Keterangan Isi Buku:
Kini semua orang sedang asik membicarakan issu multikulturalisme dengan berbagai sebutan, sejak akhir dekade 1960an dan awal 1970an. Tapi issunya fokus pada pengakuan hak-hak hidup politik, sosial, budaya dan agama, sebagai warga warga negara yang sah. Dibelahan dunia yang lain Eropa, Amerika, dan Australia migran atau keturunan, issu ini malahan memarginalisasikan mereka dalam banyak hal.
Jika pendidikan multikultural di Barat, sebagai kritik terhadap perasaan superior dan sentralitas keturunan Eropa atau biasa disebut eurocentric (secara genealogis ras berkulit putih). Ini menjadi instrumen kritik terhadap monokultur keturunan dan geneologis Eropa. Kontras dengan setting sosial di Indonesia. Kita bukan lagi soal konflik etnisitas. Secara realitas historis, sedari dulu jika dilihat dari konsep “indigenous people” atau orang asli Indonesia (saya: bermaksud status warga negara, bukan urutan kronologis genealogisnya), “orang Indonesia” telah ada di kepulauan nusantara ini, bahkan sebelum kita berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan jauh sebelum bentuk negara Barat itu ada.
Indonesia salah satu negara yang tidak “tergoncang” soal migran, “slavery” atau perbudakan, levelitisme “kasta sosial,” pendatang atau yang didatangi, tuan dan majikan, yang sangat tajam issunya di Barat, tidak terlalu merisaukan disini. Karena itu, tidak serta merta bisa mengadopsi teori dan pemikiran Barat secara sosio-praksis.
Disini, kita sedang “menuntut” kesahihan atau kebebasan sosio-praksis terkait dengan hak hidup beragama lengkap dengan ekspresi keberagamaanya, yang belum benar-benar diakui atau dibebaskan dalam artian sebenarnya. Artinya persoalan kita khususnya Islam dan Kristen, bukan teori dan pemikiran, juga bukan lagi soal legalitas hukum dan jaminan perlindungannya, dan juga bukan soal hak-hak politik seperti di negara Barat tadi.
Persoalan besar kita disini, telah berhasil menciptakan konflik berlinang darah. Ini ekses dari cara-caramengekspresikan kebebasan beragama yang memang diakui dalam realitas multikulturalisme dan pluralisme. Diperburuk lagi dengan konsep ummah atau jemaah, dakwah, syiar, jihad teologis dari komunitas masyarakat beragama Islam. Ekklesiologi, missiologi di komunitas masyarakat beragama Kristen. Hal ini semakin bergelimangan darah terkait soal issu konversi atau pondah-pindah agama diantara keduanya. Ditambah dengan semakin menaiknya perasaan “majority minded.” Akibatnya, ada perasaan yang menguat, bahwa yang lebih banyaklah yang selalu harus menang.” Di lain pihak, diperparah dengan perasaan superior teologi dan teologi superior. Bahkan, ada pemikiran lain, bahwa munculnya terorisme sosial dan intimidasi sosial karena tidak mengakui multikulturalisme, tetapi ternyata sebagai upaya penyeragaman, yang sering akan diseragamkan dibawah ikatan hukum agamanya si penyeragam.
Menimbang realitas ini, issu agama, dan etnisitas masih dianggap sebagai pusat konfliknya, tetapi tampaknya sisi politisnyalah yang menguat. Akibatnya ini menjadi tensi dan konflik diantara keduanya, maka lahir pulalah terorisme sosial dan intimidasi sosial, yang makin biasa kita nikmati akhir-akhir ini. Disinilah tugas edukasi dan eduaksi dari PAK untuk menaikkan kesadaran kritis di pihak Kristen agar tercapai “pendidikan multikulturalisme dan pluralisme.” Agar memahami secara proporsional, mau tidak mau PAK harus memperluas wilayah kajiannya memasuki komunitas masyarakat beragama Islam, selain dirinya sendiri. Disinilah fungsi dan kelebihan Islamic Studies di buku ini bisa dipekerjakan, bukan lagi Islamologi seperti cara tradisional selama ini.
PAK sedang membutuhkan revolusi atau progresivitas secara kritis dengan pendidikan kritis pendidikan multikulturalisme, dan hanya itulah metodologi kerja akademiknya. Disinilah ekspektasi tinggi dialamtkan kepada PAK. Ia dituntut untuk berevolusi atau menunjukkan progresivitas untuk menghasilkan kesepahaman dan kesalingberterimaan untuk sanggup hidup bersama atau “living together” dalam artian yang sebenarnya diantara Islam dan Kristen.
Jika saja, kita mau mengkritisi dimensi pengajaran PAK dari PL, secara general bahkan tidak “mengakui” multikulturalisme dan pluralisme. Bahkan, terjadinya multikulturalisme kala itu (dalam artian jumlah, bukan realitas) adalah karena hukuman ALLAH karena kesombongan manusia, bukan karena perjanjian atau covenant denganNYA. Di lain pihak, sesuai dengan spirit dan sistem pemerintahan di kala itu, bangsa Ibrani atau Israel dilarang keras untuk kawin mawin dan hidup bersama, dan berdampingan bersama dengan bangsa Samaria, dan diluar Israel di kala itu, apalagi jika sudah berbicara soal urusan teologi, ketuhanan dan cara-caranya.
Ini menjadi pertimbangan kritis dan krusial ketika berbicara pendidikan multikultural dan plural lewat kaca mata teologis PAK. Bahkan Yesus sendiri saja, “seakan-akan” menangguhkan kepada murid-muridnya keluar dari wilayah homogen atau satu etnik atau satu wilayah saja. Artinya wilayah garapan pendidikan yang multi dan plural itu sejak PL hingga PB di ayat itu sangat terbatasi. Tentu hal ini dengan alasan dan argumentasi yang sangat spesial dan menyangkut dari otoritasi dan kedaulatanNYA sendiri. Artinya hanya bangsa didalam ibrani atau Yahudi di Israellah yang menjadi sasaran eduaksinya di kala itu. hal itulah yang menyebabkan pendidikan sebelumnya bersifat mono, dan berentitas tunggal semata.
Jika sudah demikian, maka PAK dituntut untuk sanggup memberikan analisis mendalam dan komprehensif soal latar belakang yang kuat dalam isu-isu konseptual, teoritis, dan filsafat dalam pendidikan multikultural. Jika demikian, maka PAK juga dituntut untuk sampai bisa pada strategi mengajar untuk studi etnis dengan cara etnis itu melihat dirinya sendiri, bukan dengan caranya PAK itu. PAK juga sedang terpanggil untuk membantu memberikan pemahaman perkembangan teoritis, konseptual, dan penelitian baru di lapangan.
Sialnya, hingga hari ini PAK belum banyak memiliki cerdik pandai untuk itu dan belum juga melakukan penelitian dalam berbagai disiplin sebagai tindakan untuk merekonstruksi dasar pendidikan multikultural dari sisi Kristen. Sayangnya, PAK memang belum sampai kesana. Buku ini memberikan perkembangan baru dalam teori dan cara pergi ke penelitian yang berkaitan dengan ras, budaya, etnis, dan bahasa. Buku ini berkontribusi soal ini untuk menawarkan hasil analisis secara teori, pemikiran, dan sosio-praksis secara positif, realitis dan berimbang, khususnya ke dimensi terdalam di dalam diri dan komunitas masyarakat beragama Islam dan Kristen.
Struktur Pemikiran Buku
Bab I, kita sedang melakukan kritik sosiologi terhadap teologi agar ia merekonstruksi ajarannya, soal pendidikan, agama, dan komunitas masyarakat Kristen. Tampaknya, sudah waktunya untuk merubuhkan tembok besar Missiologi, Ekklesiologi untuk bisa hidup bersama dalam setting sosio-teologis. Bab II, saatnya PAK untuk mengkritis transformasi hukum agama, aturan organisasional dan denominasional yang semakin giat diformatisasikan menjadi regulasi dan legislasi sosial. Ternya inilah faktor terkuat sebabkan terorisme sosial dan intimidasi sosial. Hal itu semakin diperburuk dengan doktrin purifikasi teologi.
Menguatnya hal itu seakan melupakan bahwa kita hidup bersama di negara ini, tidak ada si Goliath yang besar atau si Daud yang “kicil” disini. Padahal, kita berdua si IS dan si KRIS, diasuh dan disusui oleh ibu pertiwi yang sama dan satu. Kita berdua seharusnya melakukan purifiaksi hidup dan sosial, seperti yang dijelaskan di bab III. Bab IV Aksi inilah yang sebaiknya dipekerjakan PAK untuk “mengedukasi dan mengeduaksi” masyarakatnya. Sehingga hasilnya bisa dipakai untuk mengembangkan model PAK yang bisa “klik” dan “fit” dengan masyarakat, entah siapapun dia, itulah keinginan kita di Bab V.
Siapa Pembaca Buku Ini?
Buku ini sangat penting untuk mahasiswa S1-S3 di pendidikan tinggi teologi atau agama Kristen dalam memposisikan dan mempekerjakan pendidikan agama Kristen dalam realitas masyarakat multikultural dan agama yang plural menjadi kerangka kerja analisis akademik agar berhasil di dalam kelas, tetapi juga sukses dalam realitas. Inilah yang bisa dipakai untuk membantu mahasiswa memahami multikulturalisme dan pluralisme dan kompleksitas persoalan latar belakang pemahaman terhadapnya, dan prokonsepsi teologis, kadang dicampur-bauri dengan orientasi dan cara berbudaya.
Bagi masyarakat Kristen yang lebih luas, juga dimintai pertangggung jawaban sosialnya disini untuk tidak menghilangkan sistem nilai teologis Kristen yang dikonstruksi dan diakumulasi dari pengajaran gereja masing-masing. Tetapi penting pula untuk sadar sosiologis, ketika ajaran itu menyalahi realitas sosial, yang menyimpang bukan ajarannya, tetapi caranya untuk memposisikan itu menurut setting sosial dimana masyarakat Kristen itu hidup bersosialisasi dan mensosialisasikan TUHAN ALLAHnya.
Jika sudah sampai demikian, maka kita akan bisa merancang dan menerapkan strategi pengajaran yang efektif yang mencerminkan keragaman etnis dan budaya. Hasilnya bisa kita siapkan untuk mempersiapkan sebuah pedoman dalam membangun program edukasi yang multikultural dalam teori, pemikiran, dan praksisnya. Jika memang kita bersedia, maka yang dituntut dari Kristen adalah kemauan secara ikhlas dan tulus menunjukkan tindakan sosial kongkrit yang bisa mendidik untuk itu. Bagi kita itu benar, bahkan dengan kebisaan ini pulalah, maka kita bisa mendesain dan mengembangkan program-program pendidikan dan sosio-praksisnya yang berkaitan erat dengan keragaman manusia lengkap dengan segala dimensi diversititasnya.
Pengakuan
Buku ini merupakan buku sumber dan pegangan yang saya rekonstruksi sendiri menjadi referensi utama bagi mahasiswa di kelas mata kuliah “PAK dalam Masyrakat Majemuk” di sekolah tinggi teologi atau agama Kristen, dimana saya sebagai dosen pengampunya. Tentulah banyak separasi, komparasi, dan gaya menuturkan lewat pilihan cara mengekspresikan atau pilihan kata-kata, dalam memposisikan issu dalam tulisan. Ini hanya cara yang sengaja saya pilih untuk menaikkan tensi kreatif pembacanya, dan mempersuasinya untuk memikirkannya dari sisi yang lain, sehingga pembacanya terlibat secara emosional dan intelektual.
Bahkan, saya memilih menggunakan kata ganti personal pertama “saya” ketimbang kaga ganti ketiga “penulis”, dengan maksud mendekatkan dialog interaktif antara saya dengan pembaca, bukan karena alasan subjektif. Subjektifitaspun bukan diukur dengan penggunaan dan pemilihan kata subjek saya atau penulis, tetapi lewat validitas dan reabilitas data dan fakta. Intinya, lewat tulisan ini saya hanya ingin lebih dekat sebagai sahabat dan teman sejawat dan teman pembaca.
Saya mengakui, untuk menulis buku ini saya meminjam dan mempekerjakan ilmu pendidikan umum, tetapi juga pendidikan Kristen dari “hasil pemikiran akademik” dan “literatur dalam level seorang akademisi dan praktisi” berbahasa Inggris yang mereka hasilkan, dan dari penutur berbahasa Indonesia. Artinya referensinya, memang lebih banyak saya acu secara langsung dari sumber pertama, dan penulis orang pertama. Tetapi saya kembangkan sendiri untuk mendukung konstruksi teoritik dan sosio-praksis yang saya gagas.
Ini sengaja saya lakukan demi menjaga kualitas dan kesahihan referensi sebuah “academic writing” dan buku teks akademik saja. Tetapi karena yang fokus saya soroti adalah komunitas masyarakat beragama Islam dan Kristen, maka banyak juga literatur Indonesia yang saya acu. Ini memang harus demikian, karena setting sosial dan lingkup masalahnya adalah diantara Islam dan Kristen, sudah seharusnya literaturnya terkait itu.
Latar belakang teoritis dan pemikiran saya kembangkan dari hasil pemikiran dan penelitiannya James A. Banks. Professor James A. Bank adalah Ketua Studi Keragaman dan Direktur Pusat Pendidikan Multikultural di University of Washington, Seattle. Dia adalah mantan presiden American Educational Research Association (AERA) dan Dewan Nasional untuk Studi Sosial (NCSS). Dia adalah anggota Akademi Nasional Pendidikan. Profesor Bank adalah spesialis dalam pendidikan multikultural, kajian etnis,dan pendidikan ilmu sosial. Ia seorang Pofesor dan periset pemegang gelar doktor kehormatan dari lima perguruan tinggi dan universitas dan The UCLA Medal dari University of California, Los Angeles,dewan kehormatan tertinggi di Universitas itu. Ia juga Profesor Tamu di Columbia University.
Sayangnya, karena ia lebih fokus dalam persoalan multikultural masyarakat Amerika yang memiliki karakteristik masalahnya tersendiri, yang tidak sama dengan setting sosial Indonesia. Lagipula apa yang dijelaskan Banks, lebih cocok saya posisikan sebagai kerang metodologi berpikir saja. Itu tidak sesua ketika berbicara soal sosio-praksisnya di Indonesai, yang lebih banyak soal tensi dan konflik “individu dan kelompok” dalam komunitas masyarakat beraagama, bukan warga negara seperti yang bayak disoroti Banks, dan pemikir dan praktisi pendidikan multikultural Barat lainnya. Karenanya, saya lebih senang mengembangkan dan melokalisasikan issu ini lebih khusus kedalam komunitas masyarakat beragama Islam dan Kristen, sebagai fokus analisisnya. Intinya, realitas faktual yang terjadi di Indonesia, menurut saya penting untuk merekonstruksi kembali soal pendidikan keberagamaannya secara teori, pemikiran, apalagi jika terkait langsung dengan sosio-praksisnya.
Mungkin juga ada saja data dan fakta terbaru soal pendidikan Kristen terbaru yang terlewatkan di buku ini. Tetapi, perbedaan dan ketidaktercantuman data dan fakta (termasuk salah ketik) itu merupakan peluang untuk saling mengkritisi, mendekonstruksi, dan merekonstruksi secara konstruktif dalam artian sejatinya. Tetapi apapun itu, tetaplah seharusnya diargumentasikan secara empiris dan bisa ditangungjawabi dipublikasi buku lain. Meskipun cara pandang kita berangkat dari sisi yang berbeda, tetapi tujuan akhir kita adalah sebagai komunitas masyarakat beragama Islam dan Kristen lewat pendidikan agamanya elamat membaca!
Elia Tambunan
Yogyakarta, 24 Agustus 2011
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB I
KRITIK SOSIOLOGI TERHADAP TEOLOGI UNTUK “mengiluminasi” MASYARAKAT MULTIKULTURAL
A. Rekonstruksi Ulang Pendidikan Agama Kristen
1. Pendidikan: Proses Edukasi ke Eduaksi
2. Agama: Bukan Doktrin, tetapi Ilmu
3. Masyarakat Kristen: Bukan Objek tetapi Subjek
B. Rubuhkan Tembok Besar Missiologi, Ekklesiologi, Bangunlah Sosio-Teologi
BAB II
TRANSFORMASI AGAMA MENJADI REGULASI
DAN LEGISLASI “sebabkan” TERORISME SOSIAL DAN INTIMIDASI SOSIAL
A. Regulasi dan Legislasi Konstitusionalmenjadi Hukum Agama
B. Regulasi dan Legislasi Sosial menjadi Organisasional dan Denominasional
C. Transformasi Agama menjadi Regulasi dan Legislasi sebabkan Terorisme dan Intimidasi Sosia
BAB III
REALITAS MASYARAKAT MULTIKULTURAL “living together” DI INDONESIA
A. Islam dan Kristen juga Manusia, Itu Realitas
B. Sesama Manusia harus Hidup Bersama
C. Murnikan Kembali Doktrin Purifikasi Teologi Lakukan Purifiaksi Hidup dan Sosial
BAB IV
PAK “mengedukasi dan mengeduaksi” MASYARAKAT MULTIKULTURAL
A. Pendidikan Masyarakat Multikultural dan Agama Plural
B. Prinsip-Prinsip PAK
C. Pendekatan PAK
D. Strategi PAK
BAB V
PENGEMBANGAN MODEL PAK “klik” dan “fit” DENGAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL
A. Meregangkan Wilayah Kajian PAK
B. Bukan lagi PAK tetapi AKP
C. Tinggalkan Islamologi Masuki Islamic Studies
D. Lupakan Pedagogi: Gunakan Andragogi
DAFTAR PUSTAKA
Legalitas dan Identitas Buku:
Penulis : Elia Tambunan, S.Th (PAK)., M.Pd.
Judul : Pendidikan Agama Kristen dalam Masyarakat Multikultural:
Rekonstruksi Teori ke Sosio-Praksis
ISBN : 978-602-99935-2-3 (Resmi di Katalog Dalam Terbitan Perpustakaan Nasional R.I
Penerbit : illumiNation, Yogyakarta
Tahun : Agustus, 2011
Harga : Rp. 38.000., (tambah ongkos kirim)
Kategori : Pendidikan Agama, Masyarakat, Kristen, Islam, Multikulturalisme dan Pluralisme