Sunday, November 20, 2011

Ada yang Salah dengan Pendidikan Kristen!

            Memang ada yang salah dengan Pendidikan Kristen. Telah terjadi malpraktek pendidikan dan mal-teori dan mal-sosio-prakssi pengelolaan pendidikan keagamaan Kristen, sejak tingkat dasar hingga pendidikan tingginya”. Untuk mendukung tesis diatas, saya memberikan argumentasinya lewat pendekatan realitas historisitasnya. Data dan realitas faktualnya berkata jujur soal ini. Kita baru bisa & terbiasa berkutat di engselnya. Sejumlah 223 pendidikan tinggi teologi atau agama Kristen yang telah lolos pun[1], baru hanya 8 yang diakreditasi BAN-Badan Akreditasi Nasional[2]. Sisanya baru hanya sekedar mendapatkan izin operasional. Belum sampai pada akreditasi dengan status A, B, C, atau kategori apalah namanya. Dari sebanyak 223 itupun tampaknya ada-ada saja “trik dan intrik” tertentu di dalamnya agar diloloskan.
            Dari jumlah itu kelihatannya banyak, tetapi sangat sedikit jika dilihat dari total seluruh di Indonesia. Memang, saya tidak memiliki data secara akurat berapa sebenarnya total sekolah tinggi teologi dan agama di Indonesia, mulai dari kelas kambing, hingga kelas super eksekutif. Tetapi pastilah lebih banyak dari situ. Di provinsi D.I. Yogyakarta, yang saya ketahui saja ada 14. Jika saja ditotal dari 33 provinsi di Indonesia dan di daerah kantong-kantong Kristen mungkin totalnya bisa 5-10 kali dari sejumlah 223 itu. Yang menyedihkan, dari total 223 itu, malahan program studi PAK-Pendidikan Agama Kristen sebagai wilayah keilmuan pendidikan, yang paling banyak belum layak beroperasi karena belum memilik izin operasional.
            Kontras dengan semakin melangitnya kemajuan dan semakin termodernisasikannnya PTAI-Pendidikan Tinggi Agama Islam di Indoneia. Setiap hari saya melihat makin menggoliatnya PTAI yang mereka miliki. Kini pendidikan keagamaan Islam di Indonesia, IAIN, STAIN, UIN Islam sedang menuju “World Class University". Jika ditilisik masuk ke kamar Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen, jangankan ke Kelas Universitas Dunia, soal izin operasional saja banyak yang tidak lulus, atau jikapun lulus “itu hanya karena diloloskan saja.” Akibatnya kita lebih banyak berorientasi kebijakan pendidikan, dan mengejar mimpi pencitraan dan status internasional, standarisasi dan akreditasi, rangking, peringkat dan urutan statistik. Kita lebih banyak memberikan atensi dengan segala cara yang sebenarnya, terkesan pada semangat “asal lolos akreditasi”. Kesan asal ini tentu tidak bisa dihindarkan, tetapi tentulah ada skala prioritas yang ingin digapai disana.          
            Terlepas dari sisi mana kita menelisiknya, saya masih sanggup memposisikannya secara realistis dan positif. Bukan berarti saya buta terhadap ketimpangan dan polemik, hegemonik dan efuforianiknya. Ada skala prioritas, dan mekanisme “survival insting” yang sedang kita mainkan disana, demi eksistensi Komunitas masyarakat beragam Kristen dan institusi pendidikannya. Semuanya itu baik asalkan dengan argumentasi dan pertanggungjawaban akademik obyektif agar tidak terjadi “skandal atau tragedi yang bisa saja dicatat miring oleh orang lain.”
            Kristen dan pendidikannya diduga telah hadir ribuan tahun lalu. Kristen telah lama mengalami “encounter atau perjumpaan” demikian istilah dari Jan S. Aritonang (2004),[3] Kristen Nestorian dari Khaldea-Syria dan Persia telah ada di pantai Barat Sumatera Utara, sejak abad ke-7 Masehi di Indonesia. Bahkan, abad ke 12 Masehi, bangsa Portugis, Spanyol, Zending German dan pemerintah Hindia Belanda kala itu malahan telah mendirikan dan mereka membantu pendidikan Kristen di Indonesia kala itu, bahkan hingga kini.
            Jika semakin disingkapkan dari paparan historis  Robert R. Boehlke (2009)[4] kita tidak boleh melupakan begitu saja peristiwa bersejarah di kala serdadu, pedagang dan imam Portugis tiba di pulau Ternate tahun 1538, mereka telah mendirikan sekolah di pantai Ternate. Pada bulan April 1868 di tanah Batak telah ada Sekolah Kateket Parausorat” oleh RMG lembaga Zending dari Bremen German dalam wadah “Batak Mission. Mereka telah mendirikan sekolah pendidikan tenaga edukasi khususnya sekolah guru dan pengerja gereja pribumi[5]. Tahun 1821 Joseph Kam dan kemudian Roskott pada tahun 1835-1864, telah menyelenggarakan pendidikan dan persekolahan guru Injil di Ambon[6].
            Data lain dari B. F. Drewes & Julianus Mojau[7], pada tahun 1885 di Ambon dan di Tomohon tahun 1886 telah didirikan wadah pendidikan teologi formal. Bahkan, Th. Van den End & J. Weitjens, S.J[8] berkata, pendidikan klasikal persekolahan juga telah diselenggarakan di Minahasa-Sonder tahun 1851 oleh N. Graaflaand Ibrahim Tunggal Wulung atau kyai Sadrackh khusunya di Jawa Tengah. Pong Lengko di Toraja, Filipus di Mansinam, Irian-Papua abad ke-19an. Artinya, Kristen dan pendidikannya telah ribuan tahun eksis di Indonesia, bahkan lebih uzur atau lebih tua dari Islam dan pendidikannya itu sendiri di Indonesia.
            Data ini menunjukkan Kristen terbilang lebih awal dibanding masuknya Islam ke Indonesia. Menurut Musyrifah Sunanto (Guru Besar Sejarah peradaban Islam Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007),[9] berdasarkan beberapa keterangan dari Snouck Hurgronje dikutip oleh Kusnanto, Islam tiba di Indonesia abad ke-13, oleh Buya Hamka yang dikutip oleh A. Hasymy (Bandung, 1981)[10] yakni abad-7M dan 8M. Menurut Taufik Abdullah (Jakarta, 1991)[11] mengakui memang abad ke-7M atau 8M,  tetapi baru dianut oleh saudagar Timur Tengah yang banyak di pelabuhan, namun secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan olitik pada abad ke-13M. Tetapi tampaknya yang lebih mendekati memang setelah abad ke7M yakni seputar pertengahan abad ke-8M. Dengan logika pertimbangan Islam pada abad ke-7 masih dalam tahap formulasi dan formalisasi di Madinah oleh Muhammad dan pengikutnya.
            Hal yang menguatkan misalnya Josef van Ess (New York, 1986)[12] menyatakan bukti pertama penyebaran Islam ke Indonesia dan China sekitar tahun 850M. Meskipun demikian, Kusnanto menyatakan penyebarannya pada abad ke-14 sampai ke-15, hal yang sama juga dikatakan Rafiq Zakaria (Maharashtra College, Bombay, 1989)[13], bahwa Islam datang ke Indonesia adab ke-14 yang dibawa oleh para sufi dan pedagang dari Arabia dan India. Namun, semakin mulai mapan, maksudnya mengalami formulasi kebangkitan Islam secara nasional, dan mulai kongkrit hingga abad ke-19, bersamaan dengan mapan dan makin hegemoniknya kekuasaan kolonialisasi Belanda di Indonesia. Kebangkitan tersebut sebenarnya, hampir bersamaan artinya satu semangat dan satu tujuan mesti terkadang tetap saja ada fiksi dan faksi yang berbeda, dengan Kristen untuk melawan kolonialisasi dan cita-cita membentuk nation state, negara-bangsa Indonesia untuk merdeka.   
            Data itu bisa menguatkan memang Kristen di Indonesia lebih awal dari Islam. Meskipun soal kehadiran Kristen di Indonesia seperti keterangan dari Aritonang di atas, memang oleh Th. van den End (Jakarta, 2009)[14] “seolah” membantah data tersebut dengan mengatakan, kedatangan orang-orang Kristen Nestorian ke Indonesia tidak ada kepastian, apalagi tentang jemaat-jemaat yang mungkin mereka dirikan. Ia memastikan bahwa hanya karena alasan tidak ada garis terus-menerus atau kontinuitas yang menurunkan atau mewariskan antara mereka dengan kekristean di Indonesia masa kini. Hal ini tetap masih bisa kita kritisi dengan argumentasi  dari Van den End sendiri.
            Saya memberikan argumentasi pertama. End mungkin kurang teliti dengan apa yang dinyatakan di halaman 9 sebelumnya. Malahan bisa dikatakan, tanpa disadari ia sedang menyatakan, bahwa Kekristenan bisa lebih awal dari abad ke 7 M, seperti yang dijelaskan Jan S. Aritonang sebelumnya. Mengapa demikian, Th. Van den End[15] sendiri menyatakan bahwa pada abad-abad pertama sesudah (berarti lebih awal dari abad ke 7 M pedagang-pedagang Kristen dari Mesir (yang dalam sejarah umum itu desebut Kristen Nestorian seperti penjelasan Jan S. Aritonang tersebut), dan Persia telah menetap di Arabia Tenggara, di India barat dan Selatan dan Srilangka. End sendiri menyatakan, “Bukan tidak mungkin bahwa dari sana pedagang-pedagang Kristen datang ke Indonesia juga.” Malahan ia semakin memfaktakan, bahwa dalam suatu buku yang ditulis di Mesir sekitar tahun 1050 M, ada penyebutan dan pengakuan data mengenai gereja-gereja serta biara-biara Kristen di Asia pada Zaman itu. Dijelaskan dalam buku yang End sebutkan itu, bahwa di “Fansur” ada beberapa gedung gereja, meskipun ia katakan “mungkin” Fansur itu adalah Barus di pantai Barat Sumetera Utara. Mungkin juga ada  orang-orang Kristen di Jawa.
            Lalu, yang relatif masih baru, kedatangan Elmer G. Homrighausen[16] dalam Konferensi Pendidikan Agama Kristen di 20 Mei-10 Juni 1955 pernah dicatat sebagai titik nol penanggalan pendidikan agama Kristen modern di Indonesia. Efek sosial konferensi nasional yang menomental itu, pernah dianggap telah mampu mengubah makna teori, yaitu pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen di Indonesia. Robert R. Boehlke[17] menjelaskan ada “new perspectives for Christian education” di Indonesia kala itu.  Kedatangan Elmer G. Homrighausen itu, mampu mengubah makna teori, yaitu pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen di Indonesia. Bahkan ia menjelaskan inilah titik nol sebagai awal pentanggalan pendidikan agama Kristen modern di Indonesia. Bahkan efek samping dari ramuan ilmu kependidikan agama Kristen Homrighausen menyanggupkan keterlibatan teologi dan telogi kaum awam di Indonesia yang seblumnya dianggap terpisah dan diposisikan sebatas pinggiran dan pekerjaan waktu luang saja.
            Itulah data dan fakta historis dan narasi kehebatan, kejayaan dan kedigdayaan ilmu teologi dan ilmu pendikan keagama Kristen. Intinya, dimana ada Kristen, disana ada Tuhan, disana ada teologi, disana ada agama, dan disana ada proses edukasi menjadi eduaksi. Artinya, memang benar telah ada ilmu teologi dan proses kependidikan Kristen. djuga tindakan dan upaya akademik koorporatisme oleh masyarakat yang sistematis untuk mendidik dan mengajar tenaga pendidik Kristen, tetapai sayangnya memang lebih didominasi dengan pendekatan teologis melulu.
            Terakhir, jika dihitung sejak tanggal 3 Januari 1946 pada saat didirikan Departemen Agama, termasuk Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen, maka jika dikalkulasikan sampai tahun 2011 ini, kita telah 65 tahun diakui dan ditetapkan telah memiliki institusi pendidikan keagamaan Kristen modern. Artinya, kita sudah sebanyak tahun itu telah dipamongi, diasah asih dan asuh dalam payung pendidikan kegamaan Kristen secara modern. Jika dilihat dari salah satu tupoksinya-tugas pokok dan fungsinya Direktorat Jendral PAK adalah mengotoritasi Pendidikan Keagamaan Kristen. Tetapi hingga hari ini, mengapa kita wajib atau harus melewati “Ujian Penjaminanan Mutu” (bukan sertifikasi guru dan dosen dan juga bukan akreditasi BAN-PT) bagi lulusan S1, S2, dan S3. Kelihatannya biar lebih keren namanya telah ditahbiskan demikian, ketimbang yang dahulunya disebut Ujian Negara itu yang seolah-olah kurang abdol karena harus diuji lagi oleh negara. Padahal muatan proses, isi dan mekanisme kerjanya sama.
            Padahal lulusan S1, S2, S3 IAIN, STAIN, UIN dari pendidikan tingga agama dan keagamaan Islam swasta yang dimiliki perorangan atau amal usaha perserikatan tidak lagi melakukan itu sudah sejak lama. Hal itu tersingkap menurut hasil wawancara yang saya lakukan dengan dosen-dosen Doktor dan Professor dan guru besar pendidikan Islam yang mengajar saya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya percaya dengan mereka karena sebahagian besar mereka Pejabat Struktural di DEPDIKNAS dan DEPAG Islam. Hal itu juga saya konfirmasikan kepada 34 orang teman lain yang satu angkatan kuliah bersama disana. Saya juga percaya dengan peryataan mereka karena umumnya adalah sebagai tenaga fungsional dan struktural sebagai dosen di PTAI-Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri dan Swasta di daerah di Indonesia.
            Apa alasan akademik lain yang bisa dibeberkan disini untuk menjawab keharusan ikut dalam regulasi ujian penjaminan mutu itu. Apa memang lulusannya tidak bermutu? Lalu, kalau dianggap tidak bermutu, mempa diberikan Izin Operasional kepada lembanganya. Kalaupun hanya ingin menjadi PNS-Pegawai Negeri Sipil, semakin idak masuk logika akademik. Mengapa karena yang mengajukan formasi pembukaan lowongan PNS dilingkungan DEPAG Kristen ke DEPDIKNAS dan Menteri Pemberdayaan Aparutur Negara adalah mereka juga. Artinya yang membuka, menyediakan formasi lowongan PNS adalah lingkungan DEPAG Kristen sendiri. Yang mengangkat dan menetapkan yang diterima PNS itu adalah mereka juga. Ada hal-hal yang masih perlu jelas disini dan mengapa lagi harus seperti itu?
            Tetapi, pertanyaan ini sekaligus sebagai tindakan persuasi kita semua untuk semakin sungguh-sungguh melakukan percepatan dan ekspansi besar-besaran untuk mempertemukan keinginan dari departemen agama itu agar kita benar-benar “accreditable.” Dan melakukan penguatan ikatan asosiatif dan koorporatisme politik pendidikan komunitas masyarakat Kristen. Mengapa harus mengikut-ikutkan politik? Terima atau tidak terima, sadar atau tidak sudah merupakan sesuatu hal yang “lumrah” atau hal yang terbiasa dan memang harus membiasakan diri dan mental karena sudah seharusnya demikian.
            Dalam sistem bernegara modern, pengelolaan pendidikan tetaplah terkoneksi dan terintegrasi dengan politik, tetapi bukan politisasi dan politikisasi. Terlepas dari kita masing-masing memandang dan memposisikannya, itu menjadi suatu pilihan keharusan dalam sistem pengelolaan dan sosio-praksis pendidikan di Indonesia. Kita melakukannya, tanpa lupa melakukan sesuatu yang bermakna untuk “menutupi-menutupi” celah-celah kekurangan ini, sembari terus mempertanyakan dan mengkritisinya. Tetapi secara bersamaan kita juga wajib ikut bertanggung jawab bersama-sama untuk mengatasi persoalan ini.
            Dengan mengekploitasi data dan fakta historis di atas, makanya tidak berlebih-lebihan atau tidaklah ahistoris jika saya nyatakan, “memang ada yang salah dengan proses edukasi keagamaan Kristen. Telah terjadi malpraktek pendidikan dan mal-teori dan mal-praktik pengelolaan pendidikan keagamaan Kristen”. Untuk membantu persoalan itu berarti tindakan dan tanggung jawab sosial Kristen bisa dimainkan sebagai kebijakan nasional dalam pendidikan keagamaannya untuk pengembangan pendidikan dan masyarakat di Indonesia. Untuk itu, memang peran para pembuat, pelaku kebijakan dalam pengembangan pendidikan Kristen, juga masih sangat penting meski bukan lagi berporos tunggal dan bukan lagi berpusat kepada mereka, karena porsi partisipasi tindakan dan tanggung jawabnya juga menjadi dilibatkan atau dilimpahkan ke masyaraka Kristen itu sendiri.


                [1]http://dbk.evaluasi.net/index.php?specProf=0&origin=main&printPage=1&sort=code., diakses tanggal 15 Juni 2011, pukul 10:57:29.
                [2]Johannis Siahaya Ketua STT Nazarene Indonesia, Yogyakarta, Hasil diskusi terbaru soal akreditasi sekolah tinggi teologi dan agama di Indonesia, ketika rapat konsolodasi dan penandatanganan kontrak kerja sebagai dosen Prodi PAK di STTNI itu, Yogyakarta, Kamis, 14 Juli 2011, pukul 10.45 wib.
                [3]Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, cet.ke-2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 6,13.
                [4]Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius hingga Perkembangan PAK di Indonesia, cet.ke-2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 767.
                [5]Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), h. 179-89.
                [6]Drewes, B.F. & Julianus Mojau, Apa itu Teologi?: Pengantar ke Dalam Ilmu Teologi, cet.ke-5 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h.74-75.
                [7]Ibid., Drewes, B.F. & Julianus Mojau, Apa, h. 74.
                [8]Th. Van den End & J. Weitjens, S.J, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an hingga Sekarang, cet.ke-8 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 367-80.
                [9]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 7-17.
                [10]A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al Maarif, 1981), h. 358.
                [11]Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991), h. 39.
                [12]Josef van Ess, Muhammad and the Qur’an: Prophecy and Relevation, Josef van ess: Islamic Perspectives, 3-18 dalam Hans Kung, Josef van Ess, Heinrich von Stietencron & HeinzBechert, Christianity and the World religions: Paths of Dialogue with Islam, Hinduism, and Buddhism (New York: Doubleday & Company, Inc., 1986), h. 3.
                [13]Rafiq Zakaria, The Struggeling within Islam: The Conflict Between Religion and Politics, Bombay. India: Penguin Books, 1989), h. 248.
                [14]Th. Van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, cet.ke-14 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 9.
                [15]Ibid., Th. Van den End, Ragi Carita 1, h. 20.
                [16]Elmer G. Homrighausen, & I.H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, cet. ke-18, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004).
                [17]Ibid., Robert R. Boehlke, Sejarah, 2009, h. 767-820.

Monday, October 31, 2011

GERAKAN INTELEKTUALISME KRISTEN: Post-Modernisasi Pelayanan Gereja sesuai Setting Sosialnya

GERAKAN INTELEKTUALISME KRISTEN:
Post-Modernisasi Pelayanan Gereja sesuai Setting Sosialnya
Elia Tambunan

Paper ini dipresentasikan di “Children’s Day Workshop and Concert”, Malaysia, Sabtu, 29 Oktober 2011
Introduksi
                 Kita sedang hidup dalam zaman dan spirit post-modernitas. Ho to do ministry within the context? What knowledge we could employ in it? How to resurgent the Christian intellectual movement, how to post-modernize the church ministry? Apa yg dimaksud? Bagaimana mengukurnya? Bagaimana melakukannya? Apakah lewat transformasi atau transfigurasi pelayan Gereja dari tradisional primitif ke post-modern? Apakah ukurannya selalu materil dan fasilitasnya, atau yang lain? Apa yang telah kamu lakukan kawan? Apapun pendapatmu, saya hanya akan memulai segala penjelasan ini dengan berfokus untuk menolongmu dalam hidup spiritual, sosial dan intelektualmu.

Zaman, Dunia dan Ruang Sosial Dimana Kita Hidup
            Dunia dan ruang sosial dimana kita hidup dan melakukan pelayanan gereja sedang ada di panggung post-modernistas ditandai dengan meningkatnya dan menguatnya popular culture. Keduanya penting untuk dipahami dan diiikuti, sehingga ministri yang kita kerjakan “klik” dengan itu. Budaya popular apa yang bisa ditampilkan gereja dalam melayani? Apa dan bagaimana sikap teologis dan tindakan sosiologi sebagai migrant worker dalam ministri? Kali ini, gereja saya posisikan sebagai komunitas edukasi ke eduaksi dan intelektualisasi masyarakat, tanpa melupakan komunitas orang beriman kepada Tuhan Yesus Kristus, dan mengakui komunitas masyarakat beragama lainnya[1].
            Dalam realitas sosial seperti itu, pertanyaan yang timbul adalah bagaimana mempekerjakan gereja sebagai komunitas eduaksi itu, sebagai untuk media untuk hidup bersama dengan dan di dalam dan komunitas di luar kita? Keuntungan apa yang kita dapatkan dari era post-modernitas? Issu ini menjadi penting bagi kita, apalagi Kristen Asia Tenggara, masih selalu menjadi minority (dalam jumlah) – bukan dalam dimensi anti majority – yang harus bertindak bijaksana. Tetapi Yesus mengajar kita untuk mengganggap semuanya adalah sahabat dan tidak ada musuh[2].
            Pemahaman kunci dalam postmodernisme adalah “kondisi pengetahuan post-modernisme”[3] seperti kata kunci dari Jean-Francois Lyotard (1925-1999). Kondisi itu saya tempatkan “ada di dalam benak, pikiran atau otak aktor atau subjek”. Paradigma pengetahuan post-modernisme adalah kitalah sebagai manusia yang melakukan tindakan perubahan. Ini menandakan aktor adalah subjeknya, seperti kata Hans Bertens, yang bisa, merangkul dan memberdayakan atau memandirikan kelebihan, keunikan, dan nilai tambah lokal sesuai dengan setting sosial dan kebutuhan manusianya, bukan lagi hanya institusi atau organisasinya semata-mata[4]. Artinya, sikap dan tindakan kita dalam ministri berciri akademik, terbuka dan fleksibilitas.
            Kerangka keilmuannya di dalam realitas seperti itu, menurut J.W. Bertens dan Joseph P. Natoli, apapun terbatas dan terkondisikan, dan terhubung atau tidak mati dari nilai-nilai historis dan normativisnya. Artinya, kita harus mengingat, mengapresiasi cerita, peradaban, dan penggagas besarnya lebih bersifat lokal dan parsial[5], sesuai dengan dunia, ruang sosial dimana kita hidup dan melayani. Kita adalah anak zaman kita ini yang secara genealogis atau arkeologisnya kemanusiaan, kerohanian atau spiritualitas dan keilmuan kita hari ini ada dan terkoneksi dari zaman sebelumnya.

Ministri Kristen dalam Era Post-modernitas Hari ini
            Saya lebih suka melihat post-modernisme itu sendiri seperti penjelasan dari Lawrence E. Cahoone. Itu secara sosio-realita adalah cara kita untuk mengkritisi - bukan untuk memberontak, atau menentang, apalagi melawannya - keadaan dan realitas social saat ini, terhadap tokoh, sistem, orgnasisasi gereja, ministri yang belum benar yang tidak lagi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat untuk menciptakan perkembangan masyarakat dalam kondisi terkini[6].
            Dengan demikian, semangatnya adalah kritik pemikiran dalam kemajuan masyarakat. Namun demikian, saya memposisikannya sebagai sebuah metode berilmu, berpikir secara global, tetapi berteologi, beragama, bertuhan, bermasyarakat, melayani dan bertindak secara lokal, sesuai dengan kebutuhan manusianya. Artinya itu hanya sebagai metode dan kerangka kerja glocalism saja. Ini hanya sebagai cara cerdik atau smart saja untuk memposisikan diri dalam melayani Tuhan dalam semua jenis ministri saja. Oleh sebab itu, manusia yang terlibat dalam ministri adalah subjek dan aktornya, bukan lagi objek dan passif. Subjek sebagai aktor bertindak pro-active secara kontiniu dalam melayani.
            Paradigma saya berangkat dari logika berpikir bahwa Kristen adalah aktor teologis atau umat dan imamat yang rajani[7]. Dengan itulah Kristen berposisi sebagai subjek sosial yang bertindak proaktive untuk menetapkan ruang kehidupan gereja, Kristen di kota atau urban dan ditempatnya. Tetapi, perlu diingat terus, sehubungan dengan arena sosial urban ditempati oleh masyarakat atau agamanya orang yang lain, daripada “melawan-berkonflik” dengan mereka, akan lebih bijak sana sebagai Kristen untuk memilih hidup bersama dalam ukuran dan tingkatan tertentu.
         Bergabung atau bersatu bukan berarti melebur dan kehilangan atau kerusakan identitas dan iman Kristiani kita. Ruang sosial harus diposisikan sebagai a space of testimony sebagai sebuah ruang kesaksia-missi-dakwah sosial, bukan lagi hanya Kristenisasi dan Injilisasi, tetapi lebih baik Kristusisasi dan aksionisasi untuk berbuat kebaikan karena Tuhan menyuruh kita demikian. Itulah arahan ajaran esensial Kristen sebagai pembawa damai dan pembawa terang. Kristen dipanggil Tuhan untuk bertindak dan berkontribusi mempromosikan community life dan communal solidarity” dengan mampu hidup di dalam ekualitas dan di dalam perbedaan.
            Hidup bersama dan melalui persaudaraan sesama manusia dan juga sebagai Christianhood, dengan bertindak membawa kekuatan dari pesan Kristen untuk masyarakat di luar mereka, yang kita jumpai telah hidup dalam keadaan yang multikultural dan plural[8]. Ruang kehidupan masyarakat di setting urban telah muncul sebagai pusat penyelenggaraan pembangunan manusia dalam dimensi metropolitan post-modern[9]. Padahal ruang sosial itu sekarang sedang digunakan dan diperebutkan oleh kelompok sosial yang berbeda, dan semua masyarakat urban sedang bertindakan sosial dalam mewujud tatanan dunia baru, yang lebih parah karena diatur dengan hukum agama. Ini menyebabkan lingkungan sosial berubah, tentulah secara sosial Kristen akan banyak dihadapkan dengan masalah integrasi agama, teologi, ekonomi dan politik.
            Disatu sisi kita dipaksa dan dianjurkan Tuhan Yesus untuk tetap juga terlibat dalam upaya luhur keagamaan yang tanpa henti. Meski demikian, yang tidak boleh dilupakan adalah harus ada harmonisasi dengan irama budaya kehidupan sehari-hari dengan semua orang. Situasi dan kondisi ini memang sulit, bahkan seolah-olah tidak mungkin dilakukan, tetapi bukankah kita sudah sejak lama DIA ajarkan kita selalu diutus bagaikan domba ditengah-tengah serigala? Cerdik bagai ular, tulus bagai merpati menjadi metode kerjanya[10], jika sudah demikan beratnya situasi dan kondisi sesungguhnya.
            Untuk itulah, kita harus melihat lebih Kritis lagi, bahwa jika melihat realitas perkembangan secara internasional, regional dan nasional atau lokal dimana kita hidup beragama dan bertuhan atau bersosialisasi[11]. Saya sedang melihat Masyarakat Kristen, dengan ministri atau gerejanya mengalami deklanasi atau kemunduran baru, meski di beberapa benua di dunia yang lain sedang mengalami resurgence-kebangkitan atau revivalism, misalnya Afrika Selatan dan sekitarnya Korea Utara dan yang lain.

Bagaimana Kita Hidup dalam Post-modernitas?        
            Pertanyaannya adalah bagaimana kita hidup akan mempenaruhi bagaimana cara kita harus bertindak. Ini penting dipahami terlebih dahulu agar tetap dapat hidup bersama dengan yang lain dalam perkembangan masyarakat glocal? Untuk itu, kita mestinya mengenali siapa jemaat, ruang sosialnya, politiknya. Dengan paham ini, maka kita bisa melayani dalam “paradigma integrasi sosio-spatial”[12] sambil tetap memberikan-berbagi ruang kehidupan untuk orang atau agama yang lain untuk mengekspresikan tindakan beragama dan bersosial karena kita diatur oleh hukum, regulasi, legislasi negara dimana kita tinggal. Orang Kristen, gereja anak Tuhan yang baik harus jadi warga negara yang taat dan patuh hukum[13]. Pertanyaan kedua adalah bagaimana kita bertindak sosial dalam pengaruh tekanan sebagai migrant worker di dalam dimensi globalisasi, pluralitas dan multikulturalitas.
            Saya melihat, situasi ini, malahan sebagai kesempatan terbaik bagi Kristen, gereja untuk bertindak sosial dan harus menganggap diri mereka sebagai penyaji ajaran Kristus, agama dan teologi melalui karakter dan perbuatan baik dalam tindakan sosialnya yang banyak tertulis secara tekstual dalam Firman Allah. Menjadi antagonis dan bermusuhan dengan orang lain atau agama lain adalah benar-benar sikap tidak pantas dan itu pilihan yang tidak bijaksana. Apalagi ketika umat Kristen menetap di negara-negara yang bukan Kristen. Jangan dilupakan seenaknya, bahwa kita semua entah dimanapun, terikat dalam kontrak kewarganegaraan dan solidaritas kemanusiaan, dan hukum yang berlaku.
            Kita selalu harus menghormati kontrak sosial dan solidaritas ini ketika tinggal di daerah tersebut atau ketika yang lain lebih minor ditempat orang lain. Kita menjadi Kristen harus lebih taat hukum, harus lebih membuktikan perbuatan sosial, sebagai bukti nyata memang benarlah kita Kristen hidup demikian dan Kristus hidup di dalam kita. Taat hukum bukan berarti menjadi orang bodoh dan bukan berarti akan selalu tertindas atau terpenjara. Ketaatan dan kebaikan selalu bisa mengalahkan tirani, meski dalam proses yang sering menyedihkan dan menyakitkan. Sikap rohani, dan cara spiritualitas seperti ini, sekaligus tindakan penghormatan hukum dan hidup damai. Itulah mandat Kristen secara fundamental dan biblikal dalam tindakan iman dan praktik hidup dan keagamaan kita, sekaligus sebagai tanggung jawab sosial seperti apa yang telah ditahbiskan dalam Firman Tuhan. Inilah semangat dan spirit zaman yang bisa dipekerjakan untuk melakukan postmodernisasi ministri Gereja hari ini. Bagaimana kita melakukannya? Darimana dan bgaiamana kita memulainya? Ini menjadi pertanyaan yang gampang dituliskan, tetapi, sulit dilakukan. Tetapi, untuk itu semua  kita harus mengetahui apa masalah sebenarnya.

Apa Masalah Sebenarnya?
            Sebenarnya, apakah yang bisa kita pahami, dan apa pendapatmu berdasarkan apa yang kamu lihat, alami, dan rasakan? Saya melihat dengan tegas, bahwa how to pots-modernize the church ministry in the way, how you post-modernize your relationship with God first, then your self, and among every age group of ministry itself. Memang, semua ini sudah bisa dan terbiasa kita dengar dan ucapkan sendiri, tetapi masalahnya adalah karena kebisaan dan kebiasaan itulah inti masalahnya, sehingga saya, kamu, dia, dan kita malahan melupakan untuk melakukannya.
            Masalah tersulitnya sebenarnya terletak pada pelaksaanaan dengan benar “the social teaching of the Christian churches[14], bukan pada pengajaran dan pembicaraannya, yang berimpak pada orang, manusia, atau jemaat di dalam dan di luar gereja. Tetapi ini, menjadi masalah ada pada kita sebagai “Guru” Kristen yang miskin metode pelayanan, miskin kreatifitas berpikir, atau berpikir kreatif dan intelektual.[15] Hal itu terjadi karena kita tahu banyak dalam otak dan kepala kita, sayangnya tidak tahu bagaimana kita mempraktekkannya.
            Selama ini, gereja dengan segala bentuk dan umur ministrinya hanya lebih konsentrasi pada praise and worshiping, ministring, lecturing, pastoring. Saya melihat sekarang ini dan disini ini, kita sudah mendesak untuk melakukan transfigurasi metode applikasi visi dan missi. Sama seperti kata Ruth Compton Brouwer, itu bisa dilakukan dengan mengubah cara bermission[16] tanpa merubah isi missionnya, kita bisa memperluasnya, tetapi jangan menterlantarkan educating, empowering, intellectualizing, feeding it all the cost, berapapun biayanya.
            Bagaimana mengamputasi masalah ini sebagai tindakan darurat atau emergency unit? Setidaknya yang penting dilakukan adalah membangkitkan kesadaran dari dalam diri dahulu, lalu selekas ke jemaat, organisasi atau sinode, maka akan berhasil sampai secara nasional (national consciousness)[17]; mengedukasi konggregasi untuk menemukan sendiri apa formasi identitas kreatifnya[18]; menggagas gereja untuk membantu mentransformasi identitas, kekuatan Kristen di dunia dengan menguatkan transformasi agama, bangsa, dan masyarakatnya setempat.[19]
            Artinya yang menjadi agenda utama adalah dengan cara introducing your self as a christian dengan cara menampakkan your special life, beliefs, and practices.[20] Meskipun pastor dan sekolah minggu atau teman, bahkan jemaatmu tidak tahu dan Iblis atau Tuhanpun sekalipun seolah-olah tidak buka mata untuk kita, sayangnya, hati kita tahu apa yang sedang kita lakukan sebagai orang Kristen. Tetapi tidak apalah, Kristus, pastormu, dan mereka yang lain selalu memiliki "love, acceptance and forgiveness" untuk kamu sebagai Kristen,[21] dan untuk kita sekarang ini selalu ada tempat untuk kamu disini ini dan sekarang ini.

Sampai Dimana Hasilnya Selama ini?
            Jika sebelumnya di era reformasi untuk merefomasi gereja selalu dilakukan dengan mekanisme top-dow, di zaman  modern untuk memodernisasi dilakukan dengan down-top.[22] Saya melihat, maka di zaman kontemporer untuk mentransformasi gereja harus melupakan kedua cara itu dengan taktik pergerakan dari dalam (movement from within) atau insider movement. Tetapi masalahnya adalah siapa yang bersama anda untuk melakukannya?
            Kini, visi dan misi gereja bukan hanya untuk evangelical revivalism, tetapi untuk menolong jemaat untuk memandirikan dirinya sendiri, dan orang lain di luar dirinya sendiri dalam aspek sosialnya,[23] tanpa harus mengikatnya dengan kewajiban mengenakan identitas dan memproklamasikan teologi Kristen sesuai dengan setting sosialnya. Misalnya Di Inggris Raya zaman lalu, Alat dan mekanisme yang dipakai untuk mempostmodernisasikan Kristen digunakan dengan mempekerjakan ilmu pengetahuan yang diterangi, diresapi, dan dibaharukan oleh nilai-nilai dan semangat biblikal[24]

Apa dan Siapa Tantangan Sebenarnya?
            Bergulirnya masa revolusi industri, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sistem digitalisasi atau elektronikisasi di Amerika dan Eropa mendorong gereja untuk merevolusi dirinya sendiri[25].  Sayangnya, tindakan dan dinamika ministri di dalam gereja lokal disini lebih sering anti, penghalang atau ketinggalan dengan perubahan, meski keinginan dan kata-katanya sering mengatakan dan mendukung perubahan.
            Jika sudah begitu, apa lagi yang bisa Dilakukan? Saya, Kamu, Dia dan Kita sebagai Team sebagai Sahabat, dan sebagai aktor atau subjek pelaku dan penggiat, peminat dan penikmat pelayanan dan pendidikan di gereja semestinya seperti kata William Yount, kita harus melakukannya dengan complete overviews, yaitu dengan “Theological Foundations, Biblical Foundations, Preparation for Teaching, and Structuring the Teaching Ministry of the Church. Within this framework, a step-by-step plan for establishing and maintaining an effective teaching ministry among preschoolers, children, youth, and adults takes shape or among every age group”.[26] Tetapi tidak boleh dilupakan semuanya harus sesuai dengan cara kepala dan otak jemaat memikirkan, mata jemaat melihat, dan cara hati mereka merasakan.
            Apa yang dijelaskan Yount, belum cukup kuat alasan untuk menerimanya begitu saja. Saya bilang “making and working by plann and with friendly”, tetapi juga harus sejalan dengan “doing acts”. Jadi harus mirip dengan kata Michael J. Anthony dan James Estep Jr., “be periodic review and update, the benefits will be maximized”. Itu hanya bisa didapat dengan integration, planning, organizing, staffing, directing, evaluating, dengan biblikal perspektif[27]. Buatlah keputusan, apa dan yang mana yang harus ada “complisment”nya, now to the next year.

# Step 1: Diskualifikasi visi dan misi gereja yang out of order dan tidak sesuai dengan keunikan dan added values gerejamu, jemaatmu, sekolah minggumu, atau make it sense or sure, keduanya up to date and appropiate (pantas), bukan hanya supaya terlihat modern dan relevan. Pastor sebagai Leader, Manager dan sahabat ministri lainnya bukan Supermie instant. Each must be taken into consideration.

# Step 2: Pastikan sekarang juga, goal yang mana sebenarnya yang paling pantas untuk gerejamu dengan mengamati “needs” jemaat dan lingkungan. Jangan pura-pura lupa, bahwa Pastor sebagai Leader, Manager dan sahabat ministri lainnya bukan Superman. No one church can do it all. Ingatlah, A or one priority not some, Jadi, some priorities have to be re-set. Jangan jadi “sinterklas” bisa membawa multi-macam hadiah dalam satu karung kecil sekaligus. Be realistic to your self and your team!

# Step 3: Ciptakan dan aturlah pengurus, struktur yang fungsional, bukan yang organisasional dan struktural, Gemuk fungsi atau aksi dan kurus koreksi, bukan sebaliknya. Artinya coordinatorable, Pastor sebagai Leader, Manager dan sahabat ministri lainnya bukan Supermodel. Tanggalkan kultur dan strategi organisasi Indo-Melayu, tetapi paculah sekencangnya aksi dan kultur Western atau ko-chi-pan artinya Korea, China, dan Jepang.
  
# Step 4: Bagaimana kita melakukannya dengan realistis. Pastor sebagai Leader, Manager dan sahabat ministri lainnya, bukan Superguru. Kita semau secara tim, bersama sangat penting untuk menilai ulang (assesment), bagaimana sebenarnya cara dari tujuan dari gereja dilakukan (enable), bagaimana menterjemahkan menjadi masuk akal (plausible) tujuan yang berukuran dan layak dikerjakan (objectable and timetable), bukan bagaimana hebat dan bagusnya programnya.

Sekarang Kamu Sudah Tahu, Tunggu Apa Lagi Kawan?
            Saya tidak lagi setuju jika hanya sampai pada “Vision for the Christian Church just as Discipleship”, seperti kata Richard L. Hamm  yang diinginkan sampai pada tahun 2020[28] saja. Mengapa saya tidak senang hanya seperti itu? Jawabnya sangat sederhana dan biblikal. Jemaat hanya akan senang dan menuntut atau memposisikan dirinya sendiri menjadi murid yang patuh untuk menunggu guru untuk menginstruksikan sesuatu kepadanya. Jika hanya itu-itu saja, maka jemaat dan hanya akan pasif menunggu diajar dan diajak untuk melakukan missi dan aksi. Ingatlah apa yang difirmankan Allah tentang ini. IA menegur dan tidak menghendaki jemaat, orang yang maunya hanya seperti itu[29].
            Jika hanya itu itu, masih sama dengan burung pipit atau burung gereja yang kecil yang dikasihi Tuhan, yang selalu mengagakan atau membukakan mulutnya untuk menantikan sang ibu burung menjatuhkan makanan yang lezat kedalam mulutnya yang terbuka lebar sambil meringis-ringis, apalagi jika induknya terlambat datang untuk memberikan makanan. Akibatnya, jemaat, gereja, orang Kristen hanya akan menjadi “obesitas spritual, diabetes teologis, tetapi sakit atau kurang vitamin dan kurus kering dalam inisiatif untuk bertindak dan bermissi”, Orang yang seperti ini hanya akan mudah dimangsa predator lainnya, atau b ahkan tidak lagi dimangsa karena terlalu kurus, karena jika dimangsa malahan kemungkinan akan menimbulkan penyakit lain bagi predator tersebut.
            Apakah engkau sudah lupa bahwa kamu adalah keturunan rajawali? Apakah engkau tidak lagi mengingat bahwa kamu adalah keturunan Singa dari Suku Yehuda yang termasyur itu karena kehebatannya berperang? Apakah kamu lupa bahwa kamu adalah Bangsa dan Umat pilihannya? Tetapi, ingat jugalah, menanggalkan cara lama untuk tujuan post-modernisasi, bukan berarti lupakan isinya dan substansi yang lama. Tetapi, tidak ada yang menentangnya, bagi generasi kita, kini saatnya sekarang ini dan disini ini melakukan aksi dan misi sosial kedalam dan keluar dengan cara re-articaluting and re-intellctualizing christian values dalam semua aspek hidup jemaat, tanpa menyakiti, melukai orang lain, agama lain. Yang kita lakukan bukan untuk kemajuan diri sendiri, tetapi untuk kebahagiaan teologis, agamis, dan spritualis serta sosiologis orang lain juga.
            Berdasarkan pendekatan kegerakan intelektual, teologis dan sosiologis diatas itulah kita harus bertindak. Itulah ajaran Kristen dan Kristus yang mestinya dilakukan pelayan Tuhan dengan agama Kristen di dalam darahnya, maka hal itu telah memberikan kontribusi kemajuan di Negara ini. Sebagai agama, ia menjadi norma atau efek yang membingkai jemaat dalam memproduksi tindakan lain yang lebih luas. Sebagai Orang Kristen lewat institusinya dan kelompoknya kita harus beraksi sosial.
            Sebagai Pelayan Tuhan, kita harus mampu membangkitkan kesadaran sosial diantara pemeluknya dan pihak yang lain untuk melakukan hal yang sama. Inilah yang saya sebut kesadaran sosial, ibaratnya seperti mobilisasi tindakan untuk tindakan revolusi atau resurgency intellectualism in Christian life, from mobilization to revolution, seperti istilah dari Charles Tilly[30], tetapi saya lanjutkan sampai to revivalization, menuju kesejahteraan sosial umat manusia, termasuk jemaat dan gereja. Inilah yang akan menimbulkan aksi sosial dan yang akan menghasilkan artikulasi identitas Kristen dan kemajuan sosial.
            Hal yang tidak boleh diterlantarkan adalah apapun perbedaan organisasi dan doktrin gerejanya, cara pandang kita, tetapi motiv dan tujuan akhir kita adalah sama, yakni sebagai Guru, pendidik, penggiat, peniat dan peminat ministri Kristen yang melayani pekerjaan spiritual berbasis intelektual dengan cara yang intelektual dan empirikal. Sehingga gereja menghasilkan gerakan intelektualisasi Kristen yang benar-benar intelektual dan intelektual yang benar-benar Kristen. Sekarang kamu sudah tahu, jadi lakukanlah, jangan teralu banyak ngomong, pikir, tunggu apa lagi my dear friends? [Bang El’ Oktober’11].

Bibliography*[31]

Anthony, Michael J., James Estep, Jr. (eds.), Management Essentials for Christian MinistriesNashville, Tennessee: B&H Publishing Group, 2005. 

Bentley, Michael, Modernizing England's Past: English Historiography in the Age of Modernism, 1870-1970,    Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2005. 

Bertens, Hans, The Idea of the Postmodern: A History, London: RoutledgeCuzon, 1995.

Bertens, Johannes Willem, Joseph P. Natoli (eds.), Postmodernism: The Key Figures, Massachusetts: Blackwell Publishers, Ltd., 2002.

Besier, Gerhard, Religion, State and Society in the Transformations of the Twentieth Century: Modernization, Innovation and Decline, Münster, Berlin: LIT Verlag, 2008.

Brouwer, Ruth Compton, Modern Women Modernizing Men: The Changing Missions of Three ProfessionaWomen In Asia Africa, 1902-1969, Vancouver, BC: The University of British Columbia Press, 2002.

Cahoone, Lawrence E. (ed.), “Introduction,” dalam Lawrence E. Cahoone, From Modernism to   Postmodernism: An Anthology, expanded second edition, Massachussets: Blackwell Publishing, Ltd, 2003.

Chung, Mary Keng Mun, Chinese Women in Christian Ministry, New York: Peter Lang Inc., 2005. 

Cook, Jerry, Stanley C. Baldwin, Love, Acceptance and Forgiveness: Being Christian in a Non-Christian              World, second edition, Ventura, California: Regal Books, 2009.

Gelder, Craig Van (ed.), The Missional Church in Context: Helping Congregations Develop Contextual Ministry, Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co, 2007.

Gottdiener, Mark, Ray Hutchison, The New Urban Sociology, third edition, Colorado: Westview Press2006. 

Guy, Laurie, Introducing Early Christianity: A Topical Survey of its Life, Beliefs, and Practices, Downers           Grove, IL: InterVarsity Press, 2004.

Hamm, Richard L., 2020 Vision for the Christian Church (Disciples of Christ), Danvers, MA: Chalice Press, 2001.

Hutchison, Ray, (ed.), Constructions of Urban Space, Connecticut: JAI Production, 2000.

Junker, Detlef, The United States and Germany in the Era of the Cold War, 1945-1990: A Handbook 1968-1990, Volume 1, Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2004.

Lyotard, Jean-Francois, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Manchester: Manchester           University Press, 1984. 

Mannion, Gerard, Lewis S. Mudge (eds.), The Routledge Companion to the Christian Church, Oxford, UK: Routledge, 2008.

Osmer, Richard Robert, The Teaching Ministry of Congregations, Louisville Kentucky: Westminster John Knox Press, 2005.

Tambunan, Elia, Gereja sebagai Komunitas Edukasi: Bagaimana Melakukannya?, Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011.
_______,  Pendidikan Agama Kristen dalam Masyarakat Multikultural: Rekonstruksi Teori ke Sosio-Paraksis, Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011.
_______, Sebagai Guru Kristen: Bagaimana Metode Mengajarnya?, Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011.

Tilly, Charles, From Mobilization to Revolution, New York: Random House USA Inc, 1988.

Troeltsch, Ernst, The Social Teaching of the Christian Churches, volume 2, Louisville Kentucky: Westminster John Knox Press, 2001.

Yount, William, The Teaching Ministry of the Church, second edition, Nashville, Tennessee: B&H Publishing Group, 2008.


                     [1]Elia Tambunan, Gereja sebagai Komunitas Edukasi: Bagaimana Melakukannya? (Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011), h.3.
                     [2]Mat. 5:43 “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu”. Mat. 5:44 “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”; Luk. 6:27 "Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu”; Luk. 6:35 “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat”.
                     [3]Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Manchester: Manchester University Press, 1984).
                     [4]Hans Bertens, The Idea of the Postmodern: A History (London: RoutledgeCuzon, 1995), h. 111.
                     [5]Johannes Willem Bertens, Joseph P. Natoli (eds.), Postmodernism: The Key Figures (Massachusetts: Blackwell Publishers, Ltd., 2002), h. xi.
            [6]Lawrence E. Cahoone (ed.), “Introduction,” dalam Lawrence E. Cahoone, From Modernism to Postmodernism: An Anthology, expanded second edition (Massachussets: Blackwell Publishing, Ltd, 2003), h.1-2.
                  [7]1Ptr. 2:9 “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib; 1Ptr. 2:12 “ 
Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka”.
                 [8]Elia Tambunan,  Pendidikan Agama Kristen dalam Masyarakat Multikultural: Rekonstruksi Teori ke Sosio-Paraksis (Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011), h.15-21.
                  [9]Ray Hutchison (ed.), Constructions of Urban Space (Connecticut: JAI Production, 2000), h. 2.
                 [10]Matius 10:16 "Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati; Luk. 10:3 “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala”. Mat. 7:15 "Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas”.
                [11]Ef. 5:15 “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif”; Flp. 1:22 “Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu”; 1Tes. 2:12 “dan meminta dengan sangat, supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya”; 1Tes. 4:1 “Akhirnya, saudara-saudara, kami minta dan nasihatkan kamu dalam Tuhan Yesus: Kamu telah mendengar dari kami bagaimana kamu harus hidup supaya berkenan kepada Allah. Hal itu memang telah kamu turuti, tetapi baiklah kamu melakukannya lebih bersungguh-sungguh lagi”; 1Tes. 4:11 “Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan, seperti yang telah kami pesankan kepadamu,1Tes. 4:12 “sehingga kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata orang luar dan tidak bergantung pada mereka”.
                  [12]Mark Gottdiener, Ray Hutchison, The New Urban Sociology, third edition (Colorado: Westview Press, 2006), h. 1.
            [13]Rm. 13:4 “Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat”.

                 [14]Ernst Troeltsch, The Social Teaching of the Christian Churches, volume 2 (Louisville Kentucky: Westminster John Knox Press, 2001), h. 866.          

                  [15]Elia Tambunan, Sebagai Guru Kristen: Bagaimana Metode Mengajarnya? (Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011), h.65-85.

                [16]Ruth Compton Brouwer, Modern Women Modernizing Men: The Changing Missions of Three Professional Women In Asia Africa, 1902-1969 (Vancouver, BC: The University of British Columbia Press, 2002), h. 43.

                  [17]Mary Keng Mun Chung, Chinese Women in Christian Ministry (New York: Peter Lang Inc., 2005), h. 124.

                        [18]Richard Robert Osmer, The Teaching Ministry of Congregations (Louisville Kentucky: Westminster John Knox Press, 2005), h. 70.

                        [19]Gerhard Besier, Religion, State and Society in the Transformations of the Twentieth Century:  Modernization, Innovation and Decline (Münster, Berlin: LIT Verlag, 2008), h. 87.

                        [20]Laurie Guy, Introducing Early Christianity: A Topical Survey of its Life, Beliefs, and Practices (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2004), h. 176.

                        [21]Jerry Cook, Stanley C. Baldwin, Love, Acceptance and Forgiveness: Being Christian in a Non-Christian World, second edition (Ventura, California: Regal Books, 2009), h. 10.

                        [22]Gerard Mannion, Lewis S. Mudge (eds.), The Routledge Companion to the Christian Church (Oxford, UK: Routledge, 2008), h. 86.

                     [23]Craig Van Gelder (ed.), The Missional Church in Context: Helping Congregations Develop Contextual Ministry (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co, 2007), h. 226.

                    [24]Michael Bentley, Modernizing England's Past: English Historiography in the Age of Modernism, 1870-1970 (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2005), h. 58

               [25]Detlef Junker, The United States and Germany in the Era of the Cold War, 1945-1990: A Handbook 1968-1990, Volume 1 (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2004), h. 467.

                        [26]William Yount, The Teaching Ministry of the Church, second edition (Nashville, Tennessee: B&H Publishing Group, 2008), h. 465.

                        [27]Michael J. Anthony, James Estep, Jr. (eds.), Management Essentials for Christian Ministries (Nashville, Tennessee: B&H Publishing Group, 2005), h. 136.

                        [28]Richard L. Hamm, 2020 Vision for the Christian Church (Disciples of Christ) (Danvers, MA: Chalice Press, 2001), h. 100.

                [29]Ibr. 5:12 “Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras”.
                        [30]Charles Tilly, From Mobilization to Revolution (New York: Random House USA Inc, 1988).
                        [31]*Elia Tambunan, M.Pd. Dr (c) menikah dengan Rio Dannel Gurzi seorang Missionaries dari Murrieta, California USA. Kini memiliki seorang putra Maverick el-Radith Tambunan. Elia adalah Pastor Muda GPdI-Gereja pantekosta di Indonesia, Jemaat Tamansari-Yogyakarta, Indonesia. Ia memiliki NO.IDN-Nomor Induk Dosen Nasional Republik Indonesia: 0607077801. NO NIDA-Nomor Induk Departemen Agama Republik Indonesia: 220121019659. Dosen STT-Sekolah Tinggi Theologia Salatiga; STT Getsemani Yogyakarta; STT Nazarene Indonesia Yogyakarta. Sekarang terdafrat sebagai Mahasiswa aktif yang sedang melakukan fiel research di Program Doktor (S3) Pascasarjana UIN-Universitas Islam Negeri “Sunan Kalijaga Yogyakarta” 2009, Prodi Islamic Studies, dengan Issu Islam Politik dalam Perkembangan Masyarakat Islam Urban. Memiliki kompetensi ilmu agama, pendidikan, riset sosial sains dan humanities dengan pendekatan sosiologi, paradigma postmodernisme. E-mail: elia.tambunan@gmail.com - http://elia-tambunan.blogspot.com.
                        Note: Saya mengambil segala ayat Alkitab didalam paper ini dari Teks Alkitab Terjemahan Baru Indonesia. Copyright (c) LAI-Lembaga Alkitab Indonesia 1974, atau (Indonesian Bible Society), 1994.