Sunday, September 27, 2015

KONTRAK POLITIK KRISTEN DAN ISLAM: Oikumene dan Gerakan Sosial Politik

Makalah ini hanya sebagian kecil saja dari yang pernah saya sampaikan dalam Annual Meeting  2015, Simposium ATI- Asosiasi Teolog Indonesia, Selasa,  4 Agust 2015, di Wisma Samirono, Yogyakarta.


ABSTRAK
Bicara gerakan oikumene dalam diskursus organisasi keagamaan sejak tahun 1950-an argumen yang mendominasi masih tentang keesaan atau kesatuan gereja. Itu kerap diterjemahkan kerjasama antar gereja secara sempit. Lain halnya, tulisan ini berikhtiar membongkar kompleksitas oikumene dari sisi politik.  Pendeknya, oikumene juga dimobilisasi sebagai gerakan sosial dan politik saat musim dan kesempatan politik ada. 

Berlatar Kota Salatiga, tulisan ini membahas bagaimana cara pendeta menegosiasikan kepentingan politik Kristen diantara sesama komunitas Kristen dan kaum Islamis dalam momentum pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Salatiga periode 2011-(2016). Dengan paradigma kualitatif dibantu teori-teori sosiologi-politik agama sebagai acuan, memakai teori-teori gerakan sosial dan politik identitas sebagai pisau analisis, etnografi sebagai teknik riset, wawancara mengumpulkan data, tulisan ini mencari titik simpul bertemunya Kristen dengan Islam politik. Dari situ muncul tafsir gerakan oikumene dan percakapan antar iman yang tidak biasa.
Pendeta gereja adalah fokus kajian. Pertama, mereka yang tergabung dalam Badan Kerjasama Gereja-gereja Salatiga (BKGS) mendukung Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota nomor urut 2 Diah Sunarsasi-Tedy Sulistio (Dihati) diusung koalisi PDIP-PAN-Golkar-PDS dan PNI Marhaenisme. Teddy Ketua DPRD Salatiga, kader PDIP, seorang Kristen dan PDS dianggap representasi identitas dan kepentingan Kristen. Kedua, pendeta Persekutuhan dan Pelayanan Hamba Tuhan Garis Depan (PPHTGD) pendukung nomor 3 Yuliyanto-Muhammad Haris (Yaris) diusung koalisi PIS-PKS-PPP dan Demokrat.

Karena keterbatasan ruang, kajian ini hanya dikaitkan dengan identitas diri Haris sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kaitan gerakan oikumenis dengan PKS ini menarik karena sebagian sarjana dan peneliti Muslim menyatakan PKS “musuh dalam selimut.” PKS disebut-sebut beragenda Islamisasi negara dan masyarakat lewat formalisasi syariat Islam walau PKS menyebut partai terbuka dengan isu populis-humanis lewat komunikasi politik ketika tampil di publik.  

Data empiris menunjukkan, identitas sebagai Kristen menjadi konflik kepentingan tersendiri diantara sesama pendeta dan umat lain, itu masih harus ditegakkan lewat perjuangan yakni kontrak politik dengan calon secara resmi; kontrak politik adalah alat dan kepentingan politik sekaligus kesempatan meretas sistem pemerintahan yang immune terhadap Kristen selama ini dalam bingkai menegosiasikan kepentingan orang Kristen; kontrak politik sebagai alat peredam ekspansi Islam politik sekaligus memobilisasi isu, aksi kolektif, dan jejaring massa memprotes tirani mayoritas penindas Kristen di rumah besar NKRI.
 

PENDAHULUAN


Ada bukti empiris bahwa gerakan oikumene digunakan sebagai alat negosiasi kepentingan lewat kontrak politik antara kelompok kepentingan Kristen dengan Islam politik. Oikumene yang biasa dipahami sebagai gerakan saling membagi identitas masing-masing dalam gerakan fellowship gereja serta gerakan penyatuan dan kerjasama antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam kekristenan.[1] Namun, pada saat yang sama oikumene juga dipakai sebagai gerakan sosial politik diantara sesama anggota dari dua kelompok kepentingan, yakni BKGS dan PPHTGD untuk mendukung pilihan Cawawali dari masing-masing terkait Pilwalkot Salatiga 2011.

Dari sini terlihat kompleksitas oikumene yang penting untuk diurai. Rupanya pertemuan oikumenis yang sebelumnya simbolik dan formalistik kesannya ‘disulap’ menjadi gerakan sosial politik demi alasan menegosiasikan kepentingan diri dan kelompok. Tak lagi bisa disembunyi-sembunyikan; gerakan oikumene juga sebagai gerakan sosial politik ketika momentum dan musimnya datang.
Yang dimaksudkan gerakan sosial politik disini ialah dimana sekelompok individu berpikiran sama yang tergabung dalam sebentuk organisasi informal dalam upaya-upaya kolektif untuk menjalankan atau pun untuk mencegah perubahan sosial lewat kegiatan-kegiatan yang masih berkaitan dengan politik.[2]  Sedangkan, kelompok kepentingan disini sering juga dikenal dengan kelompok penekan ialah kelompok yang memperjuangkan suatu kepentingan dan mempengaruhi lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan, atau menghindarkan keputusan yang merugikan.[3]  

Sedangkan, maksud dari term politik disini seturut dengan perspektif Harold D. Lasswell (1936), yakni dari politik sebagai tujuan dan kekuasaan. Kedua hal itu dalam konteks politik diposisikan sebagai kemampuan untuk berpartisipasi dalam keputusan yang diinginkan. Baginya, kekuasaan politik sebagai kemampuan untuk menghasilkan efek yang dimaksudkan pada orang lain. Dalam politik selalu ada siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana mendapatnya.[4] Karena gerakan oikumene  dimobilisasi oleh pendeta-pendeta gereja, bukan oleh jemaat gereja, maka mereka menempatkan diri sebagai kaum elit Kristen lokal sebagai representasi jemaat dan umat Kristen Salatiga. Disini terlihat bahwa elit sebagai pemegang utama kekuasaan 

Menurut Rodney, Mary, dan Marcia, konsentrasi utama studi politik Lasswell terarah kepada basis politik elit masyarakat. Baginya, salah satu faktor dari basis keterlibatan elit berpolitik bukan hanya pada kepastian status atau materi (status qou, yang sering diartikan: mempertahankan kekuasaan bisa untuk kebaikan dan juga kejahatan), atau tidak untuk menetapkan posisi elitisnya agar eksis, tetapi juga sebagai orientasi atas ketidakamanan (insecurity) yang sedang terajadi.[5]  

Perlu diingat, masa transisi[6] Orde Baru ke Reformasi di Indonesia juga merembes ke gereja. Banyak terjadi kekerasan massal dan sistematis di level lokal menimpa Kristen, misalnya, Poso dan Maluku. Disamping itu masih banyak contoh terjadinya pembalakan gereja dan tindak kekerasan bahkan pembunuhan pendeta di masa itu.  Hampir tidak ada provinsi yang terbebas dari jenis kekerasan dan konflik agama. Pendek kata, konflik komunitas dan kekerasan antar agama menjadi fenomena yang umum terjadi.[7]   

Tulisan ini hendak menjawab kegelisahan akademik bagaimana cara pendeta menegosiasikan kepentingan politik Kristen diantara sesama komunitas Kristen dan kaum Islamis dalam momentum pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilwalkot) Salatiga periode 2011-(2016). Sesuai dengan pertanyaan itu diharapkan ada jawaban dari hasil riset lapangan, sehingga akan bisa menunjukkan dimana saja titik simpul bertemunya kepentingan Kristen dan Islam politik.  

Apa boleh dikata, realita ini seakan menampik argumen-argumen arus utama yang mendominasi ketika berbicara gerakan oikumene sejak tahun 1950-an hingga hari ini, biasanya terbingkai ke dalam keesaan atau kesatuan gereja, yang kerap diterjemahkan amat sempit, yaitu dalam rangka mengadakan hubungan dan kerjasama intim antar gereja se-Indonesia.  

Tidak mengada-ada jika setelah membahas fenomena ini akan muncul tafsir gerakan oikumene dan percakapan antar iman yang tidak biasa, setidaknya versi pemahaman subjek setelah ditanyai.  Disamping itu, ada niatan lain untuk melihat fenomena gerakan oikumene yang umum dalam kajian teologi dari pendekatan gerakan sosial politik dan politik identitas.

Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>> 

CATATAN METODOLOGIS

Bagaimana proses kerja lapangan untuk mendapatkan data dari sumber kunci primer diungkapkan disini untuk menghilangkan keraguan-keraguan orang terhadap data temuan. Meski berKTP Salatiga, sebagai pendeta dan dosen STT (bukan gembala sidang gereja) dan direktur Preschool (PAUD-TK), apalagi sebagai Kristen lokal, saya akan menempatkan kajian ini pada posisi peneliti sebagai orang luar (dalam artian bukan pelaku) yang terlibat mengamati fenomena adanya gejala-gejala agama dalam relitas politik. Kendati demikian, harus diakui ada saja sisi-sisi subjektif peneliti yang Kristen tak terhindarkan. Namun subjektif itu berbarengan dengan objektifitas yang tetap lebih tebal.[8]
Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>> 

POLITIK IDENTITAS MENJADI POLITIK
PERSELISIHAN

BKGS dan PPHTGD sebagai fokus kajian ditempatkan sebagai komunitas masyarakat beragama Kristen Salatiga akan dibahas terlebih dahulu. Selanjutnya ditampilkan pembahasan tentang PKS sebagai representasi Islam politik. Disini tidak akan dirinci sejarah berdirinya karena tulisan ini bukan historika, namun pada gerakan sosial politiknya dalam momentum Pilwalkot, meskipun sketsa historis dimasukkan juga. 


Politik perselisihan [9] ialah interaksi kolektif menegang yang terjadi di antara pembuat klaim berlangsung periodik dan makin menggelembung ke publik sering kali tak terbendung dan tak tertutupi. Sejumlah orang, oganisasi, kelompok, bahkan negara-pemerintah  terlibat sebagai subjek dan objek saling mengklaim kebenaran sendiri. Mereka saling dipengaruhi-mempengaruhi kepentingan. Dari situasi persitegangan inilah politik perselisihan terjadi yang mengacu pada perjuangan politik kolektif.


Sosiolog sejarah Charles Tilly mendefinisikan politik perselisihan sebagai interaksi dimana aktor membuat klaim dengan membawa kepentingan orang lain, dimana pemerintah muncul baik sebagai target, pemrakarsa klaim, ataupun pihak ketiga.[10] Definisi ini bisa dengan tepat menggambarkan apa yang terjadi didalam keterlibatan BKGS dan PPHTGD dalam momen Pilwalkot. 


Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>>

 

KONTRAK POLITIK
Saya akan jelaskan kontrak politik dari sisi sosiologi politik, bukan dari sisi hukum
formilnya. Kontrak politik ada yang menyebut perjanjian sosial atau kontrak sosial, ialah sebuah teori yang menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada seseorang atau lembaga yang disepakati, sehingga sumber kedaulatan negara berasal dari rakyat dan memperoleh legitimasi melalui kontrak sosial antara dua pihak. [11] Kontrak politik adalah salah cara yang biasa digunakan oleh gerakan politik untuk memuluskan langkahnya dalam mencapai tujuan politiknya. 

J. J. Rousseau sebagai penggagas ide-ide politik dibingkai oleh pertimbangan situasi politik itu. Ia menuliskan adanya realita ketidaknyamanan  dalam struktur pemerintahan kota dan keberlangsungan hidup warga, maka  dari kontrak politik sebagai usaha untuk menagih atau menebus janji dan untuk mengurangi ketidaknyamanan politik.[12] 

Saya akan menjelaskan ide dibalik dan proses lahirnya kontrak politik tersebut, dan pembuat draft kontrak politik tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan pelakunya sendiri. Hal ini akan dikisahkan seperti berikut.

 Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>>

KESIMPULAN
Momentum Pilwalkot sebagai even untuk renegosiasi diri kedalam kelompok dan keluar, bahwa adanya kesadaran kelompok lain. Ia juga sebagai bukti empiris bahwa gerakan oikumene digunakan sebagai alat negosiasi kepentingan lewat kontrak politik antara kelompok kepentingan Kristen, dan untuk membuka konstituen baru lewat jalan kerjasaa dengan pendeta bagi partai islamis. Artinya, dinamika politik lokal mampu menggoncang identitas diri sebagai Kristen atau Islam.
Titik simpul gerakan oikumene dan politik itu bukan pada kesamaan atau kebedaan organisasi agama, tetapi bertumpu pada tokoh agama dan ikon partai karena mereka sesungguhnya yang berkuasa, bukan selalu kekuatan dibelakangnya, meski terus diantisipasi. PPHTGD memilih menjadi kelompok penekan yang memiliki kepentingan sendiri. Ia menekan lawan dengan kertas, bukan kampanye politik semata. Sesama teman perlu digerakkan agar makin bertenaga.
Islam politik harus diikat agar bisa dtunggangi dari dekati, semakin di dekati semakin kuat ikatannya, sebaliknya semakin dijauhkan semakin liar tak terkendali. Akta perjanjianlah sesungguhnya tali pengikat, disanalah janji dan ikatan itu termuat. Meski hanya sebagai perjanjian publik, bukan hukum positif ia mampu menembus immunitas ketidak berpihakan negara kepada gereja, jika dilihat dari fakta rumitnya urusan menimbun batu bata menjadi rumah ibadah.  Jadi, dimanakah adanya titik simpul antara gereja dan Islam politik itu? Ia jelas di dalam diri ikon dan identitas wawali.
Dan seterusssssssnya>>>>>>>>>>





                [1]Christian Smith, “Correcing a Curious Neglect, or Bringin Religion Banck in,” in Disruptive Religion: The Force of Faith in Social Movement Activism, ed. Christian Smith (New York: Routledge, 1996), 17.



                [2]Konsep gerakan sosial digunakan sebagai payung istilah untuk menyebut koalisi atau aliansi kelompok pada berbagai  tingkat institusionalisasi yang masing-masing bertujuan untuk mengatasi masalah bersama serta imbalan atau hasil yang didapatkan. Artinya, gerakan sosial dilihat lebih leluasa bisa meliputi partai-partai politik dan kelompok-kelompok yang bermain dibelakang sebagai penekan, penumpang bebas atau tidak terorganisis gerakan, dan juga kelompok-kelompok keagamaan yang lebih informal. Keith Faulks, Political Sociology: A Critical Introduction (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1999), 87.


                [3]Miriam Budihardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1989), 162.


                [4]Harold D. Lasswell, Politics: Who Gets What, When, and How (New York: MacGraw-Hill, 1936), 264.



                [5]Rodney Muth, Mary M. Finley, Marcia F. Muth, Harold D. Lasswell: An Annotated Bibliography (Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers, 1990), 76.



                [6]Henk Schulte Nordholt, Ireen Hoogenboom, Indonesian Transitions (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 23.


                [7]Adriana Elisabeth, “The Indonesian Experience in Implementing Democracy” in Democracy in Muslim Societies: The Asian Experience, ed. Zoya Hasan (New Delhi: Sage Publications India Pvt Ltd, 2007), 88.


                [8]Tebal = a thick description, cara kerja etnografer untuk mencari makna dan menjelaskan secara dalam. Asumsinya, tindakan manusia selalu berdasar pada sejumlah jejaring makna. Etnografer dituntut terjun dalam jejaring makna untuk mengetahui dan menganalisis apa sesungguhnya yang terjadi. Etnografi bukan isi paparan realita lapangan yang ditemui tetapi dituntut menganalisis yang dihadapi dan menentukan arti dan landasan sosial peristiwa sarat makna. Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 5-6, 9-10.


                [9]Doug McAdam, Sidney Tarrow, and Charles Tilly, Dynamics of Contention (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 5; Politik perselisihan (Contentious politics) juga digunakan sebagai teknik mengganggu pembuat kebijakan politik, atau untuk mengubah kebijakan pemerintah, misalnya lewat demonstrasi, aksi pemogokan umum, huru-hara, terorisme, pembangkangan sipil, dan bahkan revolusi atau pemberontakan. Gerakan sosial sering terlibat dalam politik perselisihan.


                [10]Charles Tilly, Contentious Performances (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 5.


                [11]G.H. Sabine, A History of Political Thought (New York: Collier Books, 1959), 398.


                [12]Victor, Gourevitch (ed.), Rousseau: 'The Social Contract' and Other Later Political Writings (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1997), ix.

AGAMA DAN NEGARA: Ruang Kongsi Ekonomi-Politik Kristen dan Islam di Salatiga

Makalah ini pernah saya sampaikan di acara Orientasi Mahasiswa Baru STT Sangkakala. Alamat : Jl. Raya Kopeng Km 7. Kota Salatiga. Telp : 0298-329429, dalam "Diskursus Agama dan Negara" Kamis, 13 Agustus 2015.

Pendahuluan

Ada bukti empiris bahwa agama digunakan sebagai alat negosiasi kepentingan politik antara Kristen dan kaum Islamis untuk menguasai negara dengan menonjolkan identitas agama dan komunitas masing-masing. Persekutuan oikumene gereja-gereja, yang biasa didefiniskan sebagai gerakan saling membagi identitas masing-masing dalam gerakan fellowship gereja serta gerakan penyatuan dan kerjasama antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam kekristenan,[2] pada saat yang sama dimobilisasi menjadi alat gerakan sosial politik. Berdasar temuan empiris di Kota Salatiga, agama tidak dipisahkan total dari negara meskipun selalu dibela secara apologetik.

Tampak jelas, agama berkeinginan menguasai negara demikian sebaliknya negara hendak difungsikan mewujudkan ambisi elit agama. Ringkasnya, agama bukan hanya ada dalam dunia privat yakni aktivitas oikumene gereja, dan pengajian-pengajian umat baik terbuka di lapangan atau di rumah-rumah ibadah semacam Masjid, Musholla atau kelas-kelas pendidikan, tetapi ruang agama selalu ada di publik dan ruangnya dipaksa makin tampak membesar.

Kenyataan ini hendak melayangkan pesan tersendiri: agama memiliki peran mengatur ruang publik ataupun negara lewat jalur kongsi ekonomi dan kontrak politik. Intinya, agama dan negara adalah ruang kongsi ekonomi dan politik oleh para pemilik modal ekonomi dan massa karena ada keuntungan yang bisa dinegosiasikan dalam batas-batas tertentu sesuai dengan kepentingan kelompok masing-masing, tetapi bagaimana cara dan prosesnya, itulah yang penting dikaji.
 
Kelompok Kristen sebagai fokus kajian yang dibeberkan disini ialah BKGS[3] dan PPHTGD[4] memiliki kepentingan politik dan ekonomi untuk mendukung pilihan Cawawali[5] dari masing-masing terkait Pilwalkot[6] Salatiga 2011.  Demikian juga kelompok Islamis dalam kongsi politiknya, yang tergabung dalam partai politik, yakni PIS-PKS-PPP[7]  dan Demokrat (khususnya PPP dan PKS yang memang partai Islamis[8]) untuk mencapai kepentingan. Hal ini seolah mengulang apa yang dilakukan Jepang untuk menggunakan agama, khususnya Islam untuk mencapai tujuan perangnya.[9]
 
Dalam tulisan ini, agama akan diposisikan ke dalam studi agama (study of religion), dengan demikian, maka agama merupakan sebuah bentuk perilaku sosial secara kolektif oleh penganutnya. Agama merupakan dasar mengekspresikan identitas kelompok,[10] misalnya Kristen dan Islam. Tidak heran, jika William Hall mengatakan agama ialah satu dimensi vital kehidupan  dan masyarakat.[11] Dan, selalu ada dimensi politik di dalam agama, demikian kata Arjomand.[12] Juga, Legee menegaskan, bahwa gereja merupakan konteks yang subur bagi pembangunan kesadaran diri dan identitas sesama kelompok yang berasal dari doktrin-doktrin, keyakinan teologis, ritus, dan interaksi di dalam dan di luar pelayanan ibadah.[13] Jika demikian artinya, maka ada aksi-aksi bersama didalam gereja. Dengan demikian, maka kajian ini akan bisa dikaitkan dengan perspektif teori gerakan sosial yakni secara khusus aksi-aksi kolektif komunitas masyarakat beragama.  Dan seterusnya…….!

Tulisan ini hendak menjawab kegelisahan akademik bagaimana cara pendeta menggunakan agama dan negara sebagai ruang negosiasi kepentingan ekonomi-politik Kristen diantara sesama komunitas Kristen dan kaum Islamis dalam momentum Pilwalkot Salatiga 2011-(2016). Sesuai dengan jawaban pertanyaan itu diharapkan ada jawaban dari hasil riset lapangan.  Kita akan bisa menunjukkan cara pendeta dan kaum islamis memposisikan agama dan negara untuk mencapai kepentingan ekonomi-politik Kristen dan Islam.  

Tulisan ini menantang kembali dominasi argumen-argumen arus utama ketika berbicara relasi agama dan negara dari perspektif Kristen yang terlanjur diterima sudah final, dan yang sering dianggap memang sudah terpisah.[14] Setelah membahas fenomena ini akan terlihat munculnya tafsir baru dalam diri pendeta mengenai posisi Kristen dalam negara dan juga dari dalam diri kaum islamis untuk melihat Kristen dan gereja lokal Salatiga yang tidak biasa, setidaknya versi pemahaman subjek setelah ditanyai.  Disamping itu, ada niatan lain untuk melihat fenomena hubungan agama dan negara di masa transisi Orde Baru ke Reformasi[15] dari sisi Kristen yang kurang lazim atau bahkan asing dalam kajian-kajian teologis dari pendekatan gerakan sosial politik.

Catatan Metodologis
Bagaimana proses kerja lapangan untuk mendapatkan data dari sumber kunci primer diungkapkan disini untuk menghilangkan keraguan-keraguan orang terhadap data temuan. (Dan seterusnya.........!)  

Cara ini bisa dipakai untuk melihat diksi, intonasi suara, gestur fisik ketika menjelaskan akan memberi maksud tersendiri. Cara ini ditempuh sebagai teknik riset untuk menyelami lebih dalam tensi yang terjadi diantara elit dari dalam kognisi mereka. Dengan demikian, sumber data disini bersifat longgar dan menggelinding terus-menerus bagai bola salju[18] dari satu informan kunci ke informan lainnya hingga menemukan titik terang masalah yang diangkat.


Latar Kota Salatiga[19]

Sepintas, Salatiga kota yang baik-baik saja, bahkan kesannya pluralisme sebagai fakta sosio-antropologis bangsa Indonesia yang nyata di kota ini. Kelihatannya, hal itu dianggap seperti hanya dengan melihat letak bangunan rumah ibdah dan penataan ruang publik di sekeliling kota dimana kita hidup. Memang, sekilas, orang-orang sangat mudah untuk mulai berdialog antar agama dan antar kultur.[20]

Bahkan, John Sydenham Furnivall di tahun 1949 menyatakan, Netherland Indie yakni orang-orang di Indonesia bisa dan biasa hidup berdampingan secara fisik yakni dalam masyarakat plural. Karena perbedaan sosial budaya orang-orang menjadi terpisah dan tidak tergabung dalam satu unit politik. Itulah ciri utama masyarakat Indonesia. Di tahun 1940-an silam, ia melihat penyebab langgengnya kemajemukan adalah faktor ekonomi. Kepentingan ekonomi suatu kelompok yang menyebabkan kelompok tersebut menguatkannya dengan faktor-faktor primordial seperti agama, etnis, bahasa, dan pola tingkah laku.[21] 
Namun rupanya, tesis Furnival tersebut sudah lapuk oleh zaman. Kenyataannya, ada data pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan sejak 2007-2014 tercatat 1.680 peristiwa dengan 2.268 tindakan pelanggaran. Jadi, kalau direratakan maka saban tahun terjadi 210 peristiwa dengan 283 tindakan. Kecenderungan besar peristiwa itu alami impunitas dan tidak diadili secara jelas dan tuntas, dan pastinya jauhi rasa keadilan. Aktor pelaku pelanggaran dilakukan oleh aktor negara dan aktor non negara.[22]
Saya bisa memahami kekeliruan tesis tersebut karena ternyata, Furnival memfokuskan area riset terhadap kelompok etnik yang berbeda biasa saling berdampingan di pasar-pasar,[23] khususnya yang masih bersifat tradisional di Indonesia kala itu.
Seolah mengulangi kekeliruan akademi yang sama, sejumlah peneliti lain mengatakan, bahwa Salatiga masuk ke dalam kategori daerah Kota yang seperti dinyatakan oleh Furnivall tersebut. Benny Ridwan misalnya berkata, jika dilihat sekilas dari keberadaan dan saling dekatnya letak atau lokasi bangunan organisasi keagamaan di Salatiga, maka hubungan, harmoni dan dinamika kerukunan antaragama di Salatiga sangat baik. Malah, terlihat para elit agama disini memiliki ketenangan teologis dan paradigma sosiologis yang sangat terbuka dengan dialog.

Saya tidak menyangkal temuan mereka, jika hanya melihat permukaan semata dan biasanya kita hidup dengan basa-basi ala orang Indoneisa dengan kultur ketimurannya, khususnya etnis Jawa dengap  segala konsep seolah hidup harus harmoni sebatas wajah dan senyum personal, bukan pikiran dan laku kolektif. Saya ingin melihat dari sisi lain berhubung masalah disini. Akan dijelaskan beberapa data konflik kepentingan yang saling mengikat, sehingga menghasilkan ketidaknyamanan sebagai Kristen di Salatiga, dan nanti selalu dikait-kaitkan dengan momentum Pilwalkot tahun 2011.  
Misalnya jika dilihat dari tabel dibawah ini, (Tabel. Data Pembalakan Gereja-gereja di Salatiga. Maaf tidak ditampilkan) Dan seterusnya………..!

Jadi dari data table itu terlihat jelas, bahwa rupanya Kristen di Salatiga masih harus memperjuangkan nasibnya sendiri lewat politik. 
Dari sisi Kristen, sejak Reformasi ada sejumlah kasus terkait pembalakan rumah ibadah, meskipun ada yang berhasil diselesaikan, namun masih bersengketa hingga hari ini, antara lain:  dan seterusnya.....!

 
Temuan ini hendak membuktikan, BKGS dan PPHTGD juga tidak selalu bisa diandalkan untuk bisa membantu eksistensi gereja-gereja sebagai anggotanya di negera. Meski diakui pemerintah Kota Salatiga nama besarnya dan diperhitungkan jumlah pendeta sebagai anggotanya, [26] namun wibawa, keberanian, pengaruh, dan kuasa lobi-lobinya lebih kecil dari besarnya nama organisasinya.

 

Data ini sebagai bukti empirik bahwa negara loyo atau letoy karena tidak lagi bernafsu memainkan peran hukumnya untuk melindungi Kristen. Di lain kesempatan, ternyata sahwatnya membesar untuk membiarkan daerah-daerah ini seolah tidak berhukum, yang memberikan kesempatan politik bagi kelompok Islamis tertentu untuk masuk dan mengambil alih kapasitas dan tempat negara yang ternyata memperburuk keadaan. Ditambah, badan keamanan resmi negara semacam aparat penegak hukum, polisi dan teman-teman apparatus militernya hanya perawakannnya yang tegap berdiri mengawasi, bukan tindakannya untuk mengamankan daerah teritorialnya sendiri. 

Keadaan pembalakan itu seolah membenarkan temuan peneliti lain di sejumlah daerah di Indonesia. Dan seterusnya….! 

Gerakan Sosial, dan Ruang Kongsi Ekonomi-Politik BKGS  dan PPHTG

BKGS dan PPHTGD sebagai representasi dan juga sebagi kelompok kepentingan komunitas masyarakat beragama Kristen Salatiga dari sisi gerakan sosial politiknya akan dibahas terlebih dahulu. Dilanjutkan pembahasan tentang PKS sebagai representasi Islam politik. Kedua kelompok ini akan dilihat dari gerakan sosial. Untuk melihat ketiga kelompok ini sebagai kita perlu mengatahui aksi-aksi dan peristiwa kolektif yang dilakukan pendeta dan kader partai ini disaat Pilwalkot.

Gerakan dari keduanya ini, dan juga PKS akan membantu menggambarkan bagaimana cara dan proses terjadinya ruang kongsi ekonomi-politik berbasis agama itu nantinya.  Beberapa kutipan wawancara di lapangan, kajian literature terkait masalah ini baik on line maupun buku, atau televisi ikut dihadirkan untuk mendukung temuan. Namun, terlebih dahulu dijelaskan definisi teknisnya agar kita memiliki bingkai pemahaman yang kuat.

Dari sini nantinya akan diketahui siapa yang menduduki posisi ini dan karena alasan apa. Hal ini penting untuk melihat bagaimana agama digunakan sebagai alat negosiasi kepentingan politik antara kelompok.
 
Dengan penjelasan seperti ini, maka nantinya akan jelas realitas seperti apa di Kota Salatiga yang menyeret-nyeret agama, secara khusus kaum elitnya ke dalam politik. Hal ini juga tentu akan mempengaruhi bagaimana mereka melihat posisi negara dan menempatkan negara ke dalam kepentingan masing-masing. Karena persekutuan oikumene  dimobilisasi oleh pendeta-pendeta gereja, bukan oleh jemaat gereja, maka mereka menempatkan diri sebagai kaum elit Kristen lokal sebagai representasi jemaat dan umat Kristen Salatiga. Disini terlihat bahwa elit sebagai pemegang utama kekuasaan dan apa-apa saja yang mereka dapatkan, khususnya keuntungan ekonomi dan politik dan bagaimana caranya.


BKGS 

Siapa dana pa BKGS? Pada 9 Desember 1974 oleh pemimpin gereja lokal, BKGS didirikan menjadi badan kerjasama antar gereja di Salatiga. Ini terdiri dari 3 kelompok gereja ekumenikal, evangelikal, dan pentakostal.  Myengkyo Seo melihat pelembagaan BKGS jelas memiliki tujuan politik. Ia dirancang untuk mengatasi kesulitan pemerintah menghadapi gerakan agama baru dan perlawanan politik organisasi-organisasi muslim, juga terhadap kelompok-kelompok Kristen lainnya. Satu sisi BKGS telah difungsikan sebagai filter kelembagaan untuk mencegah "serangan" terhadap stabilitas negara.[27]

Disadari atau tidak, fungsi pencegahan itu telah menempatkan posisi agama-agama resmi sebagai subordinat baru terhadap berbagai aliran, sekte atau apapun namanya, yang muncul akibat persoalan interpretasi terhadap doktrin. Fungsi pencegahan itu telah menempatkan BKGS bertindak sebagai perpanjangan negara.[28]


Sebaliknya, ada contoh, jika dilihat dari posisi relasi kuasa dan kedekatan BKGS dengan pemerintah Kota Salatiga dan DPRD secara resmi. Badan ini dituding tidak lebih berani dan tegas untuk melakukan lobi-lobi politik tingkat tinggi apapun untuk menindaklanjuti kepentingan anggota mengurus legalitas rumah ibadah dan tidak mampu hadir bersama negara dan aparat kepolisian untuk “menghalau” penolakan massa terhadap eksistensi gereja seperti tertera di halaman 4.
 
Nantinya, data itu akan berkaitan dengan Pilwalkot 2011. Jika hal itu dilihat dari perspektif politik identitas, pembiaran atau diskriminasi yang dialami sebuah kelompok dalam kurun waktu yang sangat lama membuat ikatan emosional etnis semakin erat dan kuat, karena adanya kesamaan pandang terhadap apa yang dialami, dan akhirnya memunculkan politik perlawanan identitas, yang merupakan aliran politik dengan melibatkan seseorang atau kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik,[29] sama seperti yang dilakukan oleh PPHTGD. 

Pilwalkot adalah kesempatan politik yang terbuka didepan mata untuk menegosiasikan kepentingan pembangunan rumah ibadah dan hal lain terkait pekerjaan Tuhan. BKGS juga berposisi sebagai kelompok kepentingan yang mengkampanyekan secara diam-diam dalam diskusi-diskusi kecil akan memberikan suaranya kepada Cawawali pasangan nomor urut dua Diah Sunarsasi-Teddy Sulistio (Dihati) yang diusung koalisi PDIP-PAN-Partai Golkar-PDS dan PNI Marhaenisme. Ketika ditanya, apa alasannya, kecenderungan jawaban mereka karena Tedy orang Kristen yang dianggap representasi kepentingan Kristen.[30]  

Data ini merupakan representasi gambaran bagaimana sejumlah pendeta melihat identitas Kristen itu sesuatu nilai yang masih lebih penting dan lebih dekat dengan tafsir teologisnya, ketimbang modal sosial lainnya. Dan seterusnya……….!

……… Hal ini memberikan gambaran baaimana cara sebahagian Kristen untuk melihat identitas agama orang lain berdasarkan dominasi masa lalu yang selalu kembali sebagai mimpi buruk masih membebani dan tidak diatasi dengan kekuatan analitis. [31] 

PPHTGD

Siapa PPHTGD? Identitas yang langsung melekat di memori sejumlah pendeta di Salatiga bahwa mereka adalah persekutuan pendeta-pendeta pedesaan,”[32] yang merasa mewakili orang-orang pedesaan”.[33] Jika dilihat dari ekonomi, kelihatannya kumpulan orang-orang ekonomi biasa-biasa saja namun punya hati melayani di desa-desa.[34] Hingga kini Pdt. Niko Njotorahardjo sebagai Ketua Umum PPHTGD.[35] Anggota persekutuannya ialah mereka para pendeta yang mengerakkan tuas pedati ministrinya di wilayah-wilayah pinggiran. Penjelasan ini bukan stigma, namun lebih pada upaya identifikasi geografis dan corak wilayah gerakan oikumenisnya.

Di Salatiga, PPHTGD berdiri 14 Agustus 1993,[36] kini diketuai oleh Pdt Yusuf Sunari.[37]  Ibadah oikumene rutin sering di gereja GIA tempat Pdt. Yusuf Sunari minggu ke tiga saban bulan. siapapun yang datang ke persekutuan maka akan ada dana pengganti ongkos transpot Rp. 25.000.  Disamping itu, ada juga yang mendapatkan beasiswa SPP kuliah untuk beberapa semester bagi anak bagi pendeta yang menjadi anggota, disesuaikan dengan ketersediaan dana dan kerelaan donatur tertentu.[38] 

Gerakan PPHTGD mengklaim diri sebagai representasi Kristen di daerah pinggiran Salatiga dan Kabupaten Semarang. Selain itu, mereka memiliki kebanggaan menjadi gembala orang desa, meskipun ada yang tinggal berumah di Kota Salatiga. Pdt. Stefanus Sugito misalnya. Menjadi gembala GPdI di desa Magersari Sumogawe, meski tinggal di Kelurahan Mangunsari Ngawen Kota Salatiga. Bahkan, ia meminta istrinya berhenti kerja agar fokus dan melayani secara penuh ke desa.[39] Hal lainnya, sebaran wilayah keanggotaannya melewati batas-batas otoritas dan loyalitas BKGS.[40]  

PPHTGD beroperasi di kantong Kristen pedesaan yang berseberangan wilayah dengannya. Meskipun, sejumlah anggotanya juga anggota resmi dari BKGS. Daerah operasinya meliputi Ungaran, Langensari, Bandungan, Bawen, Ambarawa, Tuntang; Kopeng, Getasan, Sumogawe; Boyolali, Suruh, Karang Gede, Simo, Kaliwungu, Tengaran, Kembangsari; Beringin, Pabelan; dan sekitar kecamatan dan kabupaten Semarang yang memang tetangga Salatiga, apalagi semuanya di Provinsi Jawa Tengah.  

Persekutuan ini beranggotakan 104 pendeta yang awalnya sunyi politik, namun terlibat dalam kontrak politik cawawali yang diusung partai Islam, meskipun sejumlah anggota tidak tahu dan tidak pernah disosialisasikan sebelumnya[41] malahan kini terbit dan masuk orbit perlintasan politik lokal dan menemukan momentum dan penegasan dirinya terhadap gereja urban Salatiga; kami juga punya pengaruh dan kontribusi besar untuk kebebasan beribadah di Kota Salatiga, seperti ucapan Pdt. Filatus.[42]  

Munculnya PPHTGD bisa diposisikan sebagai kelompok penekan yang menimbulkan lapisan baru sekaligus sebagi enclave[43] dalam sejarah misi dan gerakan  oikumenie di Salatiga. Hal itu terjadi karena mereka melakukan kontrak politik dengan Calon Yaris pada Pilwalkot 2011, dan dianggap memperburuk citra gereja dan Kristen di Salatiga. Selain itu, mereka dianggap tidak loyal pada otoritas karena berbeda pilihan dengan BKGS yang mendukung calon Dihati. [44]

Dalam kasus Pilwalkot, PPHTGD mendukung nomor urut tiga Yuliyanto-Muhammad Haris (Yaris) meskipun diusung koalisi kaum islamis, yakni parta PIS-PKS-PPP dan Partai Demokrat. Bagi mereka, identitas diri Muhammad Haris[45] memang sebagai ikon dan juga tokoh dari hasil kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ikon, tokoh dan PKS ini harus diikat dengan kontrak politik untuk….. dan seterusnya………….! 

Data ini sebagai gambaran, bagaimana pelibatan identitas lain tidak harus dijauhkan, malah harus didekati. Tampilkan diri di arena publik lewat kontrak politik juga sebagai upaya sadar dari apa yang dikatakan  sebagai jalan perjuangan untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan negara karena dalam situasi tertentu dalam diri pemimpin Kristen terdapat kecurigaan adanya kecenderungan penyimpangan-penyelewengan kekuasaan negara[46].

Selanjutnya, penting kiranya untuk menyingkap lagi kira-kira apa yang menjadi dasar pertimbangan kaum Islamis untuk beraliansi dengan pendeta pedesaan ini? Saya tidak menemukan jawaban itu secara tegas dan langsung.  Namun, pernyataan dari salah seorang Humas DPD PKS Kota Salatiga saat wawancara membuka jalan memahami.  Ia memberikan contoh Dan seterusnya……..!

Saya ingin melihat titik simpul ini dari kerangka teori politik identitas, khususnya identitas kelompok. Satu sisi, ada poin yang menarik disini. Bisa terdeteksi, bahwa ada upaya-apaya potensial meski secara sporadis dari mereka untuk melinearkan antara ajaran agama berorientasi kedesaan dengan karya sosial kerakyatan di geografi rural ministry yang mereka diami. 

Saya juga ingin memberikan titik simpul dari politik perselisihan antara BKGS dan PPHTGD seperti ini. Selalu ada mobilisasi aktivisme politik di dalam gereja dan perselisihan kepentingan pendeta di dalamnya yang seolah tak terkelola. Bagi BKGS isu untuk menggerakkan sejawatnya berkutat di identitas Kristen vs Islam. Sementara bingkai gerakan PPHTGD adalah antisisipasi, siapa tahu Yaris yang menang, maka Kristen dianggap punya investasi suara dan dukungan disana. Akibatnya, tak  terhindarkan ada klik maksudnya kelompok dalam kelompok atau yang biasa dikenal dengan indentitas enclave di dalam komunitas.  

Dalam perspektif gerakan sosial, pembentuka isu itu disebut framing, yakni upaya stretegis secara sadar sekelompok orang untuk membentuk pemahaman yang sama mengenai dunia dalam kerangka mencari legitimasi dan memotivasi aksi kolektif.[48] BKGS dan PPHTGD sama- sama melakukan ini dengan indikator yang berbeda, namun denan tujuan yang sama memenangkan calon. Akibatnya, adanya perselisihan dengan tensi yang semakin menaik, maka seperti biasanya dicari-cari wadah organisasi yang menjadi tempat penampungan kepentingan. Kemudian, dicarikan aliansi yang dianggap punya kesamaan visi dalam banyak hal, tak lagi soal siapa dan apa organisasinya. 

Jika sudah demikian, maka selalu ada cara-cara sistematis untuk mengidealkan diri dan kelompok sendiri, lantas mengeksklusi kelompok lain. Dalam upaya-upaya seperti itulah gerakan terjadi. Suka atau tidak, dalam gerakan sosial selalu ada praksis sosial yang dianggap menyimpang agar ada yang disengaja diposisikan sebagai musuh agar terjadi gerakan.[49] Dengan demikian, maka terjadilah apa yang dikatakan dalam terminologi gerakan sosial; gerakan-gerakan eksis dalam konteks yang menyebar.[50]

 

Islam Politik dalam Diri PKS
Islam politik, secara umum maksudnya Islam tidak hanya sebagai agama tetapi juga sebagai ideologi politik. Dalam karya kesarjanaan, Islam politik digunakan sebagai payung istilah yang dipertukarkan dengan Islamisme.[51] Ia memiliki empat ciri: ia mengusung kebangkitan Islam sebagai basis reformasi masyarakat; konsisten dengan ini, ia memahami Islam sebagai ideologi; tujuannya ialah mendirikan sistem Islami atau negara Islam (al-nizam al-Islami); dan ciri dari negara atau sistem tersebut ialah penerapan syariah atau sederhananya dirujuk sebagai hukum Islam.[52]  

Lalu, apa ideologi politik? Sesuai dengan Miriam Budiardjo, ideologi politik disini diartikan himpunan nilai-nilai, ide, norma-norma, kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki seorang atau kelompok orang atas mana ia menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politiknya.[53]  

Dari definisi terlihat pentingnya kita memperhatikan kata ”menentukan sikap dan tingkah laku politik.” Dalam perspektif komunikasi politik hal itu merupakan kata kunci. Menurut perspektif ini, orang bertindak terhadap, apakah ia akan menerima atau menolak politik, ialah berdasarkan makna politik itu terhadapnya,[54] tentu pula berdasarkan apa warna atau isi ideologi partai politik tersebut. Artinya, emang benar bahwa persepsi publik kepada politik itu amat penting.[55]  Saya akan mengkaitkan poin ini dengan bagaimana persepsi publik Kristen Salatiga yang diwakili oleh kognisi Pendeta di kedua kelompok itu.  

Sebelumnya perlu diketahui, adalah hak konstitusional bagi partai menjadikan Islam sebagai ideologi politik.[56] Hal itu memang harus diposisikan demikian, meskipun publik Kristen Salatiga telah memiliki pilihan pandang tersendiri terhadap agama (Islam) politik. Saya akan kaitkan definisi ideologi sebelumnya dengan Islam politik seperti ini.  

Dikarenakan PKS menjadikan Islam sebagai ideologi politik, yang artinya kadernya akan menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politiknya berdasarkan ajaran Islam yang diejawantahkan lewat aturan dan kebijakan negara di saluran politik.  

Dengan demikian, seperti kata Pdt. Ebenheser Lalenoh, banyak orang Kristen sudah ketakutan dengan langkah-langkah PKS yang membawa agama dalam kepentingan politik. Namun, dia menempatkan persepsi publik ini kedalam konteks Indonesia yang cara beragamanya masih belum terbuka, memakai sentimen agama dalam berpolitik menjadi pilihan strategis. Istilahnya agama cuma jadi alat berpolitik saja.[57]  

Pdt. Daniel selaku Ketua BKGS sendiri menjelaskan, secara personal orang-orang PKS itu, termasuk Muh. Harris sebagai wakil wali kota sangat baik, tetapi seseorang yang diwakilkan atau mewakili partainya, maka ia mau tidak mau akan tunduk dan menjalankan aturan partai.

 

Jadi, yang kita perhatikan adalah implementasi ideologi partai ke dalam kehidupan masyarakat. Jika ideologinya Islam, maka kita akan melihat segera, Salatiga akan lebih menguntungkan Islam.[58] Sementara dari pengalaman orang dalam sendiri seperti Nono Rohana, ia malahan dengan enteng berkata nyaman tinggal dan menjadi orang Salatiga.[59]
 

Kontrak Politik[60]
Saya akan jelaskan kontrak politik dari sisi sosiologi politik, bukan dari sisi hukum formilnya. Namu, saya hanya akan lebih fokus menjelaskan ide dibalik dan proses lahirnya kontrak politik tersebut, dan pembuat draft kontrak politik tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan pelakunya sendiri. Hal ini akan dikisahkan seperti berikut. Sejatinya, orang yang membuat akta kontrak politik itu bukanlah dari Yusuf Sunari sebagi Ketua PPHTGD.  

Yusuf sendiri mengakui[61] itu berasal dari Elizabeth Dwi Kurniasih SH MSi, lahir di Salatiga 26 Juni 1975. Ia seorang Khatolik. Juga anggota legislatif tahun 2009-2014 dari Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI) dari daerah pemilihan (DP) Argomulyo urutan satu. Tinggal di Jl. Manggasari N0. 48, Tegalrejo, Salatiga. Alumnus Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Studi Pembangunan, keduanya dari UKSW. 

Saya mencoba menemui dirumahnya. Elisabeth telah menikah dan pindah ke Subang 2 tahun lalu. Jadi, saya tidak bertemu. Ketika di sms suaminya menjawab istrinya baru saja operasi kandungan. Bayi mereka keguguran. Untuk itu, istrinya sudah tidak mau berkomentar soal politik.  

Meski demikian, di rumah, saya menjumpai adiknya ............. Dari hasil wawancara tersingkap, bahwa.......................


Ketika ditanya, apa saja alasan sehingga harus membuat kontrak politik dengan Cawawali waktu itu. Alex menjelaskan, hal itu sebagai Dan seterusnya……..!
 

Dengan demikian, ada pesan yang tersingkap disana, bahwa dalam ketidaknyamanan manusia di Kota Salatiga, mengakibatkan mereka mencari asosiasi bersama dalam rangka pemuasan kebutuhan psikologi dan materi. Kontrak sosial adalah indikasi dari itu.[63] sekaligus menegaskan ada lawan dan kawan. 

Pendeknya, kontrak sosial antara antara penguasa dan rakyat ini ada dalam suasana serba ketidaknyamanan di semua sudut hidup manusia. Meskipun demikian, kontrak tersebut bisa menegaskan pesan adanya disparitas penguasa berhadap-hadapan dengan rakyat.  Rakyat cuma diatur jadi umat manusia sebagai sumber pemberi kekuasaan dan legitimasi bagi para wakil dan pemimpinnya untuk berkuasa atasnya.  Dan seterusnya……..! 

Dari sisi lain, kontrak ini juga bisa dilihat, PKS ingin membuka basis barunya di Salatiga. Saya malah melihat, ini upaya strategik untuk menarikmassa baru di Kabupaten Semaang. Jadi yang dibidik adalah lebih luas, mengingat daerah operasi PPHTGD itu.  

Jadi, PKS ingin mengirimkan pesan ke publik, walaupun menyandang sebagai partai Islam, PKS terbuka untuk bekerjasama dengan siapapun tanpa memandang latar belakang suku dan agama selama untuk kemajuan bangsa,[64] setidaknya versi mereka. Di lain sisi mereka sedang berupaya meyakinkan musuh-musuh politik dari Islam sendiri, meskipun pendatang di suatu kota (PKS ada di Salatiga sejak tahun 1999 dengan nama PK sebelumnya).[65] Ia bisa mengindonesia, atau bahkan menusantara, meski karena itu tuntutan ralitas, belum asli dari dalam diri sendiri. Namun, setidaknya mereka sadar konteks. 

Kesimpulan
Dinamika politik lokal mampu menggoncang identitas diri sebagai Kristen atau Islam yang terlanjur dianggap mapan. Momentum Pilwalkot sebagai even untuk renegosiasi diri kedalam kelompok dan keluar, bahwa adanya kesadaran kelompok lain. Ia juga sebagai bukti empiris bahwa gerakan oikumene digunakan sebagai alat negosiasi sekaligus sebaga kongsi kepentingan lewat kontrak politik antara kelompok kepentingan Kristen, dan untuk membuka konstituen baru lewat jalan kerjasaa dengan pendeta bagi partai islamis.  

Ketidakamanan dunia sekitar ada karena Islam dan Kristen selalu diposisikan berhadap-hadapan, nyata selama ini mengusik arti menjadi umat beragama dalam Kota. Untuk itu perlu memobilisasi gerakan sesama identitas berhadapan dengan identitas lain. Dan seterusnya……..! 

Bagi kelompok ini, PPHTGD dan Khatolikan itu, seturut dengan kadar keilmuan terhadap teologi-agama, politik dan tanggung jawab sosial gereja maka oikumene juga ditransfer artinya ke dalam politik legislasi dan berstempel meterai bernama kontrak politik. Itulah cara sekaligus instrumen untuk menegosiasikan kepentingan Kristen di ruang publik. ......................! 


Bagi, kaum Islam dan partai pendukungnya, sebetulnya menyemburkan pesan, sebagai partai yang sudah terbuka dan komit sebagai orang Indonesia di rumah besarnya, meskipun ideologinya agama. Dengan demikian, untuk sementara waktu semua mendapatkan keinginannya. Salatiga akan kekal dikenal kota paskah dan natal bersama di ruang terbukanya, termasuk kota festival agama lainnya. 

Bagi para pendeta se salatiga yang ternyata dibawah hukum administrasi BKGS mestinya sudah mendapatkan bagiannya, setidaknya lewat ucapan natal dan paskah, termasuk selamat idulfitri yang tertera dibingkisan sesuai dengan alamat pintu rumah masing-masing, saban tahun pula. 

Yang tak boleh dilupakan, ini musiman, politik perselisihan, mustinya usai se usai musim politik sirna, yang abadi mestinya, kita pernah berjuan bersama sekaligus berselisih bersama pula. Rekonsiliasi mestinya ajimat politik baru, meski seolah ucapan semata, setidaknya pernah kita ucapkan.

              2]Christian Smith, “Correcing a Curious Neglect, or Bringin Religion Banck in,” in Disruptive Religion: The Force of Faith in Social Movement Activism, ed. Christian Smith (New York: Routledge, 1996), 17.
                [3]Badan Kerjasama Gereja-gereja Salatiga (BKGS).
                [4]Persekutuan Pelayanan Hamba Tuhan Garis Depan (PPHTGD).
                [5]Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Cawawali).
                [6]Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Salatiga (Pilwalkot).
                [7]Partai Indonesia Sejahtera, Partai Keadilan Rakyat, Partai Persatuan Pembangunan (PIS-PKS-PPP).
             [8]PKS dan PPP ialah partai Islamis karena dengan tegas menulis dan mengadopsi Islam sebagai dasar ideologisnya. Azyumardi Azra, Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context (Jakarta: Equinox Publishing, 2006), 15-16; Yon Machmudi salah satu diantara pendiri PKS  mengakui partainya adalah Islam politik yang berwajah baru. Yon Machmudi, Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Islam Politik Indonesia (Bandung: Harakatuna Publishing, 2005), 5.
                [9]B. J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (Leiden: The Hague-Martinus Nijhoff, 1971), 7-15. Tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia dan menyapu bersih kekuatan Belanda. Gereja adalah korban pertama karena Jepang menganggap gereja sangat dekat dengan Belanda selama ini. Wraga, pengerja gereja, cendikiawan Kristen hasil didikan gereja atau zending dihabisi Jepang dengan maksud agar gereja lebih mudah dijinakkan dan tidak berpotensi lagi untuk melawan. Sebaliknya, tidak terjadi kepada Islam karena sebelum Jepang masuk pihak Islam diketahui anti Belanda. Zaman itu Jepang merestui dan ikut memprakarsai pembentukan hizbullah (tentara Allah). ini merupakan kebijakan Jepang untuk melenyapkan sisa-sisa amunisi kekuatan dan dominasi kolonialisme Belanda yang salah satunya agama Kristen, khususnya gereja. Jan S. Aritonang, Chr. de Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja?: Pengantar Sejarah Eklesiologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009). 99-100.
                [10]Milton C. Sernett, “Religion and Group Identity,” in Introduction to the Study of Religion, ed. T. William Hall (San Francisco: Harper & Row Publishers, 1978), 217.
                [11]T. William Hall, “Preface,” in Introduction to the Study of Religion, ed. T. William Hall (San Francisco: Harper & Row Publishers, 1978), vii.
                [12]Said Amir Arjomand, The Shadow of God and the Hidden Imam: Religion, Political Order, and Societal Change in Shi'ite Iran from the Beginning to 1890 (Chicago: University of Chicago Press, 1987), v.
              [13]David C. Legee, “Religion and Politics in Theoritical Perspective,” in Rediscovering the Religious Factor in American Politics, ed. David C. Leege, Lyman A. Kellstedt (New York: M. E. Sharpe. Inc., 1993), 3.
                [14]Disebut-sebut negara mengakui otonomi agama, dan agama mengakui otonomi negara. Masing-masing tidak mencampuri langsung urusan dan otoritas yang lain. Namun demikian, antara keduanya terdapat keterkaitan fungsional. Tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan internal keagamaan, negara mempunyai tanggung  jawab keagamaan yaitu melindungi dan membantu agar semua agama hidup dan berkembang dan menjamin baik kebebasan maupun kerukunan hidup beragama. Di pihak lain, tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan kenegaraan (termasuk di sini pemaksaan kehendak dengan melalui kekuatan massa), agama mempunyai tanggung jawab kenegaraan. Tanggung jawab ini adalah meletakkan kerangka landasan moral, etik dan spiritual  bagi, pembangunan nasional. Eka Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 1999), 97; Bahkan, katanya agama dan negara berbeda, negara tidak boleh menguasai negara, demikian juga agama tidak boleh menguasai negara. Agama dan negara mempunyai hubungan yang bersifat koordinasi. Agama bertanggung  jawab untuk mengingatkan negara pabila negara tidak melakukan kewenangannya sebagaimana kodratnya. Karena agama-agama adalah  pemberi landasan moral, demikian juga pada waktu agama-agama dalam interpretasi praktis keagamaannya melanggar undang-undang dan ketertiban umum. Maka negara wajib untuk melakukan tindakan hukum untuk penertiban hubungan bersama antar agama dan kelompok yang ada. Binsar A. Hutabarat, M.C.S., “Negara Menurut Perjanjian Lama dan Hubungannya dengan Gereja dalam Konteks Indonesia,” Jurnal Teologi STULOS, 6/1, (April 2007), 31-52, https://www.academia.edu/6363084/NEGARA_MENURUT_PERJANJIAN_LAMA_DAN_HUBUNGANNYA_DENGAN_GEREJA_DALAM_KONTEKS_INDONESIA, diakses 11 Agustus 2015.
                [15]Tulisan ini diasumsikan masuk ke masa transisi Orde Baru ke Reformasi di Indonesia yang serba tidak aman. Henk Schulte Nordholt, Ireen Hoogenboom, Indonesian Transitions (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 23. Ketidakamanan itu juga merembes ke gereja-gereja lokal dan dinamika lokal, seperti di banyak daerah di Indonesia, termasuk Salatiga. Banyak terjadi kekerasan massal dan sistematis di level lokal menimpa Kristen, misalnya, Poso dan Maluku. Bahkan tak terhindarkan tindak kekerasan bahkan pembunuhan pendeta di masa itu. Ada juga contoh pembalakan gereja lokal Salatiga seperti terlihat di tabel. Hampir tidak ada provinsi yang terbebas dari jenis kekerasan dan konflik agama. Pendek kata, konflik komunitas dan kekerasan antar agama menjadi fenomena yang umum terjadi. Adriana Elisabeth, “The Indonesian Experience in Implementing Democracy” in Democracy in Muslim Societies: The Asian Experience, ed. Zoya Hasan (New Delhi: Sage Publications India Pvt Ltd, 2007), 88.
                [16]Tebal = a thick description, cara kerja etnografer untuk mencari makna dan menjelaskan secara dalam. Asumsinya, tindakan manusia selalu berdasar pada sejumlah jejaring makna. Etnografer dituntut terjun dalam jejaring makna untuk mengetahui dan menganalisis apa sesungguhnya yang terjadi. Etnografi bukan isi paparan realita lapangan yang ditemui tetapi dituntut menganalisis yang dihadapi dan menentukan arti dan landasan sosial peristiwa sarat makna. Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 5-6, 9-10.
                [17]Emik, secara natif memahami multi realitas dari dalam dan dengan akurat berdasarkan subjek yang diamati; Etis, diposisikan sebagai asumsi luar peneliti atas realitas yang diakumulasi dari perspektif sosial sainstifik. David M. Fetterman, Ethnography: Step by Step (California: SAGE Publication Inc., 1998), 1-30; James P. Spradley, The Ethnographic Interview (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1979), 22-23.
                [18]Cara ini sebagai teknik riset kualitatif dapat terjadi dalam beberapa cara. Tetapi, pada umumnya adalah ketika sekelompok orang yang memang sengaja dipilih karena telah penuhi syarat merekomendasikan calon informan lain sebagai sumber data yang bisa dipertanggung jawabkan. Lalu, mereka rekomendasikan peserta tambahan hingga membangun jejaring sumber data yang makin banya dan meluas, namun spesifik bagai bola salju bergulir menuruni bukit. Snowball sampling mengharuskan kita menemui orang untuk mengidentifikasi masalah pengumpulan data, yakni orang bersyarat untuk berpartisipasi me rekomendasikan beberapa orang sumber lain yang memiliki data sesuai kebutuhan penelitian. Earl Babbie, The Practice of Social Research (Boston, MA: Cengage Learning, 2015), 186.
                [19]Secara geografis, Kota Salatiga ditengah-tengah wilayah Kabupaten Semarang. Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2008 tercatat sebesar 5.678,110  hektar atau 56.781 km². Secara administratif Kota Salatiga terbagi menjadi 4 kecamatan dan 23 kelurahan, yaitu Argomulyo terdiri dari 6 Kelurahan, Tingkir terdiri dari 7 Kelurahan, Sidomukti terdiri 4 Kelurahan, Sidorejo terdiri dari 6 Kelurahan. “Seputar Salatiga,” posted, Rabu, 29 Desember 2010, diakses, 10 Juli 2015, http://www.yarisuntuksalatiga.com/index.php?option=com_content&view=article&id=58&Itemid=27.
                [20]Thomas Michel, Peace and Dialogue in A Plural Society (Istanbul, Turkey: Işık Yayıncılık Ticaret, 2015).
                [21]Charles A. Coppel "Revisiting Furnivall's ‘plural society’: Colonial Java as a mestizo society?". Ethnic and Racial Studies (London: Routledge) 20 (3): 564.
                [22]http://sp.beritasatu.com/nasional/setiap-tahun-283-tindakan-pelanggaran-kebebasan-beragama/87587 posted, Kamis, 21 Mei 2015, diakses  7 Juli 2015.
                [23]Montserrat Guibernau, John Rex (eds.), The Ethnicity Reader: Nationalism, Multiculturalism and Migration (Cambridge, UK: Polity Press, 2010), hlm. 219.
                [24]Benny Ridwan, Potret Organisasi Keagamaan dan Respon Terhadap Dinamika Kehidupan Keberagamaan di Salatiga dalam http://iainsalatiga.ac.id/potret-organisasi-keagamaan-dan-respon-terhadap-dinamika-kehidupan-keberagamaan-di-salatiga/ posted 31 Mei 2012, diakses 5 Juli 2015. Ia sebagai dosen bergelar doktor di IAIN Salatiga.
                [25]Wawancara, Yogyakarta, 30 Juni 2015. Ia adalah guru besar bidang politik Islam dan direktur pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pernah melakukan riset di Salatiga dalam rangka studi Ph.D di Universitas Utrecht Belanda.
                [26]Wawancara, Matheus Sukary.
                [27]Myengkyo Seo, State Management of Religion in Indonesia (Abingdon, OX: Routledge, 2013), khususnya Bab 5, 104-123.
                [28]Anas Saidi, Menekuk Agama Membangun Tahta (Jakarta: Desantara, 2004).
                [29]Sri Astuti Buchari, Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas (Yayasan Obor Indonesia, 2014).
                [30]Wawancara, Pdt. DR.Surya Kusuma, M.Min di rumah Nakulo Sadewa I Kembang Arum, Salatiga, Kamis, 13 November 2014.
                [31]Haryatmoko, “Formalisme Hukum dan Rasa Keadilan” Kompas, Opini, Kamis, 23 Juli 2015, 6.
                [32]Wawancara telepon, Pdt. Djatmiko gembala sidang GPdI yg tinggal di jl. Pengging Salatiga, menggembalakan di wilayah Boyolali, Pengurus PPHTGD bidang kearsipan, Rabu, 22 Juli 2015; 15.34 wib-selesai.
                [33]Wawancara telepon, Pdt. Leonard Mailuhu, S.Th gembala sidang GPdI Kedesen Boyolali yang dimutasi Majelis Daerah Jawa Tengah dan Majelis Wilayah VI. Sebelumnya tinggal dan merintis pelayanan GPdI di Perumahan Domas Salatiga. Ia mengantikan Pdt. Amos Hutapea yang juga dimutasi ke GPdI Klampok, Jawa Tengah April 2013. Selasa, 21 Juli 2015; 07 15 wib-selesai.
                [34]Wawancara, Pdt Lukas Sutarto, S.Th, gembala sidang Gereja Penyebaran Injil Masaran Sragen, Solo, Salatiga, Selasa, 20 Juli 2015; 13.05 wib. Diwawancarai ketika silaturahmi Idulfitri di Jungle School Salatiga.
                [35]“PS NIKO NYOTORAHARDJO,” Bethany International Church, Copyright 2015, diakses 30 Juli 2015, http://www.bethanymelb.org.au/about/our-pastors/ps-niko-nyotorahardjo/.
                [36]Tahun ke-1 diketuai Ev. Imanuel Suprapto. Ke-2 hingga ke-5 oleh Pdt. Yusuf Sunari. Tahun ke-6 Ev. Petrus Priyadi. Tahun ke-7sampai ke-10 oleh Pdt. Yusuf Sunari. Tahun ke-11 sampai ke=12 dipimpin Bp. Emil. Akhirnya, tahun ke-13 hingga sekarang kembali diketuai Pdt. Yusuf Sunari.
                [37]Wawancara Sms, Pdt. Yusuf Sunari, gembala sidang Gereja Isa Almasih (Dr. Cipto Semarang) GIA Kalitaman di Jl. Kalitaman No. 4 Rt 05 / Rw IV, Salatiga, Kamis, 30 Juli 2015; 07.25 wib; Wawancara Sms, Pdm. Paulus Sutopo, pendeta GBT Noborejo, di Nobokulon RT03/10 Noborejo, Argomulyo Salatiga Kamis, 30 Juli 2015; 07.25 wib. Sutopo adalah ketua Koordinator PPHTGD Salatiga.
                [38]Wawancara, Pdt. Leonard Mailuhu,
                [39]Wawancara, Pdt. Stefanus Sugito, Rumah Mangunsari Ngawen Kota Salatiga, Minggu 2 Agustus 2015. 10.17 wib.
                [40]Yusuf Sunari.
                [41]Wawancara telepon, Pdt. Djatmiko.
                [42]Wawancara telepon, Pdt. Filatus, Salatiga Kamis, 23 Juli 2015, 16.12 wib. Ia meski melayani gereja Kota (meski relative kecil) di GPI Jln. Ahmad Yani No. 102 Salatiga, tingal di Desa Sruwen Kabupaten Semarang.
                [43]Enclave dalam kajian gerakan sosial khususnya terkait agama dan politik merujuk pada seruan untuk kembali ke identitas dasar sebagai simpul penting. Ini terdapat dalam semua gerakan fundamentalis keagamaan kontemporer (misalnya Kristen, Islam dan Yahudi). Enklaf sebagai tembok yang menempatkan masyarakat yang dianggap tidak cocok dengan keyakinan dan nilai-nilai khas di luar. Gabriel A. Almond, R. Scott Appleby, Emmanuel Sivan, Strong Religion, The Rise of Fundamentalism around the World (Chicago: The University of Chicago Press, 2003), 33-37.
                [44]http://bkgssalatiga.com/index.php/sample-page/, diakses 30 Juli 2015.
                [45]Profil Muh. Haris S.S, M.Si, http://www.yarisuntuksalatiga.com/index.php?option=com_content&view=article&id=69&Itemid=72, Posted, 13 January 2011, diakses 10 Juli 2015.
                [46]Martin L. Sinaga, Trisno S. Sutanto, Sylvana-Ranti Apituley, Adi Pidekso (eds.) Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-teks Terpilih Eka Darmaputera, cet. 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 144.
                [47]Wawancara telepon, Pdt. Filatus.
                [48]Doug MacAdam, John D. MacCarthy, Mayer N. Zald, Comparative Perspectives On Social Movement: Political Opportunities, Mobilising Structures, and Cultural Framings (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 2.
                [49]Yanuar Nugroho, “Bergerak di Akar Rumput,” Jurnal Analisis Sosial, Vol.7. No. 2 (Juni 2002), 39-62.
                [50]Bert Klandermans, “John D. McCarthy Lifetime Achievement Award Lecture - The Virtue of Comparison: On Times, Places, Issues, and Activities,” Mobilization: An International Journal, Volume 20, No. 1 (March 2015).
                [51]Islamisme digunakan sebagai alternatif bagi fundamentalisme, yang berasal dari tradisi Kristen dan kental dengan nuansa keagamaan. Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad, Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia (New York: Cornell University, 2006), 22.
                [52]Islam politik ialah deskripsi Barat, khususnya Prancis, tentang sebuah bentuk aktivisme yang muncul pada seperempat awal abad ke-20, meski istilah ‘Islamist’ menjadi popular sepanjang 1990-an. Anthony Bubalo, Greg Fealy, Joining the Caravan?: The Middle East, Islamism and Indonesia (Woollahra, Australia: Longueville Media, 2005), 3-5.
                [53]Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia 1989), 32.
                [54]Dan Nimmo, Political Communication and Public Opinion and America (Santa Monica, CA: Goodyear Publishing Company, Inc., 1978), 3.
                [55]Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 232.
                [56]Lili Romli, Islam Yes, Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-partai Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 13.
                [57]Wawancara, Inbox Facebook, Ebenheser Lalenoh, Selasa 21 Juli 2015, 3.08 pm wib.
                [58]Wawancara, Pdt. Daniel H Iswanto, M.Min, M.Th GKJTU di Jl. Sukowati No. 74 di ruang rapat kantor gereja GKJTU Salatiga, Rabu, 5 November 2014; 11.30-selesai.
                [59]Wawancara, Nono Rohana, Warak Salatiga, Sabtu 28 Februari 2014, 09. 25. wib. Nono Rohana adalah Anngota Dewan Sekretaris DPD PKS Salatiga. Kini menjadi anggota DPRD Terpilih Kota Salatiga periode 2014-2019 dari Dapil Kec. Tingkir.
                [60]Kontrak Politik yang berisi lima poin itu ditandantangani oleh Paslon bernomor urut 3, di atas materai, ikut menandatangani 2 orang saksi, yaitu: (1) Pdt. Yusuf Sunari, S.Th., dan (2) Prof. Dr. H.D. Haryoko RD, Ph.D., AKP. Dalam KP tersebut, YARIS berjanji jika terpilih kelak akan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.       Menjaga Kota Salatiga dalam kemajemukan agama, suku, ras, dan golongan.
2.       Memberikan kebebasan dan rasa aman bagi seluruh umat beragama dan kepercayaan masing-masing.
3.       Memberikan kemudahan bagi umat Kristiani untuk mendirikan tempat ibadah dan diijinkan menggunakan ruang publik untuk perayaan keagamaan.
4.       Bersama-sama masyarakat menumbuhkankembangkan toleransi antar umat beragama di Kota Salatiga.
5.       Tidak ada diskriminasi dalam memberikan pelayanan publik serta akses terhadap pemanfaatan dana APBD untuk kepentingan seluruh kepentingan umat beragama.
                [61]Wawancara, Yusuf Sunari.
                [62]Wawancara, Alex Yustinus Parito, Petrus Yustinus Parito, di Jl. Manggasari N0. 48, Tegalrejo, Salatiga, Sabtu, 1 Agustus 2015; 15.55 wib-selesai.
                [63]Jean-Jacques Rousseau, Of The Social Contract and Other Political Writings, Translated by Quintin Hoare with a new introduction by Christopher Bertram (London: Penguin Books, 2012), 2.
                [64]Akhiri Kampanye Nasional di Salatiga dan Solo, PKS Targetkan Jateng Jadi Basis Baru, Published On: Thu, Apr 3rd, 2014, diakses 10 April 2014, http://pkssalatiga.com/seputar-pks/akhiri-kampanye-nasional-di-salatiga-dan-solo-pks-targetkan-jateng-jadi-basis-baru/
                [65]Hendrik L. Sigara, “Kaderisasi Kepemimpinan Politik di dalam Tubuh Partai Keadilan Sejahtera (Studi Kasus Kecamatan Tingkir Salatiga)” Skripsi,Universitas Satya Wacana, Ilmu Sosial Politik, 2009.