ABSTRAK
Bicara gerakan
oikumene dalam diskursus organisasi keagamaan sejak tahun 1950-an argumen yang
mendominasi masih tentang keesaan atau kesatuan gereja. Itu kerap diterjemahkan
kerjasama antar gereja secara sempit. Lain halnya, tulisan ini berikhtiar
membongkar kompleksitas oikumene dari sisi politik. Pendeknya, oikumene juga dimobilisasi sebagai
gerakan sosial dan politik saat musim dan kesempatan politik ada.
Berlatar Kota Salatiga, tulisan ini membahas bagaimana cara
pendeta menegosiasikan kepentingan politik Kristen diantara sesama komunitas
Kristen dan kaum Islamis dalam momentum pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Salatiga periode 2011-(2016).
Dengan paradigma kualitatif dibantu teori-teori sosiologi-politik agama sebagai
acuan, memakai teori-teori gerakan sosial dan politik identitas sebagai pisau
analisis, etnografi sebagai teknik riset, wawancara mengumpulkan data, tulisan
ini mencari titik simpul bertemunya Kristen dengan Islam politik. Dari situ
muncul tafsir gerakan oikumene dan percakapan antar iman yang tidak biasa.
Pendeta
gereja adalah fokus kajian. Pertama, mereka yang tergabung dalam Badan
Kerjasama Gereja-gereja Salatiga (BKGS) mendukung Calon Wali Kota dan Wakil
Wali Kota nomor urut 2 Diah Sunarsasi-Tedy Sulistio (Dihati)
diusung koalisi PDIP-PAN-Golkar-PDS dan PNI Marhaenisme.
Teddy Ketua DPRD Salatiga, kader PDIP, seorang Kristen dan PDS dianggap
representasi identitas dan kepentingan Kristen. Kedua, pendeta
Persekutuhan dan Pelayanan Hamba Tuhan Garis Depan (PPHTGD) pendukung nomor 3 Yuliyanto-Muhammad Haris (Yaris) diusung koalisi PIS-PKS-PPP dan
Demokrat.
Karena
keterbatasan ruang, kajian ini hanya dikaitkan dengan identitas diri Haris sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Kaitan gerakan oikumenis dengan PKS ini menarik karena sebagian sarjana dan
peneliti Muslim menyatakan PKS “musuh dalam selimut.” PKS disebut-sebut
beragenda Islamisasi negara dan masyarakat lewat formalisasi syariat Islam
walau PKS menyebut partai terbuka dengan isu populis-humanis lewat komunikasi
politik ketika tampil di publik.
Data
empiris menunjukkan, identitas sebagai Kristen menjadi konflik kepentingan
tersendiri diantara sesama pendeta dan umat lain, itu masih harus ditegakkan
lewat perjuangan yakni kontrak politik dengan calon secara resmi; kontrak
politik adalah alat dan kepentingan politik sekaligus kesempatan meretas sistem
pemerintahan yang immune terhadap
Kristen selama ini dalam bingkai menegosiasikan kepentingan orang Kristen;
kontrak politik sebagai alat peredam ekspansi Islam politik sekaligus
memobilisasi isu, aksi kolektif, dan jejaring massa memprotes tirani mayoritas
penindas Kristen di rumah besar NKRI.
PENDAHULUAN
BKGS dan PPHTGD sebagai fokus kajian
ditempatkan sebagai komunitas masyarakat beragama Kristen Salatiga akan dibahas
terlebih dahulu. Selanjutnya ditampilkan pembahasan tentang PKS sebagai
representasi Islam politik. Disini tidak akan dirinci sejarah berdirinya karena
tulisan ini bukan historika, namun pada gerakan sosial politiknya dalam
momentum Pilwalkot, meskipun sketsa historis dimasukkan juga.
Sosiolog sejarah Charles Tilly
mendefinisikan politik perselisihan sebagai interaksi dimana aktor
membuat klaim dengan membawa
kepentingan orang
lain, dimana pemerintah muncul baik sebagai target, pemrakarsa klaim, ataupun pihak ketiga.[10] Definisi ini bisa dengan tepat menggambarkan
apa yang terjadi didalam keterlibatan BKGS dan PPHTGD dalam momen Pilwalkot.
Ada bukti empiris bahwa gerakan oikumene digunakan
sebagai alat negosiasi kepentingan lewat kontrak politik antara kelompok
kepentingan Kristen dengan Islam politik. Oikumene yang biasa dipahami sebagai
gerakan saling membagi identitas masing-masing dalam gerakan fellowship gereja serta gerakan penyatuan
dan kerjasama
antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam kekristenan.[1]
Namun, pada saat yang sama oikumene juga dipakai sebagai gerakan sosial politik
diantara sesama anggota dari dua kelompok kepentingan, yakni BKGS dan PPHTGD
untuk mendukung pilihan Cawawali dari masing-masing terkait Pilwalkot Salatiga
2011.
Dari sini terlihat kompleksitas
oikumene yang penting untuk diurai. Rupanya pertemuan oikumenis yang sebelumnya simbolik dan formalistik
kesannya ‘disulap’ menjadi gerakan sosial politik demi alasan menegosiasikan
kepentingan diri dan kelompok. Tak lagi bisa disembunyi-sembunyikan; gerakan oikumene juga sebagai
gerakan sosial politik ketika
momentum dan musimnya datang.
Yang dimaksudkan gerakan sosial
politik disini ialah dimana sekelompok individu berpikiran sama yang tergabung
dalam sebentuk organisasi informal dalam upaya-upaya kolektif untuk menjalankan
atau pun untuk mencegah perubahan sosial lewat kegiatan-kegiatan yang masih
berkaitan dengan politik.[2] Sedangkan,
kelompok kepentingan disini sering juga dikenal dengan kelompok penekan ialah
kelompok yang memperjuangkan suatu kepentingan dan mempengaruhi lembaga politik
agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan, atau menghindarkan keputusan
yang merugikan.[3]
Sedangkan, maksud dari term
politik disini seturut dengan perspektif Harold D. Lasswell (1936), yakni dari
politik sebagai tujuan dan kekuasaan. Kedua hal itu dalam konteks politik diposisikan sebagai
kemampuan untuk berpartisipasi dalam keputusan yang diinginkan. Baginya, kekuasaan
politik sebagai kemampuan untuk menghasilkan efek yang dimaksudkan pada orang
lain. Dalam politik selalu ada siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana mendapatnya.[4] Karena gerakan oikumene dimobilisasi oleh pendeta-pendeta gereja,
bukan oleh jemaat gereja, maka mereka menempatkan diri sebagai kaum elit
Kristen lokal sebagai representasi jemaat dan umat Kristen Salatiga. Disini
terlihat bahwa elit sebagai pemegang utama kekuasaan.
Menurut Rodney,
Mary, dan Marcia,
konsentrasi utama studi politik Lasswell terarah kepada basis politik elit masyarakat.
Baginya, salah satu faktor dari basis keterlibatan elit berpolitik bukan hanya pada kepastian status
atau materi (status qou, yang sering
diartikan: mempertahankan kekuasaan bisa
untuk kebaikan dan juga kejahatan), atau tidak untuk menetapkan posisi elitisnya agar eksis, tetapi juga sebagai orientasi atas ketidakamanan (insecurity)
yang sedang terajadi.[5]
Perlu diingat, masa transisi[6]
Orde Baru ke Reformasi di Indonesia juga merembes ke gereja. Banyak terjadi kekerasan
massal dan sistematis di level lokal menimpa Kristen, misalnya, Poso dan
Maluku. Disamping itu masih banyak contoh terjadinya pembalakan gereja dan
tindak kekerasan bahkan pembunuhan pendeta di masa itu. Hampir tidak ada provinsi yang terbebas dari
jenis kekerasan dan konflik agama. Pendek kata, konflik komunitas dan kekerasan
antar agama menjadi fenomena yang umum terjadi.[7]
Tulisan ini hendak menjawab
kegelisahan akademik bagaimana cara pendeta menegosiasikan kepentingan politik
Kristen diantara sesama komunitas Kristen dan kaum Islamis dalam momentum
pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilwalkot) Salatiga periode 2011-(2016). Sesuai dengan pertanyaan itu diharapkan ada jawaban
dari hasil riset lapangan, sehingga akan bisa menunjukkan dimana saja titik
simpul bertemunya kepentingan Kristen dan Islam politik.
Apa boleh dikata, realita ini seakan menampik argumen-argumen arus utama yang
mendominasi ketika berbicara gerakan oikumene sejak tahun 1950-an hingga hari
ini, biasanya terbingkai ke dalam keesaan atau kesatuan gereja, yang kerap
diterjemahkan amat sempit, yaitu dalam rangka mengadakan hubungan dan kerjasama
intim antar gereja se-Indonesia.
Tidak mengada-ada jika setelah
membahas fenomena ini akan muncul tafsir gerakan oikumene dan percakapan antar
iman yang tidak biasa, setidaknya versi pemahaman subjek setelah ditanyai. Disamping itu, ada niatan lain untuk melihat
fenomena gerakan oikumene yang umum dalam kajian teologi dari pendekatan
gerakan sosial politik dan politik identitas.
Dan
seterusssssssnya>>>>>>>>>>
Bagaimana
proses kerja lapangan untuk mendapatkan data dari sumber kunci primer
diungkapkan disini untuk menghilangkan keraguan-keraguan orang terhadap data
temuan. Meski berKTP Salatiga, sebagai pendeta dan dosen STT (bukan gembala
sidang gereja) dan direktur Preschool (PAUD-TK), apalagi sebagai Kristen lokal,
saya akan menempatkan kajian ini pada posisi peneliti sebagai orang luar (dalam
artian bukan pelaku) yang terlibat mengamati fenomena adanya gejala-gejala
agama dalam relitas politik. Kendati demikian, harus diakui ada saja sisi-sisi
subjektif peneliti yang Kristen tak terhindarkan. Namun subjektif itu
berbarengan dengan objektifitas yang tetap lebih tebal.[8]
Dan
seterusssssssnya>>>>>>>>>>
POLITIK IDENTITAS MENJADI POLITIK
PERSELISIHAN
PERSELISIHAN
BKGS dan PPHTGD sebagai fokus kajian
ditempatkan sebagai komunitas masyarakat beragama Kristen Salatiga akan dibahas
terlebih dahulu. Selanjutnya ditampilkan pembahasan tentang PKS sebagai
representasi Islam politik. Disini tidak akan dirinci sejarah berdirinya karena
tulisan ini bukan historika, namun pada gerakan sosial politiknya dalam
momentum Pilwalkot, meskipun sketsa historis dimasukkan juga.
Politik perselisihan [9] ialah interaksi kolektif menegang yang terjadi di antara pembuat klaim berlangsung periodik dan makin menggelembung ke publik sering kali tak terbendung dan tak tertutupi. Sejumlah orang, oganisasi, kelompok, bahkan negara-pemerintah terlibat sebagai subjek dan objek saling mengklaim kebenaran sendiri. Mereka saling dipengaruhi-mempengaruhi kepentingan. Dari situasi persitegangan inilah politik perselisihan terjadi yang mengacu pada perjuangan politik kolektif.
Sosiolog sejarah Charles Tilly
mendefinisikan politik perselisihan sebagai interaksi dimana aktor
membuat klaim dengan membawa
kepentingan orang
lain, dimana pemerintah muncul baik sebagai target, pemrakarsa klaim, ataupun pihak ketiga.[10] Definisi ini bisa dengan tepat menggambarkan
apa yang terjadi didalam keterlibatan BKGS dan PPHTGD dalam momen Pilwalkot.
Dan
seterusssssssnya>>>>>>>>>>
KONTRAK POLITIK
Saya akan jelaskan kontrak politik
dari sisi sosiologi politik, bukan dari sisi hukum
formilnya. Kontrak politik ada yang menyebut perjanjian sosial atau kontrak sosial, ialah sebuah teori yang menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada seseorang atau lembaga yang disepakati, sehingga sumber kedaulatan negara berasal dari rakyat dan memperoleh legitimasi melalui kontrak sosial antara dua pihak. [11] Kontrak politik adalah salah cara yang biasa digunakan oleh gerakan politik untuk memuluskan langkahnya dalam mencapai tujuan politiknya.
formilnya. Kontrak politik ada yang menyebut perjanjian sosial atau kontrak sosial, ialah sebuah teori yang menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada seseorang atau lembaga yang disepakati, sehingga sumber kedaulatan negara berasal dari rakyat dan memperoleh legitimasi melalui kontrak sosial antara dua pihak. [11] Kontrak politik adalah salah cara yang biasa digunakan oleh gerakan politik untuk memuluskan langkahnya dalam mencapai tujuan politiknya.
J. J. Rousseau sebagai penggagas ide-ide politik
dibingkai oleh pertimbangan situasi politik itu. Ia menuliskan adanya realita
ketidaknyamanan dalam struktur pemerintahan
kota dan keberlangsungan hidup warga, maka
dari kontrak politik sebagai usaha untuk menagih atau menebus janji dan
untuk mengurangi ketidaknyamanan politik.[12]
Saya akan menjelaskan ide dibalik dan
proses lahirnya kontrak politik tersebut, dan pembuat draft kontrak politik
tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan pelakunya sendiri. Hal ini akan
dikisahkan seperti berikut.
Dan
seterusssssssnya>>>>>>>>>>
KESIMPULAN
Momentum Pilwalkot sebagai even untuk renegosiasi diri kedalam kelompok
dan keluar, bahwa adanya kesadaran kelompok lain. Ia juga sebagai bukti empiris bahwa gerakan oikumene
digunakan sebagai alat negosiasi kepentingan lewat kontrak politik antara
kelompok kepentingan Kristen, dan untuk membuka konstituen baru lewat jalan
kerjasaa dengan pendeta bagi partai islamis. Artinya, dinamika politik lokal mampu menggoncang identitas
diri sebagai Kristen atau Islam.
Titik simpul gerakan oikumene dan
politik itu bukan pada kesamaan atau kebedaan organisasi agama, tetapi bertumpu
pada tokoh agama dan ikon partai karena mereka sesungguhnya yang berkuasa,
bukan selalu kekuatan dibelakangnya, meski terus diantisipasi. PPHTGD memilih
menjadi kelompok penekan yang memiliki kepentingan sendiri. Ia menekan lawan
dengan kertas, bukan kampanye politik semata. Sesama teman perlu digerakkan
agar makin bertenaga.
Islam politik harus diikat agar bisa
dtunggangi dari dekati, semakin di dekati semakin kuat ikatannya, sebaliknya
semakin dijauhkan semakin liar tak terkendali. Akta perjanjianlah sesungguhnya
tali pengikat, disanalah janji dan ikatan itu termuat. Meski hanya sebagai
perjanjian publik, bukan hukum positif ia mampu menembus immunitas ketidak
berpihakan negara kepada gereja, jika dilihat dari fakta rumitnya urusan
menimbun batu bata menjadi rumah ibadah.
Jadi, dimanakah adanya titik simpul antara gereja dan Islam politik itu?
Ia jelas di dalam diri ikon dan identitas wawali.
Dan
seterusssssssnya>>>>>>>>>>
[1]Christian Smith, “Correcing a
Curious Neglect, or Bringin Religion Banck in,” in Disruptive
Religion: The Force of Faith in Social Movement Activism, ed. Christian Smith (New York: Routledge, 1996), 17.
[5]Rodney Muth, Mary M. Finley,
Marcia F. Muth, Harold D. Lasswell: An
Annotated Bibliography (Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic
Publishers, 1990), 76.
[1]Christian Smith, “Correcing a
Curious Neglect, or Bringin Religion Banck in,” in Disruptive
Religion: The Force of Faith in Social Movement Activism, ed. Christian Smith (New York: Routledge, 1996), 17.
[2]Konsep
gerakan sosial digunakan sebagai payung istilah untuk menyebut koalisi atau
aliansi kelompok pada berbagai tingkat
institusionalisasi yang masing-masing bertujuan untuk mengatasi masalah bersama
serta imbalan atau hasil yang didapatkan. Artinya, gerakan sosial dilihat lebih
leluasa bisa meliputi partai-partai politik dan kelompok-kelompok yang bermain
dibelakang sebagai penekan, penumpang bebas atau tidak terorganisis gerakan,
dan juga kelompok-kelompok keagamaan yang lebih informal. Keith Faulks, Political Sociology: A Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1999), 87.
[5]Rodney Muth, Mary M. Finley,
Marcia F. Muth, Harold D. Lasswell: An
Annotated Bibliography (Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic
Publishers, 1990), 76.
[6]Henk Schulte Nordholt,
Ireen Hoogenboom, Indonesian Transitions (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 23.
[7]Adriana
Elisabeth, “The Indonesian Experience in Implementing Democracy” in Democracy in Muslim Societies: The Asian
Experience, ed. Zoya Hasan (New
Delhi: Sage Publications India Pvt Ltd, 2007), 88.
[8]Tebal
= a thick
description, cara kerja etnografer untuk mencari makna dan menjelaskan secara dalam.
Asumsinya, tindakan manusia selalu berdasar pada sejumlah jejaring makna. Etnografer
dituntut terjun dalam jejaring makna untuk mengetahui dan menganalisis apa
sesungguhnya yang terjadi. Etnografi bukan isi paparan realita lapangan yang
ditemui tetapi dituntut menganalisis yang dihadapi dan menentukan arti dan
landasan sosial peristiwa sarat makna. Clifford Geertz, The Interpretation
of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 5-6, 9-10.
[9]Doug McAdam,
Sidney Tarrow, and Charles Tilly, Dynamics
of Contention (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 5; Politik perselisihan (Contentious politics) juga digunakan sebagai teknik mengganggu pembuat
kebijakan politik, atau untuk
mengubah kebijakan pemerintah, misalnya lewat demonstrasi, aksi pemogokan umum, huru-hara,
terorisme, pembangkangan sipil, dan bahkan revolusi atau pemberontakan. Gerakan
sosial sering terlibat dalam politik perselisihan.