Pendahuluan
Tulisan ini sudah dimuat dalam Sanctum
Domine, Jurnal Teologi dan Agama STTNI, Yogyakarta Vol. 1. No. 3, Edisi Februari-Agustus
2013.
Mengapa Muslim Mengingkari
Ketuhanan Yesus? Disini saya hanya ingin berfokus pada Kristologi dari persepsi
Muslim yang dibangun atas dasar pembacaan teks-teks Qur’an mengenai Yesus.
Artinya, saya tidak mau menjadi seorang prejudis disini, tetapi bertujuan ingin
lebih memahami topik ini dari kacamata mereka sendiri. Saya hanya seorang luar
(outsider) yang memposisikan diri
sebagai orang dalam (insider) dari
sisi kajian agama.
Kaitannya dengan kajian keyakinan agama,
saya suka mengingat apa yang dikatakan oleh Hans Kṻng, tidak akan ada damai
diantara bangsa tanpa damai diantara agama. Tidak ada damai diantara agama
tanpa dialog diantara agama. Tidak ada dialog diantara agama tanpa investigasi
fondasi agama.[1]
Masih sepamahaman dengan Kṻng, saya ingin menginvestigasi lebih detail, apa
dasar sebahagian Muslim (karena tidak pantas bagi seorang alim ulama untuk
mengeneralisasi komunitas masyarakat beragama Islam secara serampangan) untuk
mengingkari dimensi ketuhanan Yesus? Apa dasar keyakinan mereka yang
memberanikan mereka beriman Yesus itu bukan Anak Allah, Yesus tidak mati saat
disalibkan, dan Yesus itu bukan Tuhan dan juruselamat?
Mengamati secara mendalam mengenai
keyakinan suatu komunitas masyarakat beragama menurut kerangka berilmu, sesuai
dengan keterangan Mircea Eliade dan Charles J. Adams[2] paling sedikit ada dua
cara yang sangat standar dilakukan para pengkajinya. Pertama, hal itu dengan cara pendekatan assertif, yakni membenarkan
atau menguatkan bahagian-bahagian yang memang layak diakui untuk tujuan
tertentu. Artinya, ada bagian-bagian yang diakui oleh komunitas masyarakat
beragama lain, yang tertulis di dalam kitab suci komunitas tertentu. Hal itu secara lurus bisa dikaitkan dengan
apa yang diakui oleh sebahagian Muslim mengenai hal-hal diluar dimensi
ketuhanan Yesus, yang memang terpampang jelas tulisannya di dalam narasi
Qur’an. Kedua, pendekatan polemik,
yang teramat kuat didorong oleh tensi atau perang keyakinan teologis, yang juga
ada tulisannya di dalam Kitab suci.
Tulisan ini akan lebih ditekankan soal
polemik tersebut. Pisau analisis dari kajian ini
dipengaruhi bidang ilmu teologi sistematika yakni pada sub bagian mata kuliah Kristologi. Namun, saya hanya membidik ketuhanan Yesus yang tertulis diatas kertas kitab suci Qur’an (bukan dari isi Alkitab), yang diperjelas oleh sebahagian Muslim (karena tidak semua Muslim demikian) lewat data tertulis di buku-buku yang telah dipublikasikan.
dipengaruhi bidang ilmu teologi sistematika yakni pada sub bagian mata kuliah Kristologi. Namun, saya hanya membidik ketuhanan Yesus yang tertulis diatas kertas kitab suci Qur’an (bukan dari isi Alkitab), yang diperjelas oleh sebahagian Muslim (karena tidak semua Muslim demikian) lewat data tertulis di buku-buku yang telah dipublikasikan.
Polemik Kristologi Muslim dan Kristen
Jika ditilik dari sisi historis hingga
kini, dari sisi Muslim terkait dengan Kristologi, polemik ini
belum selesai. Artinya, mengenai dimensi keillahian Yesus lebih sering diingkari. Dari sisi Kristen, nyatanya tidaklah lebih baik. Kita belum tahu betul (rasanya tidak mungkin tahu, membaca teks asli Qur’an pun belum pernah, dan tentulah banyak diantara kita yang sebetulnya tidak sanggup), apa dan bagaimana isi Qur’an sudah merasa benar dan superior terlebih dahulu secara teologis. Kita dan mereka ternyata melakukan pendekatan yang sama, ketika itu terkait dengan keillahian Kristus. Hal itu juga terjadi berdasarkan pembacaan terhadap teks kitab suci masing-masing. Rupanya, kedua pendekatan hal ini belum berujung, entah hingga kapan.
belum selesai. Artinya, mengenai dimensi keillahian Yesus lebih sering diingkari. Dari sisi Kristen, nyatanya tidaklah lebih baik. Kita belum tahu betul (rasanya tidak mungkin tahu, membaca teks asli Qur’an pun belum pernah, dan tentulah banyak diantara kita yang sebetulnya tidak sanggup), apa dan bagaimana isi Qur’an sudah merasa benar dan superior terlebih dahulu secara teologis. Kita dan mereka ternyata melakukan pendekatan yang sama, ketika itu terkait dengan keillahian Kristus. Hal itu juga terjadi berdasarkan pembacaan terhadap teks kitab suci masing-masing. Rupanya, kedua pendekatan hal ini belum berujung, entah hingga kapan.
Tulisan ini memasuki ranah yang tidak
mengkaji soal keduanya. Saya lebih suka untuk membongkar apa sebetulnya pemahaman
Muslim dibalik pendekatan polemik itu. Apa alasan logis dari sisi Qur’an yang
diimani oleh sebahagian Muslim untuk mengingkari dimensi ketuhanan Yesus, yang
juga dikonstruksi berdasarkan naskah Qur’an.
Bagi saya, untuk bisa memahami ajaran
Islam dan dasar keyakinan beriman Muslim, lebih berguna jika melihat keyakinan
mereka berdasarkan kitab suci mereka. Seseorang tidak akan sesat hanya karena
rela membaca kitab suci orang lain. Ia juga tidak akan murtad hanya karena
kuliah di universitas yang bukan agamanya. Kamu juga tidak akan jauh lebih
dekat dengan Tuhan hanya karena belajar memahami (bukan mengimani) Tuhan orang
lain. Semua kita punya hak untuk mempelajari (bukan menjalankan) ajaran agama
lain. Tetapi, tak seorangpun kita berhak untuk menyatakan apa dan siapa yang
pantas untuk dibenarkan dan memiliki hak untuk benar sendirian.
Siapakah kita ini yang memiliki hak
untuk menyatakan seseorang Muslim telah bersalah atau berdosa, ketika ia yakin
berdasarkan Firman Allahnya yang tertulis. Apakah kita berhak untuk
menjustifikasi teks tulisan Qur’an itu telah salah atau palsu, atau
dikarang-karang manusia semata-mata? Bolehkan kita menghentikan seseorang untuk
beriman kepada Allah yang ditulis di dalam Kitab Tuhannya? Apakah yang terjadi,
jika hal itu dipaksakan kepada Kristen dan Firman Tuhannya?
Alangkah lebih baik untuk mengarahkan
seseorang untuk mengerti isi dan makna kitab sucinya sendiri dan dengan isi
tulisan kitabnya itu sendiri, yang ternyata ada bahagian penjelasan lain yang bisa
membuatnya semakin yakin dan beriman kepada Yesus secara komprehensif lewat
pembacaan Qur’an dengan cara pemahaman yang lebih benar, ketimbang serta-merta menginjili dan memaksanya untuk
langsung percaya pada Yesus karena tulisan Alkitab Kristen? Disinilah diperlukan
pendekatan dari dalam pemahaman Muslim itu sendiri mengenai Yesus berdasarkan
Qur’an, tanpa ingkar pada Alkitab.
Saya tidak lupa untuk menampilkan
beberapa bagian yang umum diterima dan tidak pernah selesai disepakati oleh
Muslim dan Kristen mengenai Kristologi seperti daftar selanjutnya. Item-item kesepakatan teologis
ini bisa menjadi titik berangkat melakukan gerakan perdamaian dari dalam untuk
saling mencerahkan dan mendamaikan “perang teologia” (theological war) akibat dari perbedaan pandang diantara Muslim dan
Kristen, daripada ngotot pada wilayah yang berbeda. Berikut beberapa item perbedaan dan kesamaan padang
tersebut.
- Manusia jadi Nabi utusan Tuhan seperti Muhammad SAW dan nabi Islam lainnya
- Anak Manusia (Maria) bukan Anak Allah
- Tidak pernah mati disalibkan, tetapi diraibkan ke sorga oleh intervensi Tuhan
- Mesias atau juruselamat hanya untuk komunitas Yahudi dan Kristen saja
- Tuhan itu Esa bukan tiga
- Anak Allah sendiri
- Tuhan yang berinkarnasi
- Juruselamat semua umat manusia siapa saja
- Telah mati disalibkan oleh intervensi Tuhan, meskipun bangkit lagi
- Satu bagian dari Trinitas
Kesepakatan Pandang Keyakinan Islam
dengan Iman Kristen:
- Tidak berdosa
- Lahir dari gadis perawan
- Melakukan mujizat
- Firman Allah
- Akan datang kedua kali
- Mesias
Saya melihat pendekatan dari dalam atau
yang saya sebut saja dengan “insider
movement.” Ini sebuah kebutuhan akademis untuk membangun jembatan aksi
akademis diantara alim ulama (ilmuwan) Kristen dan cendikiawan Muslim, yang
sering dilupakan orang karena lebih asik terhadap tensi dan perang-perangan
tadi, tanpa mencoba mencari, mengapa Muslim sampai bisa yakin tidak salah atau
tidak berdosa untuk mengingkari ketuhanan Yesus.
Untuk menaruh respek diantara kedua
komunitas masyarakat beragama terbesar di dunia ini, saya malahan menggugah
rasa kita semua untuk salaing menaruh simpati mendalam. Kiranya kita, khususnya
Kristen lebih baik semakin sering bertanya: mengapa ada 1.2 milliar lebih orang
memeluk agama ini, dan setiap detik peningkatannnya semakin meninggi di tengah
wilayah dunia ini, dari benua Atlantik ke Afrika ke kepulauan Indonesia, yang
dulunya diinjak kaki-kaki misionaris Kristen, dari puncak pengunungan Asia
Tengah hingga ke Mozambik?
Mengapa Islam menjadi agama terbesar
kedua setelah Kristen, dan sedang ada kecemasan,
akan ada masa tertentu nantinya akan menjadi yang agama terbesar dan menjadi superpower dunia karena jumlah penganutnya yang amat militan (taat) berTuhan? Mengapa agama ini menjadi sesuatu yang digandrungi oleh Eropa dan Barat (yang terkenal rasional) dengan semakin berjubelnya orang disana konversi ke Islam, dan bahkan dengan bangga mempertontonkan dirinya dan attributnya sebagai Islam kepada dunia?
akan ada masa tertentu nantinya akan menjadi yang agama terbesar dan menjadi superpower dunia karena jumlah penganutnya yang amat militan (taat) berTuhan? Mengapa agama ini menjadi sesuatu yang digandrungi oleh Eropa dan Barat (yang terkenal rasional) dengan semakin berjubelnya orang disana konversi ke Islam, dan bahkan dengan bangga mempertontonkan dirinya dan attributnya sebagai Islam kepada dunia?
Mengapa agama ini menjadi gerakan sosial terbaru dan yang paling lama ada dan yang paling universal? Mengapa bisa lebih dari alat internasional lainnya untuk menyatukan orang-orang nomaden Barbar, Nomaden Timur Tengah Arabia, Utara, Timur dan Barat Afrika? Mengapa
mampu menggerakkan ras Turki, Bosnia, Albania, Persia, Pakistan, Afganistan, India, China dan Melayu untuk bangkit di tengah ketertindasan dan kolonialisma Barat dan kapitalismenya, yang meskipun berbeda dalam peradaban bisa disekutukan oleh Islam? Dimana sebetulnya letak kekuatan Islam yang kuat dan mengagumkan bagi sebahagian orang itu bisa memilitansi orang untuk berjuang, berjihad, dan bahkan rela mati bunuh diri, menenteng AK 47 dan senapan mesin otomatis lainnya (layaknya Ramboo) disamping badannya tercabik-cabik bom bunuh diri hasil rakitan sendiri, hanya demi membela jalan lurus Allah?
Apa sumber daya dan bagaimana mereka
mengelola dan mengoptimalkannya hingga sedang
ditakuti sebagai bangsa superpower baru di dunia? Apa nilai, simbol inti pesan dan hakikat kebenaran Islam yang menjadi elemen penguat dan pengikat secara dunia? Apa yang membentuk karakter hidup Muslim, partai politik, negara Islam bahkan hingga kampung Muslim, dari bank syari’ah Islam hingga handphone dan baju Islam? Apa kelamahan dan kejatuhan mereka? Apakah kritik terhadap diri mereka sendiri yang dibutuhkan sebagai pertanyaan untuk memperbaiki hidup umat manusia ini?
ditakuti sebagai bangsa superpower baru di dunia? Apa nilai, simbol inti pesan dan hakikat kebenaran Islam yang menjadi elemen penguat dan pengikat secara dunia? Apa yang membentuk karakter hidup Muslim, partai politik, negara Islam bahkan hingga kampung Muslim, dari bank syari’ah Islam hingga handphone dan baju Islam? Apa kelamahan dan kejatuhan mereka? Apakah kritik terhadap diri mereka sendiri yang dibutuhkan sebagai pertanyaan untuk memperbaiki hidup umat manusia ini?
Harapannya, dengan semua itu dikaji
secara mendalam dan akademik, bukan lagi hanya seputar bisa membuat jembatan
dialog antar umat beragama yang sehat, menghubungkan tali rahim orang yang
terputus karena beda Tuhan dan cara berTuhan? Tetapi, juga menyumbang peta perjalanan
intelektual yang saling memberikan kontribusi kedamaian. Bukan lagi hanya
pengingkaran dan saling perang teologis yang berujung pada perang senjata
biologi massal? Paragraf terakhir ini menggiring saya untuk langsung menginvestigasi
dasar-dasar pemahaman teologis yang mereka konstruksi sejak abad ke enam hingga
detik ini mengenai pengingkaran tentang Kristologi seperti tertulis di dalam
Qur’an.
Kristologi seperti Tertulis di Qur’an
Pertama, bagi Muslim rasanya tidak mungkin lagi untuk mengakui kebenaran
iman Kristen dalam Kristus pada fakta biblikal bahwa Yesus adalah Anak Allah (the idea of Divine Sonship). Kedua, fakta historis dari Yesus mati
disalibkan atau kematian Kristus lewat penyaliban (the death of Christ by crucifixion). Ketiga, fakta internasional mengenai pusat iman Kristen, bahwa
Yesus adalah juruselamat (Jesus is the
Lord and Savior) bagi siapa saja umat manusia yang mau atau bersedia dengan
rela hati percaya atau beriman kepadanya sebagai Tuhan dan juruselamat, dengan
cara mengaku dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hati,
bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati akan diselamatkan, lebih
dari titel atau attribut keillahian dan kemanusiaan lainnya. Saya akan
menjelaskan ketiga itu lebih detail disini.
Yesus adalah Anak Allah
Kebanyakan Muslim tidak menerima dengan iman atau mengingkari fakta kebenaran pengajaran Kristen tentang Yesus adalah Anak Allah (the Son of God). Hal ini didasarkan pada kemustahilan Tuhan di dalam tubuh manusia (God in human flesh). Mereka melihat konsep
Yesus Anak Allah ini dari sisi biologis, bukan dari dimensi supernaturalis. Cara pandang kongkrit mereka terhadap terminologi “anak” dikala itu ada dua hal. Pertama, yakni “ibn” yang dikaitkan dengan kepemilikan Tuhan, diartikan bahwa Tuhan “menikah” secara biologis dan melahirkan anak. Kedua, cara pandang lain soal proses peranakan dalam terminologi Arabis adalah “walad,” yang artinya, seorang anak yang lahir melewati proses seksual. Artinya, semua manusia yang lahir secara “walad” harus lewat proses itu, layaknya orang kebanyakan.
Ide secara biologis yang melahirkan
Yesus yang menyatukan atau mengawinkan Tuhan dengan seorang perempuan ting-ting,
yakni si perawan Maria, dinilai tidak logis secara struktur dan hakikat
perkawinan. Hal itu dengan bagunan logika berpikir, bahwa yang transenden atau
yang kekal abadi tidak mungkin bisa lahir secara natural layaknya manusia
kebanyakan. Jika hal itu diterima, maka hal itu menghujat Allah dan menodai
lembaga perkawinan itu sendiri. Bagi
mereka, Tuhan itu lain dari manusia biasa, IA tidak beranak dan tidak juga
diperanakkan. (Bacalah Surat Al-Ikhlash
ayat 3). “Katakanlah: "Dia-lah
Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia.”
Apa sebenarnya yang
terjadi sebelumnya dalam setting sosial dan kultural ketika Firman Allah itu
dinujulkan (diwahyukan Allah turun ke bumi secara inspirasional oleh Tuhan
kepada nabi Muhammad SAW oleh malaikat Jibril) di masa itu? Latar belakang
masalah ini perlu terlebih dahulu, sehingga kita mengerti betul, apa
penyebabnya Muslim berkeyakinan yang tidak sama dengan Kristen soal
diperanakkkan tersebut.
Seperti pengakuan dari
mereka sendiri, misalnya Islam Kotob, Abdullah
Yusuf Ali, Samina Yasmeen, Halim Rane, Muhammad Saed Abdul-Rahman dikala Qur’an ditulis,
setting sosial dan peradaban dunia Arabia memang dalam latar belakang komunitas
masyarakat bergama yang amat polytheisme dan paganisme.[4]
Saya melihat, dengan
latar sosial dan kultural itulah, makanya tidak heran keyakinan teologis Muslim
yang masuk dari dalam teks dengan tegas menyatakan, Allah tiada beranak-pinak
dan
tidak dianaki oleh apapun. Hal itu hanya bertujuan untuk menskralkan ketauhidan agama itu atau mengagungkan keesaan Tuhan semata. Disamping sebagai upaya doktrinal secara sistematis berfondasikan Qur’an, untuk menjaga Allah itu tidak boleh disatuin, dipartisi, diasosiasi (disekutukan), atau dicampu-campur dengan illah-illah buatan imajinasi manusia.
tidak dianaki oleh apapun. Hal itu hanya bertujuan untuk menskralkan ketauhidan agama itu atau mengagungkan keesaan Tuhan semata. Disamping sebagai upaya doktrinal secara sistematis berfondasikan Qur’an, untuk menjaga Allah itu tidak boleh disatuin, dipartisi, diasosiasi (disekutukan), atau dicampu-campur dengan illah-illah buatan imajinasi manusia.
Kemudian, pada bagian lain, Yesus dilihat
secara literal, yakni seperti tertulis sendiri di dalam Alkitab, yakni ucapan
dari mulut Yesus sendiri. Ia seringkali berkata “Anak Manusia (Son of Man).” Misalnya di dalam Matius
8:20; 17:22; 19: 28; 26:64; Lukas 9:22; 9:58; 18:31; Yohanes 1:51; 6:53; 9:35;
13:31. Artinya, penjelasan soal Yesus memang sebatas anak manusia belaka karena
hasil pembacaan teks kitab suci yang tersurat.
Di sisi lain, seperti penjelasan dari David Emmanuel
Singh, bahwa Yesus sebagai nabi yang
sejatinya adalah manusia biasa, seperti kebanyakan manusia lainnya (seperti yang diakui oleh Alkitab itu sendiri), yang diakui Kristen sebagai Anak Allah membawa pemahaman, yakni seorang manusia nabi (a human prophet) yang memiliki bagian didalam dimensi (to share in the divinity of God) ketuhanan, merupakan upaya penghujatan kepada Allah.[5]
sejatinya adalah manusia biasa, seperti kebanyakan manusia lainnya (seperti yang diakui oleh Alkitab itu sendiri), yang diakui Kristen sebagai Anak Allah membawa pemahaman, yakni seorang manusia nabi (a human prophet) yang memiliki bagian didalam dimensi (to share in the divinity of God) ketuhanan, merupakan upaya penghujatan kepada Allah.[5]
Di otak Muslim, bahwa Allah adalah oknum
yang superior dan sempurna dalam keallahannya, tidak akan mau menghinakan
dirinya menjadi manusia. Disini tergambar jelas, bagaimana mereka sangat
mencintai dan menghormati Allah itu sendiri. Dengan demikian, mereka melihat
Yesus itu hanya sebagai anak manusia biasa yang dilahirkan oleh perempuan
khusus yang sejatinya juga adalah manusia biasa karena memang Qur’an menyatakan
demikian adanya.
Memang, jika ditilik dari penjelasan
dari Qur’an sendiri yang mengatakan Yesus adalah anak
kandung Maria. Hal itu disebutkan sebanyak 23 disebut-sebut disana. 16 kali diulang-ulangi Yesus (Isa) itu putera Maria (Maryam), dan 7 kali hanya disebut putera Maria Misalnya tertulis jelas di dalam Surat Ali Imran ayat 45: “(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih 'Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).”
kandung Maria. Hal itu disebutkan sebanyak 23 disebut-sebut disana. 16 kali diulang-ulangi Yesus (Isa) itu putera Maria (Maryam), dan 7 kali hanya disebut putera Maria Misalnya tertulis jelas di dalam Surat Ali Imran ayat 45: “(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih 'Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).”
Selanjutnya isi tulisan Qur’an sendiri
sebagai fondasi argumen mereka bahwa Yesus itu anak Maria, yakni dari pemahaman
terhadap Surat Ali Imran ayat 47: “Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak,
padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah
berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa
yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah
hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.”
Jika dilihat dari dimensi Son of Man, hal itu tidak seluruhnya
menyesatkan, karena kitab suci bersaksi demikian adanya. Hal itu ditambahkan
dengan dasar argumen analogis secara biologi yang dibangun, bahwa Jesus tidak
dapat dipanggil Anak Allah karena IA tidak memiliki bapak
biologis dari peristiwa konsepsi seperti bayi yang lahir pada umumnya. Artinya, bagi sebahagian mereka seperti Ulfat Aziz-Us Samad, istilah itu hanya berupa makna dan rasa metaforikal semata (only in a methaforical sense).[6] Dengan itulah mereka meyakini, jika Allah itu beranak dan dianakkan, maka dimata Islam, hal itu menciderai atau mencemari kesempurnaan dari Allah.
biologis dari peristiwa konsepsi seperti bayi yang lahir pada umumnya. Artinya, bagi sebahagian mereka seperti Ulfat Aziz-Us Samad, istilah itu hanya berupa makna dan rasa metaforikal semata (only in a methaforical sense).[6] Dengan itulah mereka meyakini, jika Allah itu beranak dan dianakkan, maka dimata Islam, hal itu menciderai atau mencemari kesempurnaan dari Allah.
Apakah hanya sebahagian atau satu
dimensi manusia belaka, demikian pemahamannya? Abdiyah Akbar
Abdul-Haqq sendiri mengakui, bahwa alasan Yesus memilih mengatakan atau
mengucapkan kata “Anak manusia” itu sebagai suatu penjelasan apokaliptis dan
pemaparan secara komprehensif tentang representasi dirinya Yesus sebagai
manusia biasa (pen. bukan wujud daging manusia belaka) dan missi atau panggilan
messianisNya.[7]
Penggunaan kata itu oleh
Yesus ketika Ia sedang mengklaim kuasa dan otoritasnya terhadap banyak hal.
Misalnya, “Karena Anak Manusia
adalah Tuhan atas hari Sabat.” Dan, dalam Matius 12: 8 “Tetapi
supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa”
dalam Markus 2:10, dan
peristiwa-peristiwa yang mempertontonkan superioritas keillahian Yesus.
Pemahaman Muslim soal
dimensi ke-anak Allah-an ini, menunjukkan adanya limitasi Allah dalam hal
kemanusiaan. Yang menjadi pertimbangan tindak lanjut soal ini sesuai dengan
Qur’an dan Alkitab Jesus memang tidak ada hubungannya dengan ayah manusia
secara
konsepsi biologis. Artinya, rupanya memang, Yesus tidak bisa hanya dimaknai secara akaliyah dan konsep perkawinan manusia biasa dan gambaran umum otak manusia mengenai peranakan dan perbapaan secara seksualitas. Disini timbul pertanyaan lanjutan. Jika ada diantara kita yang mengingkari Yesus tidak pantas disebut Anak Allah, maka siapa yang bisa memberikan penjelasan siapa lagi yang bisa menjadi bapaNya?
konsepsi biologis. Artinya, rupanya memang, Yesus tidak bisa hanya dimaknai secara akaliyah dan konsep perkawinan manusia biasa dan gambaran umum otak manusia mengenai peranakan dan perbapaan secara seksualitas. Disini timbul pertanyaan lanjutan. Jika ada diantara kita yang mengingkari Yesus tidak pantas disebut Anak Allah, maka siapa yang bisa memberikan penjelasan siapa lagi yang bisa menjadi bapaNya?
Saya sepemahaman
dengan Samy Tanagho, bahwa alasan logis manusia Tuhan tidak mungkin bisa punya
anak tanpa seorang ayah, itu mengasumsikan Allah memiliki ketidakmampuan dalam
urusan manusia. Hal itu sama saja dengan Allah tidak bisa hidup tanpa bernafas.
Meskipun benar adanya, tidak ada sesuatu yang hidup tanpa bernafas. Allah
tentunya tidak bergantung pada nafas untuk hidup, bukan? [8] Meskipun terminologi Arabis tentang “walad” dan “ibn” itu
diartikan sesuai dengan kultur mereka, tetapi peranakan dan perbapaan Yesus
bukan dalam rasa ini.
bukan biologis. Lagipula, kata “ibn” bisa dipakai tanpa melulu dikaitkan secara lurus-lurus soal kesatuan seksual. Misalnya, karena saya lahir di desa Habatu, Kec. Pematang Bandar, Kota, Siantar, dari Medan, Sumatera Utara sana, kami seringkali disebut-sebutkan sebagai “Anak Habatu,” “Siantar Man,” atau “Anak Medan,” bukan berarti, saya anaknya si Habatu, si Siantar, atau si Medan, bukan?
Adakah
diantara kita, yang memiliki izin khusus untuk melarang Allah untuk menyabut
Yesus itu AnakNya, yang mana Ia tidak melarangnya disebut demikian? Allah itu
Akbar, lebih akbar dari kekuasaan, otoritas, dan keterbatasan manusia. Tidak
seorangpun manusia, yang bisa mengurungnya dalam perangkap keterbatasan
akaliyahnya. Dan, tidak seorangpun memiliki kebebasan, yang mampu membatasi
keakbarannya, bukan?
Yesus Mati Disalibkan
Penjelasan berikut ini mengenai proses
dari kematian Yesus lewat fakta historis dan biblikal mengenai penyaliban
Yesus. Memang, jika diamati secara detail dan mendalam tentang fakta mati
disalibkan, merupakan sesuatu yang tidak mungkin dan merupakan pemahaman belum komprehensif bagi Muslim,
meskipun itu dibangun atas dasar pembacaan terhadap teks Qur’an.
Oleh
karena pemahaman soal Allah yang begitu amat menempatkanNya serba maha, maka,
sesuai dengan keyakinan kebanyakan Muslim, Yesus itu diraibkan (mutawaffi-ka) atau dibawa ke sorga tanpa melalui proses kematian seperti yang diimani kebanyakan orang Kristen. Bagi Muslim sesuai dengan ajaran Kitab Suci mereka yang tertulis secara literal, yakni dalam Surat An-Nisaa ayat 157 dituliskan: “dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, 'Isa putra Maryam, Rasul Allah padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yangg (pembunuhan) 'Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa”.
sesuai dengan keyakinan kebanyakan Muslim, Yesus itu diraibkan (mutawaffi-ka) atau dibawa ke sorga tanpa melalui proses kematian seperti yang diimani kebanyakan orang Kristen. Bagi Muslim sesuai dengan ajaran Kitab Suci mereka yang tertulis secara literal, yakni dalam Surat An-Nisaa ayat 157 dituliskan: “dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, 'Isa putra Maryam, Rasul Allah padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yangg (pembunuhan) 'Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa”.
Intinya
disana, bahwa mereka tidak membunuhnya, juga tidak menyalibkannya. Bagi mereka,
Yesus diselamatkan (taken up to haven)
oleh Allah ke sorga, sehingga Ia tidak pernah mati di salib. Itu sengaja dibuat
demikian oleh intervensi Allah (Devine
intervention) untuk menampilkan (wa
lakkin shubbiha lahum) agar kelihatan demikian adanya tersalib kepada
mereka, padahal, seseorang telah menggantikan tempatnya di salib tersebut.
Saya
akan meneruskan penjelasan tentang kata shubbiha lahum itu. Bagi Muslim, seperti
penjelasan dari Mahmoud Ayyoub[9], bahwa kata shubbiha lahum tersebut diyakini sebagai
seseorang manusia dijadikan sendiri Allah oleh intervensi kedaulatan dengan peristiwa
super cepat dariNya, sehingga orang tersebut terlihat jelas sama persis seperti
(another was made
to bear his likeness) perawakan atau perwajahan (shabah) Yesus itu sendiri dengan maksud menggatikan posisi atau bertukar tempat untuk mati dan tergantung di kayu salib tersebut. Klaim dari beberapa bagian teolog Muslim, orang tersebut adalah Simon dari Kirene, ataupun Yudas, dimana mereka ini diyakini lahir sama persis seperti perawakan atau perwajahan Yesus.
to bear his likeness) perawakan atau perwajahan (shabah) Yesus itu sendiri dengan maksud menggatikan posisi atau bertukar tempat untuk mati dan tergantung di kayu salib tersebut. Klaim dari beberapa bagian teolog Muslim, orang tersebut adalah Simon dari Kirene, ataupun Yudas, dimana mereka ini diyakini lahir sama persis seperti perawakan atau perwajahan Yesus.
Bagi Muslim, Allah yang maha kuasa akan
selalu melindungi semua nabi-nabi utusannya dan tidak mengizinkannya untuk
dibunuh atau terbunuh.[10] Pemahaman tekstual Qur’an
ini menjelaskan banyak hal dan mendasar, mengapa mereka mengingkari Yesus mati
disalibkan. Misalnya dalam Surah Al-Maidah ayat 110. Memang, ada dasar
argumentasi untuk mengatakan ada sesuatu yang terbilang kontraproduktif disini.
Jika kita juga mengikuti makna tekstual dari literasi Qur’an, yakni Surat
Maryam ayat 33, yang mengaku secara jelas, bahwa Yesus memiliki hari kelahiran (meskipun,
sayang sekali Ia tidak punya akta kelahiran kala itu), kematian, dan bangkit
dan hidup kembali.
Kontras dengan fakta sejarah dan data
tertulis Alkitab, secara apologis, mereka meyakini ayat itu tidak bisa
dikaitkan secara lurus dengan peristiwa penyaliban dan kebangkitan Yesus
seperti pada pengajaran iman Kristen. Tetapi, hal itu berhubungan langsung
dengan kedatangan Yesus yang kedua kali nantinya. Ketika Ia akan mati, bangkit
dan hidup kembali layaknya nabi-nabi utusan Allah lainnya pada hari penghakiman
terakhir. Ini menandaskan bahwa pemahaman teologis kita soal eskatologi Yesus
di dalam Qur’an dan Alkitab memliki logika bernalar yang berlainan alur.
Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat
11 kali dalam 97 kali Yesus (Isa, dalam
terminologi Arabis) disebut dalam Qur’an, Ia dikaruniai nama, (title) “The Messiah, Jesus” atau “Al-Masihu,
Isa” (Bacalah Surat An-Nisaa ayat 171; dan Surat Al-Maidah ayat 72). Dilihat
dari dalam makna pengajaran Islam, Messias lebih tepat diartikan sebagai
“Seorang yang diurapi (the anointed one)”
laiknya seperti yang
diberlakukan kepada nabi Muhammad SAW. Intinya, seperti
penjelasan dari Ruqaiyyah Waris Maqsood, Anne Geldart, B. Kataregga, D. Shenk, Ibn
El-Neil, bahwa Yesus itu bukan Tuhan dan juruselamat. Ia hanya diposisikan nabi
yang hebat, yang merupakan Nabi utusan Allah. Alasannya, nabi itu manusia tidak
mungkin sebagai atau menjadi Tuhan[11].
Selanjutnya, seperti kata Barbara M. Cooper, ekspressi kata Messias dalam horison Yesus
sebagai Tuhan dan juruselamat, yang mana itu merupakan penggabungan dimensi
makna Isa sebagai manusia dan Tuhan sebagai Allah yang transenden. Hal itu
merupakan usaha manusia bahwa mengikatkan (to
bind) Allah kepada suatu jaringan atau hubungan manusia, dan mengukur
kepantasan atau kepatutan Tuhan sebagai peristilahan dalam pemikiran akal
manusia. Bagi Muslim, Allah itu tidaklah manusia dan sebaliknya. Allah itu
Akbar, dan salah satu attribut
kemahabesaranNya itu tidak bisa direduksi atau disubordinasikan dalam hubungan
sosial manusia.[12]
Bagaimana konsep
manusia dan penebusan dibenak Muslim? Hava Lazarus-Yafeh berkata, dalam
pemahaman teologi penebusan untuk keselamatan tidak ada konsep seperti itu di dalam
Islam, dan itu bukanlah konsep yang sentral bagi mereka. Muslim tidak
memerlukan penebusan untuk keselamatan. Hanya dengan menerima dan menjadi Islam
atau berdoa
menghadap kiblat atau wajah Allah ke Mekkah (Ahl-al-Qibla), mereka telah menerima ketebusan dari hal-hal yang
dilarang agama secara spiritual di dunia ini, dan juga secara fisikal di dunia
yang akan tiba, termasuk akhirat.[13] Hal itu diperkuat dengan ajaran fitrah (manusia itu sejak lahirnya
memang baik), yang diperlukan hanya menyembah Allah, mengikuti perintah dan
menjauhkan larangannya, sehingga keadaan manusia yang fitrah itu, dan upaya
manusia mengikuti hidayah atau petunjuk Allah lewat Firmannya mengakibatkan
Muslim tidak mementingkan ide-ide penebusan, seperti yang diutamakan di dalam ajaran
Kristen.
Mahmoud M. Ayoub
sendiri memang mengakui, bahwa faktanya, penebusan salah satu tujuan
utama hidup yang akhir (the primary goal of the life) dari komunitas masyarakat beragama termasuk Islam menyangkut keselamatan diakhir hidup. Keselamatan lewat penebusan merupakan pemberian pemberian hidup yang kekal oleh Tuhan. Seringkali hal-hal itu dialami lewat atau ditandai dengan adanya suatu peristiwa kematian. Artinya, setiap orang yang beragama termasuk Muslim memiliki upaya-upaya doktrinal untuk pencarian keselamatan (the quest for salvation).[14] Dengan begitu, kemesiasan atau missi messianisnya Yesus dianggap missi keillahian terbatas, yakni untuk komunitas umat pilihanNya, yakni Yahudi semata, dengan pertimbangan Ia memang datang darisana.
utama hidup yang akhir (the primary goal of the life) dari komunitas masyarakat beragama termasuk Islam menyangkut keselamatan diakhir hidup. Keselamatan lewat penebusan merupakan pemberian pemberian hidup yang kekal oleh Tuhan. Seringkali hal-hal itu dialami lewat atau ditandai dengan adanya suatu peristiwa kematian. Artinya, setiap orang yang beragama termasuk Muslim memiliki upaya-upaya doktrinal untuk pencarian keselamatan (the quest for salvation).[14] Dengan begitu, kemesiasan atau missi messianisnya Yesus dianggap missi keillahian terbatas, yakni untuk komunitas umat pilihanNya, yakni Yahudi semata, dengan pertimbangan Ia memang datang darisana.
Meskipun demikian terang-benderangnya
secara literal secara tertulis maksud dari kemesiasan Yesus sebagai Anak Allah
lewat proses berinkarnasi dengan cara dan pilihan sadar Tuhan sendiri; mati
dengan cara dibunuh di atas tiang palang salibNya untuk memberikan jalan
keselamatan; Yesus dengan setia bahkan taat sebagai bukti Ialah juruselamat
atau penebus dosa manusia, bagi Muslim missi mesianis dalam rangka penebusan,
memiliki arti yang tersendiri-sendiri.
Ziauddin Sardar menyatakan, konsep
keselamatan dalam Muslim diartikan secara “falah,”
yang artinya lebih ditarik kepada keselamatan mengenai hal-hal sosial saja,
misalnya kemakmuran, kesejahteraan.[15] Keselamatan dalam batasan
itu akan diterima Muslim ketika
ia masuk dan menjadi Islam dan taat menjalankan syariah agama selama hidupnya. Seorang Muslim tidak memerlukan keselamatan dalam proses pertobatan atau penebusan dan selanjutnya dalam rangka menerima keselamatan secara teologis (layaknya iman Kristen). Pertobatan lebih bersifat penyesalan dan tidak alpa melakukan amal jariah. Allah akan memberikan hidayah (tuntunan) kepada Muslim untuk menyanggupi mereka berbuat itu.
ia masuk dan menjadi Islam dan taat menjalankan syariah agama selama hidupnya. Seorang Muslim tidak memerlukan keselamatan dalam proses pertobatan atau penebusan dan selanjutnya dalam rangka menerima keselamatan secara teologis (layaknya iman Kristen). Pertobatan lebih bersifat penyesalan dan tidak alpa melakukan amal jariah. Allah akan memberikan hidayah (tuntunan) kepada Muslim untuk menyanggupi mereka berbuat itu.
Kesimpulan
Jawaban pertanyaan judul tulisan ini
muncullah dibagian akhir ini. Mengapa Muslim melakukan pengingkaran dimensi
Ketuhanan di dalam diri Yesus? Saya melihat itu merupakan bagian tersulit yang
ditemukan jawabannya. Namun demikian, saya bisa memaklumi pemikiran teologis
dan dasar penolakannya. Hal itu terjadi karena memang Muslim membangun
pengajaran tentang Yesus berdasarkan narasi yang tersurat jelas di dalam Kitab
suci secara literal.
Bahkan, jika mengikuti
pernyataan dari Maurice Borrmans, bahwa, Qur’an sendiri memang menyangkal Yesus
dalam misteri keillahiannya dan semua pengetahuan tentang Yesus yang menyangkut
hal-hal ketuhanannya,[16] bukan soal-soal nama-nama, perbuatan-perbuatannya
yang hebat, kata-kata, anak manusia, salib, proses akhir cerita penyaliban. Dari sisi ini, tidak semua soal Kristologi disangkal atau diingkari
oleh Muslim dan ajaran Islam.
Artinya juga, Kristologi ternyata Al-Qur’aniah dan Alkitabiah yang sangat kuat karena ada teks-teks yang bisa dipakai berulang-ulang untuk membangun dasar-dasar pengajaran ini, meskipun tetap harus diwaspadai kebenaran dan penyimpangannya.
Artinya juga, Kristologi ternyata Al-Qur’aniah dan Alkitabiah yang sangat kuat karena ada teks-teks yang bisa dipakai berulang-ulang untuk membangun dasar-dasar pengajaran ini, meskipun tetap harus diwaspadai kebenaran dan penyimpangannya.
Dari sisi Kristen, yang perlu diketahui
kawan-kawan Muslim, bahwa penolakan ketiga pusat ajaran Kristen secara
fundamental ini menciderai hati dan rasa teologis orang percaya pada Kristus
dan mengganggu perkembangan iman Kristen, yang mana telah ada kesepakatan
teologis diantara Kristen soal inkarnasi. Kristus adalah inkarnasi Anak Allah
menjadi daging sama seperti manusia biasa lainnya, yang telah memberikan hidup
atau nyawanya sendiri untuk menebus (to
redeem) manusia dari dosa sebagai bukti historis dan biblis Yesus itu Tuhan
dan juruselamat.
Pengingkaran Muslim ini menimbulkan
reaksi yang beragam dari banyak orang Kristen. Pertama, hampir banyak orang Kristen yang menjustifikasi secara
sepihak, bahwa Islam adalah pengajaran teologi yang sesat secara keseluruhan. Oleh karena itu, orang-orang ini
mengadopsi kebijakan teologis secara aggresif dengan mempropagandakan kebenaran
ajaran Kristen tanpa melibatkan atau mengacuhkan persepsi Muslim soal
pengajaran-pengajaran itu.
Kedua, mereka menjauhkan jarak dengan Muslim agar tidak
lagi bangkit komunikasi atau pertengkaran atau perang teologis yang berkepanjangan seputar doktrin itu.
lagi bangkit komunikasi atau pertengkaran atau perang teologis yang berkepanjangan seputar doktrin itu.
Ketiga, sebahagian lain mereka, terus-menerus berupaya menempatkan persepsi bahwa
Muslim adalah orang beriman yang baik, dan yang melihat Kristus supaya
dimengerti dengan jelas dan lengkap sehingga iman Kristen ini perlu diterima
oleh pemahaman Muslim. Ketiga reaksi ini sebetulnya
merupakan tiga model tipologi persepsi atau cara berpikir orang Kristen
terhadap saudara sepupunya di dalam Kristus mengenai Kristologi, yakni Muslim
itu sendiri.
[1]Baca
lebih mendalam Hans Kṻng, Islam: Past,
Present and Future, translated by John Bowden from German “Der Islam: Geschichte, Gegenwart, Zukunft”
(Oxford, UK: Oneworld Publications, 2007), di bagian D.IV “New Approaches to
Theological Conversation” khususnya “Dialogue about Jesus,” h. 458-503.