Secercah Harapan bagi “Orang yang Terlarang Sekolah disini”
dan Perjuangan Hebat untuk Menemukan Makna Hidup
Epic-login Pembuka
Persoalan belajar mengajar di kampus, yang saya kelompokkan saja dalam microteaching, biasanya hanya berkutat soal teori. Hasilnya semua pelaku di dalamnya sangat teorist. Sedangkan, realteaching di lapangan diluar sistem persekolahan bertujuan untuk agar mahasiswa mendapatkan pengalaman faktual (acting in reality) tentang proses pelaksanaan pembelajaran dan kegiatan kependidikan lainnya berdasarkan pengalaman empirik.
Faktanya, ada kesenjangan diantara keduanya. Ini penting ditangani secara cepat. Saya mengamati salah satu bahaya yang sedang dihadapi oleh lembaga dengan sistem pendidikannya saat ini adalah kedinginan perasaan terhubung dengan komunitas (loss of a feeling of community) di luarnya dan kehilangan kedekatan (loss of a feeling of connection and closeness with the world beyond the academy) dengan masyarakat, karena hanya fokus pada urusan akademik (Bell Hooks, 2003: xv). Oleh karena itu, microteaching dan real teaching harusnya sebagai forum akademik harusnya dikonstruksi melakukan sharing atau meeting. Maksudnya pembagian teori ke lapangan dan sebaliknya, singkatnya pertemuan teori dengan realitas. Lembaga dan seluruh pelakunya diharapkan menjembatani gaps (kesenjangan-kesenjangan) pendidikan dengan kebutuhan mendsak diantara masyarakat.
Problem akademiknya dalam konteks Indonesia, ternyata tidak ada mata kuliah tersendiri baik institusional dan nasional yang dirancang secara partikular untuk Lembaga Pendidikan Agama Kristen (PAK) atau di Sekolah Tinggi Theologia (STT) di level D1-S4 (atau S- selanjutnya jika ada), yang memahami soal Siswa Berkebutuhan Khusus-Special Need Students atau Individuals with Disabilities Education. Ini indikasi kongkrit pendidikan PAK & STT tidak memiliki social sensitivity. Ironis bukan? memang, namun demikianlah adanya, mauapa lagi. Bagaimanakah alkisah di baliknya? Kurikulum yang dirancang tahun 2006 dan sebelumnya belum memikirkan soal itu. Apa maknanya? Artinya para Ahli Designer Kurukulum Hanya Fokus pada orang yang normal.
Data akademiknya apa? Sederhana mencarinya. Bukankah umumnya syarat masuk kuliah dan menjadi mahasiswa PAK dan STT selalu “katut” Selain adanya tulisan Kristen yang percaya Yesus dan Lahir baru (meski tidak semuanya sudah lahir baru) pasti tercantum: “Sehat Jasmani dan Rohani.” Saya pertegas artinya: “Orang Cacat Dilarang Sekolah” di Lembaga STT dan PAK. Alasan sesunguhhnya dan yang lainnya, mereka yang lebih tahu. Namun, hipotesis saya adalah alasan klasik Finansial untuk memperlengkapi perangkat keras untuk sarana dan prasarana serta media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan unik tipa-tiap “mereka ini” sesuai dengan tingkat kekhususannya mahal. Siapakah mereka?
Essay ini merupakan epiclog atau cerita-epic yang mengekspos kedalam, tentang ketidak sensitifan lembaga yang visi dan missi utamanya adalah fokus soal humanitari, berbasis Mandat atau amanat Agung Messianik. Saya hanya ingin membuka cerita sedih ini dan membawa masuk (login) pembaca ke dalam persoalan humanitari disekitar kita-mereka di luar tembok dan pagar lembaga pendidikan PAK dan STT. Saya tidak tinggal pada keasikan cerita-epic semata, tetapi memberikan kontribusi akademik kongkrit bagaimana merancang pembelajaran dan assesment yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Essay ini dibangun berdasarkan persfektif manajemen pendidikan sebagai area studi. Ini merupakan essay self-reflexive dalam metodologi riset berdasarkan pengalaman “pengabdian” dalam mengampu mata kuliah Metode Mengajar PAK di Sekolah Tinggi Theologia.
Mengapa berkebutuhan khusus?
Mereka adalah Individu yang membutuhkan persyaratan khusus dalam dunianya seperti untuk pendidikan dengan latar belakang yang kurang beruntung atau cacat mental, emosional, atau fisik atau risiko yang tinggi mengembangkannya (http://www.merriam-webster.com/dictionary). Individu yang memiliki Kebutuhan khusus umumnya telah diidentifikasi melalui dengan Undang-Undang Pendidikan tentang Penyandang Cacat (Individuals with Disabilities Education Act-IDEA). Anak-anak yang telah didiagnosis memiliki keterlambatan perkembangan, atau anak yang telah dievaluasi sebagai salah satu dari daftar terbatas cacat dianggap sebagai memiliki kebutuhan khusus ketika mereka membutuhkan pendidikan khusus dan layanan terkait soal itu.
Hampir 7 juta anak-anak cacat mendapatkan pelayanan pendidikan khusus di bawah IDEA, termasuk 270.000 bayi dan balita, 715.000 anak-anak usia prasekolah, dan 6 juta siswa dari usia 6 sampai 21 data lewat Departemen Pendidikan, Amerika tahun 2000 (E.M. Brennan & J. M. Rosenzweig, 2008: 2). Membaca data Kompas, Jumat 3 Desember 2010, hlm. 12, bahwa di Indonesia, anak penyandang disabilitas atau difabel masih mengalami kesenjangan kesempatan pendidikan. Dari sekitar 700.000 anak penyandang disabilitas, hanya 19.315 anak yang berada di sekolah negeri dan 53.037 anak di sekolah swasta. Sementara pendidikan inklusi yang diharapkan menjadi altenatifpun belum bisa dinikmati semua anak penyandang disabilitas. Pendidikan inklusi tingkat sekolah dasar hanya diikuti 13.590 anak dan menurun di jenjang pendidikan sekolah menengah pertama menjadi hanya 1.308 anak. Investasi pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi pun bagi anak penyandang disabilitas masih rendah.
Sejumlah orang ini hanya sampel yang saya gunakan. Mereka terlahir tidaklah sesuai dengan harapan dan perencanaan seperti itu. Mereka ini saya definisikan sebagai “individu yang tersandung cacat”. Bagi mereka mereka adalah normal, itu sebabnya mereka asik dengan dunianya. Dugaan saya, mungkin saja mereka sering tertawa untuk mentertawakan “kita” yang bukan seperti mereka, Itu hanya anggapan kita saja. Bagi mereka kitalah yang abnormal.
Mereka adalah normal dan jenius karena memiliki kelebihan dan kekhususan yang tidak ada pada “kita.” Bahkan untuk mengerti mereka “kita wajib berguru kepada mereka. Kita terpaksa menjadi seperti mereka, jika kita tetap mempertahankan kitalah yang normal dan mereka lah yang abnormal. Saya mengatakan “normal is over” maksudnya norma atau tidak sudah selesai. “Kita” perlu belajar bersama dengan mereka dan mereka perlu belajar bersama dengan “kita”. Jika sudah demikian data dan faktanya, bagaimana “kita” mengurai persoalan ini dan bagaimana solusi dalam proses edukasinya.
Proses Pembelajaran dan Pengajaran secara Spesial
Proses pembelajaran dan pengajaran dan strategi yang digunakan untuk merencanakan, melakukan, mengimplementasikan, mereflesikan berdasarkan penilaian-penilaian, seharusnya dirancang dan diciptakan dan disediakan untuk mendorong siswa dengan ketidakmampuannya belajar untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang konsep-konsep sains dan ilmu pengetahuan dan kehidupan yang lebih berarti, bermanfaat dan bermartabat. Semua itu bukan untuk menutupi kekurangannya atau menujukkan bahwa ia sama bahkan lebih unggul dari siswa normal, tetapi karena itulah makna sejatinya, kearah itulah route perjalanan proses edukasinya.
Proses pembelajaran dan pengajaran untuk “siswa inklusif” (karena tidak seperti itu penampakan yang mereka harapkan terjadi dalam hidupnya) seperti mereka merupakan tantangan. Ini membutuhkan skill dan “hasrat-compassion” yang murni untuk menemani dan memomongnya. Ini dibutuhkan ketrampilan adaptasi karena terlalu banyak gaya belajar yang berbeda yang harus didemostrasikan. Mereka termasuk siswa yang memiliki kesulitan khusus namun spesial untuk belajar. Belajar bagi siswa tersandung cacat memiliki masalah yang variatif, termasuk fisik, emosional, dan kognitif. Sandangan cacat ini menyebabkan perlu mengajarkan konsep-konsep yang berbeda terutama melalui penggunaan langsung, instruksi yang eksplisit dan evaluasi disesuaikan.
Belajar adalah menuntut ilmu bagi sebagian besar siswa karena kebutuhan untuk belajar mereka melalui pengamalan teknik dan kompleksitas konsep karena mereka tidak memiliki ketidakmampuan belajar normal untuk meningkatkan kemampuannya, layaknya orang-orang normal lainnya. Ini yang disebut dengan “teaching strategies: accommodations and learning styles” (David R. Wetzel, 2000: 1) maksudnya adalah strategi pembelajaran dan pengajaran lewat akomodasi dan gaya belajar siswa yang memiliki keinginan spesial. Tingkat kesulitannya sangat tinggi untuk orang normal di sekitarnya.
Bagi mereka itulah cara yang paling normal. Bagi mereka, hidupnya normal-normal saja. Itu yang ada di dalam memori dan ingatan mereka. Gurunyalah yang tidak normal yang menyandang cacat dan berpenyakit psikologis karena tidak memahami mereka secara personal dan secara holistik. Belajar dan mengajar ilmu dan pengetahuan bersama dengan siswa yang berkebutuhan khusus harus disesuaikan dengan tingkat kekhususan mereka, dan melibatkan faktor-faktor lain secara bersamaan, misalnya pengetahuan psikologis dan humanisme. Ini akan sangat menentukan dan mungkin mempengaruhi hasil pembelajaran siswa dan pengajaran guru.
Strategi Model Sentuhan-Penanganan
Strategi mengajar dan belajar yang diterapkan mahasiswa dan guru ketika mengakomodasi dan mempertemukan kebutuhan berbagai gaya belajar siswanya. Teknik dan metodik pengajaran teknik termasuk dengan penggunaan penyelenggaran grafis, perancah, praktek dengan ekstra hati-hati nan waspada, waktu ekstra nan tidak tertentukan kapan berakhir, bahan-bahan pembelajaran biasanya dicetak dalam ukuran besar dan penuh warna-warni, dan berbahan elektronik. Semuanya menerapkan konsep learning by feeling, by touching, by doing, maksudnya segalanya harus tersentuh, terrasakan dan terlakukan secara langsung dan eksplisit. Instruksinyapun dipastikan dibangun seperti itu dan pastikan bahwa siswa menyentuh secara langsung apa yang sedang dijelaskan dan ditunjukkan. Lakukan secara jelas, tugas-tugas dilakukan bersama dengan penjelasan yang jelas tentang apa yang mereka diharapkan untuk belajar dari kegiatan ilmu dan pengetahuan.
Salah satu contoh adalah membaca langkah-langkah prosedural dari penyelidikan ilmu pengetahuan, dilakukan bersama, hasil pengamatan didiskusikan. Data yang dikumpulkan harus dicatat pada laporan sehingga dapat terus dibahas. Salah satu contoh, ketika siswa tersandung cacat mengikuti petunjuk guru untuk melakukan penyelidikan tentang negara-negara. Materi digunakan dari berbagai bahan yang bisa dipegang-pegang dan dimain-mainkan. Siswa bersama guru dengan segala sumber daya yang ada menyentuh bahan-bahan tersebut agar dikenali sifat materi dan pengetahuian yang berkaitan dengan keadaan dan materi-materi lainnya yang terdapat dalam negara-negara tersebut.
Untuk mempelajari sains dan kosakata dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai strategi dan teknik menyelidikina dan sekaligus untuk memahami makna dari kosa kata yang digunakan dalam sain tersebut. Lainnya, bisa menggunakan flash card. Ini hanya sebahagian dari sekian banyak yang masih bisa dikembangkan. Intinya adalah membelajarkan dan mengajar siswa cara membuat atau mengembangkan peta konsep untuk mempelajari definisi kosakata ilmu pengetahuan.
Penilaian untuk Menghargai
Penilaian atau self-academic assesmentnya difokuskan pada Tingkatan yang telah dicapai. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan penilaian belajar, baik formatif maupun informal, untuk mengukur pemahaman siswa tersandung cacat. Konsepnya untuk memberikan informasi yang berguna untuk memberikan arahan untuk membantu mereka dalam proses belajarnya. Sediakanlah siswa dengan kriteria penilaian yang menggambarkan tingkat kualitas untuk setiap kriteria penilaiannya. Dengan demikian, itu tidak bergantung pada unit test atau ujian sebagai satu-satunya cara dan sarana penilaian.
Ragam penilaian secara variatif dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai penilaian seperti kuis, pekerjaan mandiri di rumah, nilai notebook-catatan pekerjaan guru, keikutsertaannya dalam partisipasi kelas, proyek-proyek pembelajaran, penyelenggara belajar berdasarkan grafis, gambar, dan yang secara kasar dapat dilihat mata, kerja kelompok, tugas tertulis, dan presentasi. Beberapa varietas ini dipakai untuk tujuan “student access to grades.” (Ibid., David R. Wetzel, 2000: 121). Maksudnya penilaian untuk dan merekapitulasi kekuatan belajar siswa tersandung cacat dan sebagai preferensi guru pendampingnya untuk membawa siswa memiliki akses kepada level kelas dan pengetahuan tingkat selanjutnya.
Mahasiswa sebagai guru atau sahabat pendamping memberikan komentar yang disebut sebagai “provide personalized feedback” (Ibid., David R. Wetzel, 2000: 211). Ini sebagai penghargaan dan penerimaan tehadap personalisasi siswa secara utuh. Setiap pertemuan harus dimulai diakhiri dengan atau memberikan umpan balik pribadi atas pada pekerjaan kelas Itu sebagai umpan balik yang berfokus pada kemajuan mereka dalam mempelajari konsep-konsep substansi kajian dan pencapaian tujuan program pembelajaran atau tugas-tugas mandiri lainnya. Salah satu contohnya adalah menulis komentar khusus pada hasil-hasil pekerjaannya unuk memberikan umpan balik tambahan tentang keberhasilan atau bagaimana mereka mencapai dan menunjukkan harapan. Ini penting karena mereka adalah kategori orang yang sedang melakukan “struggling for hope means and uncertainly” (Ibid, Bell Hooks, 2003: xiv) Ini akan membuat koneksi antara pengajaran dan pembelajaran untuk cara belajar siswa yang tersandung cacat.
Manajemen Pelaksanaan Proses Penilaian Edukasi Khusus
Saya menjelaskan detail hal-hal yang dilakukan mahasiswa dengan dosen pembimbing dan guru pembimbing untuk penanganan terhadap siswa tersandung cacat. Ini yang disebut saya sebut sebagai “coducting planning and feedback confferences as a teachers” (Sylvia M. Roberts and Eunice Z. Pruitt, 2003: 12). Maksudnya pertemuan akademik agar dapat merencanakan dan bertindak bersama untuk memberikan penilaian penghargaan kepada siswa tersandung cacat berdasarkan hasil-hasil penyelidikan secara cermat yang telah dilakukan. Hal itu saya jelaskan seperti dalam Tabel. 1. berikut.
Tabel. 1. Penilaian Penghargaan Siswa Tersandung Cacat
Pendamping | Indikator Pembelajar dan Pengajaran | Indikator Hasil |
Mahasiswa |
|
|
Dosen Pembimbing |
|
|
Guru Pembimbing |
|
|
Mahasiswa Dosen Pembimbing Guru Pembimbing |
|
|
Dari tabel di atas tergambar, bahwa penanganan dan praktikum mengajar ilmu dan pengetahuan bagi siswa yang tersandung cacat yang keburu dianggap memiliki ketidakmampuan belajar, dapat dilakukan melalui kolaborasi kampus dengan sekolah, atau hasil kenerja para pekerja professional di bidang intelektual dan otak manusia. Ini dapat dilakukan dengan penggunaan beragam strategi yang variatif dan attraktif. Ini sangat baik karena siswa sendiri sebagai subjek yang sebenarnya memiliki multi-indrawi dan multi-kemampuan yang belum terekspos saja.
Disinilah penyelidikan secara terus-menerus setiap semester dan setiap tahun akademik baru perlu dilakukan. Ini bisa dilakukan dengan penelitian tindakan kelas untuk menghasilkan teknik dan metodik proses pembelajaran dan pengajaran menekankan penggunaan penyelidikan dan keterampilan isi dan proses. Belajar bagi mereka harus dimaknai sebagai upaya-upaya “academic-education enterprise” untuk menyediakan siswa dengan berbagai macam metode untuk dapat dinilai secara formatif dan informal dan dihargai dan dimaknai apa adanya tingkat pemahaman konsepnya bukan melulu soal hasilnya.
Epic-logout Terakhir
Lembaga Pendidikan Agama Kristen (PAK) atau di Sekolah Tinggi Theologia (STT) di level D1-S4 (atau S- selanjutnya jika ada), yang belum memahami soal Siswa Berkebutuhan Khusus-Special Need Students atau Individuals with Disabilities Education di Universitas atau Sekolah Tinggi yang sesungguhnya bukan lagi hanya bertujuan untuk menyiapkan dan menghasilkan Guru atau Tenaga Kependidikan Keguruan. Tetapi, yang dituju adalah tentang “metode & teknik mengajarkan karena telah lebih dahulu dipelajari sendiri secara mandiri” sesuai dengan tiap karakteristik mereka yang berkebutuhan khusus. Artinya yang sedang dibicarakan adalah skill atau kemampuan teknis dan metodis untuk melakukan “sesuatu”. Hal sesuatu itu merupakan “as dynamic for collective enterprise“ (Edward C. Lindeman, 1961: 93) maksudnya sesuatu dinamika dengan upaya-upaya kolektif yang kongkrit.
Sesuatu itu adalah soal “mengajar untuk membelajarkan diri sendiri dan orang lain” (meskipun bukan menggurui), atau belajar untuk mengajar (learning to teach), karena tidak mungkin mengajar tanpa belajar. Dalam pemahaman seperti ini maka mahasiswa akan sampai pada 4 hal penguasaan teknik, yaitu 1) pengetahuan tentang isi (content knowledge), 2) pengetahuan tentang ilmu pedagogik (pedagogical knowledge), dan 3) ketrampilan teknis mengajar (teaching skill) (David A. Jacobsen, 2009: vi.), dan saya tambahkan keempat yaitu 4) budaya belajar mandiri (self-interdependent learning).
Lebih luas dari itu agar mahasiswa memiliki nilai tambah dalam sikap kepribadian (performance), pengetahuan dan keterampilan sebagai tenaga profesional di bidang kependidikan yang memiliki “sense of social life”. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, bagi pembaca akan mulai tampak bersitan logika pemikiran dan kerangka kerja untuk terjun langsung dan berkontribusi kongkrit memberikan secercah harapan bagi “Orang yang Terlarang Sekolah disana” itu. Perjuangan kita adalah kisah sukses perjuangan hebat mereka yang disana untuk menemukan makna hidupnya. Semoga kita juga menemukan untuk kita dengan mencoba lebih banyak mempertemukanya untuk mereka. Semoga saja teman. (siemboen).
References:
Bell Hooks, Teaching Community: A Pedagogy of Hope, New York: Roudledge, 2003, h. xv.
“Special needs” dalam http://www.merriam-webster.com/dictionary diakses tanggal 24 September 2010.
E.M. Brennan & J. M. Rosenzweig, Parents of Children with Disabilities and Work-life Challenges: Presentation Summary, Massechusette: Alfred P. Sloan Work and Family Research Network, 2008, h. 2.
David R. Wetzel, Teaching Science to Special Needs Students: Learning Science by Interactive Instruction and Focused Assessment, Virginia: George Mason University, Press, 2000, h. 1.
Sylvia M. Roberts and Eunice Z. Pruitt, School as Professional Learning Communities: Collaborative Activities and Strategies for Frofessional Development, California: Corwin Press, Inc., 2003, h. 12.
Edward C. Lindeman, The Meaning of Adult Education, Canada: Harvest House, Ltd., 1961, h. 93.
David A. Jacobsen, Methods for Teaching: Promoting Student Learning in K-12 Classrooms with My Education Lab, 8th ed., Boston: Allyn and Bacon, 2009. h. vi.