Artikel ini dimuat di Koran Fresh, Edisi Juni 2012/No. 3/Ragam/hlm.18.
Kita
lebih sering mendengar ekploitasi negatif TKI-Tenaga Kerja Indonesia oleh media.
Itu memang fakta, tetapi sebagai orang Kristen saya melihat lebih realistis,
dan memilih mengumpulkan serpihan-serpihan berita baik, yang berserakan seantero
Jiran, berdasarkan penuturan mereka sendiri. Sayangnya berita kebaikan ini jarang
dinarasikan orang. Ini bermula, ketika saya diundang menjadi pembicara ini saya
pilih, bukan pura-pura lupa kepada kisah pilu lainnya. Kali ini sebagai orang
Kristen, lebih baik bertutur yang baik-baik saja untuk membangun iman.
Intinya, kabar baik TKI di Malaysialah yang saya tuturkan disini. Bagaimana TKI menciptakan sendiri narasi hidupnya dari pahlawan devisa hingga menjadi Pahlawan Kristus. Bagaimana sulitnya pergulatan sosial dan mahalnya harga yang harus dilunasi secara teologi-ekonomis oleh “migrant worker” untuk menemukan Kristus, dan mengokohkan imannya di negeri orang, yang tak lupa menafkahi diri dan keluarganya di kampunghalaman.
Para TKI Kristen
Jumlah
TKI di Malaysia sekitar 2 juta. Tiap tahun meningkat, khususnya perempuan. Mengapa mereka
terpaksa memilih jadi TKI? Ketika ditanyakan umumnya mengatakan karena alasan
ekonomi dan langkanya pekerjaan di Indonesia. Artinya, memang sukar
“menghasilkan uang” dengan cara benar-benar halal disini. Hasil survei dari
BPS-Badan Pusat Statistik, Mei 2010, menunjukkan angka pengangguran di
Indonesia mencapai 8,59 juta orang, yaitu 7,41% dari 116 juta total angkatan
kerja. Dengan melihat itu, maka tidak heran, jika kualitas
manusia Indonesia sangat rendah, seperti Laporan Badan Program Pembangunan PBB.
Buruknya
mutu hidup kita, diukur lewat IPM-Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, dengan
indikator kesehatan, pendidikan dan pendapatan. Kita di peringkat 124 dari 187 negara
dunia, tahun 2011, turun 16 strip dari tahun lalu, (Koran Tempo/Jumat/4/11/2011/h.B2).
Tidaklah mengherankan, demi mendapatkan “uang,” jutaan manusia Indonesia, terpaksa
harus migrasi dan bekerja mati-matian disana. Apalagi memang nilai tukar MYR-Ringgit Malaysia lebih “prestise” ketimbang
Rupiah. Perputaran uang pengurusan dokumen, pajak, visa, dll sebahagian besar
masuk kas negara, itulah yang membuat TKI dianggap Pahlawan
Devisa.
Banyak diantara
TKI pemuda/i Kristen. Kiriman uang (remintansi) para TKI, sering bermuara di gereja. Sesekali mereka
mengirim uang ke keluarga, biasanya orang tua akan memberikan persepuluhan atau
sumbangan pada hari-hari besar Kristen. Diantara mereka, sesekali membantu
pembangunan gereja di daerah asal, seperti diceritakan Ramos Petrus
(Banjarmasin), yang dahulunya adalah Muslim, tetapi menemukan Kristus di
Malaysia. Keterangannya, ingatkan saya kesaksian 2 pendeta Gereja Penyebaran
Injil di salah satu daerah di Solo, dan Gereja Pantekosta di Indonesia daerah
Cilacap, dana pembangunan gerejanya sebagian besar adalah kiriman TKI.
Sebaliknya, keluarga mereka bahkan tidak segan meminta untuk selalu ditransfer,
karena anggapan kerja di Malaysia, Ringgitnya pasti banyak. Ini terjadi karena
salah kapah diantara orang sedesanya. Belum lagi memang diantara mereka harus
melunasi utang ke kerabat, tetangga atau rentenir sebagai pinjaman mengurus
dokumen TKI, yang bisa dilunasi ketika sudah kerja. Ringkasnya, ternyata TKI
juga pahlawan keluarga, gereja, pembangun desa.
TKI Pahlawan Kristus
Cipto,
(Bojonegoro) sejak 3 bulan lalu kerja di Selangor di Pabrik pengolahan kayu. Selesai
ibadah minggu, (14.30-16.00), masih harus dilajutkan dengan doa syafat aktivis
gereja (hingga 17.30), setempat. Ia bertutur, 2 bulan pertama, ia naik taksi
sebesar 75 Ringgit, setara Rp 182.000, (jika 1 Ringgit=Rp 2.600), untuk ongkos PP-pulang
pergi gereja. “Tapi, Puji Tuhan bang,
sekarang lebih enak, Pp-nya saya numpang “kereta” (maksudnya mobil di
Indonesia), dengan Bu Deby (seorang aktivis
gereja), yang sekompleks dengan saya.
Cerita lain dari Domo Tambunan (Tanah Jawa-P.Siantar-Medan) sebagai manajer
pabrik elektronik. Ia harus Naik Bus 6 jam pp (jika bus umum dan jalanan tidak
macet) dengan biaya hampir sama dengan Cipto, karena jauhnya jarak asrama
dengan gereja. Ini terjadi karena pemerintah Malaysia menyediakan tanah dan lokasi
rumah ibadah semua agama hanya ditempat yang sudah ditentukan.
Cerita
lain dari Dodi Tambunan. Ia sendiri Kristen-Indonesia, disamping TKI lain dari
Filippina, Banglades, dan beberapa negara Asia Tenggara. Di asramanya lebih banyak Muslim-Indonesia. Di asramanya, “ada
seorang “pendakwah” (Penginjil Muslim),
yang sengaja bekerja disana. “Kayaknya dia
itu utusan dari organisasi Muslim tertentu untuk dakwah ke TKI Muslim disini,
bang,” seperti dikisahkannya berdialek Malaysia-Bataknya yang kental, sehingga
terdengar lucu dan unik.
Ketika
saya tanya lagi, di asramanya sering ada pengajian. Ia sering diajak teman Muslimnya.
Hingga 3 tahun ia selalu menolak. Ia mengkisahkan dengan bahasa Batak Toba: “Boada bang molo diajak halak dongan i iba,
lao mangaji? Memang hutolak dope torus, alai, molo leleng-leleng dang tabo
parasaanku, bah!” (artinya: Bagaimana, kalau sering diajak ikut pengajian? Memang
saya tolak terus, tapi semakin lama, segan rasanya). Ini indikasi ada metode tertentu
dan orang tertentu untuk “mengajak” Kristen ikut agamanya. Fakta ini meski
bersifat kasusistik, tetapi tidak bisa dipungkiri menjadi bukti pergumulan
sosio-teologis mereka, yang mungkin juga dialami saudara seiman kita yang lain
disana. Dodi mengakui, seandainya ia tidak terlibat aktif melayani di rumah
missi, yang sengaja disediakan gereja untuk rumah kos-kosan mahasiswa Kristen
dari sekitar Malaysia, dan sebagai tempat gabungan dengan pelayanan bagi TKI,
maka imannya bisa goyah.
Kejadian lain, Kezia Manullang (Perbulan, Laubaleng-Karo), Mei Tampubolon (Kisaran-Medan), Citra Sinaga (Tebing Tinggi-P.Siantar) sebagai koordinator sekolah minggu dan Pemuda-Mahasiswa. Mereka tetap energetik melayani, meski selesai kerja langsung pelayanan pemuda setiap sabtu, dimulai jam 9 malam. Bahkan sering harus lembur malam karena melayani sekolah minggu sorenya. Perbuatan terpuji ini mengingatkan adik saya sendiri, Lulu Tambunan (kini kerja lagi di Batam), yang “bertobat beneran” selama kerja di Malaysia 4 tahun lamanya, padahal sewaktu di kampung “tidak peduli” kerohanian.
Mereka ibarat oase spiritual
Kristen ditengah keringnya hal yang baik terdengat dari TV. Reportase TKI ini, semoga
“menggugah” gereja Indonesia, supaya tidak hanya terfokus “ngeRoh” saja. Melihat apa sedang terjadi, kita terpanggil bertindak
menunaikan panggilan kita. Jika selama ini KKR-Kebaktian Kebangunan Rohani, maka
oleh pertolongan Tuhan, kita harusnya bisa KKSI-Kebangkitan Kebangunan Sosial
dan Intelektual untuk mengecilkan perkara besar nasional di hari penghujung
ini. Mereka yang mencari dan layani Tuhan, pantas disebut Pahlawan Kristus. . Siapa menyusul?
2 comments:
Blog bagus. Banyak berkat. Ditunggu kunjungan balik ke blog aku. Klik namaku ya.
GBU ;-)
..he..ada yg mau ngelink yah?
Post a Comment