Posting ini membicarakan soal Pengembangan Mentoring untuk Anak dan
Remaja di Pelayanan Kristen. Kali ini yang dijadikan sebagai fokus pembicaraan
adalah pelayanan PPA-Pusat Pengembangan Anak di Daerah Bejalen Ambarawa-Bandungan.
Artinya, teks ini diambil dari Retreat
Staf, Komisi, Gr. Sek. Minggu dan Mentor
PPA Rahayu IO 973 Bejalen Ambarawa-Bandungan, Minggu, 28 Agust’2011. Tujuan
pembicaraan disini, sehingga Mentor memahami peran mentor, tahu caranya, ngerti
kebutuhan dan karakteristik, temukan dan
kembangkan potensi mentenee.
Aku
seorang Mentor!
Hei Mentor! Apakah memang benar kamu tahu
apa yang sedang “You” kerjain, SEKARANG??? Pertanyaan ini, untuk menggugat dan
menggugah apa arti sejatinya bekerja (dalam arti bertanggung jawab, berkewajiban)
dan yang “digaji atau diupah”menjadi mentor. Disini yang diinginkan keterbukaan
dan kejujuran untuk “menghakimi” diri sendiri. Bukan orang lain, apa
lagi 2 hal, yakni materi dan fasilitas yang ada. Mengapa? si Unyil juga sudah
tahu, bahwa sejak dahulu kedua hal ini sudah jadi masalah besar dalam pelayanan
Kristen di semua tempat.
Apa
yang kita Urusi Disini?
Terlepas dari soal sebelumnya, fokus kita
kali ini adalah soal pelayanan mentoring dalam semua level dan
tipe pelayanan Kristen. Saya lebih suka mengartikan mentoring sebagai tanggung
jawab spiritual, sosial dan intelektual untuk merawat dan memandirikan anak dan
remaja sesuai dengan karateristik, pengalaman hidupnya, tanpa memperdebatkan
status fisik, psikis, sosial, apalagi agama dan organisasi gerejanya.
Lewat pelayanan mentoring, saya berharap tinggi dilaksanakan
dengan spirit edukasi ke edukasi yang nyata dengan spirit revivalis. Hasilnya
bisa memunculkan pelayanan yang mengalami kelahiran baru atau “renaissance.” Saya
mengartikan kata ini mengikuti Paul Enns. Renaissance atau “new birth”[i]
maksud saya kelahiran baru, baik secara spiritual, sosial apalagi secara
intelektual. Tetapi ini, saya terjemahkan lebih khusus sebagai “kebangkitan
intelektual,” mengambil tempat di seluruh pelayanan dan pendidikan Kristen.
Kini waktu yang paling tepat, terjadi kebangkitan reivalisme
intelektual lewat pelayanan di
gereja, dan yayasan atau semua yang di luar
sistem persekolahan, sebagai metode dan media kerjanya. Kebangkitan ini khususnya
terkait erat dengan pelayanan mentoring yang cocok dengan pesoalan,
karakteristik dan keunikan atau kekhasan wilayah masing-masing. Alasan saya,
sederhana sekali. Jika selama ini kita bisa dan biasa melakukan kebaktian
kebangunan rohani, berarti bersama dengan TUHAN, kita juga mendoakan dan
melakukan kebangkitan dan kebangunan sosial dan intelektual. Kedua hal ini
harus bisa diposisikan bernilai atau bermakna dan bertujuan yang sama.
Disini, pelayanan mentoring menjadi instrumen untuk
revivalis tadi. Mentoring dalam berbagai wujud dan manifetasinya dalam kegerejaan
diharapkan menjadi spirit pembangkit komunitas pembelajaran untuk kemajuan
Kristen[ii]. Jika kita tidak menyanggah itu, maka tidak
salah jika Norma Cook Everist berkata”
the church as learning community.”[iii]
Artinya, gereja (lengkap dengan seluruh jenis
pelayanannya) sebagai
komunitas belajar yang komprehensif
untuk pendidikan keberagamaan Kristen.
Gereja dalam spirit ini penting mengetahuinya agar seluruh pelayanannya
dan orang-orangnya melakukannya secara integratif (maksudnya: terpadu atau
menyatu) antara cara-cara spiritual, sosial dan intelektual. Jika kita sepakat dengan itu, maka pengajaran
agama Kristen harus juga diposisikan sebagai ilmu[iv]. Gereja
dalam seluruh dimensi pelayanannya, baik administrasi, penjangkauan, dan pendampingan pastoralnya, disini berfungsi sebagai komunitas belajar.
Mengapa
Pelayanan Mentoring Kristen?
Mentoring, anggap saja itu hanyalah nama atau attribut dan identitas pembeda (bukan membeda-bedakan) yang
kita berikan. Lalu disebut Kristen, hanya karena
dimaksudkan untuk mengedukasi seluruh dimensi kekristenan, baik yang tertulis
dalam Kitab Suci atau “in book” dan dalam kehidupan keseharian atau “daily
life”. Inilah yang penting untuk dipahami gereja dalam melaksanakan tugas-tugas dan praktek Kristen.
Kalau begitu, sangat terlihat jelas, bahwa proses pelayanan
mentoring hanya sebagai metode pengajaran Firman Tuhan saja, itu bukan tujuan
akhir, dan bukan itu segala-galanya. Mentoring hampir sama nilainay sebagai
guru atau pendidik Kristen dalam artian sebenarnya yang memiliki metode untuk
dilakukan. Mentoring dipekerjakan untuk memimpin mentenee (baca: menteni, yakni
orang yang dilayani mentor), sebagai orang atau manusia menjadi pelaku makna
FirmanNya yang tertulis dalam Alkitab. Ia menjadi hidup dan memiliki hidup yang
berarti atau berharga sesuai dengan nilai-nilai utama dari Firman Tuhan. Ia
kemudian mengindividuasikannya ke dalam seluruh dimensi kehidupannya. Artinya
fokus kita adalah mentenee agar ia dengan cara dan upayanya sendiri bisa
mengejar pertumbuhan spititual, sosial dan intelektualnya sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristiknya[v].
Jangan berhenti disitu saja, harus lebih maju setapak lagi. Setiap
mentenee, orang dan jemaat atau apalah namanya mensosialisasikan pengetahuan,
pengenalan, perasaan dan perbuatan tentang ada atau hadirnya Tuhan di dalam
hidupnya, di dalam realitas komunitas masyarakat beragama Kristen dan komunitas
sosial lain yang lebih luas. Itulah indikator positif, bahwa ia telah
menginternalisasikan Firman Tuhan itu, dan memberikan komitmen setia
terhadapnya.
Memang
Untuk Apa Lagi?
Kita semua, penting merenungkan kembali, keterangan dari
Norma Cook Everist, bahwa pelayanan mentoring Kristen hanya sebagai
alat “penginjilan” bukan Kristenisasi. Tetapi
Kristusisasi, terlepas dari oraganisasi dan nama gereja atau yayasan si Mentor.
Mentoring hanya dipekerjakan sebagai instrument alat untuk
penjangkauan dalam pemahaman soal kekristenan yang benar[vi].
Tetapi, jangan lupakan masih ada orang lain, dan agama lain yang hidup bersama
dengan kita, bahkan mungkin saja satu rumah, satu piring atau satu tempat
tinggal dengan kita. Mereka ini harus dihargai dan diterima apa
adanya. Hebatnya sang mentor diwakilkan Tuhan untuk melakukannya karena ia
dipercayaiNya.
Sekali lagi, saya memahami, bahwa tujuan
akhir dari pelayanan mentoring itu, seperti kata Kenneth O. Gangel adalah
menjadikan semua orang sebagai Kristen yang matang atau dewasa secara spiritual
atau “Christian maturity”.[vii]
Tetapi bukanlah selalu harus diterjemahkan sebagai upaya-upaya Kristenisasi.
Tetapi, kita lebih fokus pada kematangan spiritual, sosiologis, dan intelektual,
itulah yang bisa berdampak kongkrit di arena sosial yang lebih luas. Itulah nilai-nilai
utama dari pelayanan mentoring terlepas dari dimana tempatnya dilakukan.
Jika demikian, maka setiap mentenee dalam pelayanan
mentoring ini seharusnya dirawat dan dimandirikan untuk menjadi Orang Percaya
dan Kristen yang dewasa, yang terikat atau termasuk dan memberikan komitmen
kepada Kristus. Inilah yang membuat mentenee bisa hidup sesuai dengan
nilai-nilai dalam komitmennya. Jika itu yang kita lakukan, maka saya tidak
membantah keterangan dari Norma Cook Everist, bahwa inilah tanggung jawab
sosial dan nilai-nilai inti yang diamanahkan Tuhan kepada mentor.[viii]
Tetapi agar berhasil, mentor harus dipercayai
dan diberikan kepercayaan dan kebebasan untuk mereka. Dengan kepercayaan dan dukungan
penuh banyak orang yang sukses penuh dalam hidupnya. bahkan biasanya
orang-orang seperti ini, malah yang diremehkan awalnya.
Dengan pengertian kayak begini, maka para peminat dan peniat
di pelayanan mentoring perlu diposisikan menjadi orang Kristen yang proaktif
untuk mendesain sendiri dan secara tim pelayanan mentoringnya. Semua orang
adalah anggota tim dalam artian sebenarnya. Dengan itulah mentor bisa dan bebas
berpikir dan berpandangan luas atau “world wide views”. Bukan untuk kemasyuran
sendiri-sendiri, tetapi dengan tujuan perawatan dan pemandirian orang Kristen. Intinya,
ternyata kita semua dipanggilNya (terlepas dari cara dan proses pemanggilannya)
untuk merencanakan dan melakukan kebangkitan spiritualisme, sosialisme dan
intelektualisme tersebut.
Apa
yang Kamu Tahu dan Dengar Soal Mentoring Selama Ini?
Mungkin saja banyak orang, jika membaca
pernyataan Kathleen Feeney Jonson mengaminkannya. Mentor yang baik harus memiliki pemahaman yang komplit terhadap bidang pekerjaannya. Maksudnya ilmu atau
teori dan prakteknya dilihat dari pengalamannya. Selain itu, mentor harus peka
terhadap “semua” kebutuhan diri mentenee,
sehingga mentor dapat mentransformasikan strategi pengajaran yang efektif untuk
membantu mentenee. Dan biasanya nasihat lainnya adalah jangan lupa menjadi pendengar yang baik[ix].
Mungkin saja lebih setuju lagi dengan kalimat indah dari Ronald
J. Sider, Philip N. Olson, Heidi Rolland Unruh, mentor harus cerdas membangun hubungan emosional
dengan mentenee[x].
Tampaknya memang begitu. Tetapi, mari kita rehat dan
regangkan pikiran sejenak. Jika itu benar, mengapa masih banyak masalah di
dunia permentoran? Artinya, Jika memang masih ada masalah, berarti hal itu
hanya seindah bunyi dan tulisannya, faktanya hal itu tidaklah seluruhnya benar.
A. Leigh DeNeef, Craufurd D. W. Goodwin anggota Lembaga Ilmu Pengetahuan Amerika,
memberikan sejumlah saran
berguna jika ingin menjadi mentor yang
baik. Pertama ada keinginan dari mentor untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman[xi]. Kedua, mentor harus melihat dan
merasakan sendiri mentenee merasa nyaman mendekati mentor mereka, meskipun masih saja ada yang akan malu, terintimidasi, atau
enggan untuk mencari bantuan.
Lain lagi, sering kali mentenee
merasa tidak akan tahu apa pertanyaan yang tepat untuknya dan bertanya untuk apa. Lalu dengan
secepat kilat, mentor ingin membantunya, karena merasa itulah tanggung jawab
dan tindakan yang terbaik dari seorang mentor. Oleh karena itu, mentor sering
langsung berpikir, seorang mentor yang
baik adalah yang mudah didekati dan
selalu tersedia untuk didekati, atau “saat aku butuh kau selalu ada”.
Jika seperti itulah yang dipikirkan mentor, maka tidak heran
sang mentor bisanya akan bertindak cepat, dan selalu memberikan waktu, bahkan
hidup dan uangnya untuk mentenee. Hal
itu kelihatannya memang begitu, apalagi jika mengingat perkataannya Dona Rinaldi Carpenter dan Sharon
Hudacek, bahwa kualitas dari seorang mentor yang
baik harus empatik pada kepentingan
pribadi dalam diri mentenee, dan mampu berbagi dengannya[xii]. Tetapi, sekali lagi, saya mengajak berpikir lebih kritis lagi, apa
memang hanya demikian?
Saya tidak setuju, karena hal itu membuat menteneenya
terikat, terlibat secara emosional. Hasilnya mudah diprediksi, ia tergantung penuh
pada mentornya. Ini bukanlah mentor yang tepat untuk orang seperti ini.
Mengapa, jika dilihat dari sisi sebaliknya. Malahan si mentor menambah
kerunyaman karena ia tidak berhasil memandirikan, mendewasakan si mentenee
untuk menolong dirinya.
Terakhir, Edward C. Sellner
adalah seorang professor teologi pastoral dan spiritualita theologi di College of St. Catherine in St. Paul,
Minnesota, dalam bukunya, masih fokus menjelaskan soal mentoring
adalah pelayanan persahabatan spiritual[xiii]. Ia fokus menjelaskan bagaimana
praktek mentoring yang cakap untuk hubungan
mentoring,
berakar dan berdasar dalam kasih Kristus. Hasilnya akan cakap juga menempa
persahabatan cepat, menyembuhkan luka dari masa lalu, dan
membawa tentang Kerajaan Allah. Intinya, praktek seperti
ini, memang sangat baik untuk gerakan pemulihan,
dan arah penaikan kualitas spiritual.
Tetapi, sayang
jika hanya itu-itu saja, kita hanya gemuk dan tambun di sisi rohaninya saja,
kurus kering dan kuarng vitamin di sisi lainnya. Saya tidak mau (tentu mentor
juga), kita kelihatan gemuk secara rohani, tetapi penyakitan di sisi ilmu
pengetahuan dan persoalan intelektualitas lainnya. Kita ingin lebih luas soal
mentoring ini. Ini sudah kita regangkan menjadi kebangkitan
pengetahuan langsung dan
pengalaman praktek mentoring yang terarah pada
pembentukan intelektualisme Kristen dan Kristen yang benar-benar
intelektual. Yang seperti ini, terpadu dengan dimensi spitual tadi, maka kita akan menikmati kebangkitan besar dalam arena sosial
yang lebih luas. Tetapi apa nilai-nilai inti dan dan bagaimana mengerjakannya?
Mentoring?:
Apa Nilai-Nilai Inti Sejatinya, Bagaimana Melakukannya?
Jadi, bagaimana yah? Fokus kita adalah
memberikan jalan, cara, bagi mentenee untuk menemukan sendiri nilai-nilai
kekristenan setiap perkembangan dan penurunan atau kestatisan atau “keajekan”
hidupnya. Jika demikian, saya lebih senang setuju dengan Howell
S. Baum mentor disini adalah pembuka titik awal
sebagai jalan selanjutnya bagi mentenee agar sensitif mengidentifikasi
perkembangan kehidupan dan sadar diri soal realitas hidupnya yang sejati,[xiv] lengkap dengan setiap detail halangannya.
Dengan itulah ia akan lebih bisa dan lebih
mandiri merwat dan membantu dirinya dalam semua tahapan perkembangannya. Itulah
manfaat dari memiliki dan menjadi mentor yang baik. Pada gilirannya
memang seseorang ingin mencoba memiliki mentor yang baik
dalam artian sebenarnya, tetapi bukan lantas dengan berpikir kayak begini, menetenee terjebak dalam hubungan pertemanan
dan persahabatan emosional yang kurang sehat.
Lalu? Apa nilai-nilai sejatinya? Yang terpenting adalah “You
can do i can help.” Artinya, si anak dan si remaja bisa melakukannya porsi
terbesarnya secara mandiri. Bagian sang mentor, hanya merawat dan
memandirikannya. Jika demikian, sasaran akhir adalah “sang mentor harus sampai
bisa meyakinkan, bahwa sang mentenee, bisa menjadi apa saja yang ia mau,
menjadi apa saja seperti mimpi-mimpinya”. Tentulah dalam arah yang positif.
Kalau begitu, memang kita sedang memerlukan program
mentoring yakni dari diri sang mentorlah yang perlu diperbaiki dan dibetulkan.
Dengan pembaikan dan pembetulan inilah
mentor bisa membantu mentenee bisa dan biasa dengan “tantangan” yang mereka alami. Meskipun sering
kelihatan sepele. Hal itu mungkin bisa saja demikian, tetapi hanya karena
mentornya yang melihat itu dan itupun hanya karena dilihat dari sebelah sisinya
saja.
Jadi, bantulah diri sendiri, dengan
melakukan itu, maka kita bisa membantu mentenee berdiri tegak secara mandiri
dipusaran besar dan masalah terbesar dalam hidupnya saat itu. Jadi lakukanlah,
rawatlah dan mandirikanlah mereka. Yakinkanlah mentenee bisa menjadi dirinya
sendiri. Itu peran dan tanggung jawabmu. Hanya itu saja, dan biarkanlah
sesederhana itu. Masalahnya adalah, apakah mentor mengenal dirinya sendiri dan
mengenal meneteenya?
Siapa Meteneemu?
Apakah kamu tahu (benar-benar tahu, bukan asal tahu, apa
lagi sok tahu, atau pura-pura tidak tahu), jika anak dan remaja siap menerima
Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya, ternyata anak dan remaja juga siap
menerima setan, kejahatan, dan perangai buruk lain dalam hidupnya?
Pertanyaan ini untuk menyadarkan diri mentor kembali. Apa
gaya hidup sosial dan spiritual orang tua menetenee dan yang
mentor pertontonkan setiap saat? Itu perlu dicermati, karena perbuatan
orang tua dan mentor cepat mereka imitasi. Disinilah saya membantu untuk
memahamkan kembali siapa anak dan remaja. Dengan mengenal mentenee, maka kita
bisa mengenal orang tuanya, dan mengenal mentornya pula. Jika kita suda saling
kenal semua, maka secara bersama kita bisa mengatasi masalah satu persatu.
Saya menganjurkan, mari kita mencoba untuk lebih kritis
lagi. Bagaimana pengajaran sosial dan spiritual yang dipertontonkan kepada mereka
tiap hari. Mengapa ini perlu, karena ketika anak dan remaja bermasalah, saya
bekata lebih banyak persoalan ini datang dari luar dirinya. Umumnya dari
situasi dan orang terdekatnya. Ini saya katakan berdasarkan pengalaman dan
pengamatan.
Disini, saya lebih tertarik menjelaskannya secara
sosio-teologis, bukan biologis. Bukan pula secara perkembangan psikologis,
apalagi emosional anak dan remaja. Pengenalan mentenee secara akurat memudahkan untuk merawatnya dan membantu memandirikannya. Dengan
pengenalan itu, maka mentenee bisa belajar mendidik dirinya sendiri agar ia
menjadi Kristen yang intelektual dan intelektual yang benar-benar Kristen?
Dengan berkata ini, bukan seolah-olah menterlantarkan dimensi spiritualnya.
Tentu tidak, tetapi hal itu sudah menjadi darah dan daging pelayanan kita.
Genetika Illahi dalam Diri Anak dan Remaja Kristen
Dalam diri orang percaya dan keturunannya ada “logos
spermatikos”[xv]
atau benih Kristus atau genetika illahi. G “logos
spermatikos” dalam diri setiap orang Kristen.
“Logos spermatikos” bisa hidup lewat iman di dalam hidup
setiap orang Kristen yang percaya kep Disinilah terjadi konsepsi dan
pembuahan, sehingga menghasilkan kesatuan genetika illahi dan insani karena
proses revolusi genetis secara theistik atau keagungan Tuhan. Proses ini
difirmankan-Nya dalam Kejadian 1:26-28; 2:7. TUHAN Allahlah yang menghidupkan
anak dan remaja menjadi manusia Kristen menurut gambar dan rupaNya, supaya
menuruti genetika, bibit, dan karakter Illahi-Nya.
IAlah yang “membuahi” anak dan remaja menjadi manusia,
karena ia sendirilah yang menghembuskan nafas-Nya yang hidup ke hidupnya,
sehingga mereka menjadi anak dan remaja Kristen yang hidup. Itulah revolusi
genetika yang diartikan perubahan zat dan wujud yang hidup menjadi sesuatu yang
bernyawa atau berjiwa karena ada bibit Kristus dan genetika Illahi di dalamnya.
Ini hasil “rekayasa genetika super dan supranatural” yang dikerjakan-Nya dan
Firman-Nya yang hidup.
Itulah revolusi genetis yang mensenyawakan darah dan daging,
dan juga mensekutukan jiwa dan roh di dalam diri anak dan remaja Kristen. Genetika illahi itulah yang menghidupkan mereka. Setiap
anak dan remaja Kristen memiliki genetika illahi dan bibit Kristus dalam
hidupnya. Ketika ketik Anak dan remaja telah “lahir dan menjadi manusia” seperti
yang kita kenal sekarang. Tetapi, bukan hanya berhenti situ saja. Sesuai dengan
perkembangan usianya, mereka adalah
produk sosial, teologis, dan biologis dilengkapi dengan proses edukasi
dari lingkungan di luar dirinya, termasuk mentornya.
Nah, kalau begitu, anak dan remaja, ternyata lebih banyak
mengkonsumsi segala hal untuk perkembangan hidupnya dari hal-hal yang kongkrit.
Dari hal-hal materi, fisik dari realitas atau kenyataan yang dirasakan atau
dialaminya yang bersentuhan dengan hidupnya daripada secara ajaran lisan orang
tua dan temannya, apalagi dari mentornya. Itulah alasannya, semua benda
berwarna dan bergerak sangat mudah menarik atensinya. Inilah alasannya anak dan
remaja lebih senang melihat televisi dari pada melihat alat peraga dan games
dalam pelayanan sekolah minggu, dan kegitan lain yang bersifat pengajaran.
Ini pulalah alasannya gerak tubuh dan “warna” perilaku orang
tua, cepat ditiru anak dan remaja. Mereka gemar mengcopypaste perilaku yang
ditampilkan orang tua di rumahnya dan dilingkungan luarnya. Mengapa, karena
anak dan remaja sangat percaya betul apa yang dilihatnya itu, itulah yang
benar. Bahkan mereka semakin percaya karena orangtua, guru dan mentornya
melakukan itu. Hal itulah mendorongnya melakukan apa saja yang dipertontonkan
kepadanya karena mereka percaya dengan orang yang mempertontonkannya dan ingin
seperti hasil tontonan mereka itu.
Bagi pemahaman diotak sebesar otak dikepala mereka itu, apa
yang dipertontonkan kepada mereka itulah ukuran atau standart yang benar.
Menurut penilaian sederhana di kepala mereka, orang dewasa itulah kriteria
sebagai orang dewasa atau manusia Kristen. Tidak heran mereka lantas ikuti
saja. Jika sudah begini masalahnya, maka terbuktilah bahwa, anak dan remaja
sebetulnya cerdas untuk memilih dan melaksanakan apa yang dilihatnya daripada
yang diperintahkan orang tua dan mentornya secara verbal.
Anak dan remaja
menyukai cerita Alkitab dan Firman Tuhan, merupakan hal biasa yang kita dengar.
Tetapi, itu seperti itu, hanya karena tidak kasat mata, kita cenderung abaikan,
mereka juga lebih banyak menyimpan apa yang dilihat dan dirasakannya dimemori
dan sensori otaknya apa yang ditampilkan orang tua, teman, guru dan mentornya,
apalagi pendetanya.
Ingatlah, proses mentoring Kristen bukan seperti sosio-drama
atau permainan alih peran dalam stategi belajar di sekolah, yang bisa setiap
saat dan dengan begitu mudahkan diperankan. Mentoring bukan sandiwara atau
teater sosial atau teater teologis, meskipun acapkali inilah kenyataan yang
terjadi, sayang memang.
Sialnya, seringkali pelayanan Kristen, bisa dan biasanya
hanya sanggup seperti teater teologis dan sosiologis. Bukan hanya itu saja,
bahkan sering pula lebih condong sebagai EO-Event Organizer, yang cekatan
mengorganisir acara dan kehebohan hiburan dan entertainmentnya. Sayangnya
perawatan untuk mencapai kemandirian yang sejatinya lengkap dengan kualitas dan
nilai spiritual, sosial dan intelektualnya yang sejatinya tidak mampu
ditampilkan oleh anak dan remaja, karena mereka ibarat hanya seperti dalam
pertunjukan sirkus semata.
Pengajaran yang Menghidupkan Genetika Illahi Anak dan Remaja
Khotbah, pengajaran rohani, baik isi, materi, dan kurikulum Kristen
bisanya selalu diikuti dengan tindakan dan ekspresi. Hasilnya pastilah tindakan
dan ekspresi yang didemonstrasikan anak dan remaja dalam hidupnya, karena
itulah yang mereka konsumsi. Sialnya, jika itu salah, maka salahlah ia seumur
hidupnya. Jika mentor menyampaikan cerita Alkitab karena anak dan remaja
menyukai cerita dan mereka bisa dengan mudah mengikuti tindakan atau perbuatan
dalam cerita itu.
Tetapi, jika mentor ternyata juga lalai atau kecolongan
untuk mempertontonkannya lewat hidup sosialnya tiap saat dalam kehidupannya,
maka upaya dan kerja keras yang dibangun mentor selama ini, semuanya sirna dan
punah tak berbekas. Anak dan remaja lebih terbuka mata dan hati nuraninya. Keterbukaannya
itulah ia menanggapi dan memahami bagaimana orang tua, guru, mentornya
mengekspresikan dan mempertontonkan narasi spiritual dalam cerita dan teks-teks
Alkitab itu, yang tampak dalam praksis hidup sehari-hari.
Jika sudah begitu, kita semua sedang menunggu dan sedang
membutuhkan mentor yang yang mampu melakukan “the genetic revolution.”[xvi]
seperti istilah dari Patrick Dixon. Mentor diharapkan melakukan revolusi
perawatan dan pemandiri lewat pengajaran dan tindak tanduknya yang revolusif
untuk mensekutukan genetika Illahi dan dengan genetika insani mentneenya.
Dengan kelahiran baru yang dialami mentornya, dan dengan persekutuannya dengan
Tuhan dan RohNya yang intim, maka itulah yang menghidupkan “logos spermatikos
dan roh anak dan remaja yang
ditangannya.
Pengajaran yang menghidupkan ini, hanya mungkin terjadi
karena ada Roh Kudus yang ada di dalam diri mentor dan di dalam pelayanan itu, bukan
lagi semata-mata karena mengandalkan kecanggihan ilmu, teori dan prakteknya.
Juga bukan karena hebohnya hiburan dalam pelayannya. Hal-hal itu memang telah
menjadi syarat wajib yang mestinya bisa dipenuhi sebagai mentor, tetapi
orientasi akhir bukan hanya berhenti disitu. Mengapa karena mentor buka EO, dan
bukan pula artis atau selebritis pelayanan, tetapi mentor karena sudah
dimentoring oleh Sang Mentor yang Akbar.
Intinya, Tuhan mengamanatkan secara AKBAR Amanat Agung itu
sebagai tanggung jawab edukasi yang menhidupkan kehidupan mentenee kepada
mentor. Tetapi tidak bisa terpisahkan dari orang tua, sekolah, gereja. Semua
pelayanan Kristen itu diciptakan dengan sengaja untuk menghidupkan “logos
spermatikos” di dalam diri anak dan remajanya. Ini kita lakukan untuk
melahirkan manusia baru didalam Tuhan.
Jadi bagaimana sekarang? Tanggung
jawab seorang mentor adalah “mengedukasi anak dan remaja Kristen dan untuk menghidupkan
genetika Illahi di dalam diri mereka agar melahirkan generasi Kristiani yang
Illahi dan intelektual”. Tidak menjadi alasan lagi berapa “digaji
atau diupah” menjadi mentor. “Menuduh” orang lain, apa lagi keterbatasan materi
dan fasilitas yang ada, tidak boleh lagi menjadi alasan seseorang menjadi
mentor.
Orang Tua Pencipta Kurikulum Kehidupan Kristen
Orang tua suka atau tidak, punya waktu atau tidak, ialah
pencipta, peneliti, pelaksana, dan pengevaluasi kurukulum kehidupan Krisiani
terakurat mengedukasi anak dan remajanya, bukan guru sekolah, guru agama, guru
sekolah minggu, juga bukan “simbok” di rumah, yang seringkali memiliki “tuhan
lain yang asing dan nilai spiritual yang kontras”.
Namun, seringkali hobbi, kesenangan, status sosial, uang dan
insting survavilitas hidup setiap saat, perceraian orang tua, dan disharmonis
keluarga telah lebih banyak merenggut perannya. Bahkan, tidak jarang baby
sitter (maaf: “si mbok Jum” atau pembantu rumah tangga) menjadi andalan untuk
ini. Terbayanglah tipe Kristen dan
kualitas anak-anak Kristen seperti apa yang akan tinggal setiap hari didalam
rumah, gereja, sekolah dan pelayanan
kita, jika kenyataan sudah begini.
Sudahkah orang tua merencanakan kurikulum kehidupan yang
terbaik untuk anaknya? Kurikulum kehidupan Kristen seperti apa yang sudah
direncanakan untuk diekspresikan anak di hidupnya? Materi pengalaman Kristen
seperti apa yang sesuai pengalaman anak? Orang tualah yang paling tahu siapa
dan bagaimana anaknya.
Mengapa demikian, karena darahnya, genetikanya atau
hereditas (sifat alamiah dari darah dan daging orang tuanya) diturunkan mereka
kepadanya. sayangnya, orang tua lebih banyak menitipkan anak ke “PPA-Praktek
Pembuangan Anak” atau “membuang” tanggung jawabnya dengan mengharapkan mentor,
guru, termasuk pendetanya untuk mengasah, asih asuh anak kandungnya. Padahal
itu darah dagingnya. Jika sudah runyam begini, Saya menyatakan mentor, tidak
harus serta merta menuduh dirinya atau menuduh temannya. “YOU Gagal sebagai
Mentor untuk si Joko, Ilmu Loe gak ampuh untuk mengajar si “Rini.” Kamu belum
lahir baru sih, dan tuduhan tak beralasan lain sejenisnya.
Jadi bagaimana donk? Mendidik anak dan remaja sama nilainya dengan
mendidik orang tua. Mendidik mentor sama harganya dengan mendidik anak dan
remaja. Selintas, seakan telah cukup, namun, terlepas dari seabrek alasan
membela posisinya, kepada orang tualah porsi terbesar yang ditugasi Tuhan
disini. Tetapi, bagaimana jika orang tua, tidak punya kemampuan untuk itu?
Gunakanlah mentenee (si anak dan si remaja) itu untuk
berkomunikasi dengan ortunya. Biarkan orang tuanya tahu akibat atau konsekuansi
dari caranya mengedukasi anaknya, caranya mempertontonkan gaya hidup
ber-Kristusnya. Biarkan orang tua sadar bahwa situasi keluarganya dan keadaanya
sebagai orang dewasa berkonsekuensi buruk terhadap internalisasi hidup si anak
dan si remaja.
Oleh karena itu, pelayanan mentoring tidak terpisah-pisah
dengan pelayanan Kristen lainnya.
Proses mentor seharusnya konstruktif,
spiritualitatif dan sosialitatif. Verbalisme memang cukup baik, tetapi itu
bukan segalanya. Sering orang tua dan mentor sudah “canggih” dan mempekerjakan “fasilitas
yang supercanggih berbasis teknologi tepat guna dan tepat harga” untuk mengajarkan secara verbal apa yang
diinginkannya. Sialnya, sering lalai dan kecolongan mempraktekkannya sendiri.
Kurikulum kehidupan lebih mudah diimitasi dan diekspresikan
anak daripada diajarkan. Pemahaman anak dan remaja tentang kehidupan spiritual,
sosial dan intelektual Kristen umumnya terkait erat dengan pengalaman mereka
bersama orang dewasa lain dan orang tuanya. Anak dan remaja sudah bisa
meresponi kehidupan, mereka juga gemar meresapi semua yang dipertontonkan
dihadapannya. Aksessoris dan aksentuasi teologis dan sosiologis yang
diteladankan akan memberikan pemahaman kehidupan Kristen yang benar seperti apa
kepada anak dan remaja.
Mereka sangat mempercayai semua yang dilakukan orang tua dan
mentornya itu benar. Orang tua dan mentor tidak boleh kecewa, jika anak dan
remaja mempraktekkannya, padahal seringkali tidak semua yang ditampilkan itu
baik. Artinya, sebaik dan sehebat apapun kualitas dan standar kurikulum atau
pelajaran agama disekolah umum dan sekolah minggu, dan fasilitasnya, meskipun
kurikulum itu telah bersertifikat internasional atau berdasarkan riset ilmiah,
semuanya cepat “menguap” jika kurikulum hidup dari orang tua dan mentornya
ternyata mati.
Hasilnya akan berkata lain di hadapan mata dan perasaan anak
dan remaja. Jika demikian, proses eduaksi kristiani
bersumber dari Firman Allah, seharusnya diberikan untuk menghidupkan genetika
dalam diri anak dan remaja, sehingga menghasilkan anak dan generasi Kristen
terdidik dan teredukasi.
Sebelum kau pulang dan berkomitmen lagi untuk memperbaii dan
betulkan caramu menjadi mentor Kristen. Ingatlah ini. Jangan dilupakan
perkataan dari Warren McWilliams[xvii]
yang saya ringkas berikut ini. Yesus mati di salib bukan karena cintanya kepada
teks-teks Kitab Suci, dan juga bukan karena menjaga kemurnian pengajaranNya
dari dalamnya, termasuk karena IA Jaim-Jaga ImageNya. Tetapi IA mati karena
mempertontonkan pengajaranNya kepada khalayak ramai, dan lewat tindakannya
seperti apa yang tertulis dalam Kitab Suci itu. Oleh karena itu, masih kata
McWilliams dan juga Jerry W. Lemon,[xviii]
maka mentor haruslah memberikan pengajaran untuk panduan
bertindak dan memberikan tuntunan cara untuk hidup sesuai dengan Injil.
Tetapi sesuai juga dengan realitas sosialnya untuk
semua orang.
Finally, Hei Mentor!
Apakah kamu sudah
benar-benar tahu apa yang sedang “You” kerjain, SEKARANG? Pertanyaan ini,
sudahkah ampuh untuk menggugat dan menggugah arti tanggung jawabmu dengan “gaji
atau upah” sebesar itu? Sudahkah keterbukaan dan kejujuran untuk “menuduh” diri
sendiri, materi dan fasilitas yang ada masih menjadi masalah besar dalam
pelayananmu sekarang? Apa yang kini kamu tahu dan dengar soal mentoring
sekarang?
Harapannya, dengan ini, berarti mentor
mengenal betul peran mentoringnya, tahu secara teori, pemikiran
dan praktek sosialnya dan mengambangkannya, mengerti kebutuhan dan
karakteristik mentenee, berhasil merawat dan memandirikan anak dan remaja untuk
menemukan dan kembangkan potensi mereka secara mandiri. Sampai ketemu dipuncak
kejayaanmu kawan. Sampai ketemu di pembekalan dan pelatihan selanjutnya
(mungkin tahun depan? [BETA’11]
End Notes:
[i]Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, revised and expanded (Chicago, IL: Moody Publishers, 2008), h. 581.
[ii]Elia Tambunan, Gereja sebagai Komunitas Edukasi: Bagaimana
Melakukannya? (Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011), h. i.
[iii]Norma Cook Everist, The Church as Learning Community: A Comprehensive Guide to
Christian Education (Nashville,
TN: Abingdon Press, 2001),
h. 1.
[iv]Elia Tambunan, Pendidikan Agama
Kristen dalam Masyarakat Multikultural: Rekonstruksi Teori ke Sosio-Praksis (Yogyakarta:
illumiNation Publishing, 2011), h. 5-14.
[v]Elia Tambunan, Sebagai Guru Kristen: Bagaimana Mengajarnya?
(Yogyakarta: illumiNation Publishing, 2011), h. 15-31.
[vi]Norma Cook Everist, Christian Education as Evangelism (Minneapolis, MN: Augsburg Fortress
Press, 2007), h. i.
[vii]Kenneth O. Gangel, Building leaders for Christian Education (Chicago, Moody Press,
1981), h. 33.
[viii]Norma Cook
Everist, Craig L. Nessan, Transforming Leadership:
New Vision for a Church in Mission (Minneapolis, MN: Augsburg Fortress Press,
2008), h. 3.
[ix]Kathleen Feeney Jonson, Being an Effective Mentor: How to Help
Beginning Teachers Succeed (Thousansd
Oaks, California: Corwin Press A SAGE Company, 2008), h. 21.
[x]Ronald
J. Sider, Philip
N. Olson, Heidi
Rolland Unruh, Churches that Mmake a Difference:
Reaching Your
Community with Good News and Good Works (Grand
Rapids, MI: Baker Academic Books, 2002), h. 82.
[xi]A. Leigh DeNeef, Craufurd D. W. Goodwin (eds.), The
Academic's Handbook, 3th edition revised and expanded (Durham, New York City: Duke
University Press, 2007), h. 130.
[xii]Dona Rinaldi Carpenter, Sharon Hudacek, On Doctoral Education in Nursing: The Voice of
the Student (New York: National for Nursing Press, 1996),
h. 74.
[xiii]Edward C. Sellner, Mentoring: Ministry of
Spiritual Kinship (Notre Dame, Indiana: Ave Maria
Press, 1990), h. 1.
[xiv]Howell
S. Baum, Organizational Membership: Personal
Development in the Workplace (New York: Oxford University Press, 1987), h.
143.
[xv]Sebenarnya pengajaran teologi dari Gustav
Warneck (1834-1910) seorang inspektur badang Zending Jerman RMG di Seminary
Barmen-German. Ia salah satu pendidik tokoh-tokoh Zendling German yang diutus
ke Indonesia. Itulah alasannya ia diangap salah satu tokoh “pendiri” gereja
Batak lewat tulisan-tulisannya. Lihat Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), h. 111-123.
[xvi]Patrick Dixon, The Genetic Revolution, second edition (England: Eastbourne, E
Sussex, 1995), h. 17, 19.
[xvii]Warren McWilliams, The Passion
of God: Divine Suffering in Contemporary Protestant Theology (Macon, Georgia: Mercer University Press,
1985), h. 142.
[xviii]Warren McWilliams, Jerry W. Lemon, Teaching Guide for Acts: The Gospel for All
People (Macon, Georgia: Mercer University Press, 1990), h. 1.
No comments:
Post a Comment