Is there any reason, YOU WON’T LOVE ME, when you see the problems?
Materi Khotbah KKR Pemuda/Remaja BKSAG-Badan Kerjasama Antar Gereja Komisi Pemuda se-Kec. Kaliwungu, Kab. Semarang Selatan, Sabtu 12 Mei 2012, Pukul 15-18.00, Wib.
Elia Tambunan, S.Th., M.Pd
Nats utama jadi sesuatu untuk Direnungkan, Wahyu 2 ayat 1-7:
1. Tuliskanlah kepada
malaikat jemaat di Efesus: Inilah firman dari Dia, yang memegang ketujuh
bintang itu di tangan kanan-Nya dan berjalan di antara ketujuh kaki dian emas
itu. 2. Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih payahmu maupun ketekunanmu. Aku
tahu, bahwa engkau tidak dapat sabar terhadap orang-orang jahat, bahwa engkau
telah mencobai mereka yang menyebut dirinya rasul, tetapi yang sebenarnya tidak
demikian, bahwa engkau telah mendapati mereka pendusta. 3. Dan engkau tetap
sabar dan menderita oleh karena nama-Ku; dan engkau tidak mengenal lelah. 4. Namun demikian Aku mencela engkau,
karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula. 5. Sebab itu
ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukanlah lagi
apa yang semula engkau lakukan. Jika tidak demikian, Aku akan datang kepadamu
dan Aku akan mengambil kaki dianmu dari tempatnya, jikalau engkau tidak bertobat.
6. Tetapi ini yang ada padamu, yaitu engkau membenci segala perbuatan
pengikut-pengikut Nikolaus, yang juga Kubenci. 7. Siapa bertelinga, hendaklah
ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa
menang, dia akan Kuberi makan dari pohon kehidupan yang ada di Taman Firdaus
Allah.
Apa yang Terjadi Disini?
Background
masalahnya, pemuda di daerah ini (Kaliwungu sekitarnya) sudah lama vacum (bukan
berarti hilang atau mati sama sekali), tidak mengadakan KKR pemuda. Kesannya tidak
ada gairah ibadah, tidak ada spirit untuk bangkit dan apalagi memulai, tidak
ada pertumbuhan iman, perasaan anak muda jauh dan ogah-ogahan dekat ke Tuhan.
Lalu, menjadi timbul pertanyaan “Do you still love Me”? Artinya, dulu kita
pecinta Tuhan. Tapi, waktu seakan memupus dan memudar KASIH MULA MULA (seperti
di Wahyu 2:4b, lengkapnya 2:1-7). Analoginya sederhana, tidak cinta Tuhan, boro
boro mau denger Firman, baca/SaTe saja malesnya tidak “ketulungan”. Hasilnya, tidak bergairah/bersemangat untuk Tuhan.
Cinta ke Tuhan meluntur.
Ingatkah, kita anak
muda yang “falling in love.” Ketika
jatuh ke cinta, “mupeng” adalah
sinyal yang mudah dideteksi. Misalnya ingin ketemuan, smsan, atau
calling-calling. Ingin menggratiskan banyak hal, seolah-olah ingin menjadi
pelayan cinta, seperti mentraktir, memberi kado, jalan jalan, antar jemput dan
seterusnya. Itu terjadi they have relationship and LOVE. Memberi yang terbaik,
mengobarkan dan mengorbankan “harga diri”
demi si Cinta.
Mengapa kita
memilih tema “LOVE”? Itulah inti
utama PASKAH. YESUS adalah korban CINTANYA kepada kita. Lewat KKR ini, pemuda
pemudi kembali merasakan “falling in love”
atau pecinta Tuhan, dan “growing in love,”
artinya kualitas cinta kita menaik dan bermutu bersama Tuhan. Untuk itu saya
akan menjelaskan bagian ini, tetapi bukan lagi bagaimana cara mencintai Tuhan,
dan bukan lagi untuk apa sebenarnya tujuannya, tetapi untuk “MENGGUGAH DAN
MENGGUGAT” Pemuda/i disini, apakah ada alasan lain yang bisa diterima untuk
tidak mencintai Tuhan Yesusmu dan Yesusku atau Yesus kita semua ketika melihat
masalah yang menindas kaummu dan Tuhanmu itu sendiri.
Itulah alasannya,
kali ini saya memilih untuk membeberkan fakta soal segudang masalah yang
menginjak-injak harkat dan martabat Tuhan dan kaum Kristen itu sendiri.
Penjelasan ini bukan untuk menaikkan dendam dan menyulut amarah kita semua,
tetapi untuk mengkritisi diri sendiri kenapa lagi saya tidak mencitai Tuhanku
dan berbuat untuk Tuhanku.
DO YOU STILL LOVE ME?:
Is there any reason, YOU WON’T LOVE ME, when you see the problems?
Apakah kalian masih mencintai TUHAN YESUS? Apakah akan ada
alasan lain untuk tidak mencintaNya ketika kamu akhirnya mengetahui data dan
fakta ini? Inilah dia. (Data ini, terpaksa
saya ulang-ulangi untuk kesekian kalinya. Namun, itu memang harus seperti itu untuk
menggugah kita soal ketertinggalan kita).
Sejak serdadu,
pedagang dan imam Portugis tiba di pulau Ternate pada tahun 1538 untuk pertama
kalinya, maka sejak waktu itulah telah dimulai pendidikan Kristen di Indonesia.
Mereka mendirikan sekolah di pantai Ternate sebagai instrumen vital untuk
penyemaian Injil. Sejak awal telah didirikan lembaga pendidikan keguruan sejak
dahulu, demikian paparan historis dari Robert R. Boehlke.
Artinya, memang benar telah ada ilmu pendidikan Kristen, dan telah dilahirkan
pemimpin dan pendidik Kristen untuk mendidik dan mengajar orang Kristen.
Telah ada sekolah
untuk tenaga pengerja pribumi khususnya guru sekolah seperti yang telah
dilakukan di “sekolah Kateket Parausorat” pada bulan April 1868 di tanah Batak
oleh RMG lembaga Zending dari Bremen German dalam wadah “Batak Mission,”
demikian kata Jan S. Aritonang.
Pada tahun 1821 Joseph Kam dan kemudian Roskott pada tahun 1835-1864, telah
menyelenggarakan sekolah untuk guru Injil (wakil pendeta) di Ambon.
Th. Van den End,
J. Weitjens, S.J,
menjelaskan, ternyata pendidikan dalam sistem klasikal persekolahan juga telah
diselenggarakan di beberapa daerah. Misalnya Minahasa (Sonder) tahun 1851 oleh
N. Graaflaand Ibrahim Tunggal Wulung (kyai Sadrackh) khusunya di Jawa Tengah,
Pong Lengko di Toraja, Filipus di Mansinam (Irian-Papua) abad ke 19an.
B. F. Drewes dan
Julianus Mojau
membuktikan bahwa tahun 1885 di Ambon dan di Tomohon tahun 1886 telah didirikan
wadah pendidikan atau Sarjana Theologia formal yakni STOVIL-School tot
Opleiding van Inlandsche Leeraren.
Robert R. Boehlke
menjelaskan sangat baik, bahwa Elmer G. Homrighausen Professor Pendidikan Agama
Kristen dari Princenton Seminary Theologi pernah datang sebagai pembicara di Konferensi
Pendidikan Agama Kristen secara nasional tanggal 20 Mei-10 Juni 1955 di Asrama
pendidikan di jl. Cipelang No 8 Sukabumi. Ia mengubah praktek pendidikan agama
Kristen di Indonesia, yang awalnya hanya di gereja, tetapi sudah masuk ke
sekolah-sekolah umum. Saat itu telah dimulai pelayan, pekerja atau teologi kaum
awam yang bisa terlibat dalam melayani, yang sebelumnya hanya hak istimewa dan
hak khusus hamba Tuhan lulusan sekolah teologi. Artinya, jemaat yang awalnya sebatas
pinggiran, dan pelayanan sambil lalu menjadi berposisi sentral dalam seluruh
model pelayanan Kristen.
Sepintas
dari data dan fakta sejarah di atas, seolah-olah ada bukti bahwa memang orang Kristen
di Indonesia sangat Hebat. Kelihatannya memang begitu. Apa lagi jika dilihat
dari dusut pandang Panitia Teologia DGI-Dewan Gereja Indonesia pada tahun 1955.
Mereka sukses menyatukan gereja dan masyarakat, jika dilihat dari hadirnya 53
utusan dari 21 sinode, 15 peninjau, 8 diantaranya dari dalam negeri, 7 tenaga
missi dari luar negeri, 2 orang staff dari 2 sinode dan 1 dari DGI, 2 pemimpin
serta 26 anggota GMKI, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kenyataan hari
ini berbicara lain. Sekarang Orang Kristen atau agama Kristen mengalami
intimidasi sosial dan terororisme sosial. Berarti ada yang salah dalam cara dan
oreintasi berTuhan, berorganisasi, berkomunitas dalam diri Kristen di Indonesia
seak dahulu hingga kini.
Mengapa
demikian? Saya melihatnya dengan cara seperti ini, dan saya buktikan dengan
data berikut:
Setelah sampai
dengan 571 tahunan (hitung mundur sekolah di pantai Ternate oleh serdadu
Portugis tahun 1538), juga setelah sampai dengan 176 tahunan (hitung dari usaha
pendidikan yang dilakukan Joseph Kam tahun 1821), Sekolah Tinggi theologia di
Indoensia masih harus lewat ujian negara dengan alasan penjaminan mutu segala. Artinya,
sekolah atau orangnya belum atau tidak bermutu.
Setelah 65 tahun
kita diakui memiliki institusi pendidikan Kristen modern, jika dihitung sejak
tanggal 3 Januari 1946 telah didirikan Departemen Agama (sekarang disebut
Kementrian Agama), termasuk Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen (Ditjen Bimas Kristen).
Artinya, kita sudah sekian puluh tahunan disusui oleh Ditjen Bimas Kristen.
Tetapi, mengapa para pemimpinnya harus (biar agak lebih keren) ujian
penjaminanan mutu, atau yang dahulunya disebut ujian negara. Padahal IAIN,
STAIN, UIN lembaga pendidikan tinggi Islam, Khatolik, Hindu, Buddha, Konghuchu,
Saksi Yehova, yang negeri ataupun swasta, yang dimiliki perorangan atau amal
usaha perserikatan tidak lagi melakukan itu sudah sejak lama.
Setelah hampir 14
abad atau 1400 tahun lebih (hitung dari masuknya Kristen abad ke 7 Kristen Nestorian dari Khaldea-Syria dan Persia di pantai Barat
Sumatera Utara, sejak abad ke-7) atau setelah 7 abad atau 700 tahun lebih
(hitung mundur ke kunjungan beberapa missionaris Katholik ke beberapa tempat di
Nusantara abad ke-14), tetapi kita
masih harus menerima dan mengalami intimidasi sosial dan terorisme sosial.
Mengapa demikian? Apa buktinya? Hasil riset SETARA
Institute Jakarta,
melakukan penelitian. Masyarakat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
(Jabodetabek) masih bisa terjadi kasus pelarangan pembangunan, perusakan rumah
ibadah dan penyelenggaraan ibadah agama dan orang Kristen. Sejak
tahun 2007-2010 terjadi 691 kasus pelanggaran kebebasan beragama.
Zaman Presiden
Soekarno, 1945-1967 hanya ada dua gereja yang dibakar itupun hanya di daerah
yang dikuasai pembangkang dari kelompok DI/TII-Darul Islam dan Tentara Islam
Indonesia. Zaman Soeharto 1967-1969 ada 10. Setelah keluarnya
Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri tahun 1969 jumlahnya merangsek jadi
460 hingga Ia lengser 1998. Sejak tahun 1998 hingga awal 2011 sekitar 700
gereja dirusak, dibakar, dicabut izin dan dilarang ibadah. Demikian pemfaktaan oleh
Theofilus Bela, sebagai Ketua Umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ). Bela
juga menegaskan, sejak proklamasi kemerdekaan hingga awal 2011 telah menembus
angka 1.200 gereja yang dikriminalisasi, bukan hanya gedungnya, tetapi juga ada
tindakan kekerasan, penyiksaan dan pembunuhan.
Selanjutnya ketiga,
masih di Majalah itu di halaman 28, dari hasil laporan investigasi Setara
Institusi lainnya yang dilansir 24 Januari 2011 mencatar 216 peristiwa
pelanggaran kebebasan beragama yang mengandung 286 bentuk tindakan selama 2010
di 20 provinsi di Indonesia. Dengan demikian, ada alasan untuk mengatakan kita
sedang mengalami intimidasi sosial dan
terorisme sosial yang melukai, terlepas siapa yang memulai, dan entah tujuan
apa, atau oleh kelompok yang mana?
Setelah 126 tahun
(dihitung mundur ke 1885 di Ambon
dan di Tomohon tahun 1886 setelah didirikannya pendidikan teologi formal yakni
STOVIL, tetapi hingga tahun tanggal
15 Juni 2011, pukul 10:57:29 wib, baru hanya 223 Perguruan
Tinggi Keagamaan Kristen, baik Prodi Teologi dan PAK yang berhasil lulus
mendapatkan izin penyelenggaraan pendidikan tinggi Kristen di Indonesia. Data
ini saya ambil dari Website Resmi Departemen Pendidikan Nasional. Memang dari jumlah itu, tampaknya akan ada yang
akan lolos diakreditasi BAN-Badan Akreditasi Nasional, meskipun hanya perkiraan
yang hampir pasti, sisanya hanya sekedar
mendapatkan izin penyelenggaraan agar bisa beroperasi perkuliahannya. Artinya, sekolah tempat para pemimpin gereja
itu “berguru” tidak bisa dipercayai oleh pemerintah karena dilihat dari
mutunya, bukan jumlah orang di dalamnya, bukan pula dilihat dari kemurnian
teologi dan ajarannya.
Setelah 56 tahun
(dihitung mundur sampai pada kedatangan Homrighausen di Sukabumi tahun 1955
yang lalu) hingga hari ini, jika melihat data dari Website Resmi
Departemen Pendidikan Nasional soal 223
daftar sekolah tinggi teologi itu, sangat sedikit program studi Pendidikan Agama
Kristen yang tidak lolos izinnya. Artinya, tempat ilmu pendidikan para pemimpin
dan pendidik atau pengajar Kristen itu diragukan.
Data dan fakta
itulah yang menguatkan saya untuk berargumentasi bahwa memang terjadi “malpraktek
atau ketimpangan dan penyimpangan proses edukasi, proses pengajaran, dan
kekeliruan orientasi teoritis dan sosio-praksis dalam dunia pendidikan Kristen.
Malpraktek ini astilah berhubungan langsung dengan seluruh pelayanan Kristen.
Karena jika pemimpin tidak bermutu dan diragukan proses belajarnya, maka
demikian pula umat yang dipimpinnya. Artinya, memang terjadi salah urus atau
salah asuh dalam dimensi pendidikan dan pelayanan Kristen.
Lihatlah hasilnya
di sekelilingmu, tanpa menuduh atau menyebut nama dan lembaga gereja dan denominasi
seseorang. Ternyata, memang banyak pemimpin atau pelayan Kristen hebat dalam
ilmu tafsir ayat-ayat Kitab Suci Alkitab, tetapi “tidak bisa” memperbaiki kehidupan diluar kitab-kitab yang teramat
kudus itu. Banyak diantara pemimpin dan pelayan Tuhan dalam masyarakat Kristen
yang ahli ilmu tertulis, tetapi “gagap dan gagal” menafsirkan realitas
kehidupan nyata. Kita masih lebih banyak terforsir soal-soal dimensi iman saja.
Hal itu tidak boleh dibiarkan terus-menerus. Jika sudah demikian, apakah masih
ada alasan lain untuk tidakmencitai Tuhanmu?
Apa yang ingin saya
tegaskan sebenarnya? Artinya ini adalah kritik tajam dan
“nyelekit” kepada saya sendiri sebagai pemimpin Kristen, dan sebagai pemuda
Kristen itu sendiri karena itu terjadi didalam diri saya sendiri dan didepan
mata dan wajahku sendir, yang tenyata memperburuknya. Ini perlu saya jelaska,
bukan untuk menjelek-jelekkan. Tetapi ini seperti untuk menampar wajah sendiri,
yang bukan untuk melukai tetapi untuk menyadarkan semata. Memang terasa sakit,
tetapi karena kesakitan itulah yang membuat saya bangun dari mimpi dan tidak
panjang saya. Keterangan disini ini adalah sebagai sebuah cara dan metode untuk
menghasilkan makna yang baru bagaimana sebagai pemuda/i Kristen di Indonesia
hari ini. bagaimana menjalankan visi dan misi Kristus disini, sehingga terjadi
“revolution Kristen,” seperti istilahnya George Barna.
Revolusi yang saya
maksudkan bukan pembrontakan terhadap pemimpin atau otoritas dan weweang
denominasi atau seseorang. Saya ingin menempatkan itu diposisi yang seharusnya,
sesuai dengan tujuan visi yang saya bicarakan disini. Saya ingin menempatkan visi
dan misi Kristen sebagaimana seharusnya seperti dalam Matius 28 ayat 18 sampai
20 itu. Saya menyebut revolusi sebagai
upaya untuk menciptakan kegerakan dan kebangunan intelektual Kristen di
Indonesia, bukan lagi hanya (sekali lagi bukan lagi hanya) KKR-kegerakan dan
kebangunan rohani melulu, sehingga tercipta mahasiswa, dosen, dan masyarakat
Kristen yang betul-betul intelektual dan intelektual yang betul-betul
masyarakat Kristen.
Perlu diberitahukan
disini, ketika berbicara visi dan misi Kristen nama George Barna menjadi
rujukan nomor satu, khususnya di Indonesia. Kita orang Indonesia hingga hari
ini hanya lebih tahu soal “The Power of
Vision”nya
Barna, atau orang lain yang sudah biasa mengajarkan ini. Menurut Barna,
pengajaran, pembicaraan, dan diskusi, tentang visi dan misi adalah materi
penjelasan yang sangat biasa dan nyatanya hanya muluk-muluk dalam kehidupan
Kristen, khususnya di Amerika di kala itu. Ia melihat realitas dan pencapaian
Kristen di sana sama seperti “The Frog in
the Kettle”, artinya seperti
Katak di dalam ketel, maksudnya tempurung. Di Amerika tidak tumbuh pohon
kelapa, sehingga ilustrasinya diumpakan sebagai ketel atau mangkok yang
biasanya dari aluminium atau keramik, atau juga dari kaca. Sehubungan dengan kondisi komunitas pemuda/i
disini, saya melihat solusinya dengan cara saya sendiri, yakni lewat penguatan
hubungan komunitas di dalam dan antar kelompok untuk membuat suatu gerakan
intelektual dan sosial Kristen di Indonesia sesuai dengan karakteristik
pelayanannnya masing-masing.
Kelompok Kecil dalam Komunitas
Saya ingin
membangun kegerakan gerakan intelektual dan sosial Kristen itu lewat pendekatan
kelompok kecil dan hubungan komunitas pelayanan. Satu strategi gereja yang
dipakai Amerika untuk kegerakan rohani, sosial, intelektual dari sisi Kristen
adalah gerakan kelompok kecil atau SGM-Small Group Movement untuk pendalaman
Alkitab, atau yang sering kita kenal di Indonesia dengan istilah komsel, KTB,
atau kelompok PA dan yang sejenis dengan itu. Sesuai dengan itu, Julie A. Gorman berkata,
(Professor di Fuller Theological Seminary), mengatakan, bahwa SGM, secara jelas menguat terjadi pada akhir
abad ke-20an merupakan salah satu instrumen yang potensial bagi gereja Kristen
untuk bertumbuh, mengalami pembaharuan, semua jenis pelayanan Kristen yang ada,
baik di Amerika maupun di dunia.
Kelompok sel sebagai
energi terbarukan yang tiada habisnya untuk menumbuhkembangkan gereja di Seol
Korea Selatan khususnya di kota-kota untuk program pelayanan pemuridan,
kelompok studi Alkitab. Kelompok kecil Kristen ini menyediakan kesempatan yang
sangat penting untuk penginjilan dan assimilasi (rasa nyaman masuk menjadi
anggota kelompok atau jemaat) dari anggota gereja yang baru. Kelompok
persekutuan Kristen yang kecil ini juga merupakan media pelayanan dan
penjangkauan untuk me;ibatkan orang yang suka pelayanan dari dimensi sosial,
misalnya untuk orang-orang atau anak-anak jalanan, kelaparan dan kemiskinan dan
persoalan dunia sosial lainnya. Pertemuan intensif dari komunitas orang
perorang ini merupakan wadah yang sangat cocok untuk membangun hubungan yang
hangat dan saling membantu atau membangun bagi budaya atau kebiasaan masyarakat
atau orang perorang yang punya cenderung penyendiri atau individualistik, atau
orang-orang yang galau.
Robert Wuthnow
(seorang Professor sosiologi dari Princenton Univesity) melakukan penelitian
terhadap orang Kristen di Amerika pada tahun 1990. Ia mengatakan, bahwa
ternyata 1 diantara 4 orang dewasa Amerika terlibat atau ikut di dalam kelompok
kecil.
Menurut Roberta Hosteness (Seorang Hamba Tuhan atau pendeta, yang di Amerika
sering disebut dengan istilah “International Minister” dari World Vision),
bahwa situasi dan kenyataan itulah yang menyebabkan gereja atau orang Kristen
di Amerika melakukan dan mempertahankan kelompok kecil hingga hari ini sebagai
salah satu strategi pendalaman pemahaman terhadap Firman Tuhan, sejak perang
dunia ke II hingga kini.
Intinya sebenarnya adalah komunikasi yang intens diantara sesama anggota group
atau komunitas Kristen yang ada disuatu tempat.
Dimensi Lain dari Komunikasi dalam Komunitas
Ketika berbicara
soal komunikasi, sepertinya ini sudah “basi,”
karena sudah biasa dan itu-itu saja ternyata yang dijelaskan sebagai obat
penawar dari regangnya, atau putusnya kehangatan dan keakraban dari suatu
hubungan di dalam satu komunitas Kristen di satu wilayah. Tetapi, memang itulah
yang bisa dijadaikan menjadi sebuat alat untuk menghangatkan kembali “cinta,”
kedekatan, hubungan, kasih, persekutuan atau persaudaraan dari sebuat komunitas,
baik dengan Tuhan, ataupun dengan manusianya Tuhan itu.
Saya tidak ingin
menganggap ini sebagai sebuah hal yang sepele, untuk itu saya ingin menjelaskan
bagian-bagian lain yang belum pernah diberikan perhatian, ketika berbicara soal
komunikasi di dalam suatu komunitas. Ingatlah beberapa hal sejenak, bahwa
komunikasi apapun bentuk dan pesannya dan tujuan yang ingin dicapainya
komunikasi selalu sebuah proses yang tiada henti dalam suatu komunitas.
Kita tidak selalu
mampu bisa menggapai inti dari maksud sesorang atau kelompok lainnya.
Tantangan-tantangan atau hambatan-hambatan, ganjalan-ganjalan,
kejengkelan-kejengkelan, cercaan-cercaan, hinaan-hinaan, rasa superior dan
inferior, rasa lebih kuat atau lebih lemah, rasa lebih modern dan kolot, rasa
kota dan “ndeso,” rasa lebih benar
atau hebat dan salah dan “tidak gaya”,
selalu mewarnai di dalam komunikasi. Tantangan yang berbeda-beda selalu timbul
setiap saat dalam komunikasi antar kelompok. Semua kita tahu soal ini, tetapi
apakah kita tahu mengapa itu terjadi, dan apa terapi yang paling cocok untuk
itu? Saya merasa jawabannya adalah “ya”, tetapi tindakan kita untuk
mengatasinya sering kali berkata “tidak.”
Saya ingin
mengingatkan kita disini dari sisi yang jarang kita perhatikan yang bisa
merusak tujuan mencapai gerakan intelektual dan sosial Kristen di Indonesia.
Ternyata, bersama-sama semakin lebih lama, atau menjadi lebih dekat dalam
hubungan komunitas, ternyata dapat menyebabkan komunikasi “pecah atau
berantakan” dari sebelumnya yang kita inginkan dan bayang-bayangkan.
Tanda-tanda yang sering terjadi malahan sebaliknya dari yang kita impikan dari
yang kenyataan, mislnya:
1. Ketika merasa
dicintai atau diterima sebagai anggota komunitas, sehingga kita terlalu
berharap tinggi atau berlebihan untuk selalu dimengerti, akibatnya saling
memaksa untuk slaing mengerti, yang sering berujung konflik.
2. Semakin lama
bersama-sama dengan orang atau komunitas lain, semakin tinggi ekspektasi untuk
dipahami. Sering kita berkeyakinan, jika kamu atau kalian tidak mengerti saya
atau kami, siapa lagi, padahal kita adalah satu komunitas. Sebagaimana hubungan
baik bertumbuh, pada saat yang sama hal-hal ekspektasi yang tidak realistis
atau berlebihan juga bertumbuh dengan sendirinya, entah mengapa dan entah pula
dengan cara apa. Akibatnya salah paham menjadi sangat menyakitkan, yang sering
berujung melukai hubungan dan emosi di dalam komunitas yang telah terbangun.
Cinta menjadi alat untuk melukai. Ini kenyataan pahit, tetapi itulah yang sering
sebagai realitas, yang mau tidak mau harus diterima.
3. Semakin dekat
dengan seseorang atau komunitas lain, dan lebih lama dekat dengannya semakin
rentan untuk menyakitinya, ketika mulut dan tindakan kita melukai meski tidak
disengaja atau tidak diketahui, atau tidak diingankan. Ketika hubungan
komunitas telah terbentuk dengan solid, semakin tidak ingin kita mengatakan
sesuatu yang kita rasa itu akan melukai orang atau komunitas orang lain itu,
tetapi inilah yang menumpuk masalah, sehingga sering berujung meledaknya
konflik yang tidak terduga, dan meluap-luapnya emosi yang tidak terbendung.
4. Kesalahpahaman
antara anggota komunitas seringkali dianggap sinyal dari kegagalan suatu
hubungan. Seringkali kita tidak mengerti
apa yang sejatinya terjadi disini. Tetapi, kita bisa merasakan ada yang mulai runtuh
dari hubungan komunitas ini. Apapun itu, biasanya tanda-tanda adanya sinyal
keruntuhan hubungan itu, lebih sering saling menjauhkan satu dengan yang lain,
yang seringkali dianggap untuk meredam, padahal ini pulalah yang malahan
seringkali memperburuk hubungan.
5. Karena hubungan
komunitas telah terbentuk, seringkali timbul pertanyaan mengharapkan, “apakah
kamu masih mencintai hubungan ini,” “apakah kalian ada komitmen untuk
kebersamaan ini.” Seringkali perpisahan atau pemutusan hubungan dianggap
sebagai jalan penyelesaian, padahal sadar atau tidak itu sebagai upaya
kompensasi atau pelarian dari harapan yang tidak kenyataan.
6. Semakin banyak dan
semakin lama seseorang atau komunitas menghabiskan atau membagi waktu bersama,
maka ternyata semakin banyak perbedaan yang tampak jelas dan nyata-nyata
menyakitkan, sehingga kesalahpahaman dan ketidaksaling berterimaan menjadi timbul
sedemikian rupa. Sejumlah perbedaan yang
tampak jelas itu, bisa mengancam keutuhan komunitas, yang sering kali berujung
“gantungnya” hubungan yang tidak
jelas, yang seringkali malahan semakin menyakitkan.
Pertanyaan
terakhir, DO YOU STILL LOVE ME? Apalagi jika mengingat, bahwa ternyata tidak
kita sadari, ditengah-tengah kita dan di seluruh dunia sedang munculnya Islam
yang saya katakan sebagai “Superpower
Baru di Dunia dan di Indonesia. Alasan saya adalah jika ditilik dari
penjelasan dari Akbar Akhmedstatistik bahwa, 1 diantara 4 manusia yang hidup diplanet bumi ini adalah
muslim, padahal awalnya itu milik Kristen, lebih dari 6-7 juta Muslim hidup di
Amerika Serikat, padahal nota benenya Amerika yang katanya adalah negara
Kristen.
Departemen
Agama RI berdiri tanggal 3 Januari 1946 dengan Menteri Agama yang pertama ialah
K.H. Rasjidi yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Negara dalam zaman
Kabinet Presiden Presiden Sokarno. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Kristen tahun itu 1946 disebut Bagian Masehi Kristen yang berdiri bersamaan
dengan berdirinya Kementrian Agama itu. Itupun tidak langsung dapat diterima
masyarakat dengan baik. Bagian Masehi Kristen ternyata mengalami pergumulan
panjang baik di kalangan gereja maupun umat. Kenyataan ini sebagai akibat dari
latar belakang pemahaman teologis khususnya “Protestan.” Lihat Haidar Putra
Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem
Pendidikan Nasional (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 1-22,
89-142.
Julie A. Gorman, Community
That Is Christian: A Handbook on Small Group (Grand Rapids, MI: Baker Books, 2011), h. 121.
Robert
Wuthnow, The Restructuring of American
Religion: Society and Faith Since World War II (New Jersey:
Princeton University Press, 1990), h. 120.