Makalah ini pernah saya sampaikan di acara Orientasi Mahasiswa Baru STT Sangkakala. Alamat : Jl. Raya Kopeng Km 7. Kota Salatiga. Telp : 0298-329429, dalam "Diskursus Agama dan Negara" Kamis, 13 Agustus 2015.
Pendahuluan
Ada
bukti empiris bahwa agama digunakan sebagai alat negosiasi kepentingan politik
antara Kristen dan kaum Islamis untuk menguasai negara dengan menonjolkan
identitas agama dan komunitas masing-masing. Persekutuan oikumene
gereja-gereja, yang biasa didefiniskan sebagai gerakan saling membagi identitas
masing-masing dalam gerakan fellowship gereja
serta gerakan penyatuan dan kerjasama
antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam kekristenan,
pada saat yang sama dimobilisasi menjadi alat gerakan sosial politik. Berdasar
temuan empiris di Kota Salatiga, agama tidak dipisahkan total dari negara meskipun selalu
dibela secara apologetik.
Tampak jelas,
agama berkeinginan menguasai negara demikian sebaliknya negara hendak
difungsikan mewujudkan ambisi elit agama. Ringkasnya, agama bukan hanya ada
dalam dunia privat yakni aktivitas oikumene gereja, dan pengajian-pengajian
umat baik terbuka di lapangan atau di rumah-rumah ibadah semacam Masjid,
Musholla atau kelas-kelas pendidikan, tetapi ruang agama selalu ada di publik
dan ruangnya dipaksa makin tampak membesar.
Kenyataan
ini hendak melayangkan pesan tersendiri: agama memiliki peran mengatur ruang
publik ataupun negara lewat jalur kongsi ekonomi dan kontrak politik. Intinya,
agama dan negara adalah ruang kongsi ekonomi dan politik oleh para pemilik
modal ekonomi dan massa karena ada keuntungan yang bisa dinegosiasikan dalam
batas-batas tertentu sesuai dengan kepentingan kelompok masing-masing, tetapi
bagaimana cara dan prosesnya, itulah yang penting dikaji.
Kelompok
Kristen sebagai fokus kajian yang dibeberkan disini ialah BKGS
dan PPHTGD
memiliki kepentingan politik dan ekonomi untuk mendukung pilihan Cawawali
dari masing-masing terkait Pilwalkot
Salatiga 2011. Demikian juga kelompok
Islamis dalam kongsi politiknya, yang tergabung dalam partai politik, yakni PIS-PKS-PPP dan Demokrat (khususnya PPP dan PKS yang memang partai Islamis) untuk mencapai
kepentingan. Hal ini seolah mengulang apa yang dilakukan Jepang untuk
menggunakan agama, khususnya Islam untuk mencapai tujuan perangnya.
Dalam
tulisan ini, agama akan diposisikan ke dalam studi agama (study of religion), dengan demikian, maka agama merupakan sebuah
bentuk perilaku sosial secara kolektif oleh penganutnya. Agama merupakan dasar
mengekspresikan identitas kelompok,
misalnya Kristen dan Islam. Tidak heran, jika William Hall mengatakan agama
ialah satu dimensi vital kehidupan dan
masyarakat.
Dan, selalu ada dimensi politik di dalam agama, demikian kata Arjomand.
Juga, Legee menegaskan, bahwa gereja merupakan konteks yang subur bagi
pembangunan kesadaran diri dan identitas sesama kelompok yang berasal dari
doktrin-doktrin, keyakinan teologis, ritus, dan interaksi di dalam dan di luar
pelayanan ibadah.
Jika demikian artinya, maka ada aksi-aksi bersama didalam gereja. Dengan
demikian, maka kajian ini akan bisa dikaitkan dengan perspektif teori gerakan
sosial yakni secara khusus aksi-aksi kolektif komunitas masyarakat
beragama. Dan
seterusnya…….!
Tulisan
ini hendak menjawab kegelisahan akademik bagaimana cara pendeta menggunakan
agama dan negara sebagai ruang negosiasi kepentingan ekonomi-politik Kristen
diantara sesama komunitas Kristen dan kaum Islamis dalam momentum Pilwalkot Salatiga 2011-(2016). Sesuai
dengan jawaban pertanyaan itu diharapkan ada jawaban dari hasil riset
lapangan. Kita akan bisa menunjukkan
cara pendeta dan kaum islamis memposisikan agama dan negara untuk mencapai
kepentingan ekonomi-politik Kristen dan Islam.
Tulisan ini menantang kembali dominasi argumen-argumen
arus utama ketika berbicara relasi agama dan negara dari perspektif Kristen
yang terlanjur diterima sudah final, dan yang sering dianggap memang sudah
terpisah.
Setelah membahas fenomena ini akan terlihat munculnya tafsir baru dalam diri
pendeta mengenai posisi Kristen dalam negara dan juga dari dalam diri kaum
islamis untuk melihat Kristen dan gereja lokal Salatiga yang tidak biasa,
setidaknya versi pemahaman subjek setelah ditanyai. Disamping itu, ada niatan lain untuk melihat
fenomena hubungan agama dan negara di masa transisi Orde Baru ke Reformasi
dari sisi Kristen yang kurang lazim atau bahkan asing dalam kajian-kajian
teologis dari pendekatan gerakan sosial politik.
Bagaimana proses kerja lapangan untuk
mendapatkan data dari sumber kunci primer diungkapkan disini untuk
menghilangkan keraguan-keraguan orang terhadap data temuan. (Dan seterusnya.........!)
Cara
ini bisa dipakai untuk melihat diksi, intonasi suara, gestur fisik ketika
menjelaskan akan memberi maksud tersendiri. Cara ini ditempuh sebagai teknik
riset untuk menyelami lebih dalam tensi yang terjadi diantara elit dari dalam
kognisi mereka. Dengan demikian, sumber data disini bersifat longgar dan
menggelinding terus-menerus bagai bola salju
dari satu informan kunci ke informan lainnya hingga menemukan titik terang
masalah yang diangkat.
Latar Kota Salatiga
Sepintas, Salatiga kota yang baik-baik saja, bahkan
kesannya pluralisme sebagai fakta
sosio-antropologis bangsa Indonesia yang nyata di kota ini. Kelihatannya, hal
itu dianggap seperti hanya dengan melihat letak bangunan rumah ibdah dan
penataan ruang publik di sekeliling kota dimana kita hidup. Memang, sekilas, orang-orang
sangat mudah untuk mulai berdialog antar agama dan antar kultur.
Bahkan,
John Sydenham
Furnivall di tahun 1949 menyatakan, Netherland
Indie yakni orang-orang di Indonesia bisa dan biasa hidup berdampingan secara
fisik yakni dalam masyarakat plural. Karena perbedaan sosial budaya orang-orang
menjadi terpisah dan tidak tergabung dalam satu unit politik. Itulah ciri utama
masyarakat Indonesia. Di tahun 1940-an silam, ia melihat penyebab langgengnya
kemajemukan adalah faktor ekonomi. Kepentingan ekonomi suatu kelompok yang
menyebabkan kelompok tersebut menguatkannya dengan faktor-faktor primordial
seperti agama, etnis, bahasa, dan pola tingkah laku.
Namun rupanya, tesis Furnival
tersebut sudah lapuk oleh zaman. Kenyataannya, ada data pelanggaran kebebasan
beragama atau berkeyakinan sejak 2007-2014 tercatat 1.680 peristiwa dengan
2.268 tindakan pelanggaran. Jadi, kalau direratakan maka saban tahun terjadi
210 peristiwa dengan 283 tindakan. Kecenderungan besar peristiwa itu alami
impunitas dan tidak diadili secara jelas dan tuntas, dan pastinya jauhi rasa
keadilan. Aktor pelaku pelanggaran dilakukan oleh aktor negara dan aktor non
negara.
Saya bisa memahami kekeliruan tesis
tersebut karena ternyata, Furnival memfokuskan area riset terhadap kelompok etnik
yang berbeda biasa saling berdampingan di pasar-pasar,
khususnya yang masih bersifat tradisional di Indonesia kala itu.
Seolah mengulangi kekeliruan akademi
yang sama, sejumlah peneliti lain mengatakan, bahwa Salatiga masuk ke dalam
kategori daerah Kota yang seperti dinyatakan oleh Furnivall tersebut. Benny
Ridwan misalnya berkata, jika dilihat
sekilas dari keberadaan dan saling dekatnya letak atau lokasi bangunan organisasi keagamaan di Salatiga, maka hubungan, harmoni dan dinamika kerukunan
antaragama di Salatiga sangat baik. Malah, terlihat para elit
agama disini memiliki ketenangan teologis dan paradigma sosiologis yang sangat terbuka dengan dialog.
Saya tidak menyangkal temuan mereka, jika hanya melihat
permukaan semata dan biasanya kita hidup dengan basa-basi ala orang Indoneisa
dengan kultur ketimurannya, khususnya etnis Jawa dengap segala konsep seolah hidup harus harmoni
sebatas wajah dan senyum personal, bukan pikiran dan laku kolektif. Saya ingin
melihat dari sisi lain berhubung masalah disini. Akan dijelaskan beberapa data
konflik kepentingan yang saling mengikat, sehingga menghasilkan ketidaknyamanan
sebagai Kristen di Salatiga, dan nanti selalu dikait-kaitkan dengan momentum
Pilwalkot tahun 2011.
Misalnya jika dilihat dari tabel dibawah ini, (Tabel. Data Pembalakan
Gereja-gereja di Salatiga. Maaf tidak ditampilkan) Dan seterusnya………..!
Jadi dari data table itu terlihat jelas, bahwa rupanya Kristen di Salatiga
masih harus memperjuangkan nasibnya sendiri lewat politik. Dari sisi Kristen, sejak Reformasi ada sejumlah
kasus terkait pembalakan rumah ibadah, meskipun ada yang berhasil diselesaikan,
namun masih bersengketa hingga hari ini, antara lain: dan seterusnya.....!
Temuan ini hendak membuktikan, BKGS dan PPHTGD juga tidak selalu bisa
diandalkan untuk bisa membantu eksistensi gereja-gereja sebagai anggotanya di
negera. Meski diakui pemerintah Kota Salatiga nama besarnya dan diperhitungkan
jumlah pendeta sebagai anggotanya, namun wibawa, keberanian, pengaruh, dan kuasa
lobi-lobinya lebih kecil dari besarnya nama organisasinya.
Data ini sebagai bukti empirik bahwa negara loyo atau letoy karena
tidak lagi bernafsu memainkan peran hukumnya untuk melindungi Kristen. Di lain
kesempatan, ternyata sahwatnya membesar untuk membiarkan daerah-daerah ini
seolah tidak berhukum, yang memberikan kesempatan politik bagi kelompok Islamis
tertentu untuk masuk dan mengambil alih kapasitas dan tempat negara yang
ternyata memperburuk keadaan. Ditambah, badan keamanan resmi negara semacam
aparat penegak hukum, polisi dan teman-teman apparatus militernya hanya
perawakannnya yang tegap berdiri mengawasi, bukan tindakannya untuk mengamankan
daerah teritorialnya sendiri.
Keadaan
pembalakan itu seolah membenarkan temuan peneliti lain di sejumlah daerah di
Indonesia. Dan seterusnya….!
Gerakan Sosial, dan Ruang Kongsi
Ekonomi-Politik BKGS dan PPHTG
BKGS dan PPHTGD sebagai representasi dan juga sebagi kelompok kepentingan
komunitas masyarakat beragama Kristen Salatiga dari sisi gerakan sosial
politiknya akan dibahas terlebih dahulu. Dilanjutkan pembahasan tentang PKS
sebagai representasi Islam politik. Kedua kelompok ini akan dilihat dari
gerakan sosial. Untuk melihat ketiga kelompok ini sebagai kita perlu mengatahui
aksi-aksi dan peristiwa kolektif yang dilakukan pendeta dan kader partai ini
disaat Pilwalkot.
Gerakan dari keduanya ini, dan juga PKS akan membantu menggambarkan
bagaimana cara dan proses terjadinya ruang kongsi ekonomi-politik berbasis
agama itu nantinya. Beberapa kutipan
wawancara di lapangan, kajian literature terkait masalah ini baik on line
maupun buku, atau televisi ikut dihadirkan untuk mendukung temuan. Namun,
terlebih dahulu dijelaskan definisi teknisnya agar kita memiliki bingkai
pemahaman yang kuat.
Dari sini nantinya akan diketahui siapa yang
menduduki posisi ini dan karena alasan apa. Hal ini penting untuk melihat
bagaimana agama digunakan sebagai alat negosiasi kepentingan politik antara
kelompok.
Dengan
penjelasan seperti ini, maka nantinya akan jelas realitas seperti apa di Kota
Salatiga yang menyeret-nyeret agama, secara khusus kaum elitnya ke dalam
politik. Hal ini juga tentu akan mempengaruhi bagaimana mereka melihat posisi
negara dan menempatkan negara ke dalam kepentingan masing-masing. Karena
persekutuan oikumene dimobilisasi oleh
pendeta-pendeta gereja, bukan oleh jemaat gereja, maka mereka menempatkan diri
sebagai kaum elit Kristen lokal sebagai representasi jemaat dan umat Kristen
Salatiga. Disini terlihat bahwa elit sebagai pemegang
utama kekuasaan
dan apa-apa saja yang mereka dapatkan, khususnya keuntungan ekonomi dan politik
dan bagaimana caranya.
BKGS
Siapa dana pa BKGS? Pada 9 Desember 1974 oleh pemimpin gereja lokal, BKGS
didirikan menjadi badan kerjasama antar gereja di Salatiga. Ini terdiri dari 3
kelompok gereja ekumenikal, evangelikal, dan pentakostal. Myengkyo Seo melihat pelembagaan BKGS jelas memiliki
tujuan politik. Ia dirancang untuk mengatasi kesulitan pemerintah menghadapi gerakan agama baru dan perlawanan politik organisasi-organisasi muslim, juga terhadap kelompok-kelompok Kristen lainnya. Satu sisi BKGS telah difungsikan sebagai filter kelembagaan untuk mencegah
"serangan" terhadap stabilitas negara.
Disadari atau tidak, fungsi pencegahan itu telah menempatkan posisi
agama-agama resmi sebagai subordinat baru terhadap berbagai aliran, sekte atau
apapun namanya, yang muncul akibat persoalan interpretasi terhadap doktrin. Fungsi pencegahan itu telah menempatkan BKGS bertindak sebagai perpanjangan
negara.
Sebaliknya,
ada contoh, jika dilihat dari posisi relasi kuasa dan kedekatan BKGS dengan
pemerintah Kota Salatiga dan DPRD secara resmi. Badan ini dituding tidak lebih
berani dan tegas untuk melakukan lobi-lobi politik tingkat tinggi apapun untuk
menindaklanjuti kepentingan anggota mengurus legalitas rumah ibadah dan tidak
mampu hadir bersama negara dan aparat kepolisian untuk “menghalau” penolakan
massa terhadap eksistensi gereja seperti tertera di halaman 4.
Nantinya, data itu akan berkaitan dengan Pilwalkot 2011. Jika hal itu
dilihat dari perspektif politik identitas, pembiaran atau diskriminasi yang dialami sebuah kelompok dalam kurun waktu yang sangat lama membuat ikatan
emosional etnis semakin erat dan kuat, karena adanya kesamaan pandang terhadap apa yang dialami, dan akhirnya memunculkan politik perlawanan identitas, yang merupakan aliran politik dengan
melibatkan seseorang atau kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan
karakteristik,
sama seperti yang dilakukan oleh PPHTGD.
Pilwalkot adalah kesempatan politik
yang terbuka didepan mata untuk menegosiasikan kepentingan pembangunan rumah
ibadah dan hal lain terkait pekerjaan Tuhan. BKGS juga
berposisi sebagai kelompok kepentingan yang mengkampanyekan secara diam-diam
dalam diskusi-diskusi kecil akan memberikan suaranya kepada Cawawali pasangan nomor urut dua Diah Sunarsasi-Teddy Sulistio
(Dihati) yang diusung koalisi PDIP-PAN-Partai Golkar-PDS dan PNI Marhaenisme. Ketika ditanya, apa alasannya, kecenderungan jawaban mereka karena
Tedy orang Kristen yang dianggap representasi kepentingan Kristen.
Data ini
merupakan representasi gambaran bagaimana sejumlah pendeta melihat identitas
Kristen itu sesuatu nilai yang masih lebih penting dan lebih dekat dengan
tafsir teologisnya, ketimbang modal sosial lainnya. Dan seterusnya……….!
……… Hal ini
memberikan gambaran baaimana cara sebahagian Kristen untuk melihat identitas
agama orang lain berdasarkan dominasi masa lalu yang selalu kembali sebagai
mimpi buruk masih membebani dan tidak diatasi dengan kekuatan analitis.
PPHTGD
Siapa PPHTGD? Identitas yang langsung melekat di memori sejumlah pendeta
di Salatiga bahwa mereka adalah persekutuan pendeta-pendeta pedesaan,”
yang merasa mewakili orang-orang pedesaan”.
Jika dilihat dari ekonomi, kelihatannya kumpulan orang-orang ekonomi
biasa-biasa saja namun punya hati melayani di desa-desa.
Hingga kini Pdt. Niko Njotorahardjo sebagai Ketua Umum PPHTGD. Anggota persekutuannya ialah mereka para pendeta
yang mengerakkan tuas pedati ministrinya di wilayah-wilayah pinggiran.
Penjelasan ini bukan stigma, namun lebih pada upaya identifikasi geografis dan
corak wilayah gerakan oikumenisnya.
Di Salatiga, PPHTGD berdiri 14 Agustus 1993,
kini diketuai oleh Pdt Yusuf Sunari. Ibadah oikumene rutin sering di gereja GIA
tempat Pdt. Yusuf Sunari minggu ke tiga saban bulan. siapapun yang datang ke
persekutuan maka akan ada dana pengganti ongkos transpot Rp. 25.000. Disamping itu, ada juga yang mendapatkan beasiswa
SPP kuliah untuk beberapa semester bagi anak bagi pendeta yang menjadi anggota,
disesuaikan dengan ketersediaan dana dan kerelaan donatur tertentu.
Gerakan
PPHTGD mengklaim diri sebagai representasi Kristen di daerah pinggiran Salatiga
dan Kabupaten Semarang. Selain itu, mereka memiliki kebanggaan menjadi gembala
orang desa, meskipun ada yang tinggal berumah di Kota Salatiga. Pdt. Stefanus
Sugito misalnya. Menjadi gembala GPdI di desa Magersari Sumogawe, meski tinggal
di Kelurahan Mangunsari Ngawen Kota Salatiga. Bahkan, ia meminta istrinya
berhenti kerja agar fokus dan melayani secara penuh ke desa.
Hal lainnya, sebaran wilayah keanggotaannya melewati batas-batas otoritas dan
loyalitas BKGS.
PPHTGD
beroperasi di kantong Kristen pedesaan yang berseberangan wilayah dengannya.
Meskipun, sejumlah anggotanya juga anggota resmi dari BKGS. Daerah operasinya
meliputi Ungaran, Langensari, Bandungan, Bawen, Ambarawa, Tuntang; Kopeng,
Getasan, Sumogawe; Boyolali, Suruh, Karang Gede, Simo, Kaliwungu, Tengaran,
Kembangsari; Beringin, Pabelan; dan sekitar kecamatan dan kabupaten Semarang
yang memang tetangga Salatiga, apalagi semuanya di Provinsi Jawa Tengah.
Persekutuan
ini beranggotakan 104 pendeta yang awalnya sunyi politik, namun terlibat dalam
kontrak politik cawawali yang diusung partai Islam, meskipun sejumlah anggota
tidak tahu dan tidak pernah disosialisasikan sebelumnya
malahan kini terbit dan masuk orbit perlintasan politik lokal dan menemukan
momentum dan penegasan dirinya terhadap gereja urban Salatiga; kami juga punya pengaruh dan kontribusi besar untuk
kebebasan beribadah di Kota Salatiga, seperti ucapan Pdt. Filatus.
Munculnya
PPHTGD bisa diposisikan sebagai kelompok penekan yang menimbulkan lapisan baru
sekaligus sebagi enclave
dalam sejarah misi dan gerakan
oikumenie di Salatiga. Hal itu terjadi karena mereka melakukan kontrak
politik dengan Calon Yaris pada Pilwalkot 2011, dan dianggap memperburuk citra
gereja dan Kristen di Salatiga. Selain itu, mereka dianggap tidak loyal pada
otoritas karena berbeda pilihan dengan BKGS yang mendukung calon Dihati.
Dalam
kasus Pilwalkot, PPHTGD mendukung nomor urut tiga
Yuliyanto-Muhammad Haris (Yaris) meskipun diusung koalisi kaum islamis, yakni
parta PIS-PKS-PPP dan Partai Demokrat. Bagi mereka,
identitas diri Muhammad Haris memang
sebagai ikon dan juga tokoh dari hasil kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS).
Ikon, tokoh dan PKS ini harus diikat dengan kontrak politik untuk….. dan
seterusnya………….!
Data ini sebagai gambaran, bagaimana
pelibatan identitas lain tidak harus dijauhkan, malah harus didekati. Tampilkan
diri di arena publik lewat kontrak politik juga sebagai upaya sadar dari apa
yang dikatakan sebagai jalan perjuangan
untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan negara karena dalam situasi tertentu
dalam diri pemimpin Kristen terdapat kecurigaan adanya kecenderungan
penyimpangan-penyelewengan kekuasaan negara.
Selanjutnya,
penting kiranya untuk menyingkap lagi kira-kira apa yang menjadi dasar
pertimbangan kaum Islamis untuk beraliansi dengan pendeta pedesaan ini? Saya tidak
menemukan jawaban itu secara tegas dan langsung. Namun, pernyataan dari salah seorang Humas
DPD PKS Kota Salatiga saat wawancara membuka jalan memahami. Ia memberikan contoh Dan seterusnya……..!
Saya ingin melihat
titik simpul ini dari kerangka teori politik identitas, khususnya identitas
kelompok. Satu sisi, ada poin yang menarik disini. Bisa terdeteksi, bahwa ada
upaya-apaya potensial meski secara sporadis dari mereka untuk melinearkan
antara ajaran agama berorientasi kedesaan dengan karya sosial kerakyatan di
geografi rural ministry yang mereka diami.
Saya
juga ingin memberikan titik simpul dari politik perselisihan antara BKGS dan
PPHTGD seperti ini. Selalu ada mobilisasi aktivisme politik di dalam gereja dan
perselisihan kepentingan pendeta di dalamnya yang seolah tak terkelola. Bagi
BKGS isu untuk menggerakkan sejawatnya berkutat di identitas Kristen vs Islam.
Sementara bingkai gerakan PPHTGD adalah antisisipasi, siapa tahu Yaris yang
menang, maka Kristen dianggap punya investasi suara dan dukungan disana.
Akibatnya, tak terhindarkan ada klik maksudnya kelompok dalam kelompok
atau yang biasa dikenal dengan indentitas enclave
di dalam komunitas.
Dalam
perspektif gerakan sosial, pembentuka isu itu disebut framing, yakni upaya stretegis secara sadar sekelompok orang untuk
membentuk pemahaman yang sama mengenai dunia dalam kerangka mencari legitimasi
dan memotivasi aksi kolektif.
BKGS dan PPHTGD sama- sama melakukan ini dengan indikator yang berbeda, namun
denan tujuan yang sama memenangkan calon. Akibatnya, adanya perselisihan dengan
tensi yang semakin menaik, maka seperti biasanya dicari-cari wadah organisasi
yang menjadi tempat penampungan kepentingan. Kemudian, dicarikan aliansi yang
dianggap punya kesamaan visi dalam banyak hal, tak lagi soal siapa dan apa
organisasinya.
Jika
sudah demikian, maka selalu ada cara-cara sistematis untuk mengidealkan diri dan kelompok sendiri, lantas mengeksklusi kelompok lain.
Dalam upaya-upaya seperti itulah gerakan terjadi. Suka atau tidak, dalam
gerakan sosial selalu ada praksis sosial yang dianggap menyimpang agar ada yang
disengaja diposisikan sebagai musuh agar terjadi gerakan.
Dengan demikian, maka terjadilah apa yang dikatakan dalam terminologi gerakan
sosial; gerakan-gerakan eksis dalam konteks yang menyebar.
Islam Politik dalam Diri PKS
Islam
politik, secara umum maksudnya Islam tidak hanya sebagai agama tetapi juga
sebagai ideologi politik. Dalam karya kesarjanaan, Islam politik digunakan
sebagai payung istilah yang dipertukarkan dengan Islamisme.
Ia memiliki empat ciri: ia mengusung kebangkitan Islam sebagai basis reformasi
masyarakat; konsisten dengan ini, ia memahami Islam sebagai ideologi; tujuannya
ialah mendirikan sistem Islami atau negara Islam (al-nizam al-Islami); dan ciri dari negara atau sistem tersebut
ialah penerapan syariah atau sederhananya dirujuk sebagai hukum Islam.
Lalu,
apa ideologi politik? Sesuai dengan Miriam Budiardjo, ideologi politik disini
diartikan himpunan nilai-nilai, ide, norma-norma, kepercayaan dan keyakinan
yang dimiliki seorang atau kelompok orang atas mana ia menentukan sikapnya
terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan yang menentukan
tingkah laku politiknya.
Dari
definisi terlihat pentingnya kita memperhatikan kata ”menentukan sikap dan
tingkah laku politik.” Dalam perspektif komunikasi politik hal itu merupakan
kata kunci. Menurut perspektif ini, orang bertindak terhadap, apakah ia akan
menerima atau menolak politik, ialah berdasarkan makna politik itu terhadapnya,
tentu pula berdasarkan apa warna atau isi ideologi partai politik tersebut.
Artinya, emang benar bahwa persepsi publik kepada politik itu amat penting. Saya akan mengkaitkan poin ini dengan
bagaimana persepsi publik Kristen Salatiga yang diwakili oleh kognisi Pendeta
di kedua kelompok itu.
Sebelumnya
perlu diketahui, adalah hak konstitusional bagi partai menjadikan Islam sebagai
ideologi politik.
Hal itu memang harus diposisikan demikian, meskipun publik Kristen Salatiga
telah memiliki pilihan pandang tersendiri terhadap agama (Islam) politik. Saya
akan kaitkan definisi ideologi sebelumnya dengan Islam politik seperti ini.
Dikarenakan
PKS menjadikan Islam sebagai ideologi politik, yang artinya kadernya akan
menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan
yang menentukan tingkah laku politiknya berdasarkan ajaran Islam yang
diejawantahkan lewat aturan dan kebijakan negara di saluran politik.
Dengan
demikian, seperti kata Pdt. Ebenheser Lalenoh, banyak orang Kristen sudah
ketakutan dengan langkah-langkah PKS yang membawa agama dalam kepentingan
politik. Namun, dia menempatkan persepsi publik ini kedalam konteks Indonesia
yang cara beragamanya masih belum terbuka, memakai sentimen agama dalam
berpolitik menjadi pilihan strategis. Istilahnya agama cuma jadi alat
berpolitik saja.
Pdt.
Daniel selaku Ketua BKGS sendiri menjelaskan, secara personal orang-orang PKS
itu, termasuk Muh. Harris sebagai wakil wali kota sangat baik, tetapi seseorang
yang diwakilkan atau mewakili partainya, maka ia mau tidak mau akan tunduk dan
menjalankan aturan partai.
Jadi,
yang kita perhatikan adalah implementasi ideologi partai ke dalam kehidupan
masyarakat. Jika ideologinya Islam, maka kita akan melihat segera, Salatiga
akan lebih menguntungkan Islam.
Sementara dari pengalaman orang dalam sendiri seperti Nono Rohana, ia malahan
dengan enteng berkata nyaman tinggal dan menjadi orang Salatiga.
Saya
akan jelaskan kontrak politik dari sisi sosiologi politik, bukan dari sisi
hukum formilnya. Namu, saya hanya akan lebih fokus menjelaskan ide dibalik dan
proses lahirnya kontrak politik tersebut, dan pembuat draft kontrak politik
tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan pelakunya sendiri. Hal ini akan
dikisahkan seperti berikut. Sejatinya, orang yang membuat akta kontrak politik
itu bukanlah dari Yusuf Sunari sebagi Ketua PPHTGD.
Yusuf
sendiri mengakui
itu berasal dari Elizabeth Dwi Kurniasih SH MSi, lahir di Salatiga 26 Juni
1975. Ia seorang Khatolik. Juga anggota legislatif tahun 2009-2014 dari Partai
Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI) dari daerah pemilihan (DP) Argomulyo urutan
satu. Tinggal di Jl. Manggasari N0. 48, Tegalrejo, Salatiga. Alumnus Fakultas
Hukum dan Program Pascasarjana Studi Pembangunan, keduanya dari UKSW.
Saya
mencoba menemui dirumahnya. Elisabeth telah menikah dan pindah ke Subang 2
tahun lalu. Jadi, saya tidak bertemu. Ketika di sms suaminya menjawab istrinya baru saja operasi kandungan. Bayi
mereka keguguran. Untuk itu, istrinya sudah tidak mau berkomentar soal politik.
Meski
demikian, di rumah, saya menjumpai adiknya ............. Dari
hasil wawancara tersingkap, bahwa.......................
Ketika ditanya, apa saja alasan sehingga harus membuat kontrak politik dengan
Cawawali waktu itu. Alex menjelaskan, hal itu sebagai Dan seterusnya……..!
Dengan demikian, ada pesan yang tersingkap disana,
bahwa dalam ketidaknyamanan manusia di Kota Salatiga, mengakibatkan mereka
mencari asosiasi bersama dalam rangka pemuasan kebutuhan psikologi dan materi.
Kontrak sosial adalah indikasi dari itu.
sekaligus menegaskan ada lawan dan kawan.
Pendeknya,
kontrak sosial antara antara penguasa dan rakyat ini ada dalam suasana serba
ketidaknyamanan di semua sudut hidup manusia. Meskipun demikian, kontrak
tersebut bisa menegaskan pesan adanya disparitas penguasa berhadap-hadapan
dengan rakyat. Rakyat cuma diatur jadi
umat manusia sebagai sumber pemberi kekuasaan dan legitimasi bagi para wakil
dan pemimpinnya untuk berkuasa atasnya.
Dan seterusnya……..!
Dari
sisi lain, kontrak ini juga bisa dilihat, PKS ingin membuka basis barunya di
Salatiga. Saya malah melihat, ini upaya strategik untuk menarikmassa baru di
Kabupaten Semaang. Jadi yang dibidik adalah lebih luas, mengingat daerah
operasi PPHTGD itu.
Jadi,
PKS ingin mengirimkan pesan ke publik, walaupun
menyandang sebagai partai Islam, PKS terbuka untuk bekerjasama dengan siapapun
tanpa memandang latar belakang suku dan agama selama untuk kemajuan bangsa,
setidaknya versi mereka. Di lain sisi mereka sedang berupaya meyakinkan
musuh-musuh politik dari Islam sendiri, meskipun pendatang di suatu kota (PKS
ada di Salatiga sejak tahun 1999 dengan nama PK sebelumnya). Ia bisa
mengindonesia, atau bahkan menusantara, meski karena itu tuntutan ralitas,
belum asli dari dalam diri sendiri. Namun, setidaknya mereka sadar konteks.
Dinamika
politik lokal mampu menggoncang identitas diri sebagai Kristen atau Islam yang
terlanjur dianggap mapan. Momentum Pilwalkot sebagai even untuk renegosiasi
diri kedalam kelompok dan keluar, bahwa adanya kesadaran kelompok lain. Ia juga
sebagai bukti
empiris bahwa gerakan oikumene digunakan sebagai alat negosiasi sekaligus
sebaga kongsi kepentingan lewat kontrak politik antara kelompok kepentingan
Kristen, dan untuk membuka konstituen baru lewat jalan kerjasaa dengan pendeta
bagi partai islamis.
Ketidakamanan
dunia sekitar ada karena Islam dan Kristen selalu diposisikan berhadap-hadapan,
nyata selama ini mengusik arti menjadi umat beragama dalam Kota. Untuk itu
perlu memobilisasi gerakan sesama identitas berhadapan dengan identitas lain. Dan
seterusnya……..!
Bagi
kelompok ini, PPHTGD dan Khatolikan itu, seturut dengan kadar keilmuan terhadap
teologi-agama, politik dan tanggung jawab sosial gereja maka oikumene juga
ditransfer artinya ke dalam politik legislasi dan berstempel meterai bernama
kontrak politik. Itulah cara sekaligus instrumen untuk menegosiasikan kepentingan
Kristen di ruang publik. ......................!
Bagi,
kaum Islam dan partai pendukungnya, sebetulnya menyemburkan pesan, sebagai
partai yang sudah terbuka dan komit sebagai orang Indonesia di rumah besarnya,
meskipun ideologinya agama. Dengan demikian, untuk sementara waktu semua
mendapatkan keinginannya. Salatiga akan kekal dikenal kota paskah dan natal
bersama di ruang terbukanya, termasuk kota festival agama lainnya.
Bagi
para pendeta se salatiga yang ternyata dibawah hukum administrasi BKGS mestinya
sudah mendapatkan bagiannya, setidaknya lewat ucapan natal dan paskah, termasuk
selamat idulfitri yang tertera dibingkisan sesuai dengan alamat pintu rumah
masing-masing, saban tahun pula.
Yang tak boleh dilupakan, ini musiman,
politik perselisihan, mustinya usai se usai musim politik sirna, yang abadi
mestinya, kita pernah berjuan bersama sekaligus berselisih bersama pula.
Rekonsiliasi mestinya ajimat politik baru, meski seolah ucapan semata,
setidaknya pernah kita ucapkan.
Christian Smith, “Correcing a Curious Neglect, or Bringin Religion
Banck in,” in Disruptive Religion:
The Force of Faith in Social Movement Activism, ed.
Christian Smith (New York: Routledge, 1996), 17.
Disebut-sebut
negara mengakui otonomi agama, dan agama mengakui otonomi
negara. Masing-masing tidak mencampuri langsung urusan dan otoritas yang lain.
Namun demikian, antara keduanya terdapat keterkaitan fungsional. Tanpa
mencampuri secara langsung urusan-urusan internal keagamaan, negara mempunyai tanggung
jawab keagamaan yaitu melindungi dan membantu agar semua agama hidup dan
berkembang dan menjamin baik kebebasan maupun kerukunan hidup beragama. Di
pihak lain, tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan kenegaraan (termasuk
di sini pemaksaan kehendak dengan melalui kekuatan massa), agama mempunyai
tanggung jawab kenegaraan. Tanggung jawab ini adalah meletakkan kerangka
landasan moral, etik dan spiritual bagi, pembangunan nasional. Eka
Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen (Jakarta: Gunung Mulia,
1999), 97; Bahkan, katanya agama dan negara berbeda,
negara tidak boleh menguasai negara, demikian juga agama tidak boleh menguasai
negara. Agama dan negara mempunyai hubungan yang bersifat koordinasi. Agama
bertanggung jawab untuk mengingatkan negara pabila negara tidak melakukan
kewenangannya sebagaimana kodratnya. Karena agama-agama adalah pemberi
landasan moral, demikian juga pada waktu agama-agama dalam interpretasi praktis
keagamaannya melanggar undang-undang dan ketertiban umum. Maka negara wajib
untuk melakukan tindakan hukum untuk penertiban hubungan bersama antar agama
dan kelompok yang ada. Binsar
A. Hutabarat, M.C.S., “Negara Menurut Perjanjian Lama dan Hubungannya dengan
Gereja dalam Konteks Indonesia,” Jurnal Teologi STULOS, 6/1, (April 2007), 31-52,
https://www.academia.edu/6363084/NEGARA_MENURUT_PERJANJIAN_LAMA_DAN_HUBUNGANNYA_DENGAN_GEREJA_DALAM_KONTEKS_INDONESIA,
diakses 11 Agustus 2015.
Emik,
secara natif memahami multi realitas dari dalam dan dengan akurat berdasarkan
subjek yang diamati; Etis, diposisikan sebagai asumsi luar peneliti atas
realitas yang diakumulasi dari perspektif sosial sainstifik. David M.
Fetterman, Ethnography: Step by Step (California:
SAGE Publication Inc., 1998), 1-30; James P. Spradley, The Ethnographic Interview (New York:
Holt, Rinehart and Winston, 1979), 22-23.
Cara
ini sebagai teknik riset kualitatif dapat terjadi dalam
beberapa cara.
Tetapi, pada umumnya
adalah ketika sekelompok orang yang memang sengaja dipilih karena telah penuhi
syarat merekomendasikan calon informan lain sebagai sumber data
yang bisa dipertanggung jawabkan. Lalu, mereka
rekomendasikan peserta tambahan hingga membangun jejaring sumber data yang makin
banya dan meluas, namun spesifik bagai bola salju
bergulir menuruni bukit. Snowball
sampling mengharuskan
kita menemui
orang untuk mengidentifikasi masalah pengumpulan data, yakni orang bersyarat untuk berpartisipasi me rekomendasikan beberapa orang sumber lain yang memiliki data
sesuai kebutuhan penelitian. Earl Babbie, The Practice of Social Research (Boston,
MA: Cengage Learning, 2015), 186.
Secara geografis, Kota Salatiga ditengah-tengah
wilayah Kabupaten Semarang. Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2008 tercatat
sebesar 5.678,110 hektar atau 56.781 km². Secara administratif Kota
Salatiga terbagi menjadi 4 kecamatan dan 23 kelurahan, yaitu Argomulyo terdiri
dari 6 Kelurahan, Tingkir terdiri dari 7 Kelurahan, Sidomukti terdiri 4
Kelurahan, Sidorejo terdiri dari 6 Kelurahan. “Seputar Salatiga,” posted, Rabu, 29 Desember 2010, diakses, 10 Juli 2015, http://www.yarisuntuksalatiga.com/index.php?option=com_content&view=article&id=58&Itemid=27.
Sri Astuti Buchari, Kebangkitan
Etnis Menuju Politik Identitas (Yayasan Obor Indonesia, 2014).
Wawancara,
Pdt. DR.Surya
Kusuma, M.Min di rumah Nakulo Sadewa I Kembang Arum, Salatiga, Kamis, 13 November 2014.
“PS
NIKO NYOTORAHARDJO,” Bethany
International Church, Copyright 2015, diakses 30 Juli 2015,
http://www.bethanymelb.org.au/about/our-pastors/ps-niko-nyotorahardjo/.
Wawancara
Sms, Pdt. Yusuf Sunari, gembala
sidang Gereja Isa Almasih (Dr. Cipto Semarang) GIA Kalitaman di Jl.
Kalitaman No. 4 Rt 05 / Rw IV, Salatiga, Kamis, 30 Juli 2015; 07.25 wib; Wawancara Sms, Pdm. Paulus Sutopo, pendeta GBT Noborejo, di Nobokulon RT03/10 Noborejo, Argomulyo Salatiga Kamis, 30 Juli
2015; 07.25 wib. Sutopo adalah ketua Koordinator PPHTGD Salatiga.
Enclave dalam kajian gerakan sosial
khususnya terkait agama dan politik merujuk pada seruan untuk kembali ke identitas
dasar sebagai simpul penting. Ini terdapat dalam semua
gerakan fundamentalis keagamaan kontemporer (misalnya Kristen, Islam dan Yahudi). Enklaf sebagai
tembok yang menempatkan masyarakat yang dianggap tidak
cocok dengan keyakinan dan nilai-nilai khas di luar. Gabriel A. Almond, R. Scott
Appleby, Emmanuel Sivan, Strong Religion, The Rise of Fundamentalism around
the World (Chicago: The University of Chicago Press, 2003), 33-37.
Wawancara
telepon, Pdt. Filatus.
Yanuar
Nugroho, “Bergerak di Akar Rumput,” Jurnal
Analisis Sosial, Vol.7. No. 2 (Juni 2002), 39-62.
Wawancara,
Pdt. Daniel H Iswanto, M.Min, M.Th GKJTU di Jl. Sukowati No. 74 di ruang rapat
kantor gereja GKJTU Salatiga, Rabu, 5 November 2014; 11.30-selesai.
Kontrak Politik
yang berisi lima poin itu ditandantangani oleh Paslon bernomor urut 3, di atas
materai, ikut menandatangani 2 orang saksi, yaitu: (1) Pdt. Yusuf Sunari,
S.Th., dan (2) Prof. Dr. H.D. Haryoko RD, Ph.D., AKP. Dalam KP tersebut, YARIS
berjanji jika terpilih kelak akan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.
Menjaga Kota Salatiga dalam kemajemukan agama, suku, ras,
dan golongan.
2.
Memberikan kebebasan dan rasa aman bagi seluruh umat
beragama dan kepercayaan masing-masing.
3.
Memberikan kemudahan bagi umat Kristiani untuk mendirikan
tempat ibadah dan diijinkan menggunakan ruang publik untuk perayaan keagamaan.
4.
Bersama-sama masyarakat menumbuhkankembangkan toleransi
antar umat beragama di Kota Salatiga.
5.
Tidak ada diskriminasi dalam memberikan pelayanan publik
serta akses terhadap pemanfaatan dana APBD untuk kepentingan seluruh
kepentingan umat beragama.
Jean-Jacques
Rousseau, Of The Social Contract and
Other Political Writings, Translated
by Quintin Hoare with a new introduction by Christopher Bertram (London: Penguin Books,
2012), 2.
Akhiri Kampanye Nasional di
Salatiga dan Solo, PKS Targetkan Jateng Jadi Basis Baru, Published On:
Thu, Apr 3rd, 2014, diakses
10 April 2014,
http://pkssalatiga.com/seputar-pks/akhiri-kampanye-nasional-di-salatiga-dan-solo-pks-targetkan-jateng-jadi-basis-baru/