Elia
Tambunan, S.Th., M.Pd
Khotbah
Kapel STT ”Nazarene Indonesia,” Kamis, 10 Mei 2012
A. Pendahuluan: Sesuatu untuk Dimaknai
Berbicara
soal visi dan Misi dalam dimensi kehidupan Kristen, baik itu dalam sistem
pendidikan dari dasar hingga sekolah tinggi, gereja, masyarakat, bisnis dan
seluruh tipe dan seri ministri lainnya, pastilah selalu dilihat atau
dipengaruhi ajaran, pemaknaan dari sisi teologis, yakni Matius 28 ayat
18-20, dan ayat-ayat Alkitab lain yang
“segudang” yang serupa dengan itu. Artinya, saya ingin menegaskan, bahwa topik
ini adalah memang topik Alkitabiah atau teologis Kristen.
Namun,
ketika ini sudah diposisikan atau diletakkan dalam dimensi akademis, maka
ketika berbicara visi dan misi Kristen nama George Barna menjadi rujukan nomor
satu, khusunya di Indonesia. Apa yang terjadi dibelakang pemikiran Barna,
bagaimana itu berproses, gerakan intelektual seperti apa yang ia kampanyekan,
dan apa ujun yang ingin dibongkar-bangkir di Amerika sejak kemunculannya di tahun
1990-an. Perlu diberitahukan disini, orang Indonesia hingga hari ini hanya
lebih tahu soal “The Power of Vision”[1]nya
Barna, ataupun mungkin orang lain yang sudah sering terdengar soal ini.
Sehubungan
dengan istilah dan pemahaman itu sudah biasa, saya tidak lagi akan menjelaskan
itu disini. Artinya, saya tidak sedang menjadi pengikut Barna dan yang hanya
bisa membaca materi tulisan dan pemikirannya. Saya menjelaskan visi disini
dengan cara saya sendiri, dan yang dipengaruhi oleh latar belakang akademik dan
keilmuan yang saya miliki. Saya menjelaskan ini demi kepentingan Kristen secara
nasional. Kali ini saya lakukan untuk mengobati sejumlah penyakit pendidikan
tinggi keagamaan Kristen. Dengan terobatinya penyakit tersebut, maka akan
terjadi “Gerakan Intelektual Kristen”[2]
yang sedang saya kampanyekan terus-menerus. Apa alasan dari gerakan ini adalah
karena kita sedang membutuhkan, mengharapkan dan menciptakan kegerakan dan
kebangunan intelektual Kristen di Indonesia, bukan lagi hanya (sekali lagi
bukan lagi hanya) KKR-kegerakan dan kebangunan rohani melulu, sehingga tercipta
mahasiswa, dosen, dan masyarakat Kristen yang betul-betul intelektual dan
intelektual yang betul-betul masyarakat Kristen.[3]
Dengan
demikian, kali ini, saya juga tidak lagi mau menghabiskan energi untuk
mengeksegesis Matius 28 ayat 18 sampi 20 itu, bukan karena saya tidak bisa
biblical studies dengan ilmu hermeneutikanya, tetapi alasannya karena itu sudah biasa saya dengar, meskipun karena
biasa seringkali dilupakan bagian-bagian lain dari pemahaman visi teologi
didalamnya, yang ternyata sering menjadi diterlantarkan. Saya memilih apa sebenarnya yang tejadi
dibalik pengajaran visi dan misi itu, sehingga pemahaman saya menjadi
komprehensif terhadapnya.
B. Bagaimana
Menjalankan Visi?
Issu
soal bagaimana menjalankan visi ini sendiri, minimbulkan sejumlah tanya, karena
topik ini tidak jelas. Saya katakan tidak jelas karena alasan visinya siapa dan
lembaga yang mana? Oleh karena kekurangjelasan itulah sebabnya saya terpaksa
kembali ke Matius 28 ayat 18-20 tadi dengan “membanya dari pemikirannya Geroge
Barna. Artinya yang saya lakukan disini adalah “kritik pemikiran tokoh
Kristen”, yaitu Geroge Barna yang sering menjadi referensi utama, ketika
berdiskusi soal visi dalam dimensi akademik Kristen. Saya melihatnya dengan
metode ilmu kritik pemikiran dari dokumen atau literatur karyanya sendiri,
Artinya ini adalah kritikterhadap sumber pertama dan orang pertama. Artinya
bukan sumber kedua, apalagi terjemahan tidak ada disini. Ini saya lakukan untuk
mengahsilkan makna yang baru bagaimana menjalankan visi, sehingga terjadi “Revolution,”[4]atau
revolusi intelektual dalam dimensi kehidupan Kristen, seperti yang diinginkan
Barna, ketika ia berbiaca soal visi di tahun 2012.
Revolusi
yang dimaksudkan disini bukanlah upaya-upaya sistematis untuk melakukan
pembrontakan atau perlawanan berdarah-darah terhadap pemimpin atau otoritas dan
wewenang, denominasi atau seseorang pemimpin saat ini yang menjabat. Saya ingin
menempatkan kata revolusi itu diposisi yang seharusnya, sesuai dengan tujuan
visi yang saya bicarakan disini. Saya ingin menempatkan sebagaimana seharusnya,
atau yang saya jelaskan dengan menciptakan
kegerakan dan kebangunan intelektual Kristen di Indonesia, bukan lagi hanya
(sekali lagi bukan lagi hanya) KKR-kegerakan dan kebangunan rohani melulu,
sehingga tercipta mahasiswa, dosen, dan masyarakat Kristen yang betul-betul
intelektual dan intelektual yang betul-betul masyarakat Kristen.
Menurut
Goerge Barna, soal-soal pengajaran, pembicaraan, diskusi, ungkapan, angan-angan
ataupun mimpi-mimpi yang berbicara tentang visi dan misi adalah materi
penjelasan yang sangat biasa dan nyatanya hanya muluk-muluk dalam kehidupan
Kristen, khususnya di Amerika di kala itu. Ia melihat realitas dan pencapaian
Kristen di sana sama seperti “The Frog in
the Kettle”,[5] artinya seperti Katak di dalam ketel,
maksudnya tempurung. Di Amerika tidak tumbuh pohon kelapa, sehingga ilustrasi
atau personifikasinya diumpakan di dalam ketel atau mangkok yang biasanya dari
aluminium atau keramik, atau juga dari kaca.
Tampaknya
apa yang dikatakan Barna itu, memang benar demikian, hanya dengan mengingat lagu
rohani Kristen yang pernah tenar tahun 1990, yakni “Kupunya Visi tuk Bangsa
ini” dan seterusnya itu. Tetapi apa yang terjadi dengan diri saya, dan dunia
Kristen saya, yang ironisnya, saya adalah orang dan pelaku didalamnya, sebagai
mahasiswa, dosen, pemimpin atau pelaku di dalamnya, jika melihat situasi dan
nasib Kristen Indonesia kini. Itulah alasannya saya mengatakan ada yang “salah”
dan ada “penyakit akademik yang akut,” dalam proses edukasi dalam pendidikan
tinggi keagamaan Kristen di Indonesia sejak tahun 1960-an hingga kini.
Ditengah-tengah munculnya Islam yang saya katakan sebagai “Superpower Baru di Dunia dan di Indonesia. Alasan saya adalah jika
ditilik dari penjelasan dari Akbar Akhmed secara statistik bahwa, 1 diantara 4 manusia yang hidup diplanet bumi ini adalah
muslim, padahal awalnya itu milik Kristen, lebih dari 6-7 juta Muslim hidup di
Amerika Serikat, padahal nota benenya Amerika yang katanya adalah negara
Kristen[6].
Hal ini sudah saya jelaskan dalam paper “Diskusi Akademik”
beberapa waktu lalu di Kapel STT Nazarene.
Fenomena
dan kenyataan di dunia Kristen Amerika itu, sangat memuakkan bagi Barna, lalu
ia terilhami dengan realitas itu untuk membuat perubahan dalam dunia dan
kehidupan Kristen, lewat pelayanan berbasis riset atau penelitian masyarakat,
gereja, dan bisnis. Ia membuat satu rumusan pertanyaan utama dalam penelitian
dan pelayanannya, “Generation Next:
What you Need to Know About Today's Youth.”[7]
Artinya, jika sudah berbicara soal visa dan missi Kristen untuk generasi masa
depan, perlulah untuk melibatan dan menggerakkan anak-anak muda yang penuh
aksi. Barna memberdayakan atau mengedukasi anak-anak muda Amerika untuk
mengetahui dengan sesunguh-sungguhnya apa yang perlu ia tahu soal masa mudanya
hari ini dan apa yang bisa dilakukan mereka untuk Kristen di masa mendatang.
Melihat realitas
hidup saat itu, Barna kemudian melanjutkan dengan proyek, “Turning Vision Into Action“[8]
mengubah visi menjadi aksi. Artinya, ia ingin membuat perubahan pemikiran,
teori menjadi tindakan. Ia ingin mengubah yang tertulis indah dalam Alkitab
orang Kristen itu menjadi tindakan, aksi atau gerakan nyata. Hal inilah yang sering kali saya sebut dengan
“pendidikan Kristen dari edukasi menjadi eduaksi, atau rekonstruksi teori ke sosio-praksis”.[9] Dengan kata lain, yang saya butuhkan hari ini
adalah bagaimana cara untuk mudah mengikuti
rencana untuk menemukan visi yang
Tuhan inginkan untuk pelayanan kita, dan bagaimana dapat membawanya
atau mempraktekkan sesungguhnya ke dalam kehidupan, baik
di gereja, rumah, masyarakat, bisnis,
seluruh jenis dan dimensi ministri, dan dalam kehidupan spiritual dan sosial
lainnya, khususnya dalam bidang intelektual.
Itulah
fenomena yang ia amati, sehingga ia berkata demikian, sehingga ia berketetapan
“Keep on Building,”[10] Artinya,
saya harus terus mendesain, membangun dan membuat perubahan. Saya melihat,
solusi yang ia kerjakan adalah membuat “Leaders on Leadership.”[11]Artinya,
Barna menciptakan pemimpin dalam kepemimpinan yang memiliki hati dan
jiwa hamba, yang berhikmat, punya semangat dan tindakan keberanian dengan cara,
jalan, pertauran, prosedur dan hukum yang benar untuk memimipin umat Allah.
Saya
melihat, yang dilakukannya adalah ia sedang mendesai cara dan metode untuk
melahirkan kelompok atau institusi pemikir inovatif
untuk mendapatkan perspektif baru pada
definisi kepemimpinan, ide-ide
baru untuk mengatasi tantangan
yang menghadang perubahan dan menghadapi pemimpin, otoritas, wewewang yang hanya bisanya berkata-kata
mendukung perubahan. Ia menumbuhkan semangat baru untuk menjawab panggilan Tuhan taruh dalam hati setiap orang. Bahkan
ternyata, dilihat dari perspektif akademiknya barna, yang menghalangi perubahan
itu adalah pemimpin dan kepemimpinan itu sendiri, sehingga alih-alih untuk
mengkritisi dan menjatuhkan pemimpin (dalam dunia Krosten denagn semua sistem
istitusi dan sisitem sosialnya)di Amerika, maka ia mendesain “Building Effective Lay Leadership Teams.”[12]
Artinya, Barna lebih memilih untuk melatih dan memberdayakan kaum
awam yang menjadi tim pemimpin dalam ministri Kristen. Hal inilah yang sering
saya dengan dengan istilah teologi kaum awam.
Apa yang bisa saya
amati dan pahami dari gerakan intelektual Kristen Amerika sejak tahun 1990an
hingga kini tersebut? Ini penting menjadi poin yang bisa diapplikasikan di
Indonesia sesuai dengan setting sosial dan keadaan disini, tanpa menghancurkan
leburkan nilai-nilai inti dari denominasi, institusi, atau keyakinan orang atau
lembaga ministri tertentu di semua sistem pelayanan dan sekolah tingggi teologi
di Indoesia dan juga secara lokal.
Sangat
sederhana yang telah dan sedang gencar-gencarnya yang dilakukan oleh George
Barna itu, yitu ia ingin menumbuhkan kegerakan itu dari luar untuk mempengaruhi
ke dalam. Hal itu ia istilahkan dengan “Grow Your Church from the Outside In.” [13]
Artinya, Barna sedang baru hanya sebatas berupaya dan bertindak
sungguh-sungguh untuk menyediakan cara pandang yang tidak biasa
atau tidak normal karena tidak biasa dipakai oleh orang lain atau pemimpin lain
sezamannya di dunia. Ia mengatakan, bahwa dalam menumbuhkan pelayanan
ditumbuhkembangkan dari luar ke dalam. Artinya, dunia nyata atau nilai,
sikap, perilaku, keyakinan, praktik keagamaan,
demografi, tujuan hidup dan harapan rohani
dari luar itulah yang bisa membuktikan apakah visi dan misi pelayana itu memang
benar dari Tuhan dan untuk Tuhan, atau hanya untuk kemuliaan, kebesaran,
kesuksesan, dan keterkenalan dari pemimpinnya atau orang dalam itu sendiri.
Meskipun, saya dengan sadar akan bangga dan memberikan dukungan dengan kekuatan
penuh dan kesadaran penuh, jika ada orang, denominasi, lembaga atau institusi
Kristen yang terkenal karena mutu dan layanannya memang bermutu baik.
Barna
tidak menyerah meski hujat dan hinaan yang tentu tidak bisa dielakkan. Terbukti
ia mengulangi lagi tulisannya dan gerakannya dengan sebutan “The Frog in the Kettle and Boiling Point,” [14] artinya, Si Katak
di dalam tempurung dan
titik didihnya. Ia sedang mengajar semua orang di Amerika,
termasuk para kolega, dan para penikmat buku dan ajarannya, bahwa perubahan
tidak bisa dihindari (Change is
inevitable), perubahan akan terjadi apakah saya siap atau tidak, apakah
saya berkawan atau malah melawannya, apakah menentangnya bahkan menenteng untuk
membawanya bersama saya. Perubahan akan terjadi apakah saya suka atau tidak,
apakah saya dukung atau saya bendung. Tidak ada perubahan? Tidak ada kesempatan
sama sekali (No change? No chance!).
Apa
memang benar yang dikatakannya itu? ini merupakan kritik saya terhadap
pemikirannya Barna. Tetapi tampaknya hal itu bisa diaminkan hanya dengan
melihat ilmu biologi atau segala hal yang tekait dengan botanologis. Dari para
ahli biologi memberikan saya pemahaman yang baik untuk ini. Misalnya bibit
tanaman atau biji-bijian dari tumbuh-tumbuhan. Ketidakadaan perubahan dalam
diri bibit tanaman atau biji-bijian dari tumbuh-tumbuhan maka itulah tanda
kematian mereka. Dengan kata lain, kehadiran atau keadaan perubahan adalah satu
tanda kehidupan. Perubahan adalah komponen penting untuk layak atau pantas
disebut ada kehidupan. Demikianlah pula dalam kehidupan atau dalam keadaan
sebagai manusia. secara intelektual, emosiona, sosial, dan spiritual, kita
harus berubah atau mati, tidak ada ruang, masa atau tempat diantaranya atau
ditenngah-tengah keduanya.
Tampaknya
memang perubahan selalu tidak menyenangkan, tidak masalah seberapa besar
untungya bagi saya atau seberapa ruginya untuk saya karena pengaruhnya.
Akibatnya sering kali hanya dua. Saya hanya akan lebih sering fokus pada
permasahannya, yang sebenarnya telah saya ketahui, ketimbang saya akan berupaya
terus-menerus untuk memperbaiki diri da lingkungan sekitar untuk menemukan dan
mencari solusinya yang ternyata belum saya ketahui sama sekali. Jadi, saya bisa
memprediksi satu hal soal masa depan, yakni saya tidak selalu menyukai proses
menuju masa depan, tetapi mulut saya akan selalu senang mengatakan, saya suka
dan mendukung perubahan, meskipun ternyata, saya anti proses kesana, yaitu
proses perubahan tadi. Ini memalukan
dan memilukan saya, bahkan hina dan malangnya
mulut dan hidup ini karena saya hanya
bisa berucap dan menginginkannya semata.
[1]Silahkan baca George Barna, The
Power of Vision (Ventura, CA: Regal Books, 2001).
George Barna adalah pendiri, dan direktur The Barna Group, sebuah layanan lengkap pemasaran
perusahaan riset di Ventura,
California, USA yang mengkhususkan diri dalam
riset untuk pelayanan Kristen. Sebagai penulis
dan periset Kristen, buku-buku dan hasil riset yang ditulis dan dilakukan oleh George Barna dipublikasikan secara online di www.barna.org.
[2]Untuk
lebih jelas dan komprehensif, silahkan baca Elia Tambunan, “Gerakan Intelektual: Post-Modernisasi Ilmu
Pengetahuan Mengobati Penyakit Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen,”
Salatiga: Sekolah Tinggi Theologi Salatiga, Jurnal Gema FIRMAN, vol.1,
No.1/Jan-Jul 2012, h. 96-138. Ataupun lebih baik kita mendiskusikan hal itu
lebih lanjut secara tatap muka dalam nuasa akademik yang formal atau informal.
[3]Untuk
lebih jelas dan komprehensif, silahkan baca Elia Tambunan, “Proposal dan Penelitian Keagamaan Kristen: Dari Kritik Metodologi
Riset Sampai ke Horison Baru Keilmuan,”Yogyakarta: Sekolah Tinggi Theologia
Nazarene Indonesia, SANCTUM DOMINE, Jurnal Teologi, vol. 1, No. 1 Maret 2011,
h. 77-130. Ataupun lebih baik kita mendiskusikan hal itu lebih lanjut secara
tatap muka dalam nuasa akademik yang formal atau informal.
[8]George
Barna, Turning Vision Into Action
(Ventura, CA: Regal Books, 1996), h. 1.