Elia Tambunan[1]
Materi Seminar Mahasiswa
Teologi dan PAK STT "Nazarene" Indonesia, Yogyakarta, Kadisoka 9 Maret 2012.
A. Mengapa harus Diseminarkan?
Pendidikan
tinggi teologi Kristen (PTTK) sedang berada tepat di pusaran zaman
post-modernitas. Banyak fenomena keagamaan yang bermunculan di zaman “kayak gitu”, yang tidak pernah diduga
sebelumnya. Saya lebih senang
menggunakan PTTK agar terlihat lebih general, yakni semua program studi di STT.
Kali ini saya tidak menggunakan STT-Sekolah Tinggi Theologi Kristen. Alasan
akademiknya, jika hanya STT maka secara tidak sadar, kita telah
meng-anaktirikan, atau meng-anakpungutkan prodi lain disamping teologi. Impak
negatif dari pusaran itu, seringkali menghujam secara langsung kepada komunitas
intelektual dan komunitas masyarakat beragama Kristen.
Mengingat populasi manusia Kristen di Indonesia, jika
digeneralkan secara cepat berkisar antara 15-20% dari total 237,641,326
jiwa populasi penduduk Indonesia (hasil sensus penduduk tahun
2010), maka harus ada kajian, keilmuan Kristen yang fokus soal masyarakatnya,
dan ilmu untuk mengelola masyarakat Kristen. Pertanyaannya, bagaimana
Intelektual (ilmu dan orangnya) Kristen dalam seting sosial seperti itu? Ilmu
pengetahuan seperti apa yang bisa dipekerjakan institusinya, dan bagaimana cara
kerja membangkitkan gerakan intelektual Kristen Indonesia agar “klik” dengan spirit zaman itu? Bagaimana
pula cara-cara kreatif dan kritis PTTK bemissi di era ini, ditengah
“menggolitanya” kekuatan politik Islam, dan Islam politik sejak masa reformasi
bergulir hingga detik ini? Kali ini dalam seminar ini, dalam paper ini akan
lebih terfokus untuk menarasikan soal masalah di PTTK Krisen, dan terkait dengan Islam politik
lebih banyak didiskusikan pada forum diskusi interaktif saja.
B. Politik
Islam atau Islam Politik
Politik
Islam adalah sebutan yang sering kali disematkan kepada lembaga politik dari
komuitas masyarakat beragam Islam secara general. Tetapi yang sedang menjadi
kajian publik adalah fenomena agama, sosial, dan politik di kalangan Islam
sendiri, yakni Islam politik. Islam politik sedang menjadi
suatu fenomena baru dikalangan internal masyarakat Islam Indonesia, khususnya
di kota-kota yang sedang mengalami masa transisi dari sistem sentralistik ke
era otonomi daerah. Dari fenomena yang tampak, ada alasan untuk mengatakan
bahwa Islam politik sedang menjadi gerakan dan kekuatan sosial baru. Fenomena
Islam politik tampaknya mampu mengguncang lansekap dan komposisi masyarakat
Islam[2]
di kota, mulai dari kelompok bawah hingga kelas atas. Saya mengamati, tampaknya
yang lebih kuat ada pada sisi politisnya, sehingga tidak terhindarkan adanya
“politikisasi”[3] Islam, seperti istilah
Bassam Tibi, dan terjadinya “re-islamisasi”[4]
masyarakat urban, seperti istilahnya John L. Esposito, dengan takaran dan ragam
bentuk manifestasi tertentu.
Jika
mengikuti pernyataan dari Noorhaidi Hasan, bahwa memang dari dua dekade yang
telah lewat, memang Islam menjadi variabel dominan dibelakang negosiasi
politik, dan menjadi bingkai referensi bagi Muslim tertentu di Indonesia untuk
merefleksikan sistem sosial, agama, dan politik yang ingin dicapai dan
dikembangkan dari variabel didalamnya oleh para pengagas dan pengusungnya[5].
Pernyataan itu sedang menyatakan, bahwa Islam politik Indonesia telah menjadi
salah satu mode dan bentukan baru bagi identitas keagamaan. Argumentasi ini
diperkuat dari hasil pengamatan terhadap semakin aksentuatifnya simbol
keagamaan dalam ruang publik, dan meningkatnya kesalehan pribadi dan sosial
sebagai gaya hidup baru, sama seperti bermunculannya institusi Islam dengan
aksen masing-masing, dan aksessoris sosial di ruang publik kota. Ringkasnya, Islam politik di arena publik kota-kota di
Indonesia sedang menjadi fenomena keagamaan, dalam perkembangan masyarakat
Islam urban, bukan lagi hanya diskursus, wacana akademik, apalagi retorika
politik.
Saya mendefinisikan Islam politik adalah kelompok atau komunitas, bahkan oknum sebagai Muslim yang
termasuk kedalam gerakan politik yang saling bermain atau berjalin kelindan,
dan saling mempengaruhi antara keberagamaan, intelektual, politik dan sosial.
Mereka menggunakan Islam sebagai metode pendekatan, jalan, atau ladang dakwah
lewat politik. Mereka, yakni “Islamist”, yakni Muslim itu sendiri yang pro dan
menempatkan Islam sebagai ideologi aksi, cara kerja, atau doktrin berpolitik.
Dengan pemahaman seperti itu, maka tidak terelakkan sudut pandang, sedang
terjadi praktek membawa Islam ke dalam politik atau ke pusat kekuasaan dan
arena sosial lain.[6] Akibatnya, tidak terhindarkan adanya konflik kepentingan dan tensi
di dalam Islam, misalnya soal identitas sosial, agama, dan politik dari Muslim
itu sendiri.
Saya mengamati, bahwa bagi Muslim tipe seperti ini,
bagi mereka Islam selain dari identitas, ia juga sebagai strategi
untuk menarik minat dari kalangan umat Islam lainnya untuk bergabung, sehingga
perjuangan dan tindakan politik menuju nominasi, dominasi, kekuatan, dan
keutamaan dalam ruang sosial urban semakin besar. Di Indonesia,
kemunculan dan perkembangan Islam politik di Indonesia, memang beragam
manifestasi, artinya bukan lagi monolitik.
Menguatnya
gelombang kebangkitan aktivis Islam, sehingga sering disebut dengan gerakan
sosial Islam karena menggunakan Islam sebagai ideologi pergerakan. Kelompok yang
dominan adalah semacam Laskar Jihad, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin,
Forum Komunikasi Ahl-Sunna wa al-Jama’ah, Hizb al-Tahrir[7].
Menurut hasil pembacaan terhadap sejumlah literatur, gerakan sosial Islam ini
merupakan ciri khas manifestasi Islam politik di Indonesia, yang berupaya
menggunakan idiologi Islam untuk memanggil Muslim secara individu maupun
tindakan kolektif kembali ke agamanya untuk terlibat menolak kegagalan sistem
politik sekuler, nasional, demokrasi dalam sistem negara bangsa, dengan
mengusung sistem, konstitusi atau tatanan Islam yang baru[8].
Muslim
tipe seperti ini, menurut Aminuddin, sejak awal hingga kejatuhan pemerintahan
Orde Baru, mereka tidak berhenti memperlihatkan usaha-usaha untuk menata
kembali kekuatan dan posisi politik, manifestasi pergulatan kekuasan politik di
tingkat nasional.[9] Bahkan, jika dilihat dari
kenyataannya, Islam politik semakin menemukan ruang untuk berpartisipasi
menentukan arah politik negara, bangsa, dan masyarakat Indonesia. Artinya, ladang dakwah lewat jalur dan
kebebasan politik semakin terbuka luas. Tampaknya, eksistensi
Islamist di negara dan masyarakat itulah, yang memberanikan diri mereka
berkata, bahwa prinsip-prinsip Islam cocok, atau bisa sebagai alternatif lain
yang dijadikan sebagai suatu cetak biru bagi tatanan sosial.
Sesuai
dengan Noorhaidi Hasan, bahwa momentum bangkitnya gelombang pergerakan Islam
dalam beragam manifestasi, aktivis dan organisasinya, ternyata juga mengerucut
pada tuntutan penetapan dan applikasi sharia’ agama misalnya dalam bentuk
Peraturan Daerah, dan hukum sosial lainnya dalam bentuk yang informal.
Tampaknya, tuntutan itu hanya sebagai medium assosiasi, atau mekanisme sosial
saja bagi aktor atau subjek yang bersifat assosiatif untuk merenggut aspirasi
atau popularitas mereka. Saat bersamaan untuk memobilisasi dan mengattraksi
minat masyarakat Islam, sehingga menampik keuntungan jumlah suara, yang bisa
memperluas jaringan konstituen bagi partai Islam politik yang memiliki agenda,
ideologi pergerakan, dan strategi tindakan sosio-religio politik yang sama[10].
Dari kenyataan itu, maka ada alasan untuk menyatakan, bahwa
Islam politik tindakan sosial secara kolektif yang saling bemain di arena
sosial, agama dan politik sedang membentuk tatanan Islami, seperti yang mereka
perjuangkan. Meskipun upaya-upaya mereka selalu disesuaikan atau
bertransfigurasi sesuai dengan situasi dan kondisi lokal daerahnya. Transfigurasi adalah perubahan
bentuk dalam kerangka proses metamorfosis dalam bentuk fisik, kultural, struktur[11] untuk tujuan dan mekanisme tertentu. Artinya dalam diri Islamist,
dan Islam politik ada kohesi dan permainan timbal-balik secara sosial diantara
mereka dan dengan tokoh masyarakat berbasis agama Islam.[12]
C. Missiologi
Krsiten di Era-Postmodernisme
Pemahaman
kunci dalam postmodernisme adalah “kondisi
pengetahuan post-modernisme”[13]
seperti kata kunci dari Jean-Francois Lyotard (1925-1999). Kondisi itu saya
tempatkan “ada di dalam benak, pikiran atau otak aktor atau subjek”. Paradigma
pengetahuan post-modernisme adalah kitalah sebagai manusia yang melakukan
tindakan perubahan. Ini menandakan aktor adalah subjek yang memiliki kebebasan
akademik, yang berlandaskan etik komunitas intelektual dan masyarakat
penggunanya, seperti kata Hans Bertens. Kondisi ini sebenarnya diarahkan kepada
hal-hal yang partikular, yang bisa, merangkul dan memberdayakan atau
memandirikan kelebihan, keunikan, dan nilai tambah lokal sesuai dengan setting
sosial dan kebutuhan manusianya, bukan lagi hanya untuk kemegahan arsitektur
dan fisik institusi atau organisasinya semata-mata[14].
Artinya, sikap dan tindakan kita dalam ministri berciri akademik, terbuka dan
fleksibel.
Kerangka
keilmuan di dalam realitas seperti itu, menurut J.W. Bertens dan Joseph P.
Natoli, apapun terkondisikan, dan terhubung atau tidak mati dari nilai-nilai
normativ dan historis sebelumnya. Artinya, kita harus mengingat, mengapresiasi
cerita, peradaban, dan penggagas besarnya lebih bersifat lokal dan parsial[15],
sesuai dengan dunia, ruang sosial dimana kita hidup dan melayani. Kita adalah
anak zaman kita ini yang secara genealogis atau arkeologisnya kemanusiaan,
kerohanian atau spiritualitas dan keilmuan kita hari ini ada dan terkoneksi
dari zaman sebelumnya.
Saya lebih
suka melihat dan memposisikan post-modernisme itu sendiri seperti penjelasan
dari Lawrence E. Cahoone, yakni cara-cara
akademik untuk mengkritisi - bukan untuk memberontak, atau menentang,
apalagi melawannya - keadaan dan realitas sosial saat ini, terhadap tokoh,
sistem, orgnasisasi gereja, ministri yang belum benar secara keilmuan, yang
tidak lagi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat untuk menciptakan
perkembangan masyarakat dalam kondisi terkini.[16]
Artinya missi yang ingin saya bawa dalam
diri saya adalah missi intelektual, missi sosiologi, bukan lagi hanya missiologi.
Atau ketika berintegrasi dengan komunitas intelektual atau komunitas masyarakat
beragama lain, yang saya usung adalah “jihad intelektual dan sosial,” bukan
lagi “jihad teologis” atau dakwah keyakinan sempit dan picik melulu.
Perjuangan kita, bukan lagi melawan roh-roh di udara (seperti yang selama ini didengung-degungkan para pendo syafaat di menara-menara Doa yang tinggi menjulang, atau yang bertapa di gua-gua yang sangat dalam, seolah lari meninggalkan bumiNya ini). Kita juga bukan lagi hanya sibuk mematikan kedagingan kita, tetapi “ketololan dan keidiotan kita soal-soal kehidupan nyata” di depan wajah buruk TT Kristen itu sendiri, itulah yang mestinya juga kita perangi, saat bersamaan. Pedang kita, bukan lagi hanya pedang bermata dua yang tajam. Tetapi, pedang kita adalah pedang ilmu pengetahuan, dan pedang pemanfaatan teknologi untuk meluhurkan Nama Tuhan. Lihatlah, dengan terintimidasinya dan diterorisasinya komunitas masyarakat beragama Kristen di Indonesia, “seakan-akan Tuhan sudah tidak bersama kita, seolah-olah Tuhan sudah undur dari gerejaNya.” Saya melihat dan merasakan sendiri, Tuhan itu masih disini. Cuman, DIA sedang masgul atau bahkan menangis sejadi-jadinya. Mengapa, ketidakmampuan kita untuk mentafsirkan dan memaknakan kata-kataNYA dalam tulisan indah KITAB SUCI, yang DIA TIDAK PERNAH MAKSUDKAN HANYA SEBATAS TAFSIR TEOLOGIS, TETAPI JUGA TAFSIR DAN MEMAKNAI KEHIDUPAN UMATNYA, itulah penyebabnya.
Perjuangan kita, bukan lagi melawan roh-roh di udara (seperti yang selama ini didengung-degungkan para pendo syafaat di menara-menara Doa yang tinggi menjulang, atau yang bertapa di gua-gua yang sangat dalam, seolah lari meninggalkan bumiNya ini). Kita juga bukan lagi hanya sibuk mematikan kedagingan kita, tetapi “ketololan dan keidiotan kita soal-soal kehidupan nyata” di depan wajah buruk TT Kristen itu sendiri, itulah yang mestinya juga kita perangi, saat bersamaan. Pedang kita, bukan lagi hanya pedang bermata dua yang tajam. Tetapi, pedang kita adalah pedang ilmu pengetahuan, dan pedang pemanfaatan teknologi untuk meluhurkan Nama Tuhan. Lihatlah, dengan terintimidasinya dan diterorisasinya komunitas masyarakat beragama Kristen di Indonesia, “seakan-akan Tuhan sudah tidak bersama kita, seolah-olah Tuhan sudah undur dari gerejaNya.” Saya melihat dan merasakan sendiri, Tuhan itu masih disini. Cuman, DIA sedang masgul atau bahkan menangis sejadi-jadinya. Mengapa, ketidakmampuan kita untuk mentafsirkan dan memaknakan kata-kataNYA dalam tulisan indah KITAB SUCI, yang DIA TIDAK PERNAH MAKSUDKAN HANYA SEBATAS TAFSIR TEOLOGIS, TETAPI JUGA TAFSIR DAN MEMAKNAI KEHIDUPAN UMATNYA, itulah penyebabnya.
Dengan
demikian, semangatnya adalah kritik pemikiran demi kemajuan komunitas ilmuan
dan komunitas masyarakat beragama Kristen. Namun demikian, saya memposisikannya
sebagai sebuah metode berilmu dan berpikir secara global, tetapi berteologi,
beragama, bertuhan, bermasyarakat, melayani dan bertindak secara lokal sesuai
dengan kebutuhan manusianya didalamnya. Artinya,
post-modernisme itu hanya sebagai metode dan kerangka kerja glocalism saja, bukan sebagai faham atau
ideologi, yang sering dianggap sesat oleh teolog yang terpenjara di dalam
nilai-nilai teologis yang diyakininya sendiri. Itulah yang menghalaunya dari
kebebasan akademik, yang ternyata ada dalam tridharma perguruan tinggi. Intinya,
post-modernisme itui hanya sebagai cara cerdik saja untuk memposisikan diri
dalam melayani Tuhan dalam semua jenis ministri saja. Oleh sebab itu,
intelektual Kristen yang terlibat dalam ministri adalah subjek dan aktor, bukan
lagi objek dan passif. Intinya, kita memang benar adalah subjek sebagai aktor
yang bertindak pro-active dan
partisiaktif dengan komunitas ilmuan lainnya siapa saja untuk kemaslahatan
bersama.
Paradigma saya berangkat dari logika berpikir bahwa Kristen
adalah aktor teologis atau umat dan imamat yang rajani. Dengan itulah Kristen
berposisi sebagai subjek sosial yang bertindak proaktiv untuk menetapkan ruang
sosial pendidikan ditempatnya. Ruang sosial harus diposisikan sebagai a space of testimony sebagai sebuah
ruang kesaksian sebagai misi atau dakwah atau sebutlah jihad intelektual atau
sosial, bukan lagi hanya Kristenisasi. Lewat jihad akademik ini kita diharuskan
untuk berbuat kebaikan, dan itulah arahan ajaran esensial Kristen sebagai
pembawa damai dan pembawa terang. Kristen dipanggil Tuhan untuk bertindak dan
berkontribusi mempromosikan community
life dan communal solidarity”
dengan mampu hidup “equal” di dalam
ketidaksamaan.
Hidup bersama dan melalui persaudaraan sesama manusia dan juga
sebagai Christianhood, dengan
bertindak membawa kekuatan pesan Kristen untuk masyarakat di luar mereka, yang
kita jumpai telah hidup dalam keadaan yang multikultural dan plural[17]. Ruang kehidupan di masyarakat telah muncul sebagai pusat penyelenggaraan
pembangunan manusia dalam dimensi metropolitan post-modern, yang mensyaratkan
mutu intelektualitas, apalagi ruang sosial itu sekarang sedang digunakan dan
diperebutkan oleh kelompok sosial yang berbeda.
Kenyataan ini menyebabkan lingkungan
sosial berubah, tentulah secara sosial Kristen akan banyak dihadapkan dengan
masalah integrasi agama, teologi, ekonomi dan politik. Meski demikian, yang
tidak boleh dilupakan adalah harus ada harmonisasi dengan irama budaya
kehidupan sehari-hari dengan semua orang. Situasi dan kondisi ini memang sulit.
Untuk itulah, kita harus melihat lebih kritis lagi, bahwa jika melihat realitas
perkembangan kekristenan ditengah konflik sosial secara nasional atau lokal
dimana kita hidup beragama dan bertuhan untuk bersosialisasi. Saya sedang
melihat bahwa komunitas intelektual Kristen dengan ministri di bidang
pendidikan tinggi mengalami deklanasi atau kemunduran di bidang missi tadi.
D. Pendidikan
Tinggi Theologia Kristen sedang Sakit
Apa
sebenarnya problem akademik pendidikan tinggi theologia Kristen di
era-postmodernisme ini? Apakah salah, jika saya menyatakan dengan tegas, bahwa penyakit akademik telah menggerogoti PTTK.
Saya melakukan riset (yang saya tuliskan di salah satu Jurnal)[18],
hasil temuan memaparkan sejumlah masalah intelektual dan kelembagaan pendidikan
tinggi Kristen di Indonesia yang sedang sakit dalam taraf “akut”, kaitannya
dengan semangat akreditasi mutu dosen dan institusinyaserta kualitas lulusan
dan proses belajar mengajar. Sedangkan, data temuan menunjukkan, bahwa
pendidikan tinggi Islam di Indonesia sedang memasuki era “world class university”,
dengan standar ISO 9000 yang prestisius itu.
Berbanding jungkir-balik dengan pendidikan
tinggi Kristen, yang bisanya masih hanya berkutat soal legalitas lembaga, yakni
izin penyelenggaraan program studi, bahkan tidak terlalu banyak yang sudah
mendapatkan izin. Jikapun sudah ada yang lolos, kesan “trik” dan “intrik” tidak
bisa dihindari, belum ada desain besar sebagai arah yang jelas yang hendak
dituju, terdapat kelambatan produktifitas literatur yang ditulis sendiri oleh
dosen, serta sedikit intelektual Kristen di bidang PAK.
Ironisnya, Pendidikan Tinggi Kristen mengalami
obesitas secara teologi, tetapi kurus kering atau tidak bervitamin secara
keilmuan dan intelektualitas. Hal ini tersingkap dari gemuknya
kurikulum, muatan dan isi mata kuliah yang bercorak teologis dan indoktrinasi,
yang wajib harus ditempuh oleh mahasiswa. Data
ini saya posisikan sebagai satu upaya ibarat seperti menampar wajah sendiri,
bukan berniat untuk menyakiti, apalagi melukai, tetapi sebagai upaya sadar diri
secara akademik untuk menyadarkan diri sendiri dan orang lain, supaya
terjadi manifesto intelektual dan tindakan korporatisme sosial dan akademik
Kristen. Tujuannya bukan untuk membanding-bandingkan atau memburuk-burukkan,
tetapi sebagai upaya pembeberan data dan fakta. Ending yang ingin diwujudkan
adalah adanya kontribusi akademik untuk membangunkan dan membuat kegerakan
Intelektual Kristen di Indonesia sebagai upaya perluasan atau perpanjangan dari
kebangunan rohani.
Dengan
melihat realitas di atas, bahwa memang ada alasan untuk menyatakan dengan tegas
pendidikan tinggi keagamaan Kristen memang sedang sakit akademik diberbagai
dimensi. Saya akan membeberkan lebih detail hasil riset yang saya lakukan
sendiri, yang saya ambilkan dari beberapa halaman dari jurnal itu. Inilah data
dan fakta sosialnya :
Sejak serdadu, pedagang dan imam Portugis tiba di pulau Ternate
pada tahun 1538 untuk pertama kalinya, maka sejak waktu itulah telah dimulai
sejarah pendidikan agama Kristen di Indonesia. Mereka mendirikan sekolah di
pantai Ternate sebagai instrumen vital untuk penyemaian Injil. Sejak awal telah
didirikan lembaga pendidikan pendidikan yang ditujukan sebagai lembaga keguruan
atau pendidikan sejak dahulu, demikian paparan historis dari Robert R. Boehlke.[19]
Artinya, memang benar telah ada ilmu kependidikan Kristen dan telah ada juga
tindakan masyarakat yang sistematis untuk mendidik dan mengajar tenaga pendidik
Kristen.
Proses edukasi tenaga pengerja pribumi khususnya guru sekolah
seperti yang telah dilakukan di “sekolah Kateket Parausorat” pada bulan April
1868 di tanah Batak oleh RMG lembaga Zending dari Bremen German dalam wadah
“Batak Mission,” demikian kata Jan S. Aritonang[20].
Pada tahun 1821 Joseph Kam dan kemudian Roskott pada tahun 1835-1864, telah
menyelenggarakan suatu proses edukasi untuk guru Injil (wakil pendeta) di
Ambon.[21]
Th. Van den End, J. Weitjens, S.J[22],
menjelaskan, ternyata pendidikan dalam sistem klasikal persekolahan juga telah
diselenggarakan di beberapa daerah. Misalnya Minahasa (Sonder) tahun 1851 oleh
N. Graaflaand Ibrahim Tunggal Wulung (kyai Sadrackh) khusunya di Jawa Tengah,
Pong Lengko di Toraja, Filipus di Mansinam (Irian-Papua) abad ke 19an.
Data lain dari B. F. Drewes dan Julianus Mojau[23],
bahwa tahun 1885 di Ambon dan di Tomohon tahun 1886 telah didirikan wadah
pendidikan teologi formal yakni STOVIL-School tot Opleiding van Inlandsche
Leeraren.
Robert R. Boehlke[24],
menjelaskan sangat baik, bahwa kedatangan Elmer G. Homrighausen di Konferensi
Pendidikan Agama Kristen di 20 Mei-10 Juni 1955 di Asrama pendidikan di jl.
Cipelang No 8 Sukabumi, mampu mengubah makna teori, yaitu pemikiran dan praktek
pendidikan agama Kristen di Indonesia. Bahkan ia menjelaskan inilah titik nol
sebagai awal pentanggalan pendidikan agama Kristen modern di Indonesia. Bahkan
efek samping dari ramuan ilmu kependidikan agama Kristen Homrighausen
menyanggupkan keterlibatan teologi dan telogi kaum awam di Indonesia yang
sebelumnya dianggap terpisah dan diposisikan sebatas pinggiran dan pekerjaan
waktu luang saja.
Sepintas dari data dan fakta
sejarah diatas, seolah-olah ada bukti dan narasi kehebatan, kejayaan dan
kedigdayaan ilmu kependikan agama Kristen. Kelihatannya memang begitu. Apa lagi
jika dilihat dari dusut pandang Panitia Teologia DGI-Dewan Gereja Indonesia
pada tahun 1955 itu. Bagaimana tidak, mereka memperoleh sukses besar untuk
membentuk korporatisme sosial gereja dan masyarakat dengan hadirnya 53 utusan
dari 21 sinode, 15 peninjau, 8 diantaranya dari dalam negeri, 7 tenaga missi
dari luar negeri, 2 orang staff dari 2 sinode dan 1 dari DGI, 2 pemimpin serta
26 anggota GMKI demi suksesi koorporatisme sosial pendidikan yang belum pernah
terjadi sebelumnya. Kenyataan hari ini berbicara lain. Sekarang
pendidikan keagamaan Kristen sedang menderita “penyakit akademik,” atau
sebutlah pendidikan Kristen memang sedang sakit.” Mengapa demikian, ini
datanya:
Setelah sampai dengan 571 tahunan (hitung mundur sekolah di
pantai Ternate oleh serdadu Portugis tahun 1538), juga setelah sampai dengan
176 tahunan (hitung dari usaha pendidikan yang dilakukan Joseph Kam tahun 1821)
kita masih harus lewat ujian negara atau pemerintah dengan alasan penjaminan
mutu segala. Apakah tidak ada argumentasi lain yang bisa ditambahkan untuk itu.
Apakah memang benar hanya sebatas dan sesederhana urusan mutu atau kualitas
saja. Jika tidak bermutu kenapa harus diberikan izin penyelenggaraan program
studi?
Setelah 65 tahun kita diakui memiliki institusi pendidikan
Kristen modern, jika dihitung sejak tanggal 3 Januari 1946 telah didirikan
Departemen Agama, termasuk Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen. (Ditjen Bimas Kristen).[25]
Artinya, kita sudah sekian tahun dipamongi, diasah asih dan asuh dalam payung
pendidikan Kristen secara modern oleh Ditjen Bimas Kristen. Tetapi, mengapa
kita harus lagi (biar agak lebih keren) ujian penjaminanan mutu, atau yang
dahulunya disebut ujian negara. Padahal IAIN, STAIN, UIN dan pendidikan tingga
agama dan keagamaan Islam swasta yang dimiliki perorangan atau amal usaha
perserikatan tidak lagi melakukan itu sudah sejak lama. Hal itu tersingkap
menurut hasil wawancara yang saya lakukan dengan dosen-dosen Doktor, Professor
dan Guru Besar pendidikan Islam yang mengajar saya di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Saya percaya dengan mereka karena sebahagian besar mereka Pejabat
Struktural di DEPAG Islam. Hal itu juga saya konfirmasikan kepada 24 orang
teman lain yang satu angkatan kuliah bersama dengan. Saya juga percaya dengan
peryataan mereka karena umumnya adalah sebagai tenaga fungsional dan struktural
sebagai dosen di PTAI-Perguruan Tinggi Agama Islam dari berbagai daerah di
Indonesia di lembaganya masing-masing.
Setelah hampir 14 abad atau 1400 tahun lebih (hitung dari
masuknya Kristen abad ke 7 Kristen Nestorian dari Khaldea-Syria
dan Persia di pantai Barat Sumatera Utara, sejak abad ke-7) atau setelah 7 abad
atau 700 tahun lebih (hitung mundur ke kunjungan beberapa missionaris Katholik
ke beberapa tempat di Nusantara abad ke-14), tetapi kita masih harus menerima dan mengalami intimidasi sosial dan
terorisme sosial. Mengapa demikian? Hasil
riset SETARA Institute Jakarta,[26]
bisa menjadi alat arguentasi untuk ini. Mereka menjelaskan berdasarkan
risetnya. Di masyarakat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, (Jabodetabek)
masih bisa terjadi kasus pelarangan pembangunan, perusakan rumah ibadah dan
penyelenggaraan ibadah agama dan orang Kristen. Sejak tahun 2007-2010 terjadi 691 kasus pelanggaran kebebasan
beragama.
Zaman
Presiden Soekarno, 1945-1967 hanya ada dua gereja yang dibakar itupun hanya di
daerah yang dikuasai pembangkang dari kelompok DI/TII-Darul Islam dan Tentara
Islam Indonesia. Zaman Soeharto
1967-1969 ada 10. Setelah keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri
tahun 1969 jumlahnya merangsek jadi 460 hingga Ia lengser 1998. Sejak tahun
1998 hingga awal 2011 sekitar 700 gereja dirusak, dibakar, dicabut izin dan
dilarang ibadah. Demikian pemfaktaan oleh Theofilus Bela[27], sebagai Ketua Umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ). Bela juga menegaskan, sejak proklamasi
kemerdekaan hingga awal 2011 telah menembus angka 1.200 gereja yang
dikriminalisasi, bukan hanya gedungnya, tetapi juga ada tindakan kekerasan,
penyiksaan dan pembunuhan.
Selanjutnya ketiga, masih di Majalah itu di halaman
28, dari hasil laporan investigasi Setara Institusi lainnya yang dilansir 24
Januari 2011 mencatar 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang
mengandung 286 bentuk tindakan selama 2010 di 20 provinsi di Indonesia. Dengan
demikian, setelah dinilai, bukan lagi hanya ada “rapor merah bagi kehidupan
umat beragama di Indonesia karena kurang harmonis.[28]
Tetapi memang sudah masuk kategori intimidasi sosial dan terorisme sosial yang
terlukai dan melukai, terlepas siapa yang memulai dan alasan membela diri atau
entah tujuan apa oleh kelompok yang mana.
Setelah
126 tahun (dihitung mundur ke 1885 di Ambon dan di Tomohon tahun
1886 setelah didirikannya pendidikan teologi formal yakni STOVIL, tetapi hingga
tahun tanggal
15 Juni 2011, pukul 10:57:29 wib, baru hanya 223 Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen, baik Prodi
Teologi dan PAK yang berhasil lulus mendapatkan izin penyelenggaraan pendidikan
tinggi Kristen di Indonesia. Data ini saya ambil dari Website Resmi Departemen
Pendidikan Nasional.[29] Memang
dari jumlah itu, tampaknya akan ada yang akan lolos diakreditasi BAN-Badan Akreditasi Nasional, meskipun
hanya perkiraan yang hampir pasti,
sisanya hanya sekedar mendapatkan izin penyelenggaraan agar bisa beroperasi perkuliahannya.
Setelah 56 tahun (dihitung mundur sampai pada kedatangan
Homrighausen di Sukabumi tahun 1955 yang lalu) hingga hari ini, jika melihat data dari Website Resmi Departemen Pendidikan
Nasional soal 223 daftar sekolah tinggi teologi itu. Rasanya tetap masih
ada yang salah maksudnya kurang komprehensif di dalamnya. Mengapa demikian,
ternyata, jika ditelisik lebih mendetail, hampir dari sejumlah 223 perguruan tinggi itu, lebih
didominasi oleh program studi teologi bukan prodi PAK. Padahal diawal
kedatangan Homrighausen[30],
PAK sempat anggap hebat dizamannya, apalagi ditambahkan dengan kedatangan
Boehlke ke Indonesia dan Kepulangan Suleeman dari kuliah dan “berguru” di
universitas Princenton dan Belanda yang hebat itu.
Melihat
data dan fakta kehebatan pendidikan Kristen sebelumnya, kenyataanya tidak
seharusnya demikian, tetapi itulah realitasnya. Data dan fakta itulah yang
menguatkan argumentasi untuk mengatakan sedari awal ada dan sedang terjadi
“ketimpangan dan penyimpangan proses edukasi, proses pengajaran, dan kekeliruan
orientasi teoritis dan sosio-praksis, salah urus atau salah asuh dalam
pendidikan keagamaan Kristen. Masalahnya adalah karena dari pengalaman dan
pengamatan, bahwa selama kuliah S1 dan sekarang jadi dosen di beberapa tempat,
saya melihat baik mahasiswa dan dosennya masih lebih banyak terforsir soal-soal
dimensi iman saja. Hal itu tidak boleh dibiarkan terus-menerus, apalagi ketika
berurusan dengan aturan dan segala hal yang terkait praktek pendidikan secara
akademiknya. Dengan demikian, memang ada yang menyimpang dengan proses edukasi
di PTTK.
E. Apakah
Sumber Penyakit Akademik di PTTK?
Saya
melihat, bahwa sumber penyakit itu ada pada proses edukasi di PTTK itu sendiri.
Saya mengamati telah terjadi mal-praktek pendidikan, mal-teori dan mal-ilmu
(dilihat dari kebutuhan, era, dan spirit zamannya) karena berbeda orientasi dan
tujuan jangka panjang dari pengelolaan pendidikan keagamaan Kristen. Secara
general, jika ditilik dari data dan fakta itu, maka ada alasan untuk
menyatakan, bahwa pendidik Kristen memang sedang “penyakitan.” Banyak diantara
institusi pendidikan (baguslah jika ada yang mengatakan lembaga kami tidak
demikian), telah menelantarkan ilmu pendidikan keagamaan Kristen. Kita telah
menterlantarkan pendidikan keagamaan sebagai
missi akademik, jihat intelektual, dengan melakukan satu trend baru,
yakni
18-28 Juli
2011, di GHCC UKDW Kaliurang Yogyakarta. Menurutnya:
Kristen
lebih memilih mengurusi teks-teks teologi dan praktik hidup teologis emata,
meski saya tidak bisa menjamin kualitas dari itu. Bahkan tampaknya cara kita beragama ini hanya merupakan
Kristen warisan orang tua, bukan Kristen pilihan sadar karena tahu itulah yang
tepat untuk kita. Padahal, jika saya mengingat pada tahun enam puluhan apalagi
jika dikaitkan dengan peristiwa PKI di Indonesia, perkembangan Kristen dan
pendidikannya sangat cepat, tetapi sayangnya, kita hanya sibuk mengurusi hal
itu, sehingga lupa soal-soal keilmuan dan pengetahuan. Ini pilihan yang
bermasalah dampaknya pada hari ini. Kita menjadi tertinggal dalam dunia
akademik, sosiologi dan kemajuan bidang lainnya. Kita sangat berbeda dengan
Islam, yang seolah-olah menjadi masalah di negeri ini, misalnya dengan melihat
aksi-aksi anarkhis, yang seolah-olah itu Islam, padahal itu politis, tetapi
jika diamati, mereka sudah mengalami perubahan besar, hal itu dilihat dari
penelitian mereka yang sudah tidak lagi didominasi teks-teks agama, seperti
kita. Mas Tambunan sudah bisa melihat sendiri, pada saat kita kuliah di kelas
di UIN sana, dan kamu sudah banyak berdiskusi dengan mereka. Saya lihat kita
bisa belajar dari kemajuan positif dari mereka. Kita tidak sesat atau berdosa
jika bejar hal-hal baik dari orang lain.
Data ini
sekaligus mengugah kita semua, atau siapa saja yang menyukai hal-hal yang
edukatif baik teori dan sosio-praksis di didaerah masing-masing. Kini kita
seakan-akan dituntut dari segi tanggung jawab sosial (bukan lagi tanggung jawab
sektarian), secara nasional untuk melakukan “grand design” pendidikan keagamaan Kristen. Kini kita ditunggu
untuk bisa membuat “blue print”
pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi Kristen di semua level, tanpa melupakan “MISSI BESAR” Kristen. Kita perlu melakukan revitalisasi
pendidikan Kristen agar bertanggung jawab secara sosial, dan mereformasi
kebijakan pendidikan Kristen agar tidak lagi berorientasi kebutuhan perut,
kemegahan lembaganya sendiri-sendiri, atau orientasi teologis semata, tetapi hendaknya,
pada saat bersamaan ke dimensi sosial lainnya.
Berdasarkan fakta itu, hasil pendidikan Kristen atau proses
edukasi teologi yang selama ini terjadi tidak berhasil untuk dijadikan sebagai
alat perubahan dan pembangunan sosial dan pendidikan masyarakat Kristen secara
general untuk memproteksi bangsa dan komunitas masyarakat beragamannya. Output
pendidikannya, tidak menjadikan Orang Kristen memiliki kekuatan assosiatif dan
massive untuk bertindak secara teologis, sosiologis, dan akademik serta aksi politis
prakstis (bukan dogmatis dan pragmatis semata) untuk memajukan kekristenan,
setidaknya jika dikomparasikan dengan ukuran fakta di atas.
Saya
sepemahaman dengan Stanley W. Carlson-Thies dan James W.
Skillen,[31] bahwa
perspektif dan prakis dari kebijakan pendidikan Kristen juga harus berorentasi
kesejahteraan sosial. Jika tidak, kita akan terus-menerus meningkat disisi
spiritualitas, rasa keberagamaan dan keberteologiaan, tetapi terpuruk dibidang
sosial karena menterlantarkan aspek yang terakhir disebut ini. Melihat fakta ini, boleh dikatakan ada yang “salah,” maksudnya tidak
efektifnya proses atau metodologi dan orientasi pendidikan teologi di sekolah
atau di gereja selama ini, yang lebih fokus ada teks-teks teologis, ketimbang
kehidupan manusia dan tindakannya. Inilah yang penting dikritisi lebih
mendetail.
F. Kontribusi
Kecil Apa yang Bisa Kulakukan?
Kristenologi”
sebagai sains[32] atau ilmu pengetahuan
tentang komunitas masyarakat beragama Kristen, disamping menjadikan teologi
sebagai sains (tanpa menegasikan teologi sebagai dogma, pandangan hidup, yang
mengacu pada dimensi religiusitas lainnya). Ini sebuah kajian komunitas
masyarakat beragama dengan cara saintifik, dan dengan titik tekannya dengan
mempergunakan pendekatan sosial sains, sains humanities, artinya disiplin
akademiknya akan dilakukan dengan pendekatan yang bersifat multidisciplinary. Bagaimana mungkin itu terjadi, jika
ternyata ilmu atau disiplin akademik soal itu tidak pernah ada di Sekolah
Tinggi Theologia dimana mereka belajar. Tetapi, bagaimana mungkin tanggung
jawab sosial itu terjadi, jika ternyata ilmu atau disiplin akademik soal itu
tidak pernah ada di Sekolah Tinggi Theologia dimana mereka belajar?
Saya ingin
menggugah kita semua, cara yang manakah yang lebih efektif untuk memahami individu,
orang, komunitas, dan masyarakatnya. Apakah hanya dengan mengkaji teks-teks
suci yang diyakini atau diimani dengan cara ilmu tafsir, dengan ragam varian
pendekatan interpretatisnya, seperti yang menjadi fokus dan senjata pamungkas
ilmu teologi itu, masalah intimidasi sosial dan terorisme sosial seperti data
diatas bisa terselesaikan? Bagaimana mungkin jika
ilmunya hanya dari kacamata teologis, urusan “ngeroh” dan problem
spiritualistas, ministri berbasis gereja, dan ilmu teologi semata?
Apakah
tidak lebih masuk akal sehat, jika pergi ke lapangan mengamati langsung orang,
tindakan, dan dunianya; tinggal bersama, melihat, mendengar, merasakan mereka
secara langsung; mendiagnosis persoalannya, dan mengkaji seluru dimensi
kehidupan nyatanya? Ilmu ini merupakan kerangka kerja
analisis yang bersifat sinergis sehingga
tindakan dan tanggung jawab antara para pekerja spiritual dan intelektual
Kristen dengan lapangan kerja atau wialayah ministrinya diharapkan bisa bertemu.
Jika tidak, indahnya janji Tuhan yang banyak tertulis indah di dalam teks-teks
kitab suci Kristen itu, mungkin hanya akan sebatas teks mati saja, atau hanya
sebatas angan-angan dan di dalam doa saja. Pertanyaannya,
bagaimana tanggung jawab sosial STT itu mungkin terjadi, jika ternyata ilmu atau
displin akademik soal itu tidak pernah ada?
Seharusnya, sejumlah Mata kuliah di PTTK sudah
banyak yang diamandemen atau diparkir atau dimusemkan, disegarkan dengan materi
kajian, yang sesai dengan setting sosial Indonesia tahun terbaru.
Penyegaran dan amademen itu diharuskan untuk bisa menemukan suatu kerangka
kerja melayani komunitas masyarakat beragama Kristen. Tetapi bagaimana mungkin, tindakan dan
perbuatan seperti missi yang saya impi-impikan itu menjadi realitas, jika
keilmuannya tidak dikaji dengan riset “grounded
theory,” dan tidak direkonstruksi menjadi ilmu baru bagi STT, sehingga
layak disebut ilmu Kristen?
Selama ini hanya sekedar Kristenisasi dengan cara pemberian
nama, labelisasi, atau stikerisasi mata kuliah semata. Padahal ilmu pengetahuan
dan tanggung jawab sosial dari para pekerja spiritual
dan intelektual lewat Pendidikan Tinggi Teologi harus “setara-sekualitas” dengan pendidikan umum
lainnya. STT harus melihat komunitas masyarakat beragama Kristen dengan horison
atau cara pandang baru (new wide world
view) yang “fresh,” sehingga
lebih sensitif sosial terhadap realitas dan masalah komunitas masyarakat
beragama Kristen. Intinya, bagaimana caranya lewat
materi dan wilayah kajian itu, agar tanggung jawab
sosial dari para pekerja spiritual dan intelektual lewat Pendidikan Tinggi
Teologi Kristen itu bisa dilaksanakan.
Kini masanya kita pekerja spiritual dan intelektual Kristen
bertindak mensejajarkan pendidikan teologi dengan pendidikan lainnya. Kini kita
terpanggil untuk melihat dengan horison yanga baru yang lebih luas dan lebih
sensitif sosial dengan keinginan semua orang. Kini masanya kita terpanggil dan
memfasilitasi minat dan ketertarikan dan panggilan teologisnya untuk
mengembangkan masyarakat Kristen. Singkatnya,
pendidikan teologi untuk semua, tetapi bagaimana mungkin untuk semua, jika
kita membatasi dan membuat kualifikasinya hanya untuk orang tertentu saja[33], dan
ilmunya hanya teologi semata[34]? Oleh karena itu, di mata kuliah, sekolah tinggi teologi tidak
lagi harus diposisikan eksklusif, tetapi sudah memasuki ranah yang lebih luas
dari sekedar teologis dan gereja semata.
STT sudah
ada di arena sosial yang lebih luas, atau wilayah masyarakat, bangsa dan
negara. Oleh karenanya, hendaknya mata
kuliah, missi dan sosio-praksis keilmuan yang didesain secara sadar dan secara
segaja untuk kebutuhan mahasiswa dan komunitas masyarakat Kristen sesuai dengan
arenanya masing-masing, bukan lagi hnya untuk menjaga-jaga “kesakralan doktrin,
dari denominasi penyelenggara STT tersebut saja. Mahasiswa sebagai peserta
belajarnya akan diarahkan sampai bisa pada upaya-upaya akademik untuk
mengkritisi secara konstruktif, mengevaluasi atau menyegarkan bidang disiplin
akademik atau pendekatan teologi dan ilmu teologinya yang selama ini diketahui.(BET'12)
[1]Elia Tambunan, S.Th., M.Pd. No.IDN: 0607077801. No. NIDA:220121019659. Dosen STT
Salatiga, Getsemani Yogyakarta, dan STT Nazarene Indonesia Yogyakarta, Pendeta
GPdI Yogyakarta, Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana UIN-Universitas Islam
Negeri “Sunan Kalijaga Yogyakarta” 2009, Prodi Islamic Studies, yang sedang
riset disertasi. Memiliki kompetensi ilmu agama, pendidikan, dan riset sosial
sains dan humanities dengan pendekatan disiplin akademik sosiologi lewat mazhab
postmodernisme.
[2]Ira
M. Lapidus (ed.), Middle Eastern Cities:
A Symposium on Ancient, Islamic, and Contemporary Middle Eastern Urbanism
(California: University of California Press, 1969), hlm. 47; R.
Stephen Humpreys, Islamic History: A
Framework for Inquiry, revised edition (London: I. B Tauris & Co Ltd.,
1991), hlm. 209-308.
[3]Bassam
Tibi, Political Islam, World Politics and
Europe: Democratic Peace and Euro-Islam versus Global Jihad (New York:
Routledge Taylor & Francis Group, 2008), hlm. xxii; “The Politicization of
Religion” dalam Internationale Politik, Volume 1, Issues 2-4 (Frankfurt, German: Frankfurter
Societäts-Druckerei, 2000), hlm. 65; The Challenge of Fundamentalism: Political
Islam and the New World Disorder, update edition (California: University of
California Press, 2002), hlm. 50.
[5]Noorhaidi
Hasan, “Reformasi, Religious Diversity, and Islamic Radicalism after Soeharto,” dalam Journal of Indonesian Social
Sciences and Humanities, vol. One 2008, ISSN, 1979-8431, Ten Years Reformasi, Jakarta: KITLV-LIPI, hlm. 23-52; Islamist Party, Electoral Politics and Da'wa
Mobilization Among Youth: The Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia (Singapore: Nanyang Technological University,
2009).
[7]Agus
Salim, “The Rise of Hizbut Tahrir Indonesia: A Mobilization from Campuses to
the Stree (1982-2000),” dalam Yusuf Rahman (ed.), Islam and Society in Contemporary Indonesia (Jakarta: Departemen
Agama Republik Indonesia, CIDA-Canadian Intenational Development Agency, McGill
University, Canada, PPS-IIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hlm.31-66.
[8]Anak Agung Banyu Perwita, Indonesia and the Muslim World: Islam and Secularism in the Foreign
Policy of Soeharto and Beyond
(Copenhagen S, Denmark: NIAS Press, 2007), hlm. 20; Muhammad Sirozi,
“Indonesian Responses to September 11, 2001,” dalam Ibrahim M. Abu Rabi’ (ed.),
The Blackwell Companion to Contemporary
Islamic Thought (Malden, MA: Blackwell Publishing Ltd, 2006), hlm. 387-407;
Greg Fealy “Divide Mojority: Limits of Indonesian Political Islam,” dalam Shahram Akbarzadeh, Abdullah Saeed (eds.), Islam and Political Legitimacy (New
York: RoutledgeCurzon, 2003), hlm. 150.
[12]Mark
R. Woodward, Modernity and the
Disenchantment of Life: A Muslim-Christian Contrast, hlm. 111-142 dalam
Johan H. Meuleman (ed), Islam in the Era
of Globalization: Muslim Attitudes Toward Modernity and Identity (London:
RoutledgeCurzon, 2002), hlm. 112-113; Endang Turmudi, Struggling for the Umma: Changing Leadership
Roles of Kiai in Jombang, East Java (Australia: The Australian National
University Press, 2006), hlm. 102.
[25]Departemen
Agama RI berdiri tanggal 3 Januari 1946 dengan Menteri Agama yang pertama ialah
K.H. Rasjidi yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Negara dalam zaman
Kabinet Presiden Presiden Sokarno. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Kristen tahun itu 1946 disebut Bagian Masehi Kristen yang berdiri bersamaan
dengan berdirinya Kementrian Agama itu. Itupun tidak langsung dapat diterima
masyarakat dengan baik. Bagian Masehi Kristen ternyata mengalami pergumulan
panjang baik di kalangan gereja maupun umat. Kenyataan ini sebagai akibat dari
latar belakang pemahaman teologis khususnya “Protestan.” Lihat Haidar Putra
Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem
Pendidikan Nasional (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 1-22,
89-142.
[32]Sains
yang saya maksudkan disini adalah “form
of knowledge” atau “pure science” sebagai bentuk pengetahuan yang dihasilkan
oleh pemikiran manusia atau hasil olahan keilmuan yang mempengaruhi kehidupan
manusia. Lihat Ian G. Barbour, Issues in
Science and Religion, New York: Harper & Row Publisher, 1966), h. 9.
Dengan demikian, teologi sebagai sains atau ilmu pengetahuan sebagai disiplin
akademik atau pembidangan akademik dalam teologi sebagai ilmu yang biasa diakui
dalam pendidikan tinggi theologia di Indonesia, itulah yang saya maksudkan
seterusnya. Lihat Elia Tambunan, Teologi
sebagai Sains (Yogyakarta: illumiNation, 2012), h. 23-41. Kristenologi juga
sebagai disiplin akademik baru, yang saya integrasikan dari pendekatan sains,
sosial sains, dan sains humanities untuk mengkaji dan memahami manusia atau
komunitas masyarakat beragama Kristen dan dimensi kehidupan kesehariannya,
dengan metode-metode, teori-teori, atau cara-cara akademik dan saintifik, tanpa
menghindarkan teks-teks suci yang dipercayai. Lihat Elia Tambunan, Kristenologi: Pengembangan Masyarakat
Kristen (Yogyakarta: illumiNation, 2012), h. 49-95.
[34]Kurikulum
Nasional dan institusional di STT hingga detik ini, masih lebih didominasi oleh
kajian teologia dengan lima pembidangan disiplin akademiknya (teologi
historika, biblika, sistematika, praktika, dan bidang-bidang umum. Ironisnya,
yang terakhir disebut itu hanya bersifat komplementer, tambahan, atau bumbu
penyedap saja).