Sunday, August 17, 2014

Sekolah Tinggi Theologia Tidak Punya Ijtihad dan Jihad Akademik

STT: Memang Bermasalah:
Permasalahan akademik yang sedang terjadi di dalam diri Sekolah Tinggi Theologia (STT) Kristen di Indonesia adalah karena ia masih berparadigma sempit, yakni studi teologia. Akibatnya, lulusannya kurang berkontribusi terhadap perkembangan pemikiran Kekristenan dan pemecahan terhadap masalah-masalah yang ada dan realitas sosial yang sedang terjadi. Paradigma yang digunakan masih mono-pendekatan yaitu kajian teologia yang bertitik tekan pada pembentukan karakter dan nilai-nilai spiritualitas serta riset amat fokus terhadap teks tertulis di dalam kitab suci belum dilakukan dengan pendekatan multi-keilmuan dan pemahaman langsung terhadap kehidupan riil orang Kristen yang dijelaskan di dalam kajian-kajian teologia tersebut. Hasilnya, lulusan pendidikan theologia berjalan menjauh dari tujuan pendidikan yang ditempuhnya untuk mengedukasi umatnya atau masyarakat luas dan ilmu itu sendiri sering dianggap remeh diantara sosial sains lainnya karena tidak mengerti soal-soal kehidupan nyata. Kalau sudah demikian komplikasi persoalannya, lulusan STT itu akan kemana? Bagaimana solusi persoalan ini bisa mulai dilihat dan diurai dari sisi keilmuan? Tulisan ini meskipun bisa saja dianggap subjektif, ini memang akan menempatkan saya sebagai subjek pikir yang menganilisis hal yang kulihat dan kualami serta kulakukan sendiri. Ini akan mengulas hal itu dengan terlebih dahulu mendalami persoalan mendasar dari dalam diri lembaganya sendiri, secara khusus STT diluar kelompok 'mainstream', semacam STT Protestan. 
 


Masalah Keilmuan di STT:
Pendidikan Theologia di STT di lingkup gereja dan yayasan penyelenggara semacam Pantekosta, Kharismatis ataupun yang sering dikelompokkan secara besar 'aliran injili' (seakan yg lain tidak) menyimpang dari hakikat hadirnya lembaga pendidikan di tengah masyarakat, yakni jika diukur dari esensi Tridarma Perguruan Tinggi. Soal pengajaran lebih didominasi kurikulum teologia, meskipun jurusannya non- teologia misalnya PAK, Kongseling dan Musik Gereja. Hampir semua lembaga membanyak-banyaki kurikulum teologia. Penelitian yang sering dilakukan masih seputar teks-teks keagamaan, literatur atau studi kepustakaan. Mahasiswa dan dosen lebih nyaman mengurung diri diruang perpustakaan dikelilingin seabrek-abrek buku, ketimbang berada diantara umat. Penelitian empiris berbasis lapangan terhadap manusia dan kompleksitas kehidupan nyata sangat dihindari dengan berbagai alasan oleh mahasiswa dan dosen terkait. Akibatnya, terjadilah kurangan pengertian yang benar dan akurat terhadap hakikat jemaat sebagai masyarakat luas yang mempercayai isi dan tulisan kitab suci dibanding apa makna isi dan tulisan itu dan bagaimana itu berproses dim asyarakat menjadi luput dari pengamatan. Mereka tidak gemar melakukan penelitian empiris mendalam dan objektif terhadap dinamika komunitas masyarakat luas dan Kristen pada khususnya.
Pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat memang disebut-sebut oleh mulut dosen dan mahasiswa di dalam kelas tetapi apa dan bagaimana itu berproses di alam kehidupan nyata sangat tidak terpikirkan secara mendalam.
 
Pengabdian masyarakat melulu hanya ditempatkan berpraktek di gereja dengan dan sibuk mengurusi urusan rumah tangga pendeta. Koster atau pengerja tak ubahnya babu rumah tangga. Semestinya, pengertian masyarakat disana tidak sesempit warga gereja tetapi juga orang-orang di luar gereja. Baiknya, panggilan, pengalaman dan pelatihan melayani itu tidak sesempit hanya untuk membersihkan diri dan keluarga pendeta yang kotor. Bandingkan dengan KKN atau PPL universitas yang langsung terjun ke desa tertinggal dan bersentuhan langsung dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat lokal. Bahkan amat umum terlihat sekelompok mahasiswa/I PPL menjadi tokoh sentral untuk membelajarkan anak-anak, ibu-ibu, kelompok remaja, orang tua dan lansia. Padahal, misi Kristen yang diumbar-umbar atau ditanamkan ke dalam otak mahasiswa adalah merealisasikan misi messianik berdasarkan keterangan-keterangan injil kedalam alam nyata. Pertanyaan simple, bagaimana mungkin bisa mengabdi ke masyarakat sedangkan ilmu soal masyarakat itupun tidak dikaji secara matang di dalam kelas. Bagaimana cara menjadi soko guru ditengah masyarakat karena nyatanya hanya terkurung di dalam gedung gereja dan kompleks perumahan pendeta? Memang, jika mengingat lamanya STT eksis di Indonesia semua orang pantas mengapresiasi eksistensinya bukan kontribusinya. Apakah yang menyebabkan timpangnya antara ilmu teks di dalam kelas dengan ilmu kehidupan di luar kelas itu? Berikutnya, saya ingin menyingkap akar persoalannya terlebih dahulu.
 
 
Sebab Masalah:
Saya melihat, tampaknya persoalan akademik itu disebabkan oleh paradigma yang keli

ru bahwa STT dianggap berbeda dengan perguruan tinggi umum atau ilmu teologia ditempatkan berbeda dengan ilmu umum. Saya tidak setuju dengan pembedaan itu. Perbedaan sebaiknya bukan pertentangan. Pun, seharusnya meskipun pembeda itu ada hanya sebagai alat identifikasi untuk memfokuskan cara melihat persoalan, bukan malahan membatasi ilmu melihat dan mengurainya. Jika dilihat dari Surat Keputusan dari Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimas Kristen untuk semua STT negeri (misalnya STAKPN) atau swasta di Indonesia, memang wilayah keilmuannya adalah Sekolah Tinggi Theologia dengan berbagai program studi. Tetapi, saya menterjemahkan itu sebagai  payung besar saja atau titik berkumpul bersama sebagai awal untuk memperjelas siapa kita dan lembaga apa yang menaungi kita ketika mengkaji persoalan-persoalan hidup. Ini “make sense”. Bukankah STT berada di bawah otoritasi Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen? Ia tidak berada dibawah asuhan Departemen Theologia Direktorat Bimbingan Teologi Kristen. Bahkan, pun jika ada Biro atau Divisi ataupun Seksi dalam Sinode Gereja tertentu, ia sering dinamai Biro Pendidikan bukan Biro Theologia. Lalu, bagaimana meluruskan kekeliruan dan meluaskan pemahan kita soal 'beda' ilmu umum dan ilmu agama ini?
 
Perluasan Ilmu:
Sudah saatnya dan seharusnyalah proses edukasi di STT disebarluaskan dengan cara pendekatan yang mengutamakan kajian terhadap hidup seperti yang banyak dijelaskan contoh-contohnya di dalam kitab suci, namun belum disebutkan bagaimana itu ada di dalam hidup hari ini sesuai dengan lokasi terjadinya kehidupan itu sendiri. Dengan adanya kajian-kajian terhadap kehidupan teks dan kehidupan nayata itu, maka hasilnya akan menaikkan level keilmuan di STT. Lapangan risetnya sudah harus berinterrelasi dengan masalah masyarakat Kristen dan masyarakat lainnya bukan lagi hanya berputar-putar di dalam kitab suci Kristen. Melaksanakan kelimuannya seharusnya lebih disesuaikan dengan realitas sosial hari ini sesuai dengan persoalan-persoalan lokal dimana STT itu bertempat.

Pendekatan keilmuannya seharusnya diperluas dengan paradigma multi-disciplinary dan multi-purpose. Multi-disciplinary, saya terjemahkan perpaduan antara beragam pendekatan keilmuan dalam satu keahlian khusus dalam satu disiplin akademik. Multi-purpose disini, saya artikan hanya sebagai alat atau metode , bukan tujuan dari  kelimuan itu sendiri, sekaligus sebagai pendekatan yang digunakan dengan beragam cara.

Misalnya, untuk membahas teologia Perjanjian Lama (PL) soal bagaimana Tuhan eksis di dalam kehidupan komunitas beragama bangsa Israel lewat kisah Ester bisa saja dilihat dari ilmu politik. Bagaimana konspirasi Naaman dikalahkan oleh konspirasi Ester bersatu padu dengan Mordekhai bersama dengan intervensi Tuhan? Ilmu politik itu bisa diundang masuk ke dalam ilmu teologia PL untuk menjelaskan fenomena di dalam teks yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan komunitas umat beragama Kristen yang selalu diposisikan sebagai minoritas ditengah-tengah komunitas mayoritas lain. Ini contoh kasus. Sulitnya kita sebagai orang Indonesia beribadah kepada Tuhan, jika dilihat dari penutupan dan pembakaran gereja dan kasus-kasus kriminalisasi berbau-bau SARA lainnya. Apapun argumentasinya, tentulah ada konspirasi dengan level tertentu dan dari pihak tertentu yang perlu disingkapkan siapa dan bagaimana itu masih bisa terjadi, serta bagaimana fenomena itu terjadi. 

Kisah teologis dari teologi PL Ester itu akan sangat canggih dan  betul-betul berguna bagi kita dan bangsa Indonesia bila dikaitkan dengan ilmu politik dan kajian sosiologi masyarakat dengan pendekatan-pendekatan teori sosial lain, tinimbang hanya mengeksposisikan keagungan cerita Ester itu secara berulang-ulang dari satu angkatan keangkatan mahasiswa selanjutnya.

Kasus Ester ini juga sekaligus memberikan ilmu dan pendekatan yang 'beraroma lain' soal kawin campur tidak seagama atau tidak seiman yang masih menjadi polemik agama dan sosial yang tak berujung di Indonesia  hingga detik ini, apalagi jika dikaitkan dengan Fatwa-fatwa agama Islam dan doktrin Kristen misalnya. Kasus ini menarik dan sangat relevan ketimbang isi dan pesan-pesan teologis semata. Bagaimana mungkin si Ester seorang turunan Israel biasa 'dikawinkan Tuhan dengan sang Tuanku Raja Ahasweros yang nota benenya adalah 'kafir' (tidak ber-TUHAN-kan YAHWEH), tetapi itu terjadi dan kita yakini itu Firman Tuhan. Padahal, ajaran Perjanjian Baru (PB) dan konsep-konsep 'keesaan Tuhan' dan 'pernikahan kudus' sangat mengharamkan model nikah campur  dan mensekutukan Tuhan seperti itu. Bagaimana hal-hal polemik teologis itu dikaji dan dikaitkan dengan ilmu politik, sosial, budaya, komunikasi dll sesuai dengan ketertarikan dan sudut kajian sesesorang terhadap kasus itu, daripada hanya mengurai arti tekstual dari tulisan-tuisan Ibrani di dalam kisah itu. Kita tidak hidup hanya karena menghafal dan mengkaji teks, tetapi kita bisa menhidupkan teks ke alam nyata, dan bisa mengukur bagaimana kehidupan teks itu di alam riil hari ini. Model kajian multi-pandang itu hari ini akan sangat memberikan jalan keluar dan pencerahan baru dari kasus Ester yang sudah silam itu. 
 
Oleh karena itu, disini multi-purpose ini lebih luas yakni sebagai ‘titik perpaduan’ atau katakanlah

‘integrasi dan interkoneksi’ sosial sains dan ilmu keberagamaan. Ini jauh lebih luas karena berparadigma yang sangat beragam antara tujuan, metode, disiplin akademik dan keilmuan lainnya yang dipakai untuk membantu mengembangkan ilmu, agama dan hal-hal yang terkait dengan teologi dan proses pendidikan di dalamnya. Ini penting karena inputdi STT semakin variatif dan outputnya pun sedang menghadapi masalah-masalah yang semakin multi-kompleks pula.  Makanya, seperangkat pendekatan keilmuan harus bersifat multi dan lulusannya harus bersifat multi pula, bukan hanya dibatasi oleh pendidikan teologia semata.
 
Disinilah pentingnya interrelasi antara pendekatan keilmuan sains, sosial sains, dan sains humanities dengan theologia, apalagi dengan mengingat masyarakat yang diteliti, mahasiswa, dosen dan seluruh civitas akademiknya bersifat multikultural. Karena itu, jika ingin menjadi lebih religius harus menjadi interreligius di dalam pemikiran, keilmuan dan perilaku. Ini perlu bagi STT dan mahasiswa untuk mendapatkan multi-eksperimen dan multi-eksperien. Jika sudah begitu, apakah kontribusi yang didapatkan dari multi-pendekatan itu?
 
Kontribusi STT:
Harapannya, STT sanggup berkontribusi untuk mengembangkan struktur berpikir, sistem nilai terhadap segala sesuatu yang meluas, dan sikap teologis dalam  tindakan sosial  secara baru di kalangan Kristen. Misalnya, jika ada kelompok masyarakat masih rutin melakukan jiarah kubur, menabur kembang, menyajikan makanan tertentu di pohon-pohon besar atau tempat yang dikeramatkan akan tidak langsung dilihat dari tindakan kelompok masyarakat secara komunal yang sesat agama. Namun, dilihat dahulu mengapa hal-hal itu bestari di lingkungan komunitas tertentu. Bagaimana masyarakat menilai tindakan kelompoknya itu sehingga meskipun ia umat beragama namun lestarikan ritus tradisional itu? Bahkan,apa lacur, mengapa orang kota, terdidik, berilmu, berpangkat juga turut diantara ritus komunitas itu? Ini sangat menarik dan melatih kita untuk mengerem kebiasaan menghakimi secara cepat. Fenomena kayak gitu akan mengajak kita untuk mengumpulkan dan mendalami ilmu atropologi, sosiologi, budaya popular-besar di kelompok budaya kecil-tradisional masyarakat (cultural studies), dan lainnya untuk mengungkap penampakan itu yang bisa dibangunkan menjadi ramuan berilmu, ketimbang mengata-ngatai itu salah, sesat, musrik dan stiga negatif berparadigma teologi sempit belaka. 

Kini, di STT perlu cara berpikir yang bukan lagi hanya mono-pendekatan (‘single-approach’) tetapi harus mulai bergeser (dalam artian meluas) kepada ragam pendekatan (multi-approach) yang dipadukan dengan berbagai tujuan dan pendekatan. Artinya ilmu yang dihasilkan memang bisa berfaedah untuk perbaikan kehidupan sosial Kristen. Semua ini sebagai upaya untuk memberikan kontribusi kongkrit dan demi peningkatan atau pengembangan keilmuan tanpa harus membedakan umum atau awam, sekular atau non-sekular. Disinilah perlunya metodologi riset sosial dan ilmu-ilmu sosial lainnya sebagai alat analisis terhadap masalah sosial yang telah terjadi di dalam Alkitab dan yang sedang terjadi di alam kehidupan kini.
 
Berbicara mengenai multi-cara pandang tentu akan membutuhkan seperangkat keilmuan demi tercapainya perubahan sosial baru juga. Perubahan ini penting karena civitas akademik STT bukan lagi hanya milik gereja tertentu dan tidak bisa lagi dilabeli dengan denominasi tertentu. Faktanya tidak ada lagi lembaga yang “murni atau asli produk internal. Bahkan, dapat dikatakan teologianyapun sudah campur-campur. Mahasiswa dan dosen semakin heterogen, pun pemakai lulusan semakin multi-dimensi pula.  Malahan, jika berani mengaku dengan jujur, hampir terpastikan tidak satupun lembaga yang merekrut civitas akademiknya hanya dari kalangan intern, dengan alasan yang bisa dibuat-buat. Malah, akan semakin dianggap hebat dan berbobot jika dosen dikuliahkan di lembaga lain yang asing.

Contoh, bukankah lebih ampuh rasanya, ketika membahas islomologi dengan membentuk team teaching dari ulama atau cendikiawan Muslim bersama dengan teolog Kristen di dalam mata kuliah itu? Ketimbang, mata kuliah itu hanya diajarkan oleh pendeta Kristen yang paradigmanya selalu menganggap Islam itu agama sesat dan Muslim itu perlu diselamatkan agar masuk sorga.  Bisa diprediksi ajaran seperti apa yang keluar dari mulut pendeta-dosen tersebut di dalam kelas yang pasti langsung diyakini dan diikuti mahasiswanya, ketika membahas soal-soal keislaman. Padahal sang pendeta itu tidak pernah kuliah satu semester pun di Universitas Islam secara formal. Lalu, pantat pendeta-dosen itupun tidak pernah duduk bersila di Masjid mendengarkan tausiah pak haji atau pengajaran dari dosen Muslim di kampus Islam. Paling-paling, ia hanya ikut-ikutan seminar dan membaca satu dua buku yang ia sortir sendiri. Saya merasa, timbulnya perang teologis diantara pimpinan umat dan beradu jotosnya umat itu sendiri hingga berdarah-darah adalah karena ketololan ilmu para pengajarnya saja yang disebabkan oleh tidak adanya kerjasama lintas lembaga antara Kristen dan Islam secara massal diantara kita.   
 
Fakta sosial yang telah ditutrkan diatas itu seharusnya mendorong STT secara cepat untuk melakukan reaktualisasi keilmuannya. Ini membutuhkan reposisi banyak hal. Bagi yang tidak siap akan mengalami turbulensi akademik dan akan menjadi orang pertama yang mencemooh tulisan ini, bahkan menghujat namaku. Meskipun demikian, dalam hal pergeseran-pergeseran ini, saya mengarahkan STT tetap memegang ilmu di bawah payung besar seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, namun tetap memiliki “core values,lembaga masing-masing. Saya ingin melanjuti, ada apa sebetulnya d dalam diri para pengurus STT itu, sehingga sulit sekali ikut atau terlibat aktif di dalam perubahan, padahal mulutnya amat gemar mengkhotbahkan jimat itu? Berikut analisis saya menyangkut kesulitan melakukan perubahan, tetapi ada kemudahan mengatakannya.
 

Ada Apa di dalam Diri STT?
Saya melihat selama ini apa yang dipelajari di STT secara umum belum sampai menyentuh core

values tadi. Tesis saya ‘kebanyakan pendidikan di wilayah ini  tidak memahami bahwa STT adalah sebagai studi keberagamaaan (study of religiousity), tetapi dianggap hanya sebatas yang saya namakan ‘pergi ke sekolah teologia.’ Ini titik penekanannya hanya pada objek materil, yakni membahas ‘Studi-studi Teologia”. Hal itu tampak dari empat pembidangan keilmuan (historika, sistematika, biblika, dan praktika) yang dipelajari. Catatan tambahan STT Mainstream biasanya menambah satu pembidangan lain sehingga menjadi lima, yakni bidang-bidang umum, semacam sosologi, budaya, politik dan sosial sains lainnnya. Padahal jika diamati secara mendalam keempat pembidangan tadi hanyalah salah satu dari objek materil kajian dari studi keberagamaan.
 
Jika STT juga termasuk pendidikan keagamaan di bawah Departemen Agama di wilayah otoritas Bimas Kristen tentu tidak melulu hanya menekankan kajian soal teologis dalam 4 pembidangan tadi. Saya mengamati secara mendalam lewat standar proses pembelajaran, rasanya sangat beralasan jika hal-hal itu hanya fokus pada kajian teologia dengan berkonsentrasi kepada rumusan-rumusan yang diambil dari Kitab Suci dan teks-teksnya. Artinya, konsentrasi seperti itu dalam wilayah metodologi riset disebut sebagai texts analyzise. Ia hanya berkutat di dalam analisis teks kitab suci yang dipercayai masyarakatnya, belum sampai pada human analyzise, yaitu pemahaman langsung terhadap masyarakat yang mempercayai teks Kitab Suci itu.
 
Untuk itu, saya menganggap bahwa proses dan pendekatan pendidikan di STT tetap dilakukan sesuai ‘core values’ atau disesuaikan dengan ciri khas STT setempat, misalnya kepantekostaan, kebaptisan, kecalvinan, kewesleyan, kelutheran, dan kean-kean lainnya. Tetapi, pendekatan dan keilmuan untuk mencapai maksud itu perlu diperbaiki dan harus diperlebar. Jika hanya mendekati dengan membangga-banggakan ciri khas golongannya itulah yang saya anggap sebagai ‘syndrom selfie’ karena disebabkan kepicikan berpikir. Mereka yang seperti itu sedang mengidap penyakit yang sudah akut ‘yang lain tidak sama dengan saya’ karena faktor fanatisme berlebihan terhadap diri sendiri. Memiliki ciri khas itu sangat penting, namun jangan sampai itu menjadi alat diskriminasi untuk 'melainkan' orang lain. Mencintai diri sendiri secara berlebihan akan bisa membeci orang lain. Oleh karenanya, sering-seringlah menilik keluar kampus sehingga nampak gambaran dan kebutuhan riil yang lebih luas. Malahan, lebih baik dosen STT studi lanjut di lembaga atau universitas agama lainnya, yang memang mereka terbuka untuk itu.


Berikut contoh riil soal kerjasama akademik lintas lembaga, keilmuan dan keyakinan itu. Saya sebagai pendeta Kristen lulusan S1 STT atau Universitas Kristen jurusan PAK diterima jadi mahasiswa S2 di Univ. Negeri Yogyakarta. Pun, sebagai Kristen-Pendeta dterima kuliah S3 di Univ. Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Islamic Studies. Saya hanya ingin mengatakan, 'aku sendiri' adalah, menjadi contoh nyata soal kuliah lintas lembaga ini. Saya mengatakan, dengan kuliah di lembaga Islam, malah semakin menguatkan iman Kristen saya, bukan malah kehilangan pegangan iman. Malahan, ketika Natal dan Paskah, saya mengajak teman kuliah untuk ibadah bersama jemaat. Dan, dua orang diantara mereka saya minta khutbah soal kedua hal itu dari sisi pandang Muslim di mimbar gereja Pantekosta Jemaat "Tamansari" Yogyakarta yang saya gembalakan sendiri. Ustadz Mansyur dan Yusron bersedia mengkhutbahkannya dengan senang hati.

Lebih lanjut, bahkan, sejumlah teman-teman sekelas yang mengikuti ibadah tersebut merasa mendapatkan sensasi lain yang lurus dan benar, yang belum mereka nikmati selama ini tentang suasana, makna dan hadir sendiri didalam ibadah Natal dan Paskah di gereja, tanpa mereka melepas jilbab dan identitas sejatinya sebagai Muslim. Mensekutukan Tuhan pun jauh dari perilaku saya, tetapi yang ada adalah mencari sekutu dengan sesama Muslim saleh dan arif lainnya dan semakin mencintai mereka apa adanya. Malahan, lewat adoktrin Al-Qur'an yang diajarkan Islamlah banyak kutemukan pengertian-pengertian Alkitab dengan prisma pandang yang banyak dan argumentasi yang menguat tentang makna-makna penting tentang Firman Tuhan yang dijelaskan di dalam Alkitab. Lantas, bagaimana STT menghadapi perubahan yang dijelaskan sebelumnya?
 
Perubahan Era: STT Hendak Kemana?
Zaman sedang berubah. Kini, pendekatan keilmuan juga berubah, pun gelar berubah. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Saur Bernardus Hasugian (pernah menjadi Dirjen Bimas Kristen Depag RI), ketika visitasi ke STT Salatiga 24 Agustus 2010. Teologi telah menjadi dan diakui sebagai ilmu (maksudnya: sains atau pengetahuan), meskipun sebetulnya baru-baru saja pengakuan itu didapat. Walau demikian, tetap banyak hal yang perlu disiapkan soal ini. Ini tidak segampang dan semudah kelihatan untuk mengoperasionalkankarena terkait soal kaidah-kaidah dan syarat-syarat keilmuan dan metodologi, atau filsafat keilmuannya. Makin tidak mudah, karena kita mengahdapi mentalitas para pengurus STT yang phobia di ke-baru-an tapi gamang di ke-lama-an.
 
Perubahan itu sekaligus sebagai tantangan yang harus dijawab oleh orang-orang di STT. Di label kesarjanaan juga terjadi pula pergantian penyandangan gelar. Jika selama ini Pendidikan Agama Kristen hanya Sarjana Theologia (S.Th) jurusan Pendidikan Agama Kristen, biarpun pernah juga Sarjana Pendidikan Agama Kristen (S.PAK), atau S.Th, kini menjadi S.Pd (k) Sarjana Pendidikan Kristen.

Saya melihat adanya perubahan teologia menjadi ilmu di STT, mau tidak mau hal ini harus mereposisi proses dan metode kelembagaannya ke wilayah masyarakat yang lebih luas demikian juga lulusan. Mereka telah menjadi konsumsi masyarakat luas bukan lagi hanya dikonsumsi oleh denominasi penyelengara. Jika memang demikian, seharusnya mahasiswa STT menyiapkan mental untuk siap melayangkan lamarannya untuk bekerja diinstansi umum lainnya selain berputar-putar di dalam gereja, yayasan dan sekolah-sekolah Kristen lainnya.

Perluasan seperti yang dijelaskan sebelumnya itu memberanikan saya untuk mendorong mahasiswa untuk memperluas jaringan kerjanya di semua bidang. Misalnya bekerja di bank, jadi duta besar, ketua umum, ketua daerah, ketua cabang partai politik. Bisa juga bekerja di luar negeri sebagai TKI ,tapi manajer industri rumah tangga minuman ringan dan sirup. Misal, seperti sahabat saya Merry Manullang di Malaysia (ia bukan hanya TKI pembantu rumah tangga, tetapi tetap sebagai penanggung jawab penuh pelayanan di Gereja Grace Shah Alam Malaysia). Pelayanan lain yang perlu digarap bisa saja di departemen-departemen pemerintah lainnya, perusahaan, industri musik, perusahaan-perusahaan yang menjual ide-ide kre-atif, UKM dan bidang-bidang kewiraan lainnya. Semua itu adalah ladang kreatif untuk memuliakan nama Tuhan, tinggal bagaimana kita memandang dan memposisikan diri di dalamnya, dan mengelola dunia ini menjadi ladang misi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat., tentu disesuaikan pula dengan cara masing-masing orang.


Tidak akan ada keraguan sedikitpun, akan senang rasanya mendengar berita mahasiswa yang kita ajar menjadi karyawan atau manajer di bank Danamon di Pangkalanbun-Kalimantan Tengah, (BII, Mandiri, BNI atau bank lainnya) selain Bank Bapa di Sorga atau bekerja di dinas sosial Kabupaten Nias, dan broadcaster radio di Malang seperti kasus beberapa mahasiswa yang pernah saya 'kuliahi' di STT Salatiga, Jateng, STT Nazarene Indonesia Yogyakarta. Saya memilih untuk menunjukkan jalan bagi mahasiswa STT asal NTT, NTB untuk mendirikan perusahaan (skala kecil atau besar) jagung dengan resep dan kemasan tertentu yang menarik di desanya sendiri-sendiri, tinimbang bergumul dan berdoa puasa untuk meminta petunjuk Tuhan, mau membuka gereja dimana di Jawa. Terkait kasus 'Jagung Kupang' itu, tidak ada yang bisa menentang dan menghalagi saya untuk mengajak mahasiswa menjadi perintis pelaku bisnis Kristiani lokal model begitu, mengingat letak geografis dan kekayaan alam disana, serta kebutuhan masyarakat sana. Saya tidak mengindoktrinasi mereka, bagaimana berteologia yang canggih dan muluk-muluk setinggi langit. Saya menunda menggugah mimpi mereka menjadi teolog hebat dan tenar. Namun, sulit bagi saya untuk menahan mulut untuk mengumbar jurus-jurus jitu bagaimana membuat "Popcorn Kupang beraroma Kristen' yang diawetkan namun organik yang bisa sampai terjual ke California jika ditelateni dengan setia.

'Musuh' Dalam Selimut:
Sehubungan dengan anjuran jadi wiraswastawan bagi mahasiswa STT, itu bisa dipastikan saya menuai cibiran. Tidak menjadi soal. Kita harus dicibir oleh bibir yang kiwir-kiwir hingga kita bisa cicipi kenikmatan sukses itu nantinya oleh bibir sendiri. Itulah perjuangan yang pantas dilakukan. Meskipun, awalnya saya dikecam habis-habisan, diolok-olok sedemikian rupa namun hal baik seringkali harus melalui hal jelek. Pun, bahkan ada ketua STT yang 'mem-blacklist' ketika saya mengajarkan hal itu di kelas. Dengan demikian, saya terbiasa dianggap musuh dalam selimut. Atau, malahan saya menganggap ada musuh di dalam selimut STT itu. Kenyataannya adalah diri, ego, kebodohan, dan keengganan kita sendiri, atau ketidakseringnya kita saling berkomunikasi secara jujur untuk mengutarakan alasan-alasan logis dan akademik kita untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu itulah musuh bersama kita, bukan pribadi kita itu sendiri. Meskipun begitu, saya tetap berjuang dan sekarang hanya bisa senang ketika sejumlah mahasiswaitu berterimakasih atas dukungan dan penunjukan 'jalan lain' yang bisa mereka tempuh untuk menginjili orang lain.

Sialnya, sejumlah Big Boss atau Yang Dipertuan-besarkan di STT 'amat benci' melihat cara yang saya tempuh untuk memotivasi mahasiswa berpikir, bertindak atau melayani di luar kotak. Lebih sialan lagi, ternyata, sejumlah STT dengan bangga memampang phota-photo lulusannya yang telah bekerja di sejumlah instansi itu di kantor ketua STT atau di kantor admisi, plus brosur yang dengan senang hati diberikan gratis kepada siapa saja, ditambah dengan tesminoni lainnya ketika promosi untuk membesar-besarkan diri dan lembaganya sendiri. Padahal, ilmu untuk sampai bisa bekerja di luar institusi label Kristen nihil diajarkan di STT. Pun, pengarahan untuk menjadi saksi dan terang Injil itu hanya diumbar di depan kelas dan mimbar-mimbar kapel, tanpa tahu-menahu bagaimana sih caranya.

Saya hanya berpikir, jika masih ada yang menentang ini, pastilah mereka lupa, bahwa tidak semua Sarjana Teologia itu dipanggil khusus oleh Tuhan untuk menjadi Pendeta, tetapi seharusnya semuanya terpanggil menjadi 'aktivis Kristen' di dalam dan di luar gereja. Bukankan injil itu harus diberitakan sampai ke ujung bumi? Artinya, Injil itu harus bersinar di Bank Danamon. Injil itu harus bersinar di NGO. Injil itu juga dikhususkan Tuhan untuk orang Rimba. Isi Firman Tuhan itu juga berlaku di hutan belantara bagi suku Komring Ilir di Lampung dan Palembang. Lalu, siapa yang akan menyinarkannya jika para Sarjana Thologia yang ngerti betul soal itu hanya dikerangkeng di gereja? Siapa yang akan membawa kabar baik, jika kaki para pengerja lulusan teologia itu diikat dengan urusan rumah tangga pendeta selalu? Bagaimana mahasiswa bisa pergi menyampaikan Injil, jika kamera cctv selalu mengintai kemana mereka pergi, jika sekuriti dan menjulangnya tembok gereja yang tinggi membatasi mereka bermimpi? Dari semua yang saya lakukan itu, kemana arahnya, dan untuk apa sebetulnya? Apakah untuk kemegahanku dimata mahasiswa yang seolah terbius dengan ajaranku, atau memang itulah yang pantas dilakukan dan dibutuhkan mahasiswa dan orang-orang di desanya?
 
Untuk Apa STT itu Kita Pertahankan?
Dengan demikian pendidikan di STT saya posisikan sebagai Lembaga Ilmu Pengetahuan Kristen

Indonesia yang berperan sentral sebagai institusi akademik sebagai salah satu wadah untuk pencarian dan pematangan ilmu pengetahuan Kristen dengan mandat khusus sebagai bidang think thank pengembangan keilmuan dan masyarakat Kristen itu sendiri. Sisi baik jika Theologi diakui kesejajarannya dengan ilmu-ilmu lainnya maka lulusannya akan semakin diakui sejajar dengan lulusan jurusan ekonomi, sains, tehnik, komputer, matematika, sastra, teknik sipil, hukum dan bidang ilmu lainnya. Kebahagian lain, bagi lulusannya akan diterima sebagai abdi negara atau hamba negara secara hukum karena bisa diterima sebagai PNS-Pegawai Negeri Sipil, meskipun seharusnya PNS bukanlah pilihan yang terlalu baik untuk S.Th, atau SPd.K tetapi lebih baik ketimbang tidak bekerja sama sekali.
 
Menurut saya, dengan menggunakan multi-pendekatan itu, ini sekaligus sebagai upaya sadar kita untuk membungkus ilmu dan agama dalam satu bungkus khusus sebagai ‘ijtihad’ (berniat dan berikhtiar mulia untuk terus-menerus menemukan kebenaran) akademik dalam rangka mensejajarkan STT dengan ilmu-ilmu sosial lain dan meluluskan mahasiswa yang semakin religius dalam keilmuan dan perilakunya di dalam kelompok internal dan juga terhadap siapapun. Ini misi atau ‘jihad’ (bekerja keras untuk Tuhan secara keilmuan) ilmiah yang harus kita emban agar STT tidak lagi termarginalkan jika disandingkan dengan lembaga dan keilmuan lain.

Coba perhatikan sejenak lembaga pendidikan Islam semacam pesantren, Institute Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang kini makin menjamur untuk mentransformasi dirinya sendiri menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) dengan multi pendekatan keilmuan disertai dengan pembukaan sejumlah Fakutas dan Program Studi baru lainnya. Mereka ini yang dahulunya bersama-sama kita di bawah asuhan Kementrian Agama berawal dari sekolah-sekolah pendidikan teologi-agama yang bisa dipersetarakan dengan STT. Hasilnya, sejumlah pemimpin di Indonesia banyak lulusan dari pondok pesantren atau lembaga pendidikan keagamaan Islam tadi. Secuil kisah nyata yang mudah diingat, katakanlah semisal Almarhum-Gusdur (pernah jadi presiden RI ke-4) dll. Jika dilihat lulusan dari STT, amat kecil bilangannya yang sampai terdengar di aras pimpinan nasional. Padahal, mulut kita sampai berbusa-busa mengatakan "Kamu adalah umat yang lebih dari pemenang"; "Kamu adalah kepala bukan ekor" dan slogan-slogan bombastis lainnya, yang mengatakan kita adalah pemimpin disini. Sialnya, itu hanya sebatas Firman Tuhan yang tertulis mati semata karena seolah-olah tidak bisa diwujudkan oleh STT itu sendiri.


Oleh itulah, saya mengatakan bukan manusia di STT itu yang tidak punya kemampuan setara dengan kauman Muslim dan institusi keagamaan lainnya. Namun, cara memandang diri kita itu sendiri yang sesat pikir, atau cara kita memposisikan kelembagaan dan keilmuan itu sendiri yang kita palangi sebatas urusan iman, teologi sorga dan akhirat semata. Semua kita sepakat, bahwa kita harus menjadi "martir" (saksi, yang meskipun tidak semua harus mati-shahid) di Yerusalem, Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung bumi. Nyatanya, kita hanya bersaksi di atas mimbar dan pertemuan-pertemuan ibadah rumah tangga Kristen lainnya. Aktivitas ini, meskipun berguna, namun di sisi lain amat sangat membatasi diri sempit sesempit gedung-gedung gereja perintisan yang kita buat sendiri, sesempit-ladang-ladang Tuhan yang makin terhimpit karena sempitnya kemampuan kita untuk menggerakkan daya pikir di dalam otak kita yang juga kecil.

Jadi, jika kita tidak mau merubah diri kita sendiri, Tuhan pun tidak akan melakukannya untuk kita. Jika kita ingin melihat slogan-slogan indah itu terjadi di Indonesia, maka kita harus menyiapkan lulusan STT itu untuk bisa untuk itu sehingga mereka berkiprah di level Indonesia, bukan lagi di level dapur rumah pendeta besar semata. Kita harus mengadakan ilmu untuk itu di STT agar lulusannya bisa menjadi presiden, menteri, Gubernur, Bupati, Diplomat, Lawyer, pemilik perusahaan multi nasional sukses dsbnya. Terima atau tidak, maka tidak ada cara lain selain merubah cara mahasiswa untuk melihat dirinya sendiri, bahwa ia milik bangsa ini, bukan lagi hanya milik gerejanya. Hanya orang yang bisa melihat apa yang ada di dalam dirinya sendiri secara benarlahlah yang bisa menjadikan dirinya menjadi milik partai politik, masyarakat, bangsa dan Negara, seperti halnya Yusuf, Daniel, Ester, Ezra, Nehemia dan tokoh-tokoh Kristen yang memang sudah dituliskan Tuhan sendiri di dalam Alkitab.
 

Ringkasnya, mahasiswa memerlukan ragam keilmuan, proses pendidikan keberagamaan yang memberikan kesempatan kepada mereka akses luas kepada ragam keilmuan dan ragam karir agar mereka memiliki multi-eksperimen dan multi-eksperien. Mereka memiliki panggialn atau kebutuhan hidup di alam nyata, BUKAN LAGI HANYA sebatas cari Tuhan di jalan agama semata. Keragaman ini perlu direalisasikan secara kongkrit supaya bisa sampai mencipta perubahan di lingkungan, denominasi gereja tertentu dan masyarakat luas. Ah, mungkin ada yang mencibir, itu tidak mungkin, muluk-muluk, itu bukan panggilan kita? Hal itu bisa saja demikian terjadi sebagai petanda ketidaksiapan belaka. Bagi saya, lebih baik untuk mencari cara untuk melaksanakannya secara tepat sesuai dengan ciri khas kita sendiri sehingga STT berhasil menjadikan dirinya berilmu dan sebagai lembaga yang meluluskan sarjana Kristen milik publik yang selevel bahkan melewati sosial sains yang lain. Ringkasnya, saya akan mengakhiri dengan cara seperti ini. Mustinya isi, proses dan metode berilmu dan pendidikan di STT itu diperluas esensi pemahamannya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang memang betul berilmu dan berperilaku tinggi yang berproses dalam kehidupan rill dengan mempunyai dan mendalami ilmu keberagamaan dan kehidupan kekristenan bukan hanya pengajaran hal-hal teologis  semata sehingga lembaga itu berguna untuk banyak orang atau lulusannya bisa terpakai di masyarakat. Itulah alasannya, kenapa kita mesti mempertahankan adanya STT di bumi ini. Karena hanya dari gunanyalah kita bisa diukur orang apakah ada manfaat dan kontribusi dari hadinya STT itu di dunia ini, titik. (Bang Elia).

1 comment:

sammyjazz said...

Ijin share ya, Bang...

Mauliate...