Pendahuluan[1]:
Di
negeri ini, ketika bicara Islam dan Kristen seolah-olah otak kita langsung terbingkai dalam
logika; mayoritas berhadap-hadapan dengan minoritas. Lalu, konsepsi yang
mengikuti selanjutnya seringkali; minoritas harus mengalah dan berkorban, mayoritas harus
selalu menang dan acapkali mau menang sendiri.[2] Tidak
heran, Myengkyo Seo mengolok-olok kita, ketika hari ini “kita bicara Indonesia kontemporer,”[3]
praktek perselisihan agama merupakan salah satu diskusi akademik yang paling
hangat dan tidak bosan-bosannya.[4]
Jika hal itu benar adanya, maka artinya ketika bicara soal kedua komunitas
beragama ini, seolah lebih banyak konflik ketimbang damainya. Seolah tidak lagi ada alternatif
perjumpaan[5] lain.
Dimana lagikah kita bisa bertemu muka dan saling memandang mata untuk melihat
ke dalam isi hati, yang niatnya memang betul-betul ihklas dan ridho untuk
saling memuliakan?
Memang,
setiap orang beragama
diwarisi panggilan dak’wah atau menginjili masyarakat. Namun, penting untuk
ditimbang-timbang secara arif, bagaimana caranya bila keadaan masyarakat itu memang
sudah sangat
berbeda teks agama, selebrasi, ekspresi dan pengalaman keagamaanya? Bagaimana lagi cara lain yang bisa ditempuh
untuk mengkomunikasikan sistem nilai iman masing-masing supaya
“sampai bisa dipahami orang lain? Bagaimana pula cara menebarkan nilai
ketuhanan setara dengan kemanusiaan ke orang yang beda
keyakinan? Masihkah ada
contoh nyata yang bisa disodorkan disini?
Kali ini secara empiris, saya ingin tunjukkan
adanya secuil laku dari orang-orang Pentakosta dan
Islam di Indonesia[6]
yang secara tulus dan bebas lepas untuk beragama, yakni; ustazd bisa
jadi “imam sholat” di gereja, ustadz bisa bertausiah dan syiar di gereja dengan
bebas lepas secara alami, tanpa direkayasa atau dibuat-buat.
Secara
metodologis, narasi inquiris akan dipakai sebagai jembatan instrumental[7] untuk
menceritakan ulang pengalaman dan cerita pribadi para pelakunya secara
kualitatif[8]
tentang praksis beragama meskipun para pelakunya berbeda keyakinan. Kelebihan
dari pendekatan metodologis seperti ini,
karena narasi itu berasal dari pelaku dan dibagikan olehnya secara langsung
sebagai petutur kisah. Dan, juga bisa dikoreksi kembali secara langsung bila dilakukan
dalam bentuk dialog yang sifatnya “sharing” pengalaman, bukan dalam format
tulisan buku atau instrumen cetak dan tulis lain. Kekurangannya, mungkin ada bias subjek, namun
hal itu bisa dikurung dengan konfirmasi ulang ke pelaku lainnya. Dalam hal ini,
beberapa pelakuknya bisa dihubungi lewat media sosial facebook, misalnya.
Mansur Zahri, Muhammad Yusron, Ema Wati, Rina Rehayati, Hasyimi Tanjung.
Jadi, dalam kesempatan ini, saya tidak sedang ingin mengupayakan adanya bukti-bukti empiris Tuhan yang menjadi daging[9] seperti yang umum dalam pemahaman teologi Kristen, atau Tuhan yang mengkertas versi Ulil Abshar Abdalla yang mulai mengemuka dalam momen “Bincang-bincang Teologi ICRP” awal September 2015 silam.[10] Fokus tulisan ini hendak tunjukkan bukti empiris dan pengalaman visibilitas agama secara baru,[11] yakni gerakan kepentakostaan (definisi singkat akan dijelaskan dalam paragraf selanjutnya) yang terdapat secara partikel di dalam diri jemaat gereja, yakni GPdI - Gereja Pantekosta di Indonesia yang secara sadar melibatkan diri dengan Islam, yakni Muslim[12] sebagai umat atau orangnya.
Jadi, dalam kesempatan ini, saya tidak sedang ingin mengupayakan adanya bukti-bukti empiris Tuhan yang menjadi daging[9] seperti yang umum dalam pemahaman teologi Kristen, atau Tuhan yang mengkertas versi Ulil Abshar Abdalla yang mulai mengemuka dalam momen “Bincang-bincang Teologi ICRP” awal September 2015 silam.[10] Fokus tulisan ini hendak tunjukkan bukti empiris dan pengalaman visibilitas agama secara baru,[11] yakni gerakan kepentakostaan (definisi singkat akan dijelaskan dalam paragraf selanjutnya) yang terdapat secara partikel di dalam diri jemaat gereja, yakni GPdI - Gereja Pantekosta di Indonesia yang secara sadar melibatkan diri dengan Islam, yakni Muslim[12] sebagai umat atau orangnya.
Karenanya,
agama disini akan diposisikan sebagai salah satu fenomena kultural yang memiliki
kontribusi sosial untuk rekatkan kohesi diantara kelompok umat beragama meski
berlainan tauhiditasnya. Jadi, agama lewat gerakan kongkrit orang-orangnya lebih
khusus ditempatkan sebagai sarana yang terlihat untuk membicarakan hal-hal yang
terkait keberimanan dan keTuhanan,[13] oleh
orang dan jemaat gereja Pantekosta beserta sekelompok sarjana Islam atau
pemimpin Muslim yang bisa “saling berbagi” isi dan nilai-nilai agama tanpa
mempersoalkan perbedaan identitas dan komunitas agamanya.
Saya akui, definisi
Pentakosta disini tidak akan terlalu detail dijelaskan karena hal itu akan
menjadi tanggung jawab nara sumber lain, yakni Rony C. Kristanto. Namun
biasanya gerakan ini sering kali dipersamakan secara jamak dengan gerakan
kharismatik. Meskipun menurutnya, kajian ini sepi peminat dan jarang diminati
di lingkungan akademisi mainstream,
karena mungkin dirasa kurang akademik.[14] Daniel E. Albrecht dan Evan B. Howard
mengatakan dengan mantab, Pentakostalisme ialah suatu gerakan pembaruan
pengalaman yang menekankan pada sisi dan orientasi pengalaman keTuhanan (a renewal movement that emphasizes the
experiece of God). Pengalaman seperti ini, yang dalam setting sosial
Indonesia karena mengingat situasi politik sejak Orde lama hingga Reformasi,
khususnya dengan adanya SKB tiga menteri, harus menjadi agama yang
terorganisasi dalam bentuk gereja yang berizin dan diizinkan beroperasi oleh
“orang kuat” di daerah sekitarnya.
Pentakostalisme
dalam konteks Indonesia biasanya memiliki ciri khas dalam penekanan ministri
masing-masing sesuai dengan konteks, umat, kepribadian tokohnya, dan ia lulusan
dari mana. Penting pula diingat, bahwa apa yang paling distingtif untuk membedakan
tentang pentakosta secara partikular bukanlah teologinya (pen. kemampuan memahami isi atau kecanggihan atau kemajuan ilmu
tafsirnya) dan struktur gerejanya, namun pengalaman keTuhanannya (their sense of the experiece of God).
Jadi secara unik yang paling tepat dan pantas untuk mengidentifikasi
Pentakostalisme adalah sebagai sebuah bentuk gerakan “spiritualitas” (it is appropriate to identify Pentacostalism
particularly as a form of “spirituality”),[15]
ketimbang organisasi dan struktur kependetaa (clergical) atau ordonansinya yang sering disebut-sebut dalam kajian
Islam.
Orang Indonesia Beragama: Ustadz Bisa Jadi Imam di Mimbar Gereja?
Pertanyaan sub poin ini sangat
terkait dengan sejumlah pertanyaan di bagian pendahuluan sebelumnya itu. Sebelum menuturkan pengalaman ini,
rasanya perlu kita tilik sejenak hal-hal terkait keimaman dalam shalat dalam
Islam yang biasanya dinukil dari Al Qur’an dan sejumlah Hadits atau As-Sunnah
Nabi jadi rujukan utama. Dengan
pertimbangan audiens kali ini akan lebih banyak dari para sahabat Muslim, maka
tidak akan terlalu detail dijelaskan apa itu imam dan bagaimana shalat itu.
Dengan pertimbangan akal sehat, karena hal itu telah menjadi bagian dari darah
daging yang deras mengalir dalam darah mereka setiap saat, minimal lima kali
saban hari mereka melakukan itu. Namun, perlulah diingatkan kembali disini
bagaimana jika lokasinya di gereja dan makmum-nya
itu adalah gabungan antara mukminin
dan kaum salibis[16] yang menjadi
umahnya. Lagipula, karena hal-hal yang biasa dan rutin dilakukan sering kali
seolah-olah menjadi sesuatu yang pudar maknanya.
Saya akan memberikan penjelasan ini
berdasarkan keterangan dari seorang Ulama Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, [17] yang
ia sendiri juga merujuknya dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dari
Riyadh. Kata imam sendiri dalam
tradisi bahasa Arab ialah orang, yang biasanya laki-laki, yang diikuti atau
yang dikedepankan dalam satu urusan. Nabi adalah imam dari segala imam,
Khalifah adalah imam bagi rakyat Islam. Kata jamak dari imam adalah a’immah yang dalam shalat adalah orang
yang tampil di depan untuk diikuti seluruh gerakan dalam shalatnya.
Imamah atau keimaman kata dasarnya
dari amma an nasa, diartikan menjadi
pemimpin ibadah bagi banyak orang Mukmin untuk diikuti dalam shalat. Ia bisanya
bisa diterima menjadi imam, pada umumnya ketika salah seorang yang dianggap memenuhi
kriteria tertentu yang sedang salat berjamaah maju kedepan untuk diikuti yang
lain. Al-imamah itu sendiri artinya ialah kepemimpinan terhadap kaum Muslimin.
Jadi, dari sini, imam itu bisa dipastikan tempat sholat berjamaahnya selalu di
Masjid, Mushola, atau rumah sendiri, atau lapangan terbuka dalam pengajian
massal atau kelompok, yang keseluruhan
konteksnya selalu terkait soal ibadah keislaman, bukan di dalam komunitas agama
lain. Jadi, bagaimana bila Muslim
diminta dengan sadar dan menyetujui dengan sadar pula untuk menjadi imam di
gereja? Inilah yang akan kita diskusikan secara terbuka selanjutnya.
Saya akan mulai menuturkan kembali apa yang telah kami kerjakan, yakni dua Ustadz khotbah di gereja, dua kali. Pertama, dalam ibadah Natal 25 Desember 2009, bukan perayaan Natal. Kedua, ibadah Paskah 5 April 2010 di GPdI-Gereja Pantekosta di Indonesia, Yogyakarta, juga bukan perayaan Paskah. Saat itu (sekarang telah pindah ke Salatiga), saya mengembalakan sidang jemaat GPdI untuk “Mas Girli W” - masyarakat pinggiran kali Winongo, yakni di bagian sisi barat Jalan Malioboro, tepatnya di Tejokusuman NG II/516 Rt27/Rw 04 Kelurahan Notoprajan, Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta.[18]
Saya akan mulai menuturkan kembali apa yang telah kami kerjakan, yakni dua Ustadz khotbah di gereja, dua kali. Pertama, dalam ibadah Natal 25 Desember 2009, bukan perayaan Natal. Kedua, ibadah Paskah 5 April 2010 di GPdI-Gereja Pantekosta di Indonesia, Yogyakarta, juga bukan perayaan Paskah. Saat itu (sekarang telah pindah ke Salatiga), saya mengembalakan sidang jemaat GPdI untuk “Mas Girli W” - masyarakat pinggiran kali Winongo, yakni di bagian sisi barat Jalan Malioboro, tepatnya di Tejokusuman NG II/516 Rt27/Rw 04 Kelurahan Notoprajan, Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta.[18]
Harus diakui, memang peristiwa itu
telah berlalu dan menjadi sejarah perjalanan dan pengalaman spiritual bagi kami sebagai orang-orang yang terlibat langsung. Namun,
bukankah kita belajar dari nilai dan makna sejarah? Lagipula, sejarah itu selalu memiliki dimensi
mistikal karena tidak lagi bisa direplikasi sekaligus bermakna kekal karena
banyak dimensi yang hanya bisa terjadi di zaman dan konteksnya sendiri.[19] Dan,
bukannya nilai sejarah semakin tinggi dan kekal karena terjadi dimasa
lampau
dan selalu memberi pelajaran hingga ke masa depan? Keterangan dalam tulisan ini bertujuan menyadarkan kita
agar mampu menyelaraskan sistem nilai teologis dengan praksis sosiologis sesuai dengan kondisi masyarakat seputar kita.
Disamping, mengedepankan bukti masih ada hal baik yang tersisa
dalam Islam, dan bisa
dibanggakan diantara kita orang Pantekosta di Indonesia, kendatipun tidak seagama.
Berikut ini hal secuil yang telah kami lakukan. Pertama,
ketika Natal, saya mengundang Pak Ustadz, Muhammad Yusron, M.Ag[20]
seorang tokoh muda NU-Nahdatul Ulama, juga menantu dari tokoh NU Ceper, Klaten
Jateng untuk khutbah di gereja. Tokoh Muda Muhammadiyah Kota Yogyakarta,
juga Ketua Haji Kota Yogyakarta, (tampaknya), ia sekarang jadi Dosen di
Universitas Islam “Ahmad Dahlan” Yogyakarta, Hj. Hasyimi Tanjung, SE., M.Ag.
Lalu, Tokoh Wanita Islam NU, juga dosen Filsafat agama di UIN-Universitas Islam
Negeri “Sultan Syarif Kasim” Riau, Ibu Rina Rehayati, M.Ag, juga hadir disana. Lalu,
Ema Wati dosen STAIN Palangka Raya. Meskipun, sahabat satu kelas lain, mahasiswa Islamic Studies S3-UIN “Sunan Kalijaga” Yogyakarta, juga diundang,
namun, tidak hadir karena waktunya berbarengan dengan kegiatan mereka
yang lain. Hampir
terlupakan, ketika saya seorang pendeta Kristen-Pantekosta diterima kuliah
tahun 2009 disanapun sebagai alasan kuat meyakinkan diri, masih ada titik
pengharapan (setidaknya bagi saya), bahwa sistem nilai yang berbeda masih bisa
diintegrasikan (bukan disekutukan). Pendeta, haji, ustadz, kyai bisa bebas
kuliah bersama dalam artian literal, (bukan pura-pura berdialog) asalkan tidak
dipolitisasi. Inilah salah satu yang unik, contoh orang Indonesia beragama.
Ustadz Y diminta menjelaskan “Siapa Isa-Yesus di dalam Al-Qur’an” secara
keyakinan Islam dan akademik. Beliau menjelaskan selama 35 menit dilengkapi
dengan bahasa Arabnya yang kental. Minggu sebelumnya, saya telah menjelaskan ke
jemaat, tokoh Islam yang akan khotbah Natal di gereja, agar mereka memahami apa
tujuan dan makna kegiatan itu. Agar terpublikasi, saya membagikan undangan
Natal kepada warga lewat anak sekolah Minggu agar mengajak orang tua mereka.
Tujuannya menjelaskan latar belakang dan maksud kegiatan itu.
Benarlah, sejumlah keluarga Muslim (tetangga gereja), sejumlah
orang tua sekolah
minggu yang Muslim hadir malam itu. Mereka khusuk mendengarkan Ustadznya
sendiri. Selesai ibadah, keempat sahabat itu shalat Magrib diantar salah satu orang tua
sekolah minggu yang beragama Katolik ke Masjid, tidak jauh dari gereja.
Sekembalinya Shalat, Jemaat sedang makan bersama, makanannya dimasak di rumah
masing-masing. Tanpa penuh tanya dan curiga, kami santap dengan lahap.
Kedua, ketika Paskah, saya mengundang teman sekelas lain, Pak
Ustadz Mansur, M.Ag[21]
asal Cirebon, Dosen tetap bidang ilmu tafsir Fakultas Syariah UIN Yogyakarta. Hal ini juga
kami publikasikan dan mohon izin ke pengurus warga, seperti pada Natal
sebetulnya. Beliau
menjelaskan, makna Paskah untuk
membersihkan hidup atau mengampuni dosa manusia. Dengan detail ia menjelaskan
makna simbolik dan esensi paskah bagi manusia. Dengan kapasitasnya sebagai Dosen dan mahasiswa doktoral, maka
jemaat dan warga
se-RT dan RW yang hadir malam itu yakin dengan penuturan
beliau yang bersumberkan
Al-Qur’an.
Pesan Perjumpaan Pantekostalisme dan Islam
Apa sebetulnya pesan yang ingin
dilayangkan dari kasus ini? Perlu ditandaskan, bahwa apapun opini orang
terhadap yang kami lakukan, saya tetap meyakinkan diri, masih ada
celah bagi orang Indonesia untuk bebas mengekspresikan cara beragama di rumah
ibadahnya sendiri. Ini salah contoh unik dari orang Indonesia
beragama, Ustadz bisa menjadi
imam yang berdiri tegap, bebas dan bersuara lantang untuk khutbah di mimbar gereja. Mereka
bebas mewartakan isi dan ajaran Al-Qur’an dari dan di mimbar gereja, yang memang disiapkan ruang dan
kesempatan terbuka bagi mereka. Yang diperlukan adanya kemauan mendesain ulang pendekatan
syiar dan cara-cara mengekspersikan
nilai-nilai doktrinal dari organisasi atau ajaran agama seseorang ke orang lainnya.
Cara dan sistem menilai orang Indonesia sebagai manusia beragama perlu
dipikirkan ulang agar tidak timbul pertengkaran teologis dan perselisihan
sosiologis. Jangan
diacuhkan bahwa kita sekeluarga, sekampung dan senegara, sebangsa;
Indonesia meski tidak
seagama, ataupun mungkin saja tidak seTuhan.
Mungkinkah ini yang diharapkan oleh “Gusdur”, yakni Islam kosmopolitan yang
manifestasi ajaran-ajarannya mustinya bisa diseparasikan kedalam nilai-nilai
Indonesia dan dipakai sebagai alat metodologi transformasi peradaban. Yang
mustinya menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari
kemanusiaan (al-insaniyyah), yang
diimbagi pula oleh kearifan yang terbit dari keterbukaan terhada tafsir
terhadap Islam itu sendiri.[22]
Kasus ini menimbulkan kesadaran bathin sederhana
dan melayangkan pesannya tersendiri. Pendekatan akademis, struktural dan kultural yang dibangun dengan
cara-cara personal oleh tokoh-tokoh yang benar, meski tidak besar dan tidak
popular seperti peristiwa
ini amatlah efektif untuk mempublikasikan sistem nilai keagamaan orang
Indonesia meskipun
berbeda keyakinan. Yang dibutuhkan adalah mentafsir lagi
ungkapan manusia semodel “Gusdur”, Islamku Islam anda Islam kita bersama.[23]
Untuk itu, bagaimana lagi upaya kita untuk bisa memastikan tersedianya waktu dan ruang untuk saling mengkomunikasikan
berita keselamatan dan kemaslahatan kepada umat. Jika ini yang
menjadi niatnya, maka sakralitas tempat atau lokasi bukanlah menjadi fokus
perhatiannya, tetapi lebih pada tujuan dan fungsi kemaslahatannya.[24]
Menyertakan “orang
lain” untuk memobilisasi umat untuk beribadah dan
berTuhan setara nilainya dengan memobilisasi umat untuk mencintai insan
lainnya, tanpa harus selalu meniliki apa dan siapa identitasnya. Menggerakkan umat sendiri untuk mencintai
orang lain sama fahalanya dengan mencintai diri sendiri. Mengakui keberadaan orang sekitar, melibatkan mereka ke
dalam aktivitas
spiritual sebagai tanda penghormatan kepada martabat sesama orang Indonesia.
Perbedaan keyakinan atau identitas beragama tidak jadi penghalang syiar asalkan
saling menguatkan kohesi dan silaturahmi orangnya yang berlainan agama, asalkan elite-nya dan wong cilik-nya sepemahaman, asalkan pula imamnya dan umatnya ihklas
menerima dan mengajarkan kenyataan; kita memang berbeda
tetapi kita juga satu, yakni manusia Indonesia. Itulah cara orang Muslim beragama,
dan itu pula cara orang Pantekosta di Indonesia beragama, keduanya bisa
bertemu di mimbar agama, tidak perlu menunggu mimbar bebas akademik, pun mimbar
politik, yang kian dianeksasi kaum puritan lain.
Pertimbangan Selanjutnya
Bagi
sejumlah orang, mungkin saja peristiwa perjumpaan Pentakosta dengan Islam di
mimbar gereja dan pesan yang ingin dilayangkan ini bisa saja dianggap “nyeleneh,” atau malah biasa-biasa saja, pun,
mungkin ditolak dengan dalil-dalil sahih lainnya. Namun, tidaklah perlu risau.
Hal-hal itu biasanya sesuai dengan akal sehat masing-masing karena terbersit
dari sisi tafsir atau atas dasar pengalaman empiris masing-masing, pun dari
kelompok mana ia berasal.
Saya
ingin lebih banyak bertanya lagi. Bisakah sebentar saja, kita mempertimbangkan
peregangan makna dari gereja dan masjid ataupun umat itu sesuai setting
sosialnya itu sebagai upaya orang per orang di lokasi tertentu untuk membangun
amal ibadah dan cara metodologis untuk membagi amalan ibadah? Apakah masih bisa
tetap dipertahankan bahwa pemberita Firman Allah itu harus orang Kristen, lahir
baru, dan kriteria lainnya yang sering kali dirumuskan dalam hokum gereja itu?
Bukankah hukum gereja itu dibuat sendiri oleh manusianya dengan tujuan untuk memastikan
Firman Allah diberitakan dalam rupa-rupa bentuk yang dengan tujuan
menginspirasi tubuh Kristus, yakni gereja itu sendiri hidup dan aktif bekerja?
Jika tidak, maka tubuh atau gereja itu telah menjadi rusak dan menjadi bangkai
yang mati yang tidak tidak berguna.[25] Apakah
bisa dengan serta merta, ketika ustad menjadi imam shalat di kebaktian ibadah
gereja, atau yang bukan Muslim jadi
penceramah di Masjid, lantas dengan seenaknya disebut telah disebut pemimpin kafir[26]?
Dalam
tradisi iman Kristen mainstream dan
juga Pentakosta, hal ini juga sebagai pengetahuan umum iman Khatolik, gereja,
bahwa itu sebagai simbol, tanda, sarana dan juga sekaligus wadah persekutuan
umat, yang biasanya disistematisasikan oleh kelompok evangelikal secara teknis
teologis.[27] Gereja timbul dari kata Igreja dibawa ke Indonesia oleh para misionaris
Portugis. Kata itu adalah ejaan Portugis untuk kata Yunani ekklesia, yang dimaknai kumpulan orang yang khusus, atau pertemuan
silaturahmi dalam nuansa yang melibatkan suasana dan acara-acara agamis. Lebih
dari sekedar itu, menurut Konferensi Wali Gereja, bahwa gereja bukanlah semacam batasan
atau defenisi, namun dari kata ekklesia itu
merupakan kata yang umum di zaman para Rasul, yakni cara dari jemaat atau
komunitas awal sebagai upaya pemaknaan diri jemaat perdana Kristen dahulu kala
terhadap hubungannya dengan Tuhan dan sesama mahluk lainnya.[28]
Pertimbangannya ialah, bisakah terma gereja itu secara lebih leluasa juga dimaknai sebagai wadah perekat silahturahmi. Bisakah semestinya kita tidak merasa risih jika yang bertausiah atau yang berkhutbah itu bukan cuman pendeta. Bisakah kehadiran ustadz dan komunitas lain dalam ibadah, bukan sebatas perayaan di gereja mestinya ditafsir sebagai upaya-upaya pengejahwantaan konsep kasih dalam Matius 22: 37-39[29], yakni kepada Tuhan yang harganya setara atau senilai dengan kasih kepada sesama manusia (bukan jin), yang dekat sekali dengan makna terminologi hablumminallah dan hablumminaannas itu, yang melekat kuat dalam kognisi Muslim, yang akan diterangkan pada paragraf selanjutnya.
Pertimbangannya ialah, bisakah terma gereja itu secara lebih leluasa juga dimaknai sebagai wadah perekat silahturahmi. Bisakah semestinya kita tidak merasa risih jika yang bertausiah atau yang berkhutbah itu bukan cuman pendeta. Bisakah kehadiran ustadz dan komunitas lain dalam ibadah, bukan sebatas perayaan di gereja mestinya ditafsir sebagai upaya-upaya pengejahwantaan konsep kasih dalam Matius 22: 37-39[29], yakni kepada Tuhan yang harganya setara atau senilai dengan kasih kepada sesama manusia (bukan jin), yang dekat sekali dengan makna terminologi hablumminallah dan hablumminaannas itu, yang melekat kuat dalam kognisi Muslim, yang akan diterangkan pada paragraf selanjutnya.
Selanjutnya,
masjid itu berarti tempat
beribadah, yang secara etimologis berakar kata sajada, yang dimaknai dimana sajada berarti sujud atau tunduk,
yang kemudian, kata itu mengalami peregangan makna sehingga kata masjid berarti
tempat bersujud. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Tarmizi dari Abu Said
Al-Khudri, dinyatakan bahwa setiap jengkal tanah adalah Masjid. Begitu juga
dalam Hadis yang lain, Nabi Muhammad mengatakan, “Telah dijadikan tanah itu
sebagai masjid tempat bersujud.”[30] Berdasarkan arti kata masjid dan dua Hadis
tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa seluruh tanah di bumi ini adalah
masjid, tempat bersujud bagi setiap Muslim. Setiap Muslim dapat selalu behubungan
dengan Allah dimanapun mereka berada dengan syarat tempat bersujud harus bersih
dan suci.[31] Artinya, dari penjelasan
itu, masjid dengan semua aturan shalatnya, pertama difungsikan secara agama
atau hablumminallah, yakni beribadah
kepada Allah bersama dengan siapa saja yang mencari atau menemui Allahnya.
Bisakah seseorang dihalangi untuk mencari-Nya dimana saja dan kapan saja, dalam
suasana yang bagaimana saja dan konteks apapun saja? Jika dilarang, maka
bukankah yang terjadi ternyata hablum
min Allah, hubungan yang minus Allah
disana.
Kedua,
fungsi sosial atau hablumminannas,
yakni peribadahan yang mengeratkan sense
silahturahmi dengan insan lainnya, tak soal status sosial dan agamanaya. Namun,
jika itu juga dibatasi hanya karena imamnya shalat, atau ibadahnya bukan
dimasjid, dan berjamaahnya juga bukan dengan para mukminun lainnya, maka itu
maknanya akan serta-merta menjadi hablum min annas, yakni upaya melakukan
ketidakhadiran atau tidak menyertakan unsur-unsur kemanusiaan lainnya lagi di
dalam ibadah dan sosial itu. Jadi, seperti kata Kafrawi Ridwan, Mantan Pimpinan
Pusat Dewan Masjid Indonesia, Masjid sebagai fungsi ibadah dan pengembangan
masyarakat.[32] Dan, semua Muslim
diharapkan untuk selalu memakmurkan masjid,[33]
bagaimana pula dengan orang yang di luar masjid, atau katakanlah di dalam
gereja, apaka itu tidak perlu dimakmurkan, maksudnya disejahterakan badani dan
rukhaninya juga? Lebih jauh lagi, bisakah fungsi masjid atau gereja itu
direalisasikan tidak hanya sebagai teknis aturan semata, namun lebih pada makna
bisa dirasakannya keikutsertaan komunitas lain selain umatnya sendiri saja?
[1]Mahasiswa
S3 Prodi Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sedang riset lapangan:
“Islam Politik: Partai Keadilan Sejahtera, Muslim Tionghoa, Orang Kristen, dan
Mobilisasi Agama untuk Ekonomi-Politik di Kota Salatiga”; Pendeta GPdI - Gereja Pantekosta di Indonesia
Majelis Daerah Jawa tengah Wilayah VI Salatiga; Dosen Sekolah Tinggi Theologia
- STT Salatiga.
[2]Mohammad
Monib, “Ayat Suci No, Ayat Konstitusi Yes,” dalam
http://beningpost.com/read/10244/ayat-suci-no-ayat-konstitusi-yes, posted: 28/06/2014 17:26:51 wib, diakses Kamis 10
September 2015.
[3]Fase
ini penting untuk ditandai disini karena situasi dan kondisi politik tertentu,
maka fase Indonesia sebelum hari ini akan sangat beberbeda cara kita beragama
dan melakukan selebrasi keagamaan dan peribadahannya.
[4]Myengkyo
Seo, State Management of Religion
in Indonesia (New York: Routledge, 2013),
hlm. 7. Seo mengajar Southeast
Asian Studies di the Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University
of Foreign Studies, Seoul, Korea. Ia bertitel PhD dalam bidang sosiologi dari the
University of Cambridge.
[5]Makna
perjumpaan atau encounter dalam tulisan
ini terbit dari asumsi adanya dua pihak yang setara atau sederajat bertemu
secara seimbang, baik dalam arti fisikal, yakni perjumpaan diantara pemeluk
agama Kristen dan Islam, maupun dalam arti konseptual, yakni pertemuan gagasan,
wawasan, wacana, dan pemahaman (pen. termasuklah
gerakan) yang bersumber dari atau didasarkan pada keyakinan dan penghayatan
agama masing-masing. Jan S. Aritonang, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2006), hlm. 1.
[6]Untuk melihat data pupulasi
imigran Pentakosta di dunia secara global tahun 2000-an sedikit banyaknya
dijelaskan oleh Michael Wilkinson, The Spirit Said Go:
Pentecostal Immigrants in Canada (New York: Peter Lang Publishing, Inc., 2006), hlm. 47-49. Lalu,
Pentakosta sebagai sebuah gerakan tersendiri dalam gerakan Kristen mainstream
lihat Kenneth Archer, A
Pentecostal Hermeneutic for the Twenty First Century: Spirit, Scripture and Community (London: T&T Clark International,
2004), hlm. 5. Dari kedua penjelasan ini bisa dipahami secara cepat bahwa
memang Pentakostalisme itu tetap dikategorikan minoritas.
[7]Robert
Atkinson, “The Life Story Interview as a Bridge in Narrative Inquiry,” D. Jean Clandinin (ed.), Handbook of Narrative Inquiry: Mapping a Methodology (California:
Sage Publications, Inc., 2007), hlm. 224.
[8]D.
Jean Clandinin, F. Michael Connelly, Narrative
Inquiry: Experience and Story in
Qualitative Research (New
York: John Wiley & Sons, Inc., 2004).
[10]“Tuhan yang
mengkertas.” “Bagaimana umat Islam keberatan dengan Tuhan yang mendaging dalam
teologi Kristen sementara mereka menerima dan meyakini Tuhan yang mengkertas (menjadi
al-Qur'an)"?, tanya Ulil Abshar Abdalla. Hal ini tersingkap dalam
Bincang-bincang Teologi ICRP: Polemik Ketuhanan Yesus Tafsir Islam &
Katolik. Kiai Ulil Abshar Abdalla & Romo Matteo Rebecchi. Lihat status
Facebook Mohammad Monib, 3 September 2015.
[11]Titus
Hjelm, Is God Back?: Reconsidering
the New Visibility of Religion (New York: Bloomsbury Publishing, 2015),
hlm. 1.
[12]Muslim
disini adalah mereka yang secara Organisasi kemasyarakatan lebih khusus
berorientasi NU dan Muhammadiyah, ataupun Muslim atau katakanlah Islam
Kebanyakan yang settingnya adalah Urban Kota
Yogyakarta.
[13]Jika
dilihat dari Titus Hjelm, agama memang dapat terlihat (visible) karena dapat menjadi baik atau buruk, tetapi
Allah tak ada hubungannya dengan itu. Artinya manifestasi manusia untuk beragama itulah yang dilihat
sebagai fenomena kultural bukan agama itu sendiri. Ibid., Titus Hjelm,
Is God Back?, hlm. 15-16.
[14]Rony
C. Kristanto, Injil bagi Orang Kaya:
Teologi Kemakmuran sebagai Teologi Rakyat (Yogyakarta: Taman Pustaka
Kristen, 2010), hlm. x.
[15]Daniel E. Albrecht dan Evan B. Howard, Pentecostal Spirituality in Cecil M. Robeck, Jr, Amos Yong (eds.) The
Cambridge Companion to Pentecostalism (New York: Cambridge University
Press, 2014), 235. Albrecht adalah seorang Pentakostalis yang
juga sebagai insider, sementara Howard juga sebagai insider namun lebih suka
melokasikan dirinya sebagai pembaharu tradisi karismatik. Keduanya ketika
mengidentifikasikan Pentakostalisme dari sisi metode analisisnya berdasarkan
perspektif agama dan teologi. Pendekatannya dengan menggunakan teori ritual dan
studi spiritulitas. Artinya, keduanya ketika ingin mengidentifikasikan
Petakostlisme itu dari cara pandang metodologi. Jadi, tulisannya tentang
Pentakostalisme sebetulnya ingin memposisikan bagaimana jika Pentakostalisme
dipertimbangkan sebagai sebuah gerakan revitalisasi dan pembaruan. Keterangan
ini saya ambil dari Cecil M. Robeck, Jr, Amos
Yong, “Global Pentecostalism: An Introduction to an Introduction,” in Cecil M.
Robeck, Jr, Amos Yong (eds.) The
Cambridge Companion to Pentecostalism (New York: Cambridge University
Press, 2014), hlm. 7.
[16]Terma
ini lebih sering kali diekspor oleh para Muslim di kelompok kaum Salibi, yang
dalam majalahnya Salibi, kata salibis itu
yang dimaksudkan adalah orang orang Nasrani atau Kristen. Lihat telaah utama
soal Gerakan kaum Salibi dari Sabang sampai Merauke, dari zaman kolonialisme
hingga zaman Pak Beye dikupas tuntas hingga tak tersisa, “Negeri Muslim Beribu Gereja,” Majalah Islam
Salibi, No. 12, Thn. XIII, 29 Desember 2005, hlm. 16-37.
[17]Lebih
komplit soal kriteria imam dalam shalat sesuai dengan sejumlah dalil-dalil Al-Qur’an
dan As-Sunnah dan pelajaran dari berbagai keputusan dan pemilihan pendapat yang
dianggap sahih, lihat dalam kitabnya Said bin Ali bin Wahf
Al-Qahthani, Kriteria Imam dalam Shalat Sesuai
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Nu’man (Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2007). Sa'id bin
Ali bin Wahf Al - Qahtani adalah seorang sarjana Islam dan penulis. Ia dari suku
Arab Al - Qahtani. Dia adalah salah satu siswa terkemuka Sheikh Abdul Aziz Bin
Baz , mantan Mufti besar Arab
Saudi. Lihat dalam Citadel of The Believer (Houston, TX: Dar-us-Salam
Publication, 1997).
[18]Gereja ini sendiri saya rintis
dan gembalakan sejak 3 Juli 2004 hingga 19 Juli 2012. dengan jumlah umatnya 37
Kepala Keluarga dan 35 Anak sekolah minggu, yang anak itu terdiri dari keluarga
Khatolik, Kristen dan Islam.
[19]Mircea
Eliade, The Myth of the Eternal Return:
Cosmos and History (New Jersey: Princenton University Press, 2005), hlm.
153.
[20]Saat
itu hingga kini, ia sebagai Ketua Isnu-Ikatan Sarjana NU; Sekjen Fkmnu-Forum
Komunikasi Muda NU; Dosen pengampu mata kuliah PAI-Pendidikan Agama Islam,
Filsafat Ilmu di STKIP PGRI- Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia, Pacitan Jawa Timur di Jln. Cut
Nyak Dien No 4A, Kec. Pacitan, Jawa Timur 63515.
[22]Abdurrahman
Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai
Indonesia Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007),
hlm. 3-4.
[23]Abdurrahman
Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita:
Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006),
hlm. 66-69.
[24]Disepakati
bahwa aturan-aturan syariah islamiyah yang disandarkan kepada dalil-dalil yang
shahih. Misalnya kaidah-kaidah umum syara yang berhubungan dengan masalah niat.
Kaidah pertama, tidak ada ganjaran kecuali adanya niat. Artinya segala perkara
itu dihukumi sesuai dengan niat pelakunya; Kaidah kedua, segala sesuatu adalah
berdasarkan kepada maksudnya. Artinya, kebijakan dan juga termasuk tindakan
atau perilaku pemimpin atas rakyat banyak harus sejalan dengan maksud
kemaslahatan. Jadi dalam kesepahaman para sarjana fiqih, para mujtahid dan imam madzhab menggunakan sedikitnya kaidah
ini untuk membangun dasar-dasar madzhab mereka, dan juga untuk menyimpulkan (istinbath)
hukum-hukum fikih furu`iyyah.
Lebih detail lihat Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pengantar
Ilmu Fiqih, Tokoh-tokoh Madzhab Fiqih, Niat, Thaharah, Shalat, Jilid 1 (Jakarta:
Gema Insani Press, 2012).
[26]Supardi & Teuku Amiruddin, Manajemen Masjid dalam Penguatan
Pembangunan Masyarakat: Optimalisasi Peran & Fungsi Masjid (Yogyakarta:
Uii Press, 2001), hlm. 28.
[27]Secaranon teknis akademis teologis, Oentoro lebih suka mendefinisikan
gereja sebagai kumpulan orang-orang pecaya, dalam jangka waktu yang tak
terbatas di dunia ini, yang dipisahkan Allah sebagai alatNya, untuk menjadi
saksi-Nya, memberitakan kasih-Nya, dan yang membawa perubahan bagi dunia ini
sebagai bagian dari rencana kekekalanNya. di dunia ini sebagai saksi-Nya Jimmy
Oentoro, Gereja Impian: Mejadi Gereja Yang Berpengaruh (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. xxxix.
[28]Konferensi
Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan
Referensi (Yogyakarta:
Kanisius, 1996), hlm. 331-332.
[29]37.
Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu
dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. 38. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. 39. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu,
ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
[31]Ibid.,
hlm. 2. Hal ini juga diakui oleh teman kuliah saya di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Haqqul Yakin ketika berdiskusi soal shalat dan hal-hal keislaman
lainnya. Ia menegaskan, “dimanapun seorang Muslim bisa dan diizinkan berdoa,
semua tanah dan tempat adalah masjid, dimana ada tempat disitulah masjid yang
dipakai untuk doa.” Yogyakarta, Selasa 30 Juni 2015, 13.50 wib.
[32]Kafrawi
Ridwan, “Sambutan Ketua Umum Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia,” dalam
Sofyan Syafri Harahap, Manajemen Masjid (Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 2001), hlm. xi.