Sunday, September 27, 2015

KONTRAK POLITIK KRISTEN DAN ISLAM: Oikumene dan Gerakan Sosial Politik

Makalah ini hanya sebagian kecil saja dari yang pernah saya sampaikan dalam Annual Meeting  2015, Simposium ATI- Asosiasi Teolog Indonesia, Selasa,  4 Agust 2015, di Wisma Samirono, Yogyakarta.


ABSTRAK
Bicara gerakan oikumene dalam diskursus organisasi keagamaan sejak tahun 1950-an argumen yang mendominasi masih tentang keesaan atau kesatuan gereja. Itu kerap diterjemahkan kerjasama antar gereja secara sempit. Lain halnya, tulisan ini berikhtiar membongkar kompleksitas oikumene dari sisi politik.  Pendeknya, oikumene juga dimobilisasi sebagai gerakan sosial dan politik saat musim dan kesempatan politik ada. 

Berlatar Kota Salatiga, tulisan ini membahas bagaimana cara pendeta menegosiasikan kepentingan politik Kristen diantara sesama komunitas Kristen dan kaum Islamis dalam momentum pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Salatiga periode 2011-(2016). Dengan paradigma kualitatif dibantu teori-teori sosiologi-politik agama sebagai acuan, memakai teori-teori gerakan sosial dan politik identitas sebagai pisau analisis, etnografi sebagai teknik riset, wawancara mengumpulkan data, tulisan ini mencari titik simpul bertemunya Kristen dengan Islam politik. Dari situ muncul tafsir gerakan oikumene dan percakapan antar iman yang tidak biasa.
Pendeta gereja adalah fokus kajian. Pertama, mereka yang tergabung dalam Badan Kerjasama Gereja-gereja Salatiga (BKGS) mendukung Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota nomor urut 2 Diah Sunarsasi-Tedy Sulistio (Dihati) diusung koalisi PDIP-PAN-Golkar-PDS dan PNI Marhaenisme. Teddy Ketua DPRD Salatiga, kader PDIP, seorang Kristen dan PDS dianggap representasi identitas dan kepentingan Kristen. Kedua, pendeta Persekutuhan dan Pelayanan Hamba Tuhan Garis Depan (PPHTGD) pendukung nomor 3 Yuliyanto-Muhammad Haris (Yaris) diusung koalisi PIS-PKS-PPP dan Demokrat.

Karena keterbatasan ruang, kajian ini hanya dikaitkan dengan identitas diri Haris sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kaitan gerakan oikumenis dengan PKS ini menarik karena sebagian sarjana dan peneliti Muslim menyatakan PKS “musuh dalam selimut.” PKS disebut-sebut beragenda Islamisasi negara dan masyarakat lewat formalisasi syariat Islam walau PKS menyebut partai terbuka dengan isu populis-humanis lewat komunikasi politik ketika tampil di publik.  

Data empiris menunjukkan, identitas sebagai Kristen menjadi konflik kepentingan tersendiri diantara sesama pendeta dan umat lain, itu masih harus ditegakkan lewat perjuangan yakni kontrak politik dengan calon secara resmi; kontrak politik adalah alat dan kepentingan politik sekaligus kesempatan meretas sistem pemerintahan yang immune terhadap Kristen selama ini dalam bingkai menegosiasikan kepentingan orang Kristen; kontrak politik sebagai alat peredam ekspansi Islam politik sekaligus memobilisasi isu, aksi kolektif, dan jejaring massa memprotes tirani mayoritas penindas Kristen di rumah besar NKRI.
 

PENDAHULUAN


Ada bukti empiris bahwa gerakan oikumene digunakan sebagai alat negosiasi kepentingan lewat kontrak politik antara kelompok kepentingan Kristen dengan Islam politik. Oikumene yang biasa dipahami sebagai gerakan saling membagi identitas masing-masing dalam gerakan fellowship gereja serta gerakan penyatuan dan kerjasama antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam kekristenan.[1] Namun, pada saat yang sama oikumene juga dipakai sebagai gerakan sosial politik diantara sesama anggota dari dua kelompok kepentingan, yakni BKGS dan PPHTGD untuk mendukung pilihan Cawawali dari masing-masing terkait Pilwalkot Salatiga 2011.

Dari sini terlihat kompleksitas oikumene yang penting untuk diurai. Rupanya pertemuan oikumenis yang sebelumnya simbolik dan formalistik kesannya ‘disulap’ menjadi gerakan sosial politik demi alasan menegosiasikan kepentingan diri dan kelompok. Tak lagi bisa disembunyi-sembunyikan; gerakan oikumene juga sebagai gerakan sosial politik ketika momentum dan musimnya datang.
Yang dimaksudkan gerakan sosial politik disini ialah dimana sekelompok individu berpikiran sama yang tergabung dalam sebentuk organisasi informal dalam upaya-upaya kolektif untuk menjalankan atau pun untuk mencegah perubahan sosial lewat kegiatan-kegiatan yang masih berkaitan dengan politik.[2]  Sedangkan, kelompok kepentingan disini sering juga dikenal dengan kelompok penekan ialah kelompok yang memperjuangkan suatu kepentingan dan mempengaruhi lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan, atau menghindarkan keputusan yang merugikan.[3]  

Sedangkan, maksud dari term politik disini seturut dengan perspektif Harold D. Lasswell (1936), yakni dari politik sebagai tujuan dan kekuasaan. Kedua hal itu dalam konteks politik diposisikan sebagai kemampuan untuk berpartisipasi dalam keputusan yang diinginkan. Baginya, kekuasaan politik sebagai kemampuan untuk menghasilkan efek yang dimaksudkan pada orang lain. Dalam politik selalu ada siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana mendapatnya.[4] Karena gerakan oikumene  dimobilisasi oleh pendeta-pendeta gereja, bukan oleh jemaat gereja, maka mereka menempatkan diri sebagai kaum elit Kristen lokal sebagai representasi jemaat dan umat Kristen Salatiga. Disini terlihat bahwa elit sebagai pemegang utama kekuasaan 

Menurut Rodney, Mary, dan Marcia, konsentrasi utama studi politik Lasswell terarah kepada basis politik elit masyarakat. Baginya, salah satu faktor dari basis keterlibatan elit berpolitik bukan hanya pada kepastian status atau materi (status qou, yang sering diartikan: mempertahankan kekuasaan bisa untuk kebaikan dan juga kejahatan), atau tidak untuk menetapkan posisi elitisnya agar eksis, tetapi juga sebagai orientasi atas ketidakamanan (insecurity) yang sedang terajadi.[5]  

Perlu diingat, masa transisi[6] Orde Baru ke Reformasi di Indonesia juga merembes ke gereja. Banyak terjadi kekerasan massal dan sistematis di level lokal menimpa Kristen, misalnya, Poso dan Maluku. Disamping itu masih banyak contoh terjadinya pembalakan gereja dan tindak kekerasan bahkan pembunuhan pendeta di masa itu.  Hampir tidak ada provinsi yang terbebas dari jenis kekerasan dan konflik agama. Pendek kata, konflik komunitas dan kekerasan antar agama menjadi fenomena yang umum terjadi.[7]   

Tulisan ini hendak menjawab kegelisahan akademik bagaimana cara pendeta menegosiasikan kepentingan politik Kristen diantara sesama komunitas Kristen dan kaum Islamis dalam momentum pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilwalkot) Salatiga periode 2011-(2016). Sesuai dengan pertanyaan itu diharapkan ada jawaban dari hasil riset lapangan, sehingga akan bisa menunjukkan dimana saja titik simpul bertemunya kepentingan Kristen dan Islam politik.  

Apa boleh dikata, realita ini seakan menampik argumen-argumen arus utama yang mendominasi ketika berbicara gerakan oikumene sejak tahun 1950-an hingga hari ini, biasanya terbingkai ke dalam keesaan atau kesatuan gereja, yang kerap diterjemahkan amat sempit, yaitu dalam rangka mengadakan hubungan dan kerjasama intim antar gereja se-Indonesia.  

Tidak mengada-ada jika setelah membahas fenomena ini akan muncul tafsir gerakan oikumene dan percakapan antar iman yang tidak biasa, setidaknya versi pemahaman subjek setelah ditanyai.  Disamping itu, ada niatan lain untuk melihat fenomena gerakan oikumene yang umum dalam kajian teologi dari pendekatan gerakan sosial politik dan politik identitas.

Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>> 

CATATAN METODOLOGIS

Bagaimana proses kerja lapangan untuk mendapatkan data dari sumber kunci primer diungkapkan disini untuk menghilangkan keraguan-keraguan orang terhadap data temuan. Meski berKTP Salatiga, sebagai pendeta dan dosen STT (bukan gembala sidang gereja) dan direktur Preschool (PAUD-TK), apalagi sebagai Kristen lokal, saya akan menempatkan kajian ini pada posisi peneliti sebagai orang luar (dalam artian bukan pelaku) yang terlibat mengamati fenomena adanya gejala-gejala agama dalam relitas politik. Kendati demikian, harus diakui ada saja sisi-sisi subjektif peneliti yang Kristen tak terhindarkan. Namun subjektif itu berbarengan dengan objektifitas yang tetap lebih tebal.[8]
Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>> 

POLITIK IDENTITAS MENJADI POLITIK
PERSELISIHAN

BKGS dan PPHTGD sebagai fokus kajian ditempatkan sebagai komunitas masyarakat beragama Kristen Salatiga akan dibahas terlebih dahulu. Selanjutnya ditampilkan pembahasan tentang PKS sebagai representasi Islam politik. Disini tidak akan dirinci sejarah berdirinya karena tulisan ini bukan historika, namun pada gerakan sosial politiknya dalam momentum Pilwalkot, meskipun sketsa historis dimasukkan juga. 


Politik perselisihan [9] ialah interaksi kolektif menegang yang terjadi di antara pembuat klaim berlangsung periodik dan makin menggelembung ke publik sering kali tak terbendung dan tak tertutupi. Sejumlah orang, oganisasi, kelompok, bahkan negara-pemerintah  terlibat sebagai subjek dan objek saling mengklaim kebenaran sendiri. Mereka saling dipengaruhi-mempengaruhi kepentingan. Dari situasi persitegangan inilah politik perselisihan terjadi yang mengacu pada perjuangan politik kolektif.


Sosiolog sejarah Charles Tilly mendefinisikan politik perselisihan sebagai interaksi dimana aktor membuat klaim dengan membawa kepentingan orang lain, dimana pemerintah muncul baik sebagai target, pemrakarsa klaim, ataupun pihak ketiga.[10] Definisi ini bisa dengan tepat menggambarkan apa yang terjadi didalam keterlibatan BKGS dan PPHTGD dalam momen Pilwalkot. 


Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>>

 

KONTRAK POLITIK
Saya akan jelaskan kontrak politik dari sisi sosiologi politik, bukan dari sisi hukum
formilnya. Kontrak politik ada yang menyebut perjanjian sosial atau kontrak sosial, ialah sebuah teori yang menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada seseorang atau lembaga yang disepakati, sehingga sumber kedaulatan negara berasal dari rakyat dan memperoleh legitimasi melalui kontrak sosial antara dua pihak. [11] Kontrak politik adalah salah cara yang biasa digunakan oleh gerakan politik untuk memuluskan langkahnya dalam mencapai tujuan politiknya. 

J. J. Rousseau sebagai penggagas ide-ide politik dibingkai oleh pertimbangan situasi politik itu. Ia menuliskan adanya realita ketidaknyamanan  dalam struktur pemerintahan kota dan keberlangsungan hidup warga, maka  dari kontrak politik sebagai usaha untuk menagih atau menebus janji dan untuk mengurangi ketidaknyamanan politik.[12] 

Saya akan menjelaskan ide dibalik dan proses lahirnya kontrak politik tersebut, dan pembuat draft kontrak politik tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan pelakunya sendiri. Hal ini akan dikisahkan seperti berikut.

 Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>>

KESIMPULAN
Momentum Pilwalkot sebagai even untuk renegosiasi diri kedalam kelompok dan keluar, bahwa adanya kesadaran kelompok lain. Ia juga sebagai bukti empiris bahwa gerakan oikumene digunakan sebagai alat negosiasi kepentingan lewat kontrak politik antara kelompok kepentingan Kristen, dan untuk membuka konstituen baru lewat jalan kerjasaa dengan pendeta bagi partai islamis. Artinya, dinamika politik lokal mampu menggoncang identitas diri sebagai Kristen atau Islam.
Titik simpul gerakan oikumene dan politik itu bukan pada kesamaan atau kebedaan organisasi agama, tetapi bertumpu pada tokoh agama dan ikon partai karena mereka sesungguhnya yang berkuasa, bukan selalu kekuatan dibelakangnya, meski terus diantisipasi. PPHTGD memilih menjadi kelompok penekan yang memiliki kepentingan sendiri. Ia menekan lawan dengan kertas, bukan kampanye politik semata. Sesama teman perlu digerakkan agar makin bertenaga.
Islam politik harus diikat agar bisa dtunggangi dari dekati, semakin di dekati semakin kuat ikatannya, sebaliknya semakin dijauhkan semakin liar tak terkendali. Akta perjanjianlah sesungguhnya tali pengikat, disanalah janji dan ikatan itu termuat. Meski hanya sebagai perjanjian publik, bukan hukum positif ia mampu menembus immunitas ketidak berpihakan negara kepada gereja, jika dilihat dari fakta rumitnya urusan menimbun batu bata menjadi rumah ibadah.  Jadi, dimanakah adanya titik simpul antara gereja dan Islam politik itu? Ia jelas di dalam diri ikon dan identitas wawali.
Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>>





                [1]Christian Smith, “Correcing a Curious Neglect, or Bringin Religion Banck in,” in Disruptive Religion: The Force of Faith in Social Movement Activism, ed. Christian Smith (New York: Routledge, 1996), 17.



                [2]Konsep gerakan sosial digunakan sebagai payung istilah untuk menyebut koalisi atau aliansi kelompok pada berbagai  tingkat institusionalisasi yang masing-masing bertujuan untuk mengatasi masalah bersama serta imbalan atau hasil yang didapatkan. Artinya, gerakan sosial dilihat lebih leluasa bisa meliputi partai-partai politik dan kelompok-kelompok yang bermain dibelakang sebagai penekan, penumpang bebas atau tidak terorganisis gerakan, dan juga kelompok-kelompok keagamaan yang lebih informal. Keith Faulks, Political Sociology: A Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1999), 87.


                [3]Miriam Budihardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1989), 162.


                [4]Harold D. Lasswell, Politics: Who Gets What, When, and How (New York: MacGraw-Hill, 1936), 264.



                [5]Rodney Muth, Mary M. Finley, Marcia F. Muth, Harold D. Lasswell: An Annotated Bibliography (Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers, 1990), 76.



                [6]Henk Schulte Nordholt, Ireen Hoogenboom, Indonesian Transitions (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 23.


                [7]Adriana Elisabeth, “The Indonesian Experience in Implementing Democracy” in Democracy in Muslim Societies: The Asian Experience, ed. Zoya Hasan (New Delhi: Sage Publications India Pvt Ltd, 2007), 88.


                [8]Tebal = a thick description, cara kerja etnografer untuk mencari makna dan menjelaskan secara dalam. Asumsinya, tindakan manusia selalu berdasar pada sejumlah jejaring makna. Etnografer dituntut terjun dalam jejaring makna untuk mengetahui dan menganalisis apa sesungguhnya yang terjadi. Etnografi bukan isi paparan realita lapangan yang ditemui tetapi dituntut menganalisis yang dihadapi dan menentukan arti dan landasan sosial peristiwa sarat makna. Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 5-6, 9-10.


                [9]Doug McAdam, Sidney Tarrow, and Charles Tilly, Dynamics of Contention (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 5; Politik perselisihan (Contentious politics) juga digunakan sebagai teknik mengganggu pembuat kebijakan politik, atau untuk mengubah kebijakan pemerintah, misalnya lewat demonstrasi, aksi pemogokan umum, huru-hara, terorisme, pembangkangan sipil, dan bahkan revolusi atau pemberontakan. Gerakan sosial sering terlibat dalam politik perselisihan.


                [10]Charles Tilly, Contentious Performances (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 5.


                [11]G.H. Sabine, A History of Political Thought (New York: Collier Books, 1959), 398.


                [12]Victor, Gourevitch (ed.), Rousseau: 'The Social Contract' and Other Later Political Writings (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1997), ix.

No comments: