Sunday, September 18, 2011

Sebagai Guru Kristen: Bagaimana Metode Mengajar?

Keterangan Isi Buku:

SEBAGAI GURU KRISTEN: Bagaimana metode mengajarnya? Ini adalah ketrampilan secara lengkap bagaimana sesungguhnya mengajar? Atau “how to teach?” Artinya, guru adalah pusat perhatian disini. Buku ini menyediakan metode dan ketrampilan mengajar secara lengkap agar guru Kristen memahami dengan benar bagaimana sesungguhnya mengajar dan panggilan atau tanggung jawab sosialnya untuk mengajar.
       Guru Kristen bertanggung jawab sosialnya untuk mengajar untuk itulah ia belajar dan diajar sebelumnya. IA penting mengakumulasi berbagai kecakapan teknis atau metodis dan sosio-praksis. Itu sebagai faktor penting dalam panggilannya untuk mengajar di sekolah dan Gereja Kristen. Bagiamana guru melakukan  mandatnya, dan bagaimana dampaknya sosialnya? Bagaimana keterlibatan siswa dan komunitas masyarakat beragama Kristen di dalam pendidikan Kristen secara proaktif? Bagaimana cara mengevaluasi itu semua? Pertanyaan itu menggugah dan menggugat kesadaran kritis guru sehingga muncul kreatifitasnya untuk merevolusi diri sendiri dan metode mengajar guru tersebut. Jawabannya ada dalam buku ini.
            Yesus bisa menjadi teladan disini. Yesua “dimatikan” di salib bukan karena cintaNya kepada teks-teks Kitab Suci. Tetapi karena mempertontonkan pengajaranNya kepada khalayak ramai, dan hidup sama persis seperti apa yang diajarkanNya dan tetapt seperti terdokumentasi dalam Kitab Suci. Yesus bukan mati Ia juga bukan karena IA menjaga-jaga kemurnian atau ortodoksi doktrin dari pengajaranNya. Tetapi karena IA menggunakan pengajaranNya mengubah hati dan hidup orang banyak, yang belum pernah terjadi sebelumnya.
            IA pantas dan tepat menjadi role model bagi guru Kristen sebagai Guru dan Hamba, sekaligus siswa dari GURU dan BAPANYA. Kini, guru Kristen bukan lagi hanya  guru bagi siswanya. Tetapi, ia juga sebagai guru masyarakat dan komunitasnya. Guru Kristen menjadi panduan yang hidup bagi siswa dan masyarakat untuk hidup secara spiritual, sosial, dan intelektual sesuai dengan Firman Allah yang diajarkannya.
        Buku ini merupakan pasangan intim dari buku “Gereja sebagai Komunitas Edukasi: Bagaimana Melakukannya?” yang juga saya tulis senidiri. Artinya kedua buku ini menjadi partner yang tidak boleh diceraikan. Saya sengaja desain sendiri buku ini bagi guru Kristen, secara partikular dalam sistem persekolahan, tetapi juga sistem pelayanan, pengajaran di Gereja Kristen. Saya menjelaskan ini berdasarkan pendekatan teoritis dan pengalaman empiris dari sudut sosiologi mengajar di pendidikan keagamaan Kristen. Ini membantu mereka yang berniat dan berminat mengajar dan belajar bersama dengan siswanya semangat revolusionis dan progressif. Bagi guru Kristen metode mengajar ini akan bisa bekerja membantunya lebih banyak, jika ia rela untuk mempekerjakannya. Lewat buku ini guru Kristen dipersuasi untuk mengeksplorasi bagaimana cara mengajar yang terbaik untuk siswanya, bukan lagi untuk dirinya sendiri.
         Bagi siswa proses mengajar seperti ini akan membantu dan menemani mereka untuk menemukan sendiri cara belajarnya yang terunik dan khas miliknya sendiri, dan yang paling menyenangkan baginya. Kesenangan belajar ini akan menolongnya menjadi Kristen yang mengerti dan hidup dalam kekristenan yang ia dapatkan dari hasil pengajaran disekolah dan digereja. Lewat proses belajar ini pula, ia sendiri akan menemukan karakternya sendiri seperti karakter Kristus agar mereka hidup berkarakter Kristen. Lewat pengajaran guru, mereka akan menemukan, bahwa betapa sukar dan sengsaranya siswa yang tidak atau belum menemukan Yesus sebagai juruselamatnya dalam proses pengajaran lewat muatan atau isi materi yang dipelajarinya bersama dengan gurunya.

Siapa Pembaca Buku Ini?         
            Buku ini dikhususkan untuk Mahasiswa sekolah tinggi teologi atau agama, khususnya program studi PAK dan Teologi S1-S3, yang ingin menjadi guru Kristen. Ini bermanfaat untuk mengkonstruksi kompetensi dalam panggilan, pelayanan pengajaran yang edukatif. Buku ini  membantu anda untuk mengkritisi dan menciptakan metode baru untuk mengajar di sekolah dan digereja Ini adalah buku teks akademik secara teoritis, pemikiran dan  praksis.
        Buku ini saya sangat generik dalam artian bisa dipergunakan di tingkat satuan pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi, juga di gereja. Tetapi juga bersifat partikular karena ini sebagai buku kerja akademik dalam  proses bagaimana mengajar. Hal itu demikian agar bisa diapplikasikan kesuruh dimensi pendidikan dan pelayanan agama Kristen dimana saja.
            Saya menyediakan ini sebagai bantuan untuk menggugat dan menggugah diri sendiri. Apakah semua pengetahuan terkait dengan sistem pedagogiknya telah kontributif terhadap karakteristik, kebutuhan, pengalaman dan realitas kehidupan siswa di sekolah, jemaat di gereja, dan di masyarakat? Jika anda spesialis pembelajaran pendidikan Kristen di sekolah dan di pendidikan tinggi, atau di gereja yakni perancang kurikulum nasional dan institusional, pengembang metodologi, proses, isi dan materi pendidikan Kristen, terkait dengan metode mengajar inilah buku teks yang tepat sebagai buku referensi utama. Ini membantu anda untuk bisa merancang sendiri pendidikan Kristen kearah yang lebih baru secara teori, pemikiran dan praksisnya.
           
Pengakuan      
          Buku ini merupakan buku sumber dan pegangan yang saya rekonstruksi sendiri menjadi referensi utama bagi mahasiswa di kelas mata kuliah “Mentode Mengajar” di sekolah tinggi teologi atau agama Kristen, dimana saya sebagai dosen pengampunya. Tentulah banyak separasi, komparasi, dan gaya menuturkan lewat pilihan cara mengekspresikan atau pilihan kata-kata, dalam memposisikan issu dalam tulisan. Ini hanya cara yang sengaja saya pilih untuk menaikkan tensi kreatif pembacanya, dan mempersuasinya untuk memikirkannya dari sisi yang lain, sehingga pembacanya terlibat secara emosional dan intelektual.
            Bahkan, saya memilih menggunakan kata ganti personal pertama “saya” ketimbang kaga ganti ketiga “penulis”, dengan maksud mendekatkan dialog interaktif antara saya dengan pembaca, bukan karena alasan subjektif. Subjektifitaspun bukan diukur dengan penggunaan dan pemilihan kata subjek saya atau penulis, tetapi lewat validitas dan reabilitas data dan fakta. Intinya, lewat tulisan ini saya hanya ingin lebih dekat sebagai sahabat dan teman sejawat dan teman pembaca.
           Saya mengakui, untuk menulis buku ini saya meminjam dan mempekerjakan ilmu pendidikan umum, tetapi juga pendidikan Kristen. Hanya dua footnote dari buku ini berbahasa Indonesia. Selebihnya saya kembangkan sendiri dari “hasil pemikiran akademik” dan “literatur dalam level seorang akademisi dan praktisi” berbahasa Inggris yang mereka hasilkan. Artinya footnote atau referensinya, lebih banyak saya acu secara langsung dari sumber pertama, dan penulis orang pertama. Ini sengaja saya lakukan demi menjaga kualitas dan kesahihan referensi sebuah “academic writing” dan buku teks akademik saja.
         Latar belakang teoritis dan pemikiran pengajaran yang membangun dan mengembangkan karakter yang baik saya memposisikan dan mengembangkan diri dari  pemikiran dari Thomas Lickona, Ph.D. IA adalah seorang psikolog perkembangan dan Profesor pendidikan di SUNY- State University of New York di Cortland. Disana ia telah melakukan pekerjaan yang memenangkan penghargaan dalam pendidikan guru. Dia juga menjadi seorang dosen tamu atau visiting professor at Boston and Harvard Universities. Ia pernah menjadi seorang presiden dari Asosiasi Pendidikan Moral, Dewan Direksi dari Kemitraan Pendidikan Karakter di SUNY.
            Ia adalah konsultan sekolah-sekolah tentang pendidikan karakter dan pembicara di konferensi untuk guru, orang tua, pendidik agama, dan kelompok-kelompok lain yang peduli tentang perkembangan moral orang muda. Dia menjadi dosen “lintas” di beberapa universitas Amerika Serikat dan dunia pada subyek pembinaan pengembangan karakter di sekolah dan rumah. Sayangnya, ia lebih fokus menulis secara umum. Oleh karena itu, saya mengembangkan dan melokalisasikan kepada bagaimana cara guru Kristen untuk mendidik, membangun dan mengembangkan karakter siswa di sekolah dan di jemaat untuk memiliki karakter Kristus.
           Mungkin juga ada saja data dan fakta terbaru soal pendidikan Kristen terbaru yang terlewatkan di buku ini. Tetapi, perbedaan dan ketidaktercantuman data dan fakta (termasuk salah ketik) itu merupakan peluang untuk saling mengkritisi, mendekonstruksi, dan merekonstruksi secara konstruktif dalam artian sejatinya. Tetapi apapun itu, tetaplah seharusnya diargumentasikan secara empiris dan bisa dipertangungjawabkan lewat publikasi buku lain.
          Meskipun cara pandang kita berangkat dari sisi yang  berbeda, tetapi motiv dan tujuan akhir kita adalah sebagai pendidik Kristen yang melayani pekerjaan spiritual, berbasis sosial dan intelektual. Sehingga sekolah dan gereja menghasilkan manusia yang berkarakter Kritus dan Kristen sejati. Selamat melakukannya dan selamat membaca!


DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
PROSES BELAJAR PROAKTIF DAN PARTISIPASIF
A. Filsafat Mengajar
1.  Dasar Teologis dan Sosiologis
2.  Kompetensi Guru Kristen
B.  Siswa sebagai Fokus Perhatian Mengajar
C. Mengajar Pertumbuhan Karakteristik Spiritual dan Intelektual

BAB II
MENGAJAR SAMA NILAINYA DENGAN BELAJAR
A. Perencanaan Mengajar
B. Metode Mengajar
C. Teknologi Mengajar dari Tuhan untuk Tuhan
D. Analisis Kesulitan dan Hasil Mengajar

BAB III
EVALUASI MENGAJAR
A. Evaluasi Guru dan sekolah
B.  Evaluasi Gereja dan Pengajarannya
C. Evaluasi Keterlibatan Masyarakat Kristen

Daftar Pustaka

Legalitas dan Identitas Buku:
Penulis    : Elia Tambunan, S.Th (PAK)., M.Pd.
Judul       : Sebagai Guru Kristen: Bagaimana Metode Mengajar?
ISBN       : 978-602-99935-2-3 (Resmi di Katalog Dalam Terbitan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)
Penerbit   : illumiNation, Yogyakarta
Tahun     : Agustus, 2011
Harga      : Rp. 35.000., (tambah ongkos kirim).
Kategori  : PAK, Gereja, Pendidikan, dan Perencanan, Teori, Praktek, dan Evaluasi Mengajar

Monday, September 12, 2011

Gereja sebagai Komunitas Edukasi: Bagaimana Melakukannya?

Mengapa Kita Membicarakan Ini?
           Gereja sebagai Komunitas Edukasi: Bagaimana Melakukannya? Ini yang sedang saya jelaskan disini. Mengapa kita menghabiskan energi untuk membicarakannya? Apa kepentingan, tujuan untuk menjelaskan soal itu? Saya hanya ingin “menggiring” konsentrasi kita tertuju pada pertanyan dasar dibuku ini: “bagaimana melakukannya atau how to do it?”
    Terlihat sangat sederhana dan biarkanlah sesimple itu. Tetapi bagaimana sebenarnya dasar pemahamannya? Bagaimana metodologi pelayanan untuk melakukannya? Bagaimana model-model yang diinginkan sesuai dengan realitas dan spirit zaman postmodernitas seperti saat ini? Bagaimana tangggung jawab sosial gereja, jemaat terhadap Tuhan dan komunitas masyarakat beragama Kristen dan di luarnya yang hidup dalam kenyataannya kita jumpai sudah multikultural dan plural?
        Terlepas dari semua itu, intinya saya ingin mempromosikan gagasan the church as learning and community center.” Artinya, Gereja sebagai pusat komunitas beragama Kristen yang intelektual dan intelektual yang Kristen, serta sebagai pusat pembelajaran yang komprehensif untuk pendidikan Kristen. Pemahaman ini penting untuk menuntun pelaku dan penggiat PAK gereja lokal melakukannya di dalam gereja agar dilakukan juga secara komprehensif. Jika kita sepakat dengan itu, bahwa dalam seluruh dimensi pelayanannya, baik administrasi, penjangkauan, dan pendampingan pastoral, gereja berfungsi sebagai komunitas belajar, bukan lagi hanya komunitas orang beiman secara tologis semata. Kapanpun dan dimanapun orang-orang Kristen sedang dibentuk menjadi gambaran Yesus Kristus melalui pelayanan, dan disana ada pendidikan Kristen berlangsung.
          Pendidikan Agama Kristen adalah nama yang kita berikan kepada bahwa proses pembentukannya dan pelaksanaan edukasinya, dan disebut Kristen untuk mengedukasi seluruh dimensi kekristenan, baik yang tertulis dalam Kitab Suci atau “in book” dan dalam kehidupan keseharian atau “daily life”. Inilah yang penting untuk dipahami gereja dalam melaksanakan tugas-tugas dan praktek pendidikan Kristen.
            Proses melakukannya saya bangun diatas fondasional perkataan Yesus sendiri yang terdokumentasi dalam Matius 28: 20: “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Saya memahami substansi kata “ajar” disana lebih fokus artikulatif dari horison ilmu pendidikan agama Kristen. Kata ini secara sederhanya saya pahami sebagai tugas publik dan tanggung jawab sosial dari penggiat atau pelaku PAK di gereja lokal.
     Perintah Illahi yang Akbar ini diterjemahkan menjadi melakukan tindakan pendidikan, atau mengedukasi jemaat, masyarakat, dan bangsa atau semua orang melakukan Firman yang diucapkan atau diajarkan, dan diteladankan Yesus, dan semua yang terdokumentasi di dalam Alkitab itu. Kata ini besifat perintah atau “commission” atau mandat akbar, layaknya Allah kita yang Akbar itu.
         PAK disini saya tempatkan dalam artian tindakan dan tanggung jawab sosial yang kongkrit untuk mengedukasi jemaat. Proses edukasinya dengan pendekatan multidisciplinary. Misalnya dengan ragam dan integrasi pendekatan teologi (dengan 5 pembidangannya: historika, biblika, sistematika, praktika-PAK Anak hingga Dewasa, dan bidang-bidang umum, khususnya missiologi, dan ekklesiologi), ilmu pedagogi (teori belajar, ilmu kependidikan), sosiologi (gereja dan komunitas masyarakat beragama), psikologi umum dan perkembangan, manajemen dan kepemimpinan, dan manajemen pendidikan. Intinya PAK bisa berintegrasi dengan sains, sosial sains, dan sains humanities lainnya. Hal itu semua tentu dilaksanakan dalam PAK gereja lokal dalam situasi dan konsidi tertentu sesuai dengan levelnya.
            Tetapi, bukan berarti dengan mengatakan itu PAK di gereja lokal menjadi campur baur, tidak jelas. Tetapi malahan akan semakin jelas cara dan pelaksanaan edukasinya. Dengan multi-pendekatan ini, saat bersamaan jemaat gereja lokal dituntut oleh status dan identitas illahi, teologis dan sosiologisnya untuk membawa PAK itu turun merakyat ke jalan-jalan dan kelorong-lorong memasuki secara mendalam ke dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat di sekitarnya, sesuai dengan setting sosial masing-masing dimana gereja itu bersosialisasi dan mensosialisasikan dirinya.  
          Tujuan akhirnya dari PAK di dalam gereja adalah menjadikan semua orang sebagai Kristen yang matang atau dewasa secara spiritual atau “Christian maturity”. Tetapi bukanlah selalu harus diterjemahkan sebagai upaya-upaya Kristenisasi. Kita lebih baik fokus pada kematangan spiritual, sosial dan intelektual. Itulah yang bisa berdampak kongkrit bagi arena sosial yang lebih luas, dan itulah tugas utama dari PAK gereja lokal.
           Mengapa harus demikian, karena realitas atau kondisi masyarakat setempat yang sesungguhnya, lengkap dengan nilai-nilai didalamnya itulah yang menuntun semua dimensi program dan pelayanan PAK, seharusnya dilakukan oleh para penghiat dan pelaku PAK. Artinya, seluruh bentuk pelayanan PAK di gereja itu harus merupakan integrasi dari nilai-nilai teologi dan perkembangan seluruh dimensi kehidupan manusia. Metodologi pelayanan kedua hal ini harus dikerjakan dengan metode dan pendekatan sains, sosial sains, dan sains humanities lainnya. Untuk itulah salah satu keinginan dari buku ini, setidaknya bisa menambah bagaimana melakukan PAK di gereja lokal dan membantu mengurai masalah-masalah internalnya.
         Dimensi pelayanan gereja yang edukatif itu masih bisa terus semakin dikembangkan diperluas menjadi dimensi yang menjadi eduaktif dalam tataran sosio-praksisinya Dengan demikian, kita memang bisa menggunakan gereja pusat komunitas belajar atau “church as learning center community” untuk pendidikan agama dan komunitas masyarakat beragama Kristen. Disamping sebagai pusat pelayanan teologis melulu. Jika ini yang kita lakukan, maka tidak akan ada yang “mencibir” jika saya katakan memang gereja adalah salah satu instrumen yang paling tepat dan lengkap sebagai  model untuk agen perubahan sosial atau “agent of social change” itu.
             Pemahaman ini penting untuk menuntun pendidikan agama Kristen di dalam gereja agar dilakukan juga secara komprehensi dan professional. Inilah menjadi issu  fundamental dalam hal teori, pemikiran dan sosio-praksis PAK gereja lokal di zaman postmodernitas, disini dan sekarang ini. Untuk itu, pemikiran pendidikan dan prasisnya dalam buku penting disambut oleh semua pihak yang terlibat dalam membina pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Kristen.


Catatan   : Essay ini merupakan introduksi dan daftar isi dari buku yang saya tulis.
 
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I DASAR PEMAHAMAN PELAYANAN PAK DI GEREJA LOKAL
A. Fondasi Pelayanan PAK di Gereja
1.  PAK Memenuhi Kebutuhan Hidup Semua Orang
2.  Issu-issu Fondasional Pelayanan PAK
3.  PAK adalah Edukasi Orang Kristen
4.  PAK Melayani Kebutuhan Hidup Semua Orang
a.  PAK sebagai Instrumen Gereja
b.  Asumsi Teoritis PAK: Teologis dan Psikologis
c.  Ilmu Pedagogi PAK di Gereja Lokal

BAB II METODOLOGI PELAYANAN PAK DI GEREJA LOKAL
B.  Metodologi untuk Perkembangan PAK di Gereja
1.  Kurikulum PAK: Muatan Isi dan Materi
2.  Perencanaan Mengajar dan Belajar PAK
3.  Mengorganisasi PAK Sesuai Setting Sosial
4.  Mempertemukan Teori dan dan Sosio-Praksis

BAB III MODEL PELAYANAN PAK DI GEREJA LOKAL
C. Mendesain Model PAK di Gereja
1.  Pelaksanaan PAK di Gereja Lokal
2.  Orang yang Terlibat dan Bertanggung Jawab
3.  Peran dan Kontribusi Penggiat dan Pelaku PAK
4.  Evaluasi PAK

BAB IV TANGGUNG JAWAB SOSIAL PAK DI GEREJA LOKAL
D. Sosio-Edupraksis PAK di Gereja
1.  Pendekatan dan Proses Pelayanan
2. Sosio-edupraksis PAK
3. Pelayanan PAK Sesuai Realitas dan Spirit Zaman
4.  Fungsi dan Tanggung Jawab Sosial PAK
   
Daftar Pustaka

Penulis    : Elia Tambunan, S.Th (PAK)., M.Pd.
Judul        : Gereja Sebagai Komunitas Edukasi: Bagaimana Melakukannya?
ISBN        : 978-602-99935-2-3 (Katalog Dalam Terbitan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)
Penerbit : illumiNation, Yogyakarta
Tahun     : Agustus, 2011
Harga      : Rp. 38.000., (tambah ongkos kirim).
Kategori : PAK, Gereja, Pendidikan, Teori dan Praktek Mengajar

Sunday, March 20, 2011

Teologi : Disiplin Akademik vs Pandangan Hidup

  • Pertimbangan
                Selalu ada perdebatan akademik, atau bahkan secara teologik soal teologi sebagai ilmu, atau disiplin akademik atau sebagai nilai-nilai kehidupan Kristen. Keduanya sama esensialnya, dan keduanya memiliki core values yang diinginkan, tergantung dari memposisikan teologi itu bertempat tinggal diranah yang mana, keilmuan akademik dalam habitat sekolah dasar hingga sekolah tinggi dengan sistem persekolahannya, atau di realitas hidup setiap hari dalam kehidupan keseharian manusianya.
                Meski demikian, bagi orang tertentu perdebatan itu hanya sering didorong oleh pemahaman secara teologis semata di dalam perdebatan tersebut meskipun seseorang tersebut sedang dalam proses edukasi sistem persekolahan. Dengan demikian, ternyata sesungguhnya bukan sebagai creative tension secara akademik melihat dari sisi keilmuan atau pemikiran keahliannya, tetapi kecintaan dan keyakinan berlebihan atas faktor nilai yang dianut dari dalamnya.
                Terlepas dari segala macam konflik akademik atau teologik itu, saya lebih suka menempatkan ini dalam posisi disiplin akademik sebagai core values, tanpa melupakan begitu saja dan dengan seenaknya melupakan kaitan dari hasil kajian akademiknya di dalam realitas. Dengan pikiran seperti itu, pada bagian awal ini secara sadar, saya menjelaskan soal teologi dalam posisi realitas sesungguhnya bagaimana hal itu dimengerti orang banyak (sehari-hari). Saya sengaja lebih detail, bukan untuk menanggulangi, tetapi untuk memposisikan dengan tepat pada tempatnya, dan merapikan pemahaman yang selama ini kita koleksi dan akumulasi.
                Namun melihat realitasnya, terpaksa saya harus menggunakan pemahaman atau makna sejati dari terminologi kata teologi itu dalam bingkai sebagai ilmu atau disiplin akademik bukan dalam artian pemahaman sederhananya karena hal ini sudah enteng dan sepele di otak kita karena sudah biasa dibincangkan orang. Tapi dalam kebiasaan inilah poin pentingnya untuk mendudukkan hal yang biasa itu sesuai dengan latar keilmuan dalam urusan akademik untuk bisa mengembangkan sendiri dengan cara saya atau kamu sendiri apa maknanya sebenarnya.
                Apalah gunanya dianggap seorang teolog yang smart, terakreditasi secara akademik karena ada 2 atau 4 lebih titel berderet dari depan hingga belakang kart namanya, meski ini penting untuk meyakinkan orang lain dan diri sendiri), tetapi tidak berkontribusi mengkonstruksi teologi sebagai disiplin akademik baik bermanfaat bagi realitas atau social life atau lingkup akademik sendiri. Atau, sebaliknya apalah kelebihannnya kita, jika hanya terlalu teologis dalam hidup seharian tanpa memiliki kecerdasan teologi secara akademis untuk memahami dengan komprehensif tentang teologi yang kita yakini dan praktekkan.
  • Teologi hanya Pengetahuan atau hanya Pandangan Hidup?
                Kali ini saya sengaja mengikuti cara membuat defenisi dari Kamus Bahasa Indonesia, (meski saya bukan kamus sentris), tetapi sebagai upaya ternyata ada cara yang baru untuk melakukannya meski dengan hal yang biasa. Di point ini saya mengutip penjelasannya dari pusat bahasa departemen pendidikan nasional, (te·o·lo·gi dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id,) te·o·lo·gi /téologi/ n pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kpd Allah dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci).
               Kamus Bahasa Indonesia Online (Teologi dalam http://kamusbahasaindonesia.org), teologi te.o.lo.gi [n] pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci). Penggunaan lain kata teologis, yakni te.o.lo.gis [a] berhubungan dengan teologi; berdasar pada teologi:
                Masalahnya, setiap belajar teologi di sekolah dan kampus teologia Kristen (STT: Sekolah Tinggi Theologia) entah dengan alasan masuk akal atau tidak selalu harus belajar mazhab, tokoh dan penggagas teologinya, plus dogma denominasi lembaga, dosen pengampunya. Ada baiknya juga, mengapa harus demikian, tentulah ada ratusan alasan teologis pula yang  bisa dibuat untuk mendukung argumentasinya agar tampak teologis atau injli, atau Alkitabiah.
                Disisi lain, seperti ungkapan Eta Linnemann (Osnabruck, Jerman Dosen III Batu Malang bidang Teologi Kontemporer dan PB, 1991, h. 7) untuk menyampaikan ajaran-ajaran para teolog injili, tidak perlu menciptakan teologi sendiri yang harus dikait-kaitkan atau disebut-sebutkan dengan nama sendiri, karena kalau seorang teolog injili sungguh-sungguh injili, maka tentu tidak ada perbedaan ajarannya dengan Alkitab dan teologi di dan dari dalamnya. 
                Keduanya bisa saja benar, tetapi, tidak sedikit juga dengan kecemerlangan kompetensi akademiknya, sebahagian kita mulai menjadi murid Socrates, Aristoteles, Plato, Gamaliel, Paulus, Yosefus, St. Thomas Aquinas, Bultmann, Luther, Calvin, Wesley, Armenius, Barth, Nomensen, dll, atau menjadi muris dari dosen pengampu di kelasnya karena terhinotis dengan keakademisan si dosen, tanpa menjadi murid Tuhan Yesus.                
                Dalam studi teologi di STT, secara jelas makin tampak, dan karena kita makin meningkat karena sudah menjadi Sarjana Theologi, Master Theologia, Doktor Theologia, Proffessor Theologia keren tampak terpelajar dengan titel akademik kesarjanaan di papan nama dan dikartu nama atau dalam setiap perkenalan, atau makin merendah dengan S5(SD, SMP, SMA Selesai Sudah), tampaknya tidak terpelajar, Namun, jika tidak memberikan kontribusi kongkrit dalam sikap akademik teologis dan tindakan sosiologis dalam area studi yang kita geluti sesuai dengan pilihan, kesenangan dan kepentingan masing-masing wajar kita tahu diri dan mengakreditasi diri sendiri.
  • Teologi sebagai Disiplin Akademik
                Problem akademik dalam STT dan lembaga non STT teologi dalam proses pendidikan atau layanan edukasi Kristen, sebahagian masih lebih fokus pada penekanan pengalaman ekstatik dan relasi intimasi personal dengan Allah atau ecstatic experience and personal intimacy wih God istilah Gabriel S. Reynolds (Mahasiswa doktoral Islamic Studies, Yale University, 2002, h. 215), atau juga mengikuti pada “perjalanan spritual orang-orang khusus” istilahnya Parker J. Palmer (San Francisco, 1993), artinya pemikiran tokoh, tologi dan dogma yang dihasilkannya menjadi isi akademiknya. Area studi seperti ini lebih berlatar abstrak bukan tindakan atau aksi masyarakat Kristen itu sendiri. Meskipun itu menarik banyak orang iri dan ingin mengecapnya sehingga “ingin” pula menjadi Kristen.
                Problem di atas mengindikasikan arah pemahaman teologi yang selama ini dilakukanu. Meski tidak seluruhnya demikian, tetapi perlu memperluas makna teologi. Tentu pula juga penting mengurusi soal-soal realitas sosial di sekitarnya, agar mahasiswa Kristen tidak menjadi manusia ekstasist, lupa atau gagap realitas karena terlalu “ngeroh” semata, lewat sosial riset berlatar empiris. Teologi sebagai disiplin akdemik penting diseret dari pemikiran bersetting abstrak ke tindakan atau aksi berlatar manusianya memasuki realitas.
                Teologi sebagai disiplin akademik dibangun karena kegelisahan, ketidakpuasan akademik dan menyatakan penolakan terhadap realitas yang menyimpang dari keseharusan berdasarkan makna yang dikonstruksi berdasarkan Alkitab-Firman Allah. Dan sebagai keahlian akademik para pelakunya untuk memahami persoalan kehidupan Kristen. Namun, memang ada persoalan lain yang perlu diperhatikan secara ketat untuk sampai pada pemaknaan itu harus diupayakan secara akademik (academic enterpraises) untuk menjelaskan. Dan mono-pendekatan sering menghasilkan cara dan hasil pemahaman yang sangat sempit.
                Untuk itu, penting juga dengan cara lain yang berbeda multi-disciplinary dengan tetap dan tepat mempertimbangkan ukuran akademis yang kongkrit, dan dengan kaidah-kaidah keilmuannya. Bahkan perlu juga untuk hasil yang berbeda, penting dilihat dengan multi-cara yang berbeda meski ada tantangan dari pelaku dan pengguna hasil teologi tersebut. Oleh karena itu, paradigmanya bukan soal salah benar, tetapi berfokus pada apa data dan bagaimana metodologinya menyatakan salah atau benar dengan disiplin akademik yang mana.
                Pembidangan teologi sebagai ilmu atau sebagai subject matter atau sebagai course, atau sebagai mata kuliah, umumnya masih dibidangkan ke dalam 5 bidang, teologi historika, teologi biblika, teologi sistematika, teologi praktika (umum juga ini disejajarkan dengan pastoral atau kependetaan dilihat dari sisi applikasi keilmuan dalam bidang dan pelaksanaannya), dan teologi bidang umum (course yang mengkaji dan mempelajari soal sosial life di dalam Kristen, gereja Kristen, masyarakat Kristen dan di luar Kristen serta ilmu lain di luar teologi Kristen itu sendiri).
                Hampir seluruh denominasi protestan (payung “Persetia” secara organisasi naungan), kepantekostaan plus sebahagian injili atau evangelical (payung “Pasti” secara organisasi naungan) masih mengikuti ini. Mata kuliah yang diajarkan dalam kelima bidang itu sendiri memiliki penjabaran dan kompetensi akademik lewat kurikulum nasional yang dirancang oleh Ditjen PAK Depag RI, dan kurikulum institusional lokal. Namun untuk S1 setidaknya 160 sks dan S2 sampai S4 lebih banyak dari 160 dan lebih dalam, plus lebih spesifik dengan ekspertasi mahasiswa dan lembaganya.
                Saya melihat selama ini apa yang dipelajari di STT, belum sampai menyentuh core values tadi, secara umum. Artinya belajar teologi masih merupakan konsumsi untuk emperolah pandangan hidup dari dalamnya. Satu sisi ini baik, tetapi, ketika itu dalam lingkup akademik dan digelari dengan titel akademik kesarjanann, mestinya tidak melulu berkutat soal nilai dan pandangan keyakinan itu.
                Tesis statement saya “kebanyakan dari pelaku pendidikan di wilayah STT  tidak memahami dengan benar bahwa teologi dalam lingkup STT lebih luas dari pencarian atau kajian untuk memperolah pandangan hidup dari dalam konstruksi teologi yang dipelajari, dan tidaklah perlu dipahami hanya sebagai ilmu dalam disiplin akademik saja”. Ia adalah ilmu, upaya-upaya akademik dalam isi dan metodologis serta cara menyampaikan ke dalam realitas masyarakat. Ia tidaklah hanya teologi sebagai pemahaman hidup, dan ia tidaklah hanya ilmu semata pula. Ia juga konstruksi kelimuan secara terus menerus dari hasil penyampaian ke dalam realitas tadi. Oleh karenanya, pola geraknya sustainable dan circular yang tidak terputs dan terpisah. Kedanya saling mengkostruksi.
                Core values yang ingin kita konstruksi bersama dan “secepatnya lebih baik” dari sekedar pembagian kurikulum atau mata kuliah atau pembidangan teologi secara akademik; juga lebih luas dan bermakna menjadi studi, ilmu, disiplin akademik keberagamaan. Jika tidak maka yang ada adalah kuliah teologi tetapi keahlian hanya membaca teologi, atau bisanya studi banding-membandingkan salah-menyalahkan meski dengan cara yang dibuat agar tampak seolah-olah lebih akademik, kooperatif pluralis, inklusif terhadap teologi dari studi keberagamaan dikaji.
                Atu mugkinsaja metodologi atau paedagogik pelaksanaan pengajarannya tampaknya seolah-olah akademik Padahal, ujung-ujungnya missi antropho-messianik, dogmatisai, indoktrinisasi, organisasi, mazhabisasi, Alkitabisasi dan berujung dakwah kristenisasi (meski semua agama begitu karena selalu soal selamat atau tidak, jalan dan cara keselamatan. Padahal masih sama-sama pembaca, penafsir, pengira-ira berdasarkan perbedaan ukuran, dan pengkurnya dan justifikasi Teks Suci masing-masing); lebih bermakna juga dari sekedar perumpunan ilmu teologi; lebih substantif dari pelatihan  dan akumulasi kompetensi-kecakapan teologis sebagai dasar atau bekal untuk mengembangkan diri lebih lanjut dalam panggilan pelayanannya.
                Core valuesnya kita dan yang lain harusnya lebih serius dari itu semua dalam bingkai proses edukasi keberagamaaan (religiousity), menginternalisasi individuasi dan sosialisasi nilai-nilai, makna, gaya hidup (tanpa menolak-nolak “orang & yang lain”) dengan ragam pendekatan dan saling memaknai apa yang sesuai dengan kebutuhannya (tanpa menyalah-nyalahkan “orang & yang lain”) untuk membenarkan diri dan lembaga sendiri. Seharusnya membenarkan esensi dalam diri dan lembaga orang lain untuk mempertegas diri lembaga sendiri dan membenarkannya. Jika tidak, maka kita hanya terpola, paradigmatist dalam perangkap pembagian keilmuan tanpa proses edukasi keberagamaan dalam isi dan metode yang sering dinamakan “ilmu Teologi” tadi.
  • Memperluas Kajian Pembidangan Teologi              
                Secara umum titik penekanannya pada objek materil atau ontologi-pembidangan keilmuan  Historika, biblika, sistematika, praktika, dan bidang umum. Hal kelima bidang objek materi kajian itu hanya sampai pada benar dan salah; baik dan buruk; sopan dan tidak beradab; pantas dan kurang ajar; relevan dan bertolak belakang, meskipun proses edukasinya sering tampak seolah-olah akademik. Seharusnya 5 pembidangan atau perumpunan tidaklah lagi melulu hanya menekankan kajian soal teologis, tetapi relasi teologi atau peran kunci, atau nilai-nilai dasar teologi untuk mengkaji bidang lainnya.
                Saya mengamati secara mendalam lewat standar proses pembelajaran metodologi kajian dan proses paedagogis, rasanya sangat beralasan jika hal-hal itu hanya fokus pada kajian teologi dengan fokus pada rumusan-rumusan yang diambil dari Kitab Suci dan teks-teksnya keagamaan lain, doktrin dan pengajaran gereja. Padahal jika diamati secara mendalam ke 5 pembidangan itu, hanya salah satu saja dari objek materi kajian dari 7 dimensi keberagamaan.
                Ketujuh dimensi hendaknya akan memperluas paradigma kewilayah kajian teologi yang diakui dunia (the world religion’s). Saya mengikuti hasil penelitian Ninian Smart (Baltimore, 1960), setidaknya ada 7 dimensi agama yang bisa kita kajian sisi-sisi teologinya:
  • The Practical and Ritual Dimension
  • The Experiential and Emotional Dimension
  • The Narrative or Mythic Dimension
  • The Doctrinal and Philosophical Dimension
  • The Ethical and Legal Dimension
  • The Social and Institutional Dimension
  • The Material Dimension
                Dimensi Praktis & Ritual: Ini mencakup ibadah, baik personal maupun komunal, doa, khotbah, pengorbanan dan meditasi. Ini juga mencakup praktek-praktek dalam agama tertentu seperti yoga. Contohnya termasuk perayaan Ekaristi dalam agama Kristen, berpartisipasi dalam Haji, atau ziarah ke Mekkah dalam Islam, atau menawarkan puja dalam agama Hindu.
                Dimensi Pengalaman dan Emosional: Membawa berbagai fenomena religius kedalam hati atau perasaan, sehingga jadi pengalaman bahkan sering di dogmakan. Ini juga mencakup perasaan kurang dramatis, meriah, haru biru, hanyut dalam suasana-“ngeroh”, seperti rasa kesatuan dan keheningan, yang sering dilaporkan oleh orang percaya sebagai yang terjadi pada saat-saat refleksi yang tenang. Hal-hal ini sering dijadikan pengalaman personal bahkan kelompok yang dianggap sebagai penegasan iman pribadi individu dan kelompoknya.
                Dimensi Narasi atau Mistis: Ini menggabungkan cerita-cerita yang membentuk titik awal untuk banyak ajaran agama. Penciptaan mitos dibawa bersama-sama dengan bahan kesalehan dan dari kehidupan individu tokoh yang sangat kharismatis, bahkan bisa saja dikultuskan. Hal ini termasuk juga Kitab Suci agama-agama, beragam teks-teks agama lainnya, doktrin, pengakuan Mengacu pada ajaran resmi agama di dunia. Sebagai agama mengembangkan, narasi mereka dan mitos tertentu, menginformasikan dan dijelaskan oleh doktrin-doktrin yang lebih kompleks dan intelektual yang ketat atau ajaran resmi, tradisi oral yang disertakan. Alkitab Kristen, Guru, Sikh Guru Sahib dsb adalah contoh teks yang berasal dari dimensi naratif dan mistis.
                Dimensi Doktrinal & Filosofis: Mengacu pada ajaran resmi agama di dunia. Sebagai agama mengembangkan, narasi mereka dan mitos tertentu, menginformasikan dan dijelaskan oleh doktrin-doktrin yang lebih kompleks dan intelektual yang ketat atau ajaran resmi; dalam Kekristenan orang bisa menunjuk ke doktrin Trinitas, dalam Islam tawhid (keesaan Tuhan) dsb, dalam Kekristenan orang bisa menunjuk ke doktrin Trinitas, dalam Islam tawhid (keesaan Tuhan) dsb, pengakuan iman, atau aturan AD?ART dan aturan lain yang dicetak, dsb.
                Dimensi Etika & Hukum: ini mencakup aturan agama dan hukum yang berasal dari cerita dan aspek doktrinal tradisi masing-masing. Dengan mengikuti berbagai hukum atau perintah, orang percaya berusaha untuk menjalani hidup yang berbudi luhur. Dalam Taurat Yahudi ada 613 mitzvah atau perintah dan dalam Islam ada hukum syariah. Dalam tradisi Polinesia ada konsep taboo (tabu) yang membatasi atau melarang berbagai kegiatan, misalnya membatasi yang mungkin, atau tidak mungkin, dan ragam kebiasaan lain yang dijadikan etika hidup dan hukum yang sebenarnya untuk menjaga keteraturan dan keseimbangan. Dalam suku-suku, atau daerah belum modern, bahkan di kota hal-hal seperti ini sering lestari.
                Dimensi Sosial & Kelembagaan: Ini mencakup perwujudan hidup setiap agama; dan tindakan sosial pengikutnya. Aspek kelembagaan mengacu pada struktur terorganisir dan hierarki sering ditemukan dalam tradisi-tradisi keagamaan. Dalam Buddhisme, Sangha adalah nama yang diberikan kepada kedua komunitas tertentu biarawan atau biarawati dan kepada masyarakat luas umat Buddha. Dalam Katolik Roma kepausan misalnya tergolong dalam dimensi sosial dan kelembagaan.
                Dimensi Materil: Hal ini dari segala macam agama menciptakan ekspresi fisik dari iman mereka, baik itu bangunan, karya pertunjukan seni atau dramatis. Buddhisme telah menimbulkan patung besar, Kristen Ortodoks telah menghasilkan ikon atau karya seni rupa, seni pahat yang indah dan Hindu menawarkan mandirs kagum atau kuil, dan segala sesuatu yangberbentuk fisik yang bernuansa agama yang dianggap berkaitandengan keagamaan.
                Saya mengamati disinilah letak posisi teologi sebagai ilmu dalam disiplin akademik untuk mengkaji keberagamaan di dalam STT dan masyarakat diluarnya, dan itulah core valuesnya seluruh isi, metodologi kajian dan proses paedagogisnya. Ringkasnya, hal-hal mengenai keberagamaan yang harus disingkapkan dalam ke 7 dimensinya adalah sistem koheren dari kepercayaan dan praktek-praktek yang timbul dari pandangan dunia tertentu, seperti cara pandang dunia sehingga kita tidak menggabungkan perbedaan antara apa yang normal dan biasa dan apa yang spiritual atau transenden.
  • Kongkrititasnya               
                Dengan berpikir seperti ini, maka objek kajiannya bukan lagi hanya terbatasi sempit pada mono-pendekatan teologis dengan kelima pembidangan  apalagi jika hanya sekedar pencarian makna dan pandangan hidup semata. Untuk mengakhiri, jika STT sebagai Sekolah Tinggi Theologia dalam bingkai keilmuan dan disiplin akademik sewajibnya mengkaji secara khusus ke 7 dimensi agama itu secara mendalam dan secara komprehensif dengan multi-pendekatan secara keilmuan dalam disiplin akademik lengkap dengan takaran, ukuran, dan kaidah-kaidah keilmiahan baik secara empiris dan non-empiris yang ketat. Hasilnya akan memberikan kontribusi kongkrit dalam cara menjadikan teologi sebagai pandangan hidup dalam realitas masyarakat. (el-Tambunan’11).

Quotasi Literatur:
Te·o·lo·gi dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id, diakses 11 Maret 2011.
Teologi dalam http://kamusbahasaindonesia.org/, diakses 11 Maret 2011.
Eta Linnemann, Teologi Kontemporer: Ilmu atau Praduga?, Malang: Penerbit Institut Injili      Indonesia, 1991.
Gabriel Said Reynolds, The Other Islam, hlm. 194-215 dalam John Wilson (ed.), The Best            Christian Writing 2002, San Francisco: HarperCollins Publishers, Inc., 2002.
Parker J. Palmer, To Know As We Are Known: Education as A Spiritual Journey, San Francisco:                HarperSan Francisco, 1993.
Ninian Smart, World Religions: A Dialogue, Baltimore: Penguin, 1960.