPULAN
A.    Berikan Perhatianmu!
B.    Penalaran
C.    Penyimpulan
D.    Hubungan Keputusan, Penalaran, dan Penyimpulan dengan Keilmuan Kristen

Bagian 6: SALAH ATAU SESAT BERPIKIR
A.   Berikan Perhatianmu!
B.   Defenisi Salah atau Sesat Berpikir
C.   Sejumlah Alasan Penyebab dan Akibat Salah atau Sesat Berpikir
D.   Salah atau Sesat Berpikir Formal
E.    Salah atau Sesat Berpikir Informal
F.    Hubungan Salah atau Sesat Berpikir dengan Keilmuan Kristen

Bagian 7: DAFTAR PUSTAKA


F. Legalitas dan Identitas Buku:

Penulis    : “Bang” Elia Tambunan, S.Th., M.Pd.

Judul       : Mempekerjakan Logika: Merekonstruksi Cara Berpikir Menuju Kebangkitan  Intelektual Kristen

ISBN      :  978-602-99935-6-1 (Resmi di Katalog Dalam Terbitan Perpustakaan Nasional R.I-Jakarta)

Penerbit   : illumiNation, Yogyakarta
Tahun      : Desember, 2011
Harga      : Rp. 30.000., (tambah ongkos kirim)
Kategori  : Logika, Pendidikan Agama dan Teologi Kristen





[1]Mohammad Abed al-Jabri, The Formation of Arab Reason: Text, Tradition and the Construction of  Modernity in the Arab World (London: I.B.Tauris & Co. Ltd., 2011), h. 31. 

[2]Roger Trigg, Rationality and Religion (Malden, Massachusetts: Blackwell Publishers, 1998), h. 1-7.

Sunday, November 20, 2011

Ada yang Salah dengan Pendidikan Kristen!

            Memang ada yang salah dengan Pendidikan Kristen. Telah terjadi malpraktek pendidikan dan mal-teori dan mal-sosio-prakssi pengelolaan pendidikan keagamaan Kristen, sejak tingkat dasar hingga pendidikan tingginya”. Untuk mendukung tesis diatas, saya memberikan argumentasinya lewat pendekatan realitas historisitasnya. Data dan realitas faktualnya berkata jujur soal ini. Kita baru bisa & terbiasa berkutat di engselnya. Sejumlah 223 pendidikan tinggi teologi atau agama Kristen yang telah lolos pun[1], baru hanya 8 yang diakreditasi BAN-Badan Akreditasi Nasional[2]. Sisanya baru hanya sekedar mendapatkan izin operasional. Belum sampai pada akreditasi dengan status A, B, C, atau kategori apalah namanya. Dari sebanyak 223 itupun tampaknya ada-ada saja “trik dan intrik” tertentu di dalamnya agar diloloskan.
            Dari jumlah itu kelihatannya banyak, tetapi sangat sedikit jika dilihat dari total seluruh di Indonesia. Memang, saya tidak memiliki data secara akurat berapa sebenarnya total sekolah tinggi teologi dan agama di Indonesia, mulai dari kelas kambing, hingga kelas super eksekutif. Tetapi pastilah lebih banyak dari situ. Di provinsi D.I. Yogyakarta, yang saya ketahui saja ada 14. Jika saja ditotal dari 33 provinsi di Indonesia dan di daerah kantong-kantong Kristen mungkin totalnya bisa 5-10 kali dari sejumlah 223 itu. Yang menyedihkan, dari total 223 itu, malahan program studi PAK-Pendidikan Agama Kristen sebagai wilayah keilmuan pendidikan, yang paling banyak belum layak beroperasi karena belum memilik izin operasional.
            Kontras dengan semakin melangitnya kemajuan dan semakin termodernisasikannnya PTAI-Pendidikan Tinggi Agama Islam di Indoneia. Setiap hari saya melihat makin menggoliatnya PTAI yang mereka miliki. Kini pendidikan keagamaan Islam di Indonesia, IAIN, STAIN, UIN Islam sedang menuju “World Class University". Jika ditilisik masuk ke kamar Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen, jangankan ke Kelas Universitas Dunia, soal izin operasional saja banyak yang tidak lulus, atau jikapun lulus “itu hanya karena diloloskan saja.” Akibatnya kita lebih banyak berorientasi kebijakan pendidikan, dan mengejar mimpi pencitraan dan status internasional, standarisasi dan akreditasi, rangking, peringkat dan urutan statistik. Kita lebih banyak memberikan atensi dengan segala cara yang sebenarnya, terkesan pada semangat “asal lolos akreditasi”. Kesan asal ini tentu tidak bisa dihindarkan, tetapi tentulah ada skala prioritas yang ingin digapai disana.          
            Terlepas dari sisi mana kita menelisiknya, saya masih sanggup memposisikannya secara realistis dan positif. Bukan berarti saya buta terhadap ketimpangan dan polemik, hegemonik dan efuforianiknya. Ada skala prioritas, dan mekanisme “survival insting” yang sedang kita mainkan disana, demi eksistensi Komunitas masyarakat beragam Kristen dan institusi pendidikannya. Semuanya itu baik asalkan dengan argumentasi dan pertanggungjawaban akademik obyektif agar tidak terjadi “skandal atau tragedi yang bisa saja dicatat miring oleh orang lain.”
            Kristen dan pendidikannya diduga telah hadir ribuan tahun lalu. Kristen telah lama mengalami “encounter atau perjumpaan” demikian istilah dari Jan S. Aritonang (2004),[3] Kristen Nestorian dari Khaldea-Syria dan Persia telah ada di pantai Barat Sumatera Utara, sejak abad ke-7 Masehi di Indonesia. Bahkan, abad ke 12 Masehi, bangsa Portugis, Spanyol, Zending German dan pemerintah Hindia Belanda kala itu malahan telah mendirikan dan mereka membantu pendidikan Kristen di Indonesia kala itu, bahkan hingga kini.
            Jika semakin disingkapkan dari paparan historis  Robert R. Boehlke (2009)[4] kita tidak boleh melupakan begitu saja peristiwa bersejarah di kala serdadu, pedagang dan imam Portugis tiba di pulau Ternate tahun 1538, mereka telah mendirikan sekolah di pantai Ternate. Pada bulan April 1868 di tanah Batak telah ada Sekolah Kateket Parausorat” oleh RMG lembaga Zending dari Bremen German dalam wadah “Batak Mission. Mereka telah mendirikan sekolah pendidikan tenaga edukasi khususnya sekolah guru dan pengerja gereja pribumi[5]. Tahun 1821 Joseph Kam dan kemudian Roskott pada tahun 1835-1864, telah menyelenggarakan pendidikan dan persekolahan guru Injil di Ambon[6].
            Data lain dari B. F. Drewes & Julianus Mojau[7], pada tahun 1885 di Ambon dan di Tomohon tahun 1886 telah didirikan wadah pendidikan teologi formal. Bahkan, Th. Van den End & J. Weitjens, S.J[8] berkata, pendidikan klasikal persekolahan juga telah diselenggarakan di Minahasa-Sonder tahun 1851 oleh N. Graaflaand Ibrahim Tunggal Wulung atau kyai Sadrackh khusunya di Jawa Tengah. Pong Lengko di Toraja, Filipus di Mansinam, Irian-Papua abad ke-19an. Artinya, Kristen dan pendidikannya telah ribuan tahun eksis di Indonesia, bahkan lebih uzur atau lebih tua dari Islam dan pendidikannya itu sendiri di Indonesia.
            Data ini menunjukkan Kristen terbilang lebih awal dibanding masuknya Islam ke Indonesia. Menurut Musyrifah Sunanto (Guru Besar Sejarah peradaban Islam Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007),[9] berdasarkan beberapa keterangan dari Snouck Hurgronje dikutip oleh Kusnanto, Islam tiba di Indonesia abad ke-13, oleh Buya Hamka yang dikutip oleh A. Hasymy (Bandung, 1981)[10] yakni abad-7M dan 8M. Menurut Taufik Abdullah (Jakarta, 1991)[11] mengakui memang abad ke-7M atau 8M,  tetapi baru dianut oleh saudagar Timur Tengah yang banyak di pelabuhan, namun secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan olitik pada abad ke-13M. Tetapi tampaknya yang lebih mendekati memang setelah abad ke7M yakni seputar pertengahan abad ke-8M. Dengan logika pertimbangan Islam pada abad ke-7 masih dalam tahap formulasi dan formalisasi di Madinah oleh Muhammad dan pengikutnya.
            Hal yang menguatkan misalnya Josef van Ess (New York, 1986)[12] menyatakan bukti pertama penyebaran Islam ke Indonesia dan China sekitar tahun 850M. Meskipun demikian, Kusnanto menyatakan penyebarannya pada abad ke-14 sampai ke-15, hal yang sama juga dikatakan Rafiq Zakaria (Maharashtra College, Bombay, 1989)[13], bahwa Islam datang ke Indonesia adab ke-14 yang dibawa oleh para sufi dan pedagang dari Arabia dan India. Namun, semakin mulai mapan, maksudnya mengalami formulasi kebangkitan Islam secara nasional, dan mulai kongkrit hingga abad ke-19, bersamaan dengan mapan dan makin hegemoniknya kekuasaan kolonialisasi Belanda di Indonesia. Kebangkitan tersebut sebenarnya, hampir bersamaan artinya satu semangat dan satu tujuan mesti terkadang tetap saja ada fiksi dan faksi yang berbeda, dengan Kristen untuk melawan kolonialisasi dan cita-cita membentuk nation state, negara-bangsa Indonesia untuk merdeka.   
            Data itu bisa menguatkan memang Kristen di Indonesia lebih awal dari Islam. Meskipun soal kehadiran Kristen di Indonesia seperti keterangan dari Aritonang di atas, memang oleh Th. van den End (Jakarta, 2009)[14] “seolah” membantah data tersebut dengan mengatakan, kedatangan orang-orang Kristen Nestorian ke Indonesia tidak ada kepastian, apalagi tentang jemaat-jemaat yang mungkin mereka dirikan. Ia memastikan bahwa hanya karena alasan tidak ada garis terus-menerus atau kontinuitas yang menurunkan atau mewariskan antara mereka dengan kekristean di Indonesia masa kini. Hal ini tetap masih bisa kita kritisi dengan argumentasi  dari Van den End sendiri.
            Saya memberikan argumentasi pertama. End mungkin kurang teliti dengan apa yang dinyatakan di halaman 9 sebelumnya. Malahan bisa dikatakan, tanpa disadari ia sedang menyatakan, bahwa Kekristenan bisa lebih awal dari abad ke 7 M, seperti yang dijelaskan Jan S. Aritonang sebelumnya. Mengapa demikian, Th. Van den End[15] sendiri menyatakan bahwa pada abad-abad pertama sesudah (berarti lebih awal dari abad ke 7 M pedagang-pedagang Kristen dari Mesir (yang dalam sejarah umum itu desebut Kristen Nestorian seperti penjelasan Jan S. Aritonang tersebut), dan Persia telah menetap di Arabia Tenggara, di India barat dan Selatan dan Srilangka. End sendiri menyatakan, “Bukan tidak mungkin bahwa dari sana pedagang-pedagang Kristen datang ke Indonesia juga.” Malahan ia semakin memfaktakan, bahwa dalam suatu buku yang ditulis di Mesir sekitar tahun 1050 M, ada penyebutan dan pengakuan data mengenai gereja-gereja serta biara-biara Kristen di Asia pada Zaman itu. Dijelaskan dalam buku yang End sebutkan itu, bahwa di “Fansur” ada beberapa gedung gereja, meskipun ia katakan “mungkin” Fansur itu adalah Barus di pantai Barat Sumetera Utara. Mungkin juga ada  orang-orang Kristen di Jawa.
            Lalu, yang relatif masih baru, kedatangan Elmer G. Homrighausen[16] dalam Konferensi Pendidikan Agama Kristen di 20 Mei-10 Juni 1955 pernah dicatat sebagai titik nol penanggalan pendidikan agama Kristen modern di Indonesia. Efek sosial konferensi nasional yang menomental itu, pernah dianggap telah mampu mengubah makna teori, yaitu pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen di Indonesia. Robert R. Boehlke[17] menjelaskan ada “new perspectives for Christian education” di Indonesia kala itu.  Kedatangan Elmer G. Homrighausen itu, mampu mengubah makna teori, yaitu pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen di Indonesia. Bahkan ia menjelaskan inilah titik nol sebagai awal pentanggalan pendidikan agama Kristen modern di Indonesia. Bahkan efek samping dari ramuan ilmu kependidikan agama Kristen Homrighausen menyanggupkan keterlibatan teologi dan telogi kaum awam di Indonesia yang seblumnya dianggap terpisah dan diposisikan sebatas pinggiran dan pekerjaan waktu luang saja.
            Itulah data dan fakta historis dan narasi kehebatan, kejayaan dan kedigdayaan ilmu teologi dan ilmu pendikan keagama Kristen. Intinya, dimana ada Kristen, disana ada Tuhan, disana ada teologi, disana ada agama, dan disana ada proses edukasi menjadi eduaksi. Artinya, memang benar telah ada ilmu teologi dan proses kependidikan Kristen. djuga tindakan dan upaya akademik koorporatisme oleh masyarakat yang sistematis untuk mendidik dan mengajar tenaga pendidik Kristen, tetapai sayangnya memang lebih didominasi dengan pendekatan teologis melulu.
            Terakhir, jika dihitung sejak tanggal 3 Januari 1946 pada saat didirikan Departemen Agama, termasuk Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen, maka jika dikalkulasikan sampai tahun 2011 ini, kita telah 65 tahun diakui dan ditetapkan telah memiliki institusi pendidikan keagamaan Kristen modern. Artinya, kita sudah sebanyak tahun itu telah dipamongi, diasah asih dan asuh dalam payung pendidikan kegamaan Kristen secara modern. Jika dilihat dari salah satu tupoksinya-tugas pokok dan fungsinya Direktorat Jendral PAK adalah mengotoritasi Pendidikan Keagamaan Kristen. Tetapi hingga hari ini, mengapa kita wajib atau harus melewati “Ujian Penjaminanan Mutu” (bukan sertifikasi guru dan dosen dan juga bukan akreditasi BAN-PT) bagi lulusan S1, S2, dan S3. Kelihatannya biar lebih keren namanya telah ditahbiskan demikian, ketimbang yang dahulunya disebut Ujian Negara itu yang seolah-olah kurang abdol karena harus diuji lagi oleh negara. Padahal muatan proses, isi dan mekanisme kerjanya sama.
            Padahal lulusan S1, S2, S3 IAIN, STAIN, UIN dari pendidikan tingga agama dan keagamaan Islam swasta yang dimiliki perorangan atau amal usaha perserikatan tidak lagi melakukan itu sudah sejak lama. Hal itu tersingkap menurut hasil wawancara yang saya lakukan dengan dosen-dosen Doktor dan Professor dan guru besar pendidikan Islam yang mengajar saya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya percaya dengan mereka karena sebahagian besar mereka Pejabat Struktural di DEPDIKNAS dan DEPAG Islam. Hal itu juga saya konfirmasikan kepada 34 orang teman lain yang satu angkatan kuliah bersama disana. Saya juga percaya dengan peryataan mereka karena umumnya adalah sebagai tenaga fungsional dan struktural sebagai dosen di PTAI-Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri dan Swasta di daerah di Indonesia.
            Apa alasan akademik lain yang bisa dibeberkan disini untuk menjawab keharusan ikut dalam regulasi ujian penjaminan mutu itu. Apa memang lulusannya tidak bermutu? Lalu, kalau dianggap tidak bermutu, mempa diberikan Izin Operasional kepada lembanganya. Kalaupun hanya ingin menjadi PNS-Pegawai Negeri Sipil, semakin idak masuk logika akademik. Mengapa karena yang mengajukan formasi pembukaan lowongan PNS dilingkungan DEPAG Kristen ke DEPDIKNAS dan Menteri Pemberdayaan Aparutur Negara adalah mereka juga. Artinya yang membuka, menyediakan formasi lowongan PNS adalah lingkungan DEPAG Kristen sendiri. Yang mengangkat dan menetapkan yang diterima PNS itu adalah mereka juga. Ada hal-hal yang masih perlu jelas disini dan mengapa lagi harus seperti itu?
            Tetapi, pertanyaan ini sekaligus sebagai tindakan persuasi kita semua untuk semakin sungguh-sungguh melakukan percepatan dan ekspansi besar-besaran untuk mempertemukan keinginan dari departemen agama itu agar kita benar-benar “accreditable.” Dan melakukan penguatan ikatan asosiatif dan koorporatisme politik pendidikan komunitas masyarakat Kristen. Mengapa harus mengikut-ikutkan politik? Terima atau tidak terima, sadar atau tidak sudah merupakan sesuatu hal yang “lumrah” atau hal yang terbiasa dan memang harus membiasakan diri dan mental karena sudah seharusnya demikian.
            Dalam sistem bernegara modern, pengelolaan pendidikan tetaplah terkoneksi dan terintegrasi dengan politik, tetapi bukan politisasi dan politikisasi. Terlepas dari kita masing-masing memandang dan memposisikannya, itu menjadi suatu pilihan keharusan dalam sistem pengelolaan dan sosio-praksis pendidikan di Indonesia. Kita melakukannya, tanpa lupa melakukan sesuatu yang bermakna untuk “menutupi-menutupi” celah-celah kekurangan ini, sembari terus mempertanyakan dan mengkritisinya. Tetapi secara bersamaan kita juga wajib ikut bertanggung jawab bersama-sama untuk mengatasi persoalan ini.
            Dengan mengekploitasi data dan fakta historis di atas, makanya tidak berlebih-lebihan atau tidaklah ahistoris jika saya nyatakan, “memang ada yang salah dengan proses edukasi keagamaan Kristen. Telah terjadi malpraktek pendidikan dan mal-teori dan mal-praktik pengelolaan pendidikan keagamaan Kristen”. Untuk membantu persoalan itu berarti tindakan dan tanggung jawab sosial Kristen bisa dimainkan sebagai kebijakan nasional dalam pendidikan keagamaannya untuk pengembangan pendidikan dan masyarakat di Indonesia. Untuk itu, memang peran para pembuat, pelaku kebijakan dalam pengembangan pendidikan Kristen, juga masih sangat penting meski bukan lagi berporos tunggal dan bukan lagi berpusat kepada mereka, karena porsi partisipasi tindakan dan tanggung jawabnya juga menjadi dilibatkan atau dilimpahkan ke masyaraka Kristen itu sendiri.


                [1]http://dbk.evaluasi.net/index.php?specProf=0&origin=main&printPage=1&sort=code., diakses tanggal 15 Juni 2011, pukul 10:57:29.
                [2]Johannis Siahaya Ketua STT Nazarene Indonesia, Yogyakarta, Hasil diskusi terbaru soal akreditasi sekolah tinggi teologi dan agama di Indonesia, ketika rapat konsolodasi dan penandatanganan kontrak kerja sebagai dosen Prodi PAK di STTNI itu, Yogyakarta, Kamis, 14 Juli 2011, pukul 10.45 wib.
                [3]Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, cet.ke-2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 6,13.
                [4]Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius hingga Perkembangan PAK di Indonesia, cet.ke-2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 767.
                [5]Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), h. 179-89.
                [6]Drewes, B.F. & Julianus Mojau, Apa itu Teologi?: Pengantar ke Dalam Ilmu Teologi, cet.ke-5 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h.74-75.
                [7]Ibid., Drewes, B.F. & Julianus Mojau, Apa, h. 74.
                [8]Th. Van den End & J. Weitjens, S.J, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an hingga Sekarang, cet.ke-8 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 367-80.
                [9]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 7-17.
                [10]A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al Maarif, 1981), h. 358.
                [11]Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991), h. 39.
                [12]Josef van Ess, Muhammad and the Qur’an: Prophecy and Relevation, Josef van ess: Islamic Perspectives, 3-18 dalam Hans Kung, Josef van Ess, Heinrich von Stietencron & HeinzBechert, Christianity and the World religions: Paths of Dialogue with Islam, Hinduism, and Buddhism (New York: Doubleday & Company, Inc., 1986), h. 3.
                [13]Rafiq Zakaria, The Struggeling within Islam: The Conflict Between Religion and Politics, Bombay. India: Penguin Books, 1989), h. 248.
                [14]Th. Van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, cet.ke-14 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 9.
                [15]Ibid., Th. Van den End, Ragi Carita 1, h. 20.
                [16]Elmer G. Homrighausen, & I.H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, cet. ke-18, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004).
                [17]Ibid., Robert R. Boehlke, Sejarah, 2009, h. 767-820.