Selamat datang di dunia ‘riset’ pendidikan keagamaan Kristen, yakni program studi Theologia dan PAK-Pendidikan Agama Kristen. Di buku ini sebanyak 215 halaman ini, pembaca sedang diajak memasuki kawasan metodologis dengan multi-pendekatan dan multi-disciplinary, lengkap dengan segala kebebasan akademik untuk ‘menyuarakan’ hasil risetnya. Saya tidak terlalu mempersoalkan apakah riset dengan cara kuantitatif dan kualitatif, atau gabungannya. Bagi saya yang lebih penting adalah bagaimana memperoleh skill dari dalamnya, dan bagaimana menggunakan paket-paket pengetahuan dari riset ‘kuan-kual’ yang sudah ada itu, dan yang sering ‘dikonsumsi’ di kelas lewat mata kuliah metode penelitian bisa diintegrasikan dengan ‘multi-pendekatan’ keilmuan, sesuai dengan tujuan riset yang diinginkan pelakunya. Metode riset harus berdasarkan atau dituntun oleh fenomena keagamaan dan realitas lapangan sesungguhnya. Ia dirancang berdasarkan perspektif orang dalam (insider perspective) atau sumber data sebagai subjek bukan objek yang diteliti.
Riset teologi dan PAK, seharusnya memang ‘fun’, atau menyenangkan. Riset adalah “petualangan-adventure” sebagai aktifitas bersenang-senang secara akademis, dan memberikan kebebasan akademik bagi periset untuk mengatakan “apa saja,” yang penting caranya benar secara keilmuan, dan ada data-evidence dan fakta-facts yang ditemukan dari lapangannya. Riset disini bukan tugas akhir yang lagi menakutkan, membuat stress, gagal, sehingga sering berakhir DO-drop out, maksudnya ‘gak jadi SaRJoNo. Riset juga bukan lagi hanya sebagai syarat mendapatkan gelar. Ia adalah tanggung jawab sosial akademik untuk pengembangan komunitas akademik dan masyarakat, seperti ‘ruh’ tridharma perguruan yang sangat tinggi itu.
Saya mengajak mahasiswa S1-S3 ikut menikmati petualangan intelektual di dunia Kristen yang nyata, dan ‘dunia maya’, bukan lagi dunia ‘rohani’, metafisis, abstrak, yang dahulu, bahkan hingga kini masih saja menjadi andalan di wilayah kajian PAK apalagi Teologi. Saya tidak sedang ‘mendoseni’ pembaca sekedar bisa, biasa, dan tahu ‘meneliti,’ seperti yang diulang-ulangi dalam mata kuliah ‘metode penelitian’. Asal tahu saja, metode itu selama ini lebih terforsir pada riset deskriptif. Hasilnya seringkali baru sebatas laporan penelitian, atau sekedar bisa membuktikan, bahwa hipotesis A, B, Ho, H1 ditolak atau diterima, terbukti benar atau salah, yang dilengkapi dengan data mentah. Itu seringkali seolah-olah kelihatan sudah selesai karena telah ada angka-angka statistik ditambah persentase disana-sini. Saya tidak sedang memberikan itu disini, dan ini bukan buku mata kuliah yang deskriptif itu. Maksud saya, saya tidak sedang memperkenalan ilmu metodologi, yakni materi, isi, dan muatan atau kandungan pembahasannya dalam penelitian, seperti yang sudah ada mata kuliahnya tersendiri sesuai dengan level kesarjanaannya. Saya sedang menyediakan seperangkat instrumen riset, tetapi petualangan itu sendiri adalah pengalaman pribadi dari pembaca, sehingga ia bisa secara mandiri dan bebas mencipta risetnya sendiri, itulah fokusnya.
Di bab 1, saya melengkapi peta perjalanan intelektual di buku ini. Jika tidak, maka pembaca akan menghadapi ‘turbulensi akademik’ atau goncangan adrenalin yang sangat hebat, ketika ‘memasuki’ rute yang bergelombang di dalam buku ini. Di bab 2 saya mengeksploitasi dengan narasi kritis sejumlah persoalan riset di lingkungan akademik STT dengan cara lain yang lebih kreatif-kritis. Selama ini mahasiswa STT Kristen bisa dan terbiasa dengan ilmu teks, kata-kata, ilmu omong-omong dan ilmu tafsir. Rasanya tidak lagi bisa diterima rasio akademik yang waras, dan oleh mahasiswa dan dosen yang waras, tujuannya untuk mengatasi persoalan kompleks yang sedang dihadapi oleh komunitas masyarakat beragama Kristen, tetapi para ilmuan, mahasiswa, teolog dan ahli agama, atau ahli masyarakatnya, duduk tenang, sibuk mondar-mandir, bahkan ‘asik’ atau keranjingan melahap ratusan literatur di perpustakaan. Bukankah lebih tepat untuk menolong masyarakat Kristen, dengan cara mendiagnosis dan menganalisis persoalannya dengan cara berada diantara mereka dan melihat dari sudut pandang mereka sendiri?
Kualitas skill mahasiswa ‘representasi’ dari kualitas pribadi, dosen, dan iklim kebebasan akademik kampusnya. Jika ada yang salah dengan satu komunitas masyarakat beragama, maka mintalah pertanggungjawaban dari komunitas intelektual atau ilmuwan, dan rohaniawan atau agamawannya. Jika ada yang salah dengan mereka, cobalah ‘cek’ secara langsung, bagaimana mereka ‘dikuliahi’ di pendidikan tingginya, nilailah bagaimana kemampuan mereka cara meneliti, dan memahami masyarakatnya. Saya sengaja menulis buku ini untuk memperkarakan dan mempertanyakan ‘kebenaran’ dari tradisi keilmuan dalam metodologi penelitian yang selama ini dikonsumsi di level pendidikan para sarjana itu. Riset teologi dan PAK disini, saya lokalisasikan dari kacamata sains, sosial sains, dan sains humanities sebagai instrumen kerja akademik secara metodologis (metode, prosedur, proses, hasil), yang sistematik dan saintifik untuk menyelidiki fenomena atau realitas keagamaan Kristen yang terjadi sesungguhnya secara empiris. Riset dipekerjakan untuk penyelidikan dengan standar ilmiah secara investigasi akademik, sehingga menemukan “pengertian yang baru dan segar,” dibalik fenomena atau realitas yang tampak secara kasat mata. Hasilnya direkonstruksi menjadi ‘sesuatu yang bermakna dan berguna positif’ bagi komunitas akademik dan komunitas masyarakat beragama Kristen di Indonesia, seperti ditulis di bab 3.
Disini, skill diartikan sebagai seperangkat ketrampilan kreatif riset yang lengkap, mulai dari bagaimana cara sistematis untuk mendesain dan mengembangkan proposal, mengorganisasikannya dan membawanya pergi ke lapangan, melaporkan atau menuliskan hasil temuannya, menganalisis, menginterpretasikan, dan menteoritisasikannya kembali. Lalu, dipertahankan lewat ujian, direvisi kembali lewat bimbingan supervisior, dan dipublikasikan lewat jurnal atau buku oleh penerbit, seperti terpampang di bab 4 hingga 6. Skill riset seperti inilah yang sedang dinarasikan di buku ini, sehingga hasil penelitian di kampus-kampus, tidak ‘jamuran’ dirak-rak perpustakaan, tanpa diketahui publik apa hasilnya, dan tidak dipakai secara tepat untuk tujuan perkembangan komunitas akademik dan masyarakat beragama Kristen. Oleh karena itu, skill melakukan riset setara dengan skill kreatif menggunakan hasil akhir proyek riset dalam kemasan, bahasa, isi, dan narasi penyampaiannya, sehingga sehat untuk ‘dikonsumsi’ atau ‘dikunyah’ publik, sesuai dengan segmen pembaca dan pangsa pasar.