Sunday, May 27, 2012

Islam Politik vs Missiologi Kristen dalam Era Post-Modernisme

Elia Tambunan[1]
Materi Seminar Mahasiswa Teologi dan PAK STT "Nazarene" Indonesia, Yogyakarta, Kadisoka 9 Maret 2012.

A.        Mengapa harus Diseminarkan?
Pendidikan tinggi teologi Kristen (PTTK) sedang berada tepat di pusaran zaman post-modernitas. Banyak fenomena keagamaan yang bermunculan di zaman “kayak gitu”, yang tidak pernah diduga sebelumnya.  Saya lebih senang menggunakan PTTK agar terlihat lebih general, yakni semua program studi di STT. Kali ini saya tidak menggunakan STT-Sekolah Tinggi Theologi Kristen. Alasan akademiknya, jika hanya STT maka secara tidak sadar, kita telah meng-anaktirikan, atau meng-anakpungutkan prodi lain disamping teologi. Impak negatif dari pusaran itu, seringkali menghujam secara langsung kepada komunitas intelektual dan komunitas masyarakat beragama Kristen.

Mengingat populasi manusia Kristen di Indonesia, jika digeneralkan secara cepat berkisar antara 15-20% dari total 237,641,326 jiwa populasi penduduk Indonesia (hasil sensus penduduk tahun 2010), maka harus ada kajian, keilmuan Kristen yang fokus soal masyarakatnya, dan ilmu untuk mengelola masyarakat Kristen. Pertanyaannya, bagaimana Intelektual (ilmu dan orangnya) Kristen dalam seting sosial seperti itu? Ilmu pengetahuan seperti apa yang bisa dipekerjakan institusinya, dan bagaimana cara kerja membangkitkan gerakan intelektual Kristen Indonesia agar “klik” dengan spirit zaman itu? Bagaimana pula cara-cara kreatif dan kritis PTTK bemissi di era ini, ditengah “menggolitanya” kekuatan politik Islam, dan Islam politik sejak masa reformasi bergulir hingga detik ini? Kali ini dalam seminar ini, dalam paper ini akan lebih terfokus untuk menarasikan soal masalah di  PTTK Krisen, dan terkait dengan Islam politik lebih banyak didiskusikan pada forum diskusi interaktif saja.

B.        Politik Islam atau Islam Politik
Politik Islam adalah sebutan yang sering kali disematkan kepada lembaga politik dari komuitas masyarakat beragam Islam secara general. Tetapi yang sedang menjadi kajian publik adalah fenomena agama, sosial, dan politik di kalangan Islam sendiri, yakni Islam politik. Islam politik sedang menjadi suatu fenomena baru dikalangan internal masyarakat Islam Indonesia, khususnya di kota-kota yang sedang mengalami masa transisi dari sistem sentralistik ke era otonomi daerah. Dari fenomena yang tampak, ada alasan untuk mengatakan bahwa Islam politik sedang menjadi gerakan dan kekuatan sosial baru. Fenomena Islam politik tampaknya mampu mengguncang lansekap dan komposisi masyarakat Islam[2] di kota, mulai dari kelompok bawah hingga kelas atas. Saya mengamati, tampaknya yang lebih kuat ada pada sisi politisnya, sehingga tidak terhindarkan adanya “politikisasi”[3] Islam, seperti istilah Bassam Tibi, dan terjadinya “re-islamisasi”[4] masyarakat urban, seperti istilahnya John L. Esposito, dengan takaran dan ragam bentuk manifestasi tertentu.

Jika mengikuti pernyataan dari Noorhaidi Hasan, bahwa memang dari dua dekade yang telah lewat, memang Islam menjadi variabel dominan dibelakang negosiasi politik, dan menjadi bingkai referensi bagi Muslim tertentu di Indonesia untuk merefleksikan sistem sosial, agama, dan politik yang ingin dicapai dan dikembangkan dari variabel didalamnya oleh para pengagas dan pengusungnya[5]. Pernyataan itu sedang menyatakan, bahwa Islam politik Indonesia telah menjadi salah satu mode dan bentukan baru bagi identitas keagamaan. Argumentasi ini diperkuat dari hasil pengamatan terhadap semakin aksentuatifnya simbol keagamaan dalam ruang publik, dan meningkatnya kesalehan pribadi dan sosial sebagai gaya hidup baru, sama seperti bermunculannya institusi Islam dengan aksen masing-masing, dan aksessoris sosial di ruang publik kota. Ringkasnya, Islam politik di arena publik kota-kota di Indonesia sedang menjadi fenomena keagamaan, dalam perkembangan masyarakat Islam urban, bukan lagi hanya diskursus, wacana akademik, apalagi retorika politik.

Saya mendefinisikan Islam politik adalah kelompok atau komunitas, bahkan oknum sebagai Muslim yang termasuk kedalam gerakan politik yang saling bermain atau berjalin kelindan, dan saling mempengaruhi antara keberagamaan, intelektual, politik dan sosial. Mereka menggunakan Islam sebagai metode pendekatan, jalan, atau ladang dakwah lewat politik. Mereka, yakni “Islamist”, yakni Muslim itu sendiri yang pro dan menempatkan Islam sebagai ideologi aksi, cara kerja, atau doktrin berpolitik. Dengan pemahaman seperti itu, maka tidak terelakkan sudut pandang, sedang terjadi praktek membawa Islam ke dalam politik atau ke pusat kekuasaan dan arena sosial lain.[6] Akibatnya, tidak terhindarkan adanya konflik kepentingan dan tensi di dalam Islam, misalnya soal identitas sosial, agama, dan politik dari Muslim itu sendiri.

Saya mengamati, bahwa bagi Muslim tipe seperti ini, bagi mereka Islam selain dari identitas, ia juga sebagai strategi untuk menarik minat dari kalangan umat Islam lainnya untuk bergabung, sehingga perjuangan dan tindakan politik menuju nominasi, dominasi, kekuatan, dan keutamaan dalam ruang sosial urban semakin besar. Di Indonesia, kemunculan dan perkembangan Islam politik di Indonesia, memang beragam manifestasi, artinya bukan lagi monolitik.

Menguatnya gelombang kebangkitan aktivis Islam, sehingga sering disebut dengan gerakan sosial Islam karena menggunakan Islam sebagai ideologi pergerakan. Kelompok yang dominan adalah semacam Laskar Jihad, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin, Forum Komunikasi Ahl-Sunna wa al-Jama’ah, Hizb al-Tahrir[7]. Menurut hasil pembacaan terhadap sejumlah literatur, gerakan sosial Islam ini merupakan ciri khas manifestasi Islam politik di Indonesia, yang berupaya menggunakan idiologi Islam untuk memanggil Muslim secara individu maupun tindakan kolektif kembali ke agamanya untuk terlibat menolak kegagalan sistem politik sekuler, nasional, demokrasi dalam sistem negara bangsa, dengan mengusung sistem, konstitusi atau tatanan Islam yang baru[8].

Muslim tipe seperti ini, menurut Aminuddin, sejak awal hingga kejatuhan pemerintahan Orde Baru, mereka tidak berhenti memperlihatkan usaha-usaha untuk menata kembali kekuatan dan posisi politik, manifestasi pergulatan kekuasan politik di tingkat nasional.[9] Bahkan, jika dilihat dari kenyataannya, Islam politik semakin menemukan ruang untuk berpartisipasi menentukan arah politik negara, bangsa, dan masyarakat Indonesia. Artinya, ladang dakwah lewat jalur dan kebebasan politik semakin terbuka luas. Tampaknya, eksistensi Islamist di negara dan masyarakat itulah, yang memberanikan diri mereka berkata, bahwa prinsip-prinsip Islam cocok, atau bisa sebagai alternatif lain yang dijadikan sebagai suatu cetak biru bagi tatanan sosial.

Sesuai dengan Noorhaidi Hasan, bahwa momentum bangkitnya gelombang pergerakan Islam dalam beragam manifestasi, aktivis dan organisasinya, ternyata juga mengerucut pada tuntutan penetapan dan applikasi sharia’ agama misalnya dalam bentuk Peraturan Daerah, dan hukum sosial lainnya dalam bentuk yang informal. Tampaknya, tuntutan itu hanya sebagai medium assosiasi, atau mekanisme sosial saja bagi aktor atau subjek yang bersifat assosiatif untuk merenggut aspirasi atau popularitas mereka. Saat bersamaan untuk memobilisasi dan mengattraksi minat masyarakat Islam, sehingga menampik keuntungan jumlah suara, yang bisa memperluas jaringan konstituen bagi partai Islam politik yang memiliki agenda, ideologi pergerakan, dan strategi tindakan sosio-religio politik yang sama[10].

Dari kenyataan itu, maka ada alasan untuk menyatakan, bahwa Islam politik tindakan sosial secara kolektif yang saling bemain di arena sosial, agama dan politik sedang membentuk tatanan Islami, seperti yang mereka perjuangkan. Meskipun upaya-upaya mereka selalu disesuaikan atau bertransfigurasi sesuai dengan situasi dan kondisi lokal daerahnya. Transfigurasi adalah perubahan bentuk dalam kerangka proses metamorfosis dalam bentuk fisik, kultural, struktur[11] untuk tujuan dan mekanisme tertentu. Artinya dalam diri Islamist, dan Islam politik ada kohesi dan permainan timbal-balik secara sosial diantara mereka dan dengan tokoh masyarakat berbasis agama Islam.[12]

C.        Missiologi Krsiten di Era-Postmodernisme
Pemahaman kunci dalam postmodernisme adalah “kondisi pengetahuan post-modernisme[13] seperti kata kunci dari Jean-Francois Lyotard (1925-1999). Kondisi itu saya tempatkan “ada di dalam benak, pikiran atau otak aktor atau subjek”. Paradigma pengetahuan post-modernisme adalah kitalah sebagai manusia yang melakukan tindakan perubahan. Ini menandakan aktor adalah subjek yang memiliki kebebasan akademik, yang berlandaskan etik komunitas intelektual dan masyarakat penggunanya, seperti kata Hans Bertens. Kondisi ini sebenarnya diarahkan kepada hal-hal yang partikular, yang bisa, merangkul dan memberdayakan atau memandirikan kelebihan, keunikan, dan nilai tambah lokal sesuai dengan setting sosial dan kebutuhan manusianya, bukan lagi hanya untuk kemegahan arsitektur dan fisik institusi atau organisasinya semata-mata[14]. Artinya, sikap dan tindakan kita dalam ministri berciri akademik, terbuka dan fleksibel.

Kerangka keilmuan di dalam realitas seperti itu, menurut J.W. Bertens dan Joseph P. Natoli, apapun terkondisikan, dan terhubung atau tidak mati dari nilai-nilai normativ dan historis sebelumnya. Artinya, kita harus mengingat, mengapresiasi cerita, peradaban, dan penggagas besarnya lebih bersifat lokal dan parsial[15], sesuai dengan dunia, ruang sosial dimana kita hidup dan melayani. Kita adalah anak zaman kita ini yang secara genealogis atau arkeologisnya kemanusiaan, kerohanian atau spiritualitas dan keilmuan kita hari ini ada dan terkoneksi dari zaman sebelumnya.

Saya lebih suka melihat dan memposisikan post-modernisme itu sendiri seperti penjelasan dari Lawrence E. Cahoone, yakni cara-cara akademik untuk mengkritisi - bukan untuk memberontak, atau menentang, apalagi melawannya - keadaan dan realitas sosial saat ini, terhadap tokoh, sistem, orgnasisasi gereja, ministri yang belum benar secara keilmuan, yang tidak lagi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat untuk menciptakan perkembangan masyarakat dalam kondisi terkini.[16] Artinya missi yang ingin saya bawa dalam diri saya adalah missi intelektual, missi sosiologi, bukan lagi hanya missiologi. Atau ketika berintegrasi dengan komunitas intelektual atau komunitas masyarakat beragama lain, yang saya usung adalah “jihad intelektual dan sosial,” bukan lagi “jihad teologis” atau dakwah keyakinan sempit dan picik melulu.

Perjuangan kita, bukan lagi melawan roh-roh di udara (seperti yang selama ini didengung-degungkan para pendo syafaat di menara-menara Doa yang tinggi menjulang, atau yang bertapa di gua-gua yang sangat dalam, seolah lari meninggalkan bumiNya ini). Kita juga bukan lagi hanya sibuk mematikan  kedagingan kita, tetapi “ketololan dan keidiotan kita soal-soal kehidupan nyata” di depan wajah buruk TT Kristen itu sendiri, itulah yang mestinya juga kita perangi, saat bersamaan. Pedang kita, bukan lagi hanya pedang bermata dua yang tajam.
Tetapi, pedang kita adalah pedang ilmu pengetahuan, dan pedang pemanfaatan teknologi untuk meluhurkan Nama Tuhan. Lihatlah, dengan terintimidasinya dan diterorisasinya komunitas masyarakat beragama Kristen di Indonesia, “seakan-akan Tuhan sudah tidak bersama kita, seolah-olah Tuhan sudah undur dari gerejaNya.” Saya melihat dan merasakan sendiri, Tuhan itu masih disini. Cuman, DIA sedang masgul atau bahkan menangis sejadi-jadinya. Mengapa, ketidakmampuan kita untuk mentafsirkan dan memaknakan kata-kataNYA dalam tulisan indah KITAB SUCI, yang DIA TIDAK PERNAH MAKSUDKAN HANYA SEBATAS TAFSIR TEOLOGIS, TETAPI JUGA TAFSIR DAN MEMAKNAI KEHIDUPAN UMATNYA, itulah penyebabnya.

Dengan demikian, semangatnya adalah kritik pemikiran demi kemajuan komunitas ilmuan dan komunitas masyarakat beragama Kristen. Namun demikian, saya memposisikannya sebagai sebuah metode berilmu dan berpikir secara global, tetapi berteologi, beragama, bertuhan, bermasyarakat, melayani dan bertindak secara lokal sesuai dengan kebutuhan manusianya didalamnya. Artinya, post-modernisme itu hanya sebagai metode dan kerangka kerja glocalism saja, bukan sebagai faham atau ideologi, yang sering dianggap sesat oleh teolog yang terpenjara di dalam nilai-nilai teologis yang diyakininya sendiri. Itulah yang menghalaunya dari kebebasan akademik, yang ternyata ada dalam tridharma perguruan tinggi. Intinya, post-modernisme itui hanya sebagai cara cerdik saja untuk memposisikan diri dalam melayani Tuhan dalam semua jenis ministri saja. Oleh sebab itu, intelektual Kristen yang terlibat dalam ministri adalah subjek dan aktor, bukan lagi objek dan passif. Intinya, kita memang benar adalah subjek sebagai aktor yang bertindak pro-active dan partisiaktif dengan komunitas ilmuan lainnya siapa saja untuk kemaslahatan bersama.

Paradigma saya berangkat dari logika berpikir bahwa Kristen adalah aktor teologis atau umat dan imamat yang rajani. Dengan itulah Kristen berposisi sebagai subjek sosial yang bertindak proaktiv untuk menetapkan ruang sosial pendidikan ditempatnya. Ruang sosial harus diposisikan sebagai a space of testimony sebagai sebuah ruang kesaksian sebagai misi atau dakwah atau sebutlah jihad intelektual atau sosial, bukan lagi hanya Kristenisasi. Lewat jihad akademik ini kita diharuskan untuk berbuat kebaikan, dan itulah arahan ajaran esensial Kristen sebagai pembawa damai dan pembawa terang. Kristen dipanggil Tuhan untuk bertindak dan berkontribusi mempromosikan community life dan communal solidarity” dengan mampu hidup “equal” di dalam ketidaksamaan.

Hidup bersama dan melalui persaudaraan sesama manusia dan juga sebagai Christianhood, dengan bertindak membawa kekuatan pesan Kristen untuk masyarakat di luar mereka, yang kita jumpai telah hidup dalam keadaan yang multikultural dan plural[17]. Ruang kehidupan di masyarakat telah muncul sebagai pusat penyelenggaraan pembangunan manusia dalam dimensi metropolitan post-modern, yang mensyaratkan mutu intelektualitas, apalagi ruang sosial itu sekarang sedang digunakan dan diperebutkan oleh kelompok sosial yang berbeda.

Kenyataan ini menyebabkan lingkungan sosial berubah, tentulah secara sosial Kristen akan banyak dihadapkan dengan masalah integrasi agama, teologi, ekonomi dan politik. Meski demikian, yang tidak boleh dilupakan adalah harus ada harmonisasi dengan irama budaya kehidupan sehari-hari dengan semua orang. Situasi dan kondisi ini memang sulit. Untuk itulah, kita harus melihat lebih kritis lagi, bahwa jika melihat realitas perkembangan kekristenan ditengah konflik sosial secara nasional atau lokal dimana kita hidup beragama dan bertuhan untuk bersosialisasi. Saya sedang melihat bahwa komunitas intelektual Kristen dengan ministri di bidang pendidikan tinggi mengalami deklanasi atau kemunduran di bidang missi tadi.

D.        Pendidikan Tinggi Theologia Kristen sedang Sakit
Apa sebenarnya problem akademik pendidikan tinggi theologia Kristen di era-postmodernisme ini? Apakah salah, jika saya menyatakan dengan tegas, bahwa penyakit akademik telah menggerogoti PTTK. Saya melakukan riset (yang saya tuliskan di salah satu Jurnal)[18], hasil temuan memaparkan sejumlah masalah intelektual dan kelembagaan pendidikan tinggi Kristen di Indonesia yang sedang sakit dalam taraf “akut”, kaitannya dengan semangat akreditasi mutu dosen dan institusinyaserta kualitas lulusan dan proses belajar mengajar. Sedangkan, data temuan menunjukkan, bahwa pendidikan tinggi Islam di Indonesia sedang memasuki era world class university”, dengan standar ISO 9000 yang prestisius itu.

Berbanding jungkir-balik dengan pendidikan tinggi Kristen, yang bisanya masih hanya berkutat soal legalitas lembaga, yakni izin penyelenggaraan program studi, bahkan tidak terlalu banyak yang sudah mendapatkan izin. Jikapun sudah ada yang lolos, kesan “trik” dan “intrik” tidak bisa dihindari, belum ada desain besar sebagai arah yang jelas yang hendak dituju, terdapat kelambatan produktifitas literatur yang ditulis sendiri oleh dosen, serta sedikit intelektual Kristen di bidang PAK.

Ironisnya, Pendidikan Tinggi Kristen mengalami obesitas secara teologi, tetapi kurus kering atau tidak bervitamin secara keilmuan dan intelektualitas. Hal ini tersingkap dari gemuknya kurikulum, muatan dan isi mata kuliah yang bercorak teologis dan indoktrinasi, yang wajib harus ditempuh oleh mahasiswa. Data ini saya posisikan sebagai satu upaya ibarat seperti menampar wajah sendiri, bukan berniat untuk menyakiti, apalagi melukai, tetapi sebagai upaya sadar diri secara akademik untuk menyadarkan diri sendiri dan orang lain, supaya terjadi manifesto intelektual dan tindakan korporatisme sosial dan akademik Kristen. Tujuannya bukan untuk membanding-bandingkan atau memburuk-burukkan, tetapi sebagai upaya pembeberan data dan fakta. Ending yang ingin diwujudkan adalah adanya kontribusi akademik untuk membangunkan dan membuat kegerakan Intelektual Kristen di Indonesia sebagai upaya perluasan atau perpanjangan dari kebangunan rohani.

Dengan melihat realitas di atas, bahwa memang ada alasan untuk menyatakan dengan tegas pendidikan tinggi keagamaan Kristen memang sedang sakit akademik diberbagai dimensi. Saya akan membeberkan lebih detail hasil riset yang saya lakukan sendiri, yang saya ambilkan dari beberapa halaman dari jurnal itu. Inilah data dan fakta sosialnya :
*        Sejak serdadu, pedagang dan imam Portugis tiba di pulau Ternate pada tahun 1538 untuk pertama kalinya, maka sejak waktu itulah telah dimulai sejarah pendidikan agama Kristen di Indonesia. Mereka mendirikan sekolah di pantai Ternate sebagai instrumen vital untuk penyemaian Injil. Sejak awal telah didirikan lembaga pendidikan pendidikan yang ditujukan sebagai lembaga keguruan atau pendidikan sejak dahulu, demikian paparan historis dari Robert R. Boehlke.[19] Artinya, memang benar telah ada ilmu kependidikan Kristen dan telah ada juga tindakan masyarakat yang sistematis untuk mendidik dan mengajar tenaga pendidik Kristen.
*        Proses edukasi tenaga pengerja pribumi khususnya guru sekolah seperti yang telah dilakukan di “sekolah Kateket Parausorat” pada bulan April 1868 di tanah Batak oleh RMG lembaga Zending dari Bremen German dalam wadah “Batak Mission,” demikian kata Jan S. Aritonang[20]. Pada tahun 1821 Joseph Kam dan kemudian Roskott pada tahun 1835-1864, telah menyelenggarakan suatu proses edukasi untuk guru Injil (wakil pendeta) di Ambon.[21]
*        Th. Van den End, J. Weitjens, S.J[22], menjelaskan, ternyata pendidikan dalam sistem klasikal persekolahan juga telah diselenggarakan di beberapa daerah. Misalnya Minahasa (Sonder) tahun 1851 oleh N. Graaflaand Ibrahim Tunggal Wulung (kyai Sadrackh) khusunya di Jawa Tengah, Pong Lengko di Toraja, Filipus di Mansinam (Irian-Papua) abad ke 19an.
*        Data lain dari B. F. Drewes dan Julianus Mojau[23], bahwa tahun 1885 di Ambon dan di Tomohon tahun 1886 telah didirikan wadah pendidikan teologi formal yakni STOVIL-School tot Opleiding van Inlandsche Leeraren.
*        Robert R. Boehlke[24], menjelaskan sangat baik, bahwa kedatangan Elmer G. Homrighausen di Konferensi Pendidikan Agama Kristen di 20 Mei-10 Juni 1955 di Asrama pendidikan di jl. Cipelang No 8 Sukabumi, mampu mengubah makna teori, yaitu pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen di Indonesia. Bahkan ia menjelaskan inilah titik nol sebagai awal pentanggalan pendidikan agama Kristen modern di Indonesia. Bahkan efek samping dari ramuan ilmu kependidikan agama Kristen Homrighausen menyanggupkan keterlibatan teologi dan telogi kaum awam di Indonesia yang sebelumnya dianggap terpisah dan diposisikan sebatas pinggiran dan pekerjaan waktu luang saja.

Sepintas dari data dan fakta sejarah diatas, seolah-olah ada bukti dan narasi kehebatan, kejayaan dan kedigdayaan ilmu kependikan agama Kristen. Kelihatannya memang begitu. Apa lagi jika dilihat dari dusut pandang Panitia Teologia DGI-Dewan Gereja Indonesia pada tahun 1955 itu. Bagaimana tidak, mereka memperoleh sukses besar untuk membentuk korporatisme sosial gereja dan masyarakat dengan hadirnya 53 utusan dari 21 sinode, 15 peninjau, 8 diantaranya dari dalam negeri, 7 tenaga missi dari luar negeri, 2 orang staff dari 2 sinode dan 1 dari DGI, 2 pemimpin serta 26 anggota GMKI demi suksesi koorporatisme sosial pendidikan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kenyataan hari ini berbicara lain. Sekarang pendidikan keagamaan Kristen sedang menderita “penyakit akademik,” atau sebutlah pendidikan Kristen memang sedang sakit.” Mengapa demikian, ini datanya:
*      Setelah sampai dengan 571 tahunan (hitung mundur sekolah di pantai Ternate oleh serdadu Portugis tahun 1538), juga setelah sampai dengan 176 tahunan (hitung dari usaha pendidikan yang dilakukan Joseph Kam tahun 1821) kita masih harus lewat ujian negara atau pemerintah dengan alasan penjaminan mutu segala. Apakah tidak ada argumentasi lain yang bisa ditambahkan untuk itu. Apakah memang benar hanya sebatas dan sesederhana urusan mutu atau kualitas saja. Jika tidak bermutu kenapa harus diberikan izin penyelenggaraan program studi?
*      Setelah 65 tahun kita diakui memiliki institusi pendidikan Kristen modern, jika dihitung sejak tanggal 3 Januari 1946 telah didirikan Departemen Agama, termasuk Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen. (Ditjen Bimas Kristen).[25] Artinya, kita sudah sekian tahun dipamongi, diasah asih dan asuh dalam payung pendidikan Kristen secara modern oleh Ditjen Bimas Kristen. Tetapi, mengapa kita harus lagi (biar agak lebih keren) ujian penjaminanan mutu, atau yang dahulunya disebut ujian negara. Padahal IAIN, STAIN, UIN dan pendidikan tingga agama dan keagamaan Islam swasta yang dimiliki perorangan atau amal usaha perserikatan tidak lagi melakukan itu sudah sejak lama. Hal itu tersingkap menurut hasil wawancara yang saya lakukan dengan dosen-dosen Doktor, Professor dan Guru Besar pendidikan Islam yang mengajar saya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya percaya dengan mereka karena sebahagian besar mereka Pejabat Struktural di DEPAG Islam. Hal itu juga saya konfirmasikan kepada 24 orang teman lain yang satu angkatan kuliah bersama dengan. Saya juga percaya dengan peryataan mereka karena umumnya adalah sebagai tenaga fungsional dan struktural sebagai dosen di PTAI-Perguruan Tinggi Agama Islam dari berbagai daerah di Indonesia di lembaganya masing-masing.
*      Setelah hampir 14 abad atau 1400 tahun lebih (hitung dari masuknya Kristen abad ke 7 Kristen Nestorian dari Khaldea-Syria dan Persia di pantai Barat Sumatera Utara, sejak abad ke-7) atau setelah 7 abad atau 700 tahun lebih (hitung mundur ke kunjungan beberapa missionaris Katholik ke beberapa tempat di Nusantara abad ke-14), tetapi kita masih harus menerima dan mengalami intimidasi sosial dan terorisme sosial. Mengapa demikian? Hasil riset SETARA Institute Jakarta,[26] bisa menjadi alat arguentasi untuk ini. Mereka menjelaskan berdasarkan risetnya. Di masyarakat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, (Jabodetabek) masih bisa terjadi kasus pelarangan pembangunan, perusakan rumah ibadah dan penyelenggaraan ibadah agama dan orang Kristen. Sejak tahun 2007-2010 terjadi 691 kasus pelanggaran kebebasan beragama.
*      Zaman Presiden Soekarno, 1945-1967 hanya ada dua gereja yang dibakar itupun hanya di daerah yang dikuasai pembangkang dari kelompok DI/TII-Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia. Zaman Soeharto 1967-1969 ada 10. Setelah keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri tahun 1969 jumlahnya merangsek jadi 460 hingga Ia lengser 1998. Sejak tahun 1998 hingga awal 2011 sekitar 700 gereja dirusak, dibakar, dicabut izin dan dilarang ibadah.  Demikian pemfaktaan oleh Theofilus Bela[27], sebagai Ketua Umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ). Bela juga menegaskan, sejak proklamasi kemerdekaan hingga awal 2011 telah menembus angka 1.200 gereja yang dikriminalisasi, bukan hanya gedungnya, tetapi juga ada tindakan kekerasan, penyiksaan dan pembunuhan.
*      Selanjutnya ketiga, masih di Majalah itu di halaman 28, dari hasil laporan investigasi Setara Institusi lainnya yang dilansir 24 Januari 2011 mencatar 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang mengandung 286 bentuk tindakan selama 2010 di 20 provinsi di Indonesia. Dengan demikian, setelah dinilai, bukan lagi hanya ada “rapor merah bagi kehidupan umat beragama di Indonesia karena kurang harmonis.[28] Tetapi memang sudah masuk kategori intimidasi sosial dan terorisme sosial yang terlukai dan melukai, terlepas siapa yang memulai dan alasan membela diri atau entah tujuan apa oleh kelompok yang mana.
*      Setelah 126 tahun (dihitung mundur ke 1885 di Ambon dan di Tomohon tahun 1886 setelah didirikannya pendidikan teologi formal yakni STOVIL, tetapi hingga  tahun tanggal 15 Juni 2011, pukul 10:57:29 wib, baru hanya 223 Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen, baik Prodi Teologi dan PAK yang berhasil lulus mendapatkan izin penyelenggaraan pendidikan tinggi Kristen di Indonesia. Data ini saya ambil dari Website Resmi Departemen Pendidikan Nasional.[29] Memang dari jumlah itu, tampaknya akan ada yang akan lolos diakreditasi BAN-Badan Akreditasi Nasional, meskipun hanya perkiraan yang hampir pasti,  sisanya hanya sekedar mendapatkan izin penyelenggaraan agar bisa beroperasi perkuliahannya.  
*      Setelah 56 tahun (dihitung mundur sampai pada kedatangan Homrighausen di Sukabumi tahun 1955 yang lalu) hingga hari ini, jika melihat data dari Website Resmi Departemen Pendidikan Nasional soal 223 daftar sekolah tinggi teologi itu. Rasanya tetap masih ada yang salah maksudnya kurang komprehensif di dalamnya. Mengapa demikian, ternyata, jika ditelisik lebih mendetail, hampir  dari sejumlah 223 perguruan tinggi itu, lebih didominasi oleh program studi teologi bukan prodi PAK. Padahal diawal kedatangan Homrighausen[30], PAK sempat anggap hebat dizamannya, apalagi ditambahkan dengan kedatangan Boehlke ke Indonesia dan Kepulangan Suleeman dari kuliah dan “berguru” di universitas Princenton dan Belanda yang hebat itu.

Melihat data dan fakta kehebatan pendidikan Kristen sebelumnya, kenyataanya tidak seharusnya demikian, tetapi itulah realitasnya. Data dan fakta itulah yang menguatkan argumentasi untuk mengatakan sedari awal ada dan sedang terjadi “ketimpangan dan penyimpangan proses edukasi, proses pengajaran, dan kekeliruan orientasi teoritis dan sosio-praksis, salah urus atau salah asuh dalam pendidikan keagamaan Kristen. Masalahnya adalah karena dari pengalaman dan pengamatan, bahwa selama kuliah S1 dan sekarang jadi dosen di beberapa tempat, saya melihat baik mahasiswa dan dosennya masih lebih banyak terforsir soal-soal dimensi iman saja. Hal itu tidak boleh dibiarkan terus-menerus, apalagi ketika berurusan dengan aturan dan segala hal yang terkait praktek pendidikan secara akademiknya. Dengan demikian, memang ada yang menyimpang dengan proses edukasi di PTTK.

E.        Apakah Sumber Penyakit Akademik di PTTK?
Saya melihat, bahwa sumber penyakit itu ada pada proses edukasi di PTTK itu sendiri. Saya mengamati telah terjadi mal-praktek pendidikan, mal-teori dan mal-ilmu (dilihat dari kebutuhan, era, dan spirit zamannya) karena berbeda orientasi dan tujuan jangka panjang dari pengelolaan pendidikan keagamaan Kristen. Secara general, jika ditilik dari data dan fakta itu, maka ada alasan untuk menyatakan, bahwa pendidik Kristen memang sedang “penyakitan.” Banyak diantara institusi pendidikan (baguslah jika ada yang mengatakan lembaga kami tidak demikian), telah menelantarkan ilmu pendidikan keagamaan Kristen. Kita telah menterlantarkan pendidikan keagamaan sebagai  missi akademik, jihat intelektual, dengan melakukan satu trend baru, yakni kegerakan intelektualitas dan sosial atau kebangunan akademik Kristen. Ini karena kita hanya dikerangkeng atau dikurung oleh missiologi Kristen, yang bermula dari Amanat yang teramat Agung, atau teramat Muli, atau teramat Suci itu.

Jika diamati lebih partikularis lagi, dimensi dan fokus pelayanan pendidikan keagamaan ala terkini masih lebih terforsir pada pelayanan manusia secara spiritual, atau “ngeroh” dengan indoktrinasi, dan manifestasi masing STTT. Saya ingin menegaskan, meskipun itu tidak menyimpang, tetapi ada dimensi lain yang juga seharusnya menjadi konsentrasi bersama. Tampaknya, selama ini kita selalu mempercantik iman, tetapi “malas” berdandan dan mencantikkan otak. Hal itu memang demikian adanya. Saya mengatakan itu, sebagai salah satu intisari dari hasil investigasi, lewat “diskusi panjang lebar” selama 1,5 jam dengan Pdt. Dr. Djaka Soetapa (salah satu Founding Father UKDW, Yogyakarta), 18-28 Juli 2011, di GHCC UKDW Kaliurang Yogyakarta. Menurutnya:

Kristen lebih memilih mengurusi teks-teks teologi dan praktik hidup teologis emata, meski saya tidak bisa menjamin kualitas dari itu. Bahkan tampaknya cara kita beragama ini hanya merupakan Kristen warisan orang tua, bukan Kristen pilihan sadar karena tahu itulah yang tepat untuk kita. Padahal, jika saya mengingat pada tahun enam puluhan apalagi jika dikaitkan dengan peristiwa PKI di Indonesia, perkembangan Kristen dan pendidikannya sangat cepat, tetapi sayangnya, kita hanya sibuk mengurusi hal itu, sehingga lupa soal-soal keilmuan dan pengetahuan. Ini pilihan yang bermasalah dampaknya pada hari ini. Kita menjadi tertinggal dalam dunia akademik, sosiologi dan kemajuan bidang lainnya. Kita sangat berbeda dengan Islam, yang seolah-olah menjadi masalah di negeri ini, misalnya dengan melihat aksi-aksi anarkhis, yang seolah-olah itu Islam, padahal itu politis, tetapi jika diamati, mereka sudah mengalami perubahan besar, hal itu dilihat dari penelitian mereka yang sudah tidak lagi didominasi teks-teks agama, seperti kita. Mas Tambunan sudah bisa melihat sendiri, pada saat kita kuliah di kelas di UIN sana, dan kamu sudah banyak berdiskusi dengan mereka. Saya lihat kita bisa belajar dari kemajuan positif dari mereka. Kita tidak sesat atau berdosa jika bejar hal-hal baik dari orang lain.
           
Data ini sekaligus mengugah kita semua, atau siapa saja yang menyukai hal-hal yang edukatif baik teori dan sosio-praksis di didaerah masing-masing. Kini kita seakan-akan dituntut dari segi tanggung jawab sosial (bukan lagi tanggung jawab sektarian), secara nasional untuk melakukan “grand design” pendidikan keagamaan Kristen. Kini kita ditunggu untuk bisa membuat “blue print” pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi Kristen di semua level, tanpa melupakan “MISSI BESAR” Kristen. Kita perlu melakukan revitalisasi pendidikan Kristen agar bertanggung jawab secara sosial, dan mereformasi kebijakan pendidikan Kristen agar tidak lagi berorientasi kebutuhan perut, kemegahan lembaganya sendiri-sendiri, atau orientasi teologis semata, tetapi hendaknya, pada saat bersamaan ke dimensi sosial lainnya.

Berdasarkan fakta itu, hasil pendidikan Kristen atau proses edukasi teologi yang selama ini terjadi tidak berhasil untuk dijadikan sebagai alat perubahan dan pembangunan sosial dan pendidikan masyarakat Kristen secara general untuk memproteksi bangsa dan komunitas masyarakat beragamannya. Output pendidikannya, tidak menjadikan Orang Kristen memiliki kekuatan assosiatif dan massive untuk bertindak secara teologis, sosiologis, dan akademik serta aksi politis prakstis (bukan dogmatis dan pragmatis semata) untuk memajukan kekristenan, setidaknya jika dikomparasikan dengan ukuran fakta di atas.

Saya sepemahaman dengan Stanley W. Carlson-Thies dan James W. Skillen,[31] bahwa perspektif dan prakis dari kebijakan pendidikan Kristen juga harus berorentasi kesejahteraan sosial. Jika tidak, kita akan terus-menerus meningkat disisi spiritualitas, rasa keberagamaan dan keberteologiaan, tetapi terpuruk dibidang sosial karena menterlantarkan aspek yang terakhir disebut ini. Melihat fakta ini, boleh dikatakan ada yang “salah,” maksudnya tidak efektifnya proses atau metodologi dan orientasi pendidikan teologi di sekolah atau di gereja selama ini, yang lebih fokus ada teks-teks teologis, ketimbang kehidupan manusia dan tindakannya. Inilah yang penting dikritisi lebih mendetail.

F.        Kontribusi Kecil Apa yang Bisa Kulakukan?
Kristenologi” sebagai sains[32] atau ilmu pengetahuan tentang komunitas masyarakat beragama Kristen, disamping menjadikan teologi sebagai sains (tanpa menegasikan teologi sebagai dogma, pandangan hidup, yang mengacu pada dimensi religiusitas lainnya). Ini sebuah kajian komunitas masyarakat beragama dengan cara saintifik, dan dengan titik tekannya dengan mempergunakan pendekatan sosial sains, sains humanities, artinya disiplin akademiknya akan dilakukan dengan pendekatan yang bersifat multidisciplinary. Bagaimana mungkin itu terjadi, jika ternyata ilmu atau disiplin akademik soal itu tidak pernah ada di Sekolah Tinggi Theologia dimana mereka belajar. Tetapi, bagaimana mungkin tanggung jawab sosial itu terjadi, jika ternyata ilmu atau disiplin akademik soal itu tidak pernah ada di Sekolah Tinggi Theologia dimana mereka belajar?

Saya ingin menggugah kita semua, cara yang manakah yang lebih efektif untuk memahami individu, orang, komunitas, dan masyarakatnya. Apakah hanya dengan mengkaji teks-teks suci yang diyakini atau diimani dengan cara ilmu tafsir, dengan ragam varian pendekatan interpretatisnya, seperti yang menjadi fokus dan senjata pamungkas ilmu teologi itu, masalah intimidasi sosial dan terorisme sosial seperti data diatas bisa terselesaikan? Bagaimana mungkin jika ilmunya hanya dari kacamata teologis, urusan “ngeroh” dan problem spiritualistas, ministri berbasis gereja, dan ilmu teologi semata?

Apakah tidak lebih masuk akal sehat, jika pergi ke lapangan mengamati langsung orang, tindakan, dan dunianya; tinggal bersama, melihat, mendengar, merasakan mereka secara langsung; mendiagnosis persoalannya, dan mengkaji seluru dimensi kehidupan nyatanya? Ilmu ini merupakan kerangka kerja analisis  yang bersifat sinergis sehingga tindakan dan tanggung jawab antara para pekerja spiritual dan intelektual Kristen dengan lapangan kerja atau wialayah ministrinya diharapkan bisa bertemu. Jika tidak, indahnya janji Tuhan yang banyak tertulis indah di dalam teks-teks kitab suci Kristen itu, mungkin hanya akan sebatas teks mati saja, atau hanya sebatas angan-angan dan di dalam doa saja. Pertanyaannya, bagaimana tanggung jawab sosial STT itu mungkin terjadi, jika ternyata ilmu atau displin akademik soal itu tidak pernah ada?

Seharusnya, sejumlah Mata kuliah di PTTK sudah banyak yang diamandemen atau diparkir atau dimusemkan, disegarkan dengan materi kajian, yang sesai dengan setting sosial Indonesia tahun terbaru. Penyegaran dan amademen itu diharuskan untuk bisa menemukan suatu kerangka kerja melayani komunitas masyarakat beragama Kristen. Tetapi bagaimana mungkin, tindakan dan perbuatan seperti missi yang saya impi-impikan itu menjadi realitas, jika keilmuannya tidak dikaji dengan riset “grounded theory,” dan tidak direkonstruksi menjadi ilmu baru bagi STT, sehingga layak disebut ilmu Kristen?

Selama ini hanya sekedar Kristenisasi dengan cara pemberian nama, labelisasi, atau stikerisasi mata kuliah semata. Padahal ilmu pengetahuan dan tanggung jawab sosial dari para pekerja spiritual dan intelektual lewat Pendidikan Tinggi Teologi harussetara-sekualitas” dengan pendidikan umum lainnya. STT harus melihat komunitas masyarakat beragama Kristen dengan horison atau cara pandang baru (new wide world view) yang “fresh,” sehingga lebih sensitif sosial terhadap realitas dan masalah komunitas masyarakat beragama Kristen. Intinya, bagaimana caranya lewat materi dan wilayah kajian itu, agar tanggung jawab sosial dari para pekerja spiritual dan intelektual lewat Pendidikan Tinggi Teologi Kristen itu bisa dilaksanakan.

Kini masanya kita pekerja spiritual dan intelektual Kristen bertindak mensejajarkan pendidikan teologi dengan pendidikan lainnya. Kini kita terpanggil untuk melihat dengan horison yanga baru yang lebih luas dan lebih sensitif sosial dengan keinginan semua orang. Kini masanya kita terpanggil dan memfasilitasi minat dan ketertarikan dan panggilan teologisnya untuk mengembangkan masyarakat Kristen. Singkatnya, pendidikan teologi untuk semua, tetapi bagaimana mungkin untuk semua, jika kita membatasi dan membuat kualifikasinya hanya untuk orang tertentu saja[33], dan ilmunya hanya teologi semata[34]? Oleh karena itu, di mata kuliah, sekolah tinggi teologi tidak lagi harus diposisikan eksklusif, tetapi sudah memasuki ranah yang lebih luas dari sekedar teologis dan gereja  semata.

STT sudah ada di arena sosial yang lebih luas, atau wilayah masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karenanya, hendaknya mata kuliah, missi dan sosio-praksis keilmuan yang didesain secara sadar dan secara segaja untuk kebutuhan mahasiswa dan komunitas masyarakat Kristen sesuai dengan arenanya masing-masing, bukan lagi hnya untuk menjaga-jaga “kesakralan doktrin, dari denominasi penyelenggara STT tersebut saja. Mahasiswa sebagai peserta belajarnya akan diarahkan sampai bisa pada upaya-upaya akademik untuk mengkritisi secara konstruktif, mengevaluasi atau menyegarkan bidang disiplin akademik atau pendekatan teologi dan ilmu teologinya yang selama ini diketahui.(BET'12)


                [1]Elia Tambunan, S.Th., M.Pd. No.IDN: 0607077801. No. NIDA:220121019659. Dosen STT Salatiga, Getsemani Yogyakarta, dan STT Nazarene Indonesia Yogyakarta, Pendeta GPdI Yogyakarta, Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana UIN-Universitas Islam Negeri “Sunan Kalijaga Yogyakarta” 2009, Prodi Islamic Studies, yang sedang riset disertasi. Memiliki kompetensi ilmu agama, pendidikan, dan riset sosial sains dan humanities dengan pendekatan disiplin akademik sosiologi lewat mazhab postmodernisme.
                [2]Ira M. Lapidus (ed.), Middle Eastern Cities: A Symposium on Ancient, Islamic, and Contemporary Middle Eastern Urbanism (California: University of California Press, 1969), hlm. 47; R. Stephen Humpreys, Islamic History: A Framework for Inquiry, revised edition (London: I. B Tauris & Co Ltd., 1991), hlm. 209-308.
                [3]Bassam Tibi, Political Islam, World Politics and Europe: Democratic Peace and Euro-Islam versus Global Jihad (New York: Routledge Taylor & Francis Group, 2008), hlm. xxii; “The Politicization of Religion” dalam Internationale Politik, Volume 1, Issues 2-4 (Frankfurt, German: Frankfurter Societäts-Druckerei, 2000), hlm. 65; The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, update edition (California: University of California Press, 2002), hlm. 50.
                [4]John L. Esposito, “Introduction: Modernizing Islam and Re-Islamization in Global Persfective,” dalam John L. Esposito, Francois Burgat (eds.), Modernizing Islam: Religion in the Public Sphere in Europe and the Middle East (London: Hurst & Company, 2003), hlm. 6-7.
                [5]Noorhaidi Hasan, “Reformasi, Religious Diversity, and Islamic Radicalism after Soeharto,” dalam Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, vol. One 2008, ISSN, 1979-8431, Ten Years Reformasi, Jakarta: KITLV-LIPI, hlm. 23-52; Islamist Party, Electoral Politics and Da'wa Mobilization Among Youth: The Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia (Singapore: Nanyang Technological University, 2009).
                [6]Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia (Itacha, New York: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2006), hlm. 22-25.
                [7]Agus Salim, “The Rise of Hizbut Tahrir Indonesia: A Mobilization from Campuses to the Stree (1982-2000),” dalam Yusuf Rahman (ed.), Islam and Society in Contemporary Indonesia (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, CIDA-Canadian Intenational Development Agency, McGill University, Canada, PPS-IIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hlm.31-66.
                [8]Anak Agung Banyu Perwita, Indonesia and the Muslim World: Islam and Secularism in the Foreign Policy of Soeharto and Beyond (Copenhagen S, Denmark: NIAS Press, 2007), hlm. 20; Muhammad Sirozi, “Indonesian Responses to September 11, 2001,” dalam Ibrahim M. Abu Rabi’ (ed.), The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought (Malden, MA: Blackwell Publishing Ltd, 2006), hlm. 387-407; Greg Fealy “Divide Mojority: Limits of Indonesian Political Islam,” dalam Shahram Akbarzadeh, Abdullah Saeed (eds.), Islam and Political Legitimacy (New York: RoutledgeCurzon, 2003), hlm. 150.
                [9]Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia: Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 6, 80, 82.
                [10]Noorhaidi Hasan, “Political Islam in Indonesia,” dalam Ishtiaq Ahmed (ed.), The Politics of Religion in South, Southeast Asia (New York: Routledge, 2011), hlm. 136-156.
                [11]http://oxforddictionaries.com/definition/transfiguration; http://www.merriam-webster.com/dictionary/ metamorphosis, diakses tanggal 26 Oktober 2011.
                [12]Mark R. Woodward, Modernity and the Disenchantment of Life: A Muslim-Christian Contrast, hlm. 111-142 dalam Johan H. Meuleman (ed), Islam in the Era of Globalization: Muslim Attitudes Toward Modernity and Identity (London: RoutledgeCurzon, 2002), hlm. 112-113; Endang Turmudi, Struggling for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java (Australia: The Australian National University Press, 2006), hlm. 102.
                [13]Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Manchester: Manchester University Press, 1984).
                [14]Hans Bertens, The Idea of the Postmodern: A History (London: RoutledgeCuzon, 1995), h. 111.
                [15]Johannes Willem Bertens, Joseph P. Natoli (eds.), Postmodernism: The Key Figures (Massachusetts: Blackwell Publishers, Ltd., 2002), h. xi.
                [16]Lawrence E. Cahoone (ed.), “Introduction,” dalam Lawrence E. Cahoone, From Modernism to Postmodernism: An Anthology, expanded second edition (Massachussets: Blackwell Publishing, Ltd, 2003), h.1-2.
                [17]Elia Tambunan,  Pendidikan Agama Kristen dalam Masyarakat Multikultural: Rekonstruksi Teori ke Sosio-Paraksis (Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011), h.15-21.
                [18]Elia Tambunan, Gerakan Intelektual: Post-Modernisasi Ilmu Pengetahuan Mengobati Penyakit Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen, Jurnal Gema FIRMAN, STT-Salatiga, 2012, Vol. 1, no. 1, h. 96-138.
                [19]Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius hingga Perkembangan PAK di Indonesia, cet.ke-2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 20090, h. 67.
                [20]Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), h. 178-189.
                [21] B. F. Drewes, Julianus Mojau, Apa itu Teologi?: Pengantar ke Dalam Ilmu Teologi, cet.ke-5 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 74-75.
                [22]Th. Van den End, J. Weitjens, S.J, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an hingga Sekarang, cet.ke-8 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 367-380.
                [23]Ibid., B. F. Drewes, Julianus Mojau, h.  74.
                [24]Ibid., Robert R. Boehlke, h. 767-820.
                [25]Departemen Agama RI berdiri tanggal 3 Januari 1946 dengan Menteri Agama yang pertama ialah K.H. Rasjidi yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Negara dalam zaman Kabinet Presiden Presiden Sokarno. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen tahun itu 1946 disebut Bagian Masehi Kristen yang berdiri bersamaan dengan berdirinya Kementrian Agama itu. Itupun tidak langsung dapat diterima masyarakat dengan baik. Bagian Masehi Kristen ternyata mengalami pergumulan panjang baik di kalangan gereja maupun umat. Kenyataan ini sebagai akibat dari latar belakang pemahaman teologis khususnya “Protestan.” Lihat Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 1-22, 89-142.
                [26]SETARA Institute Jakarta, Koran Tempo, Selasa 30/11/10: A2),
                [27]Theofilus Bela, Majalah Inspirasi Indonesia, Vol.18/th.II/2011, h. 26.
                [28]Zainal Abidin, “Rapor Merah bagi Kehidupan Umat Beragama di Indonesia,” Kedaulatan Rakyat, Rabu, 22 Desember 2010: 1 samb. 7, kol. 3.
                [29]http://dbk.evaluasi.net/indeks (diakses, 15 Juni 2011, pukul 10:57:29 wib
                [30]Lihat lebih detail dalam Homrighausen, E. G., I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, cet.ke-18 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004).
                [31]Stanley W. Carlson-Thies dan James W. Skillen (eds.), Welfare in America: Christian Perpectives on a Policy in Crisis (Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing, Company, 1996), h. 576.
                [32]Sains yang saya maksudkan disini adalah “form of knowledge” atau “pure science”  sebagai bentuk pengetahuan yang dihasilkan oleh pemikiran manusia atau hasil olahan keilmuan yang mempengaruhi kehidupan manusia. Lihat Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, New York: Harper & Row Publisher, 1966), h. 9. Dengan demikian, teologi sebagai sains atau ilmu pengetahuan sebagai disiplin akademik atau pembidangan akademik dalam teologi sebagai ilmu yang biasa diakui dalam pendidikan tinggi theologia di Indonesia, itulah yang saya maksudkan seterusnya. Lihat Elia Tambunan, Teologi sebagai Sains (Yogyakarta: illumiNation, 2012), h. 23-41. Kristenologi juga sebagai disiplin akademik baru, yang saya integrasikan dari pendekatan sains, sosial sains, dan sains humanities untuk mengkaji dan memahami manusia atau komunitas masyarakat beragama Kristen dan dimensi kehidupan kesehariannya, dengan metode-metode, teori-teori, atau cara-cara akademik dan saintifik, tanpa menghindarkan teks-teks suci yang dipercayai. Lihat Elia Tambunan, Kristenologi: Pengembangan Masyarakat Kristen (Yogyakarta: illumiNation, 2012), h. 49-95.
                [33]Pembatasan ini saya lihat dari fakta, adanya aturan dalam syrat pendaftaran, atau kebiasaan lisan, bahwa yang bisa kuliah di STT itu hanya Kristen. Makna dibalik regulasi atau pengaturan ini berarti bahwa manusia non Kristen dilarang kuliah di STT, setidaknya hal itu berlaku secara general.
                [34]Kurikulum Nasional dan institusional di STT hingga detik ini, masih lebih didominasi oleh kajian teologia dengan lima pembidangan disiplin akademiknya (teologi historika, biblika, sistematika, praktika, dan bidang-bidang umum. Ironisnya, yang terakhir disebut itu hanya bersifat komplementer, tambahan, atau bumbu penyedap saja).

2 comments:

Godblessyou said...

Blognya bagus :)
mengundangmu khusus, ke blog saya
http://islamexpose.blogspot.com
GBU ;-)

sadbracy said...

Best casino in Las Vegas - Mapyro
A map showing casino casinos and 구리 출장샵 other lodging 정읍 출장마사지 located 문경 출장샵 near the Harrah's Las Vegas Hotel and Casino in Las 안동 출장샵 Vegas, Nevada. Harrah's Las 평택 출장샵 Vegas.