Tulisan ini
adalah “Kata Pengantar” yang saya tulis sendiri dalam Buku “Pernikahan Dini: Apakah itu Baik? Ditulis oleh
Yowenus Wenda, Diterbitkan di Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012, hlm.
7-12.
Pendidikan menyiapkan
diri secara lebih awal. Itulah substansi pemahaman yang sedang diwacanakan oleh
Wenda disini. Entri pointnya adalah setiap orang sudah seharusnya telah memiliki
kebebasan
dalam mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dan pasangannya kelak kemudian commit terhadapnya. Ini tidak
sesederhana diatas kertas dalam buku ini karena Wenda mengkaitkan dengan urusan
psikologis dan eknomi, selain fisik tentunya. Melihat setting sosial dan
kultural Indonesia yang dilekati custom-kebiasaan
ketimurannya. Kondisi ini yang memaksa sipemilih pelaku nikah dini jauh-jauh
hari menyiapkan lahir dan bathinnya.
Sehubungan dengan masyarakat disini bersifat kolegial dan kolektif, maka
ini bertambah kompleks. Disini keluarga kedua pihak masih dianggap lumrah untuk
harus dilibatkan menginput data dalam hal putusan kayak begini. Mengapa
demikian, karena pernikahan disini adalah pernikahan setrah atau seluruh turunan kakek moyang, plus pembisik-sassus (siksus)
yang sering berujung gossip atau desas-desus tetangga kiri kanan yang didepan
belakang juga merasa bertanggung jawab untuk memberikan keputusan soal ini.
Dengan mengerti betul substansi ini dibenak kita pembaca, ternyata nampak
jelas bahwa sipelaku pernikahan tidaklah benar-benar bebas untuk merengkuh kebebasannya terkait putusan untuk dirinya. Semakin terlihat gamblang bahwa ia tidaklah
memutuskan untuknya. Hampir tidak keliru jika dikatakan orang diluar dirinyalah
yang bebas untuk memutus “apa kategori”, siapa “target” yang paling tepat
untuknya. Inikan tidak logis, tetapi ini yang terjadi disini.
Mendengar bibit, bobot, dan bebet kesannya itu klasik, seolah-olah itu
sudah tergerus oleh online system
atau digitalizing minded karena kita
hidup zaman satelit kayak begini. Realitasnya, 3B itu eksis dan
mentransformasikan dirinya dalam wujud yang nggak kelihatan-invisible. Faktanya ia tetap ada, bahkan
sangat dominan dalam takaran tertentu jika dilihat dari input atau siksus dari
luar si pelaku tadi.
Saya melihat sipelaku, sitarget, si keluarga dan sicalon pelaku, juga
sitetangga pembisik, sangat perlu mendalami gagasan menikah dini dari Wenda
ini. Bukan hanya itu akan mengguncangkan atau malah bisa saja menguatkan komitmen mereka pelakunya. Selain itu juga menggoda
rasa tanggung jawab atau “sense of responsibility” dari kebebasan dan keputusan
mereka lambat atau segera.
Dengan begitu,
diantara sekian buku
tips pernikahan Kristen lain, gagasan
Wenda masih memiliki ruang untuk ditempati yaitu ruang mind-pemikiran soal well prepared-menyiapkan
sedari awal, bukan pada institusi atau lembaganya. Ini genting
sifatnya karena kita-orang Timur tergolong pecinta “prokrastinasi,” sebuah istilah yang menunjukkan
perilaku suka menunda-nunda (bukan menduda-duda) kita suka lelet-berlambat-lambat. Kita adalah prokrastinoator (pelaku
prokrastinasi) dalam banyak kondisi. Ini kondisi
psikologis berbungkus teologis karena biasa dengan motto “mengalir kayak air”
“Tuhan tahu yang terbaik” “belajar sambil jalan”.
Dihubungkan
dengan topik yang sedang dibicarakan, sifat ini bisa termasuk “nikah coba-coba
atau coba-coba nikah”. Itu sama saja dengan “nikah-nikahan atau kawin-kawinan”.
Asik-masyuk prakteknya, kalangkabut penanganannya. Ini upaya akademik yang
tepat dari seorang Wenda menulis berdasarkan kegalauan-kesepian-kesendiriannya.
Ini masuk akal, disamping dia sendiri seorang Sarjana Pendidikan Agama Kristen
yang lagi kuliah S2 untuk mendidik dirinya di Magister Pendididikan di
Universitas Negeri Yogyakarta. Tidak heran “wacana” dalam buku ini banyak
dilatari oleh intergrasi kedua disiplin ilmu pendidikan Kristen dan umum itu.
Yesus sendiri turut
campur soal urusan biologis dan psikologis dizamannya. Artinya itu jadi
petunjuk bagi kita kini. IA sangat peka soal pendidikan kawin-mawin ini. Ia
sejak dini telah memberikan warning: "Orang-orang dunia ini kawin dan
dikawinkan (Lukas 20:34). Lebih maju, DIA telah mendahului
mengingatkan kita ketika zaman ini akan diakhiri, IA bersabada: “pada waktu
kebangkitan orang tidak kawin dan tidak
dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga” (Matius 22:30). Ini
karena rumitnya urusan biologis yang dihadapi orang Yahudi saat itu. Ini bisa
berimpartasi pada kita jika diri tidak disiapkan.
Warning
itu semakin perlu ditanggapi, jika tidak pernikahan yang tidak disiapkan dari
awal menghasilkan makin membludaknya populasi manusia karena gonta-ganti. Anehnya
di keyakinan dan kebiasaan agama dan suku tertentu itu secara teologis dan
normatif bisa saja, meski tidak diharuskan. Meski syarat dan ketentuan tetap berlaku.
Tentulah dalam perganti-gantian-kawin cerai itu sering menghasilkan anak dan
keturunan. Salah satu persoalan mendasarnya adalah memang tidak siap secara
dini. Sehingga terus “berimprovisasi” dan berganti-ganti pasangan, suami atau
istri.
Akibatnya,
jumlah manusia Indonesia sendiri umumnya dikenal nangkring di posisi 4 teratas
seantero jagat. Artinya orang Indonesia terkenal si tukang kawin. Kita dikenal juara
4 soal urusan kawin se-dunia, hanya kalah setelah Amerika Serikat, India, China,
Ini tentu hasil ketemuan benih dari kawin-mawin dua insan lewat penikahan syah
atau tidak, resmi atau dibawah tangan, atau hanya dibawah pohon disaksikan
mereka berdua tanpa kehadiran penghulu, petugas KUA atau Catatan Sipil.
Akibatnya
terlalu ramai dan terlalu derasnya laju pertumbuhan manusia disini. Disamping
ada bahagian faktor lain penyebabnya, khususnya soal kawin-mawin menyumbang
andil disini. Itu akibat ketidaksiapan, dan inikan sangat mengkhawatirkan dan berimpartasi
negatif pada seluruh dunia. Ketidaksiapan sedari awal menyumbang persoalan
ledakan-overcrowed-kebanyakan
penduduk di planet ini.
Jumlah manusia
yang hidup di bumi pertiwi ini beracu pada statistik PBB ditampilkan dalam The
Website of the 2010 World Population and Housing Census Programme United Nation
Population Division, dalam Indonesia 2010 Population and Housing Census
diposting 20 January 2011. (http://www.un.org/esa/population) kuantitasnya 237.556.000
kepala.
Perinciannya cowok 111.508.000 orang, cewek 118.048.000. Data ini
diposting secara resmi Pemerintah RI ke Divisi Kependudukan PBB berdasarkan
hasil sensus keenam kalinya di Indonesia Mei 2010 yang lalu.
Total populasi dunia pertengahan
tahun 2010 diestimatesi 6.852.472.823.
oleh Matt Rosenberg dalam Current World Population
and World Population Growth Since the Year One dalam http://unstats.un.org. Ia lebih detail dalam Largest Countries: Countries with the Largest
Population merangkingnya dengan berurutan: China 1.330.044.544; India 147.995.904; United States 303.824.640; Indonesia 237.512.352; Brazil 196.342.592. Meski ada
sedikit selisih perbedaan angka Rosenberg dengan PBB, sesuatu hal yang biasa dalam statistik karena intervalnya
masih bisa diterima. Tetapi kisaran jumlahnya ada pada rank yang sama. Tidaklah keliru pula, jika Robert Kunzig menulis
artikel: “Special Series: 7 Billion" dalam
Majalah National Geographic, edisi January 2011(http://ngm.nationalgeographic.com).
Maksudnya
akan
ada segera tujuh milyar orang
di planet ini. Di
tahun 2045 penduduk
dunia diproyeksikan mencapai
sembilan milyar. Padahal 6 tahun
sebelumnya, secara tidak asal-asalan
Joel E. Cohen,
(terbitan
New York: W.
W. Norton & Company, 1995) telah menanyakan dalam bukunya: How
Many People Can the Earth Support?-berapa banyak
orang yang bisa ditampung planet? Apa emang masih bisa planet
menampungnya?.
Hal terbaik
tentang buku ini adalah
bahwa ia sendiri tidak menjawab pertanyaan yang ditanyakan dalam judulnya. Joel
Cohen paham bahwa tak seorang pun
benar-benar tahu berapa banyak orang yang bisa muat
di planet kita.
Tapi ia mengingatkan ada masanya pertumbuhan saat ini tidak
dapat dilanjutkan selamanya karena jika tingkat pertumbuhan
penduduk tidak akan berhenti, potensial banyak bencana.
Ketidakterjawaban
ini rasanya tidak kebetulan. Ini merupakan peluang kita untuk berpartisipasi
soal penanganannya lewat pendidikan dini. Oleh itulah, dengan mengikuti H.
Norman Wright & Wes Roberts dalam buku manualnya “Before You Say: I Do, (terbitan Oregon: Harvest House Publishers,
1977), memang perlu melakukan preparing
for marriage dengan God’s way: a step by step guide for marriage readiness and
after the wedding conflicts, seperti kata Wayne A. Mack dalam bukunya itu
(terbitan United Stated of America: Virgil Hensley Publishings, 1986).
Memang
searah dengan itu, sebelum kamu katakan dalam ijob kobulmu: “Aku terima nikahnya Fatimah binti Fatah
Fikiran bin Fatah Harapan dengan seperangkat alat-alat tulis dan kertas
perceraian...,” dts. Atau sebelum kadung-terlanjur
janji nikah suci (sering: hanya janjinya yang suci, bukan lembaga pernikahannya
karena tidak ditepati, buktinya banyak yang bukan hanya pisah ranjang juga
pisah hubungan, cerai maksudku), sebelum kamu bilang: “aku Harapan terima engkau Haryastuti dengan haraf-harap cemas, sebagai
Istri yang sah (meski belum yakin betul) untuk sehidup semati, dalam keadaan sakit atau sehat dst.,” kamu perlu
persiapan dini.
Wenda membantu kamu lewat idenya dalam bukunya ini. Meski nanti
pemimpin rohanimu akan menuntunmu dalam bimbingan pastoral pra-pernikahan,
Wenda menemanimu sebelum kamu bilang Yes, I Do. Selamat membaca!